Cerita Cinta; Menghalau Prasangka..


Tak pernah terlintas dalam benakku untuk menjadi egois dan pemarah. Hanya saja kedua hal yang ditakutkan dalam sebuah hubungan tersebut secara spontan sering terjadi padaku. Marah tanpa pikir panjang karena lakumu yang tak baik padaku atau egois tanpa mempedulikanmu beberapa kali menjadi teman belakangan ini.
Aku tak pernah menginginkan itu. Aku yakin Kau juga tak inginkan itu. Kita berdua tak pernah menginginkan itu. Tapi harus kita sadari di balik segala keegoisan kita, kedua hal itu pasti ada di hubungan mana pun dan siapa pun. Tak ada dan tak akan pernah ada hubungan tanpa kedua hal itu. Bukan sebuah apalogi, tapi kenyataan yang harus Kau dan aku tau. Selebihnya, aku akui sebagai kesalahanku.
Bagaimanapun aku tak ingin ada hal” yang merusak atau hanya sekedar merenggangkan hubungan kita berdua. Aku yakin Kau juga. Saat ini cinta dan rinduku beradu satu padamu. Walaupun aku tak yakin apakah kini aku masih ada dalam mimpimu. Telah banyak kekecewaan yang Kau terima dariku selama dua tahun ini. Beberapa bagimu tak bisa dimaafkan dan beberapa lagi telah usang untuk dimaafkan. Meminta maaf pun kadang tak menyelesaikan masalah. Hanya lagu sedih yang terlihat sehingga mendung menyelimuti langit.
Menyedihkan jika aku membela diri dengan mengungkapkan semua yang aku korbankan dan aku relakan pergi demi Kau. Demi selalu melihat senyum manismu untuk setiap pagiku. Demi mendengar sebutan sayangmu saat aku kebingungan menyapa simfoni hitam. Demi kehadiranmu di sisiku untuk membangkitkan gairah hidupku. Demi sentuhan tanganmu saat aku mulai kehilangan arah menghadapi dunia yang membelenggu. Demi laku yang Kau tujukan padaku saat Kau ingin dimanja. Dan demi hati, sayang dan cintamu yang tak pernah ingin aku hentikan untuk mengaliri sanitasi hatiku.
Jenuh kadang silih bergantian hinggap di pundakku dan di pelukanmu. Namun, selalu ingat ini, itu hanya sementara. Karena Kau adalah cinta dan kasihku. Kau rindu dan dawai hari-hariku. Kau pesona dalam setiap puisi yang aku goreskan. Tak pernah berubah. Sampai kapan pun.
Selengkapnya...

Cerita Cinta; Mom, Rindu Ini Hanya Untukmu..

Beraktifitas seharian membuatku sore tadi harus istirahat dengan nyenyak. Apalagi ini tentang PPKJ, mata kuliah yang benar” menghabiskan tenaga. Bangun tidur, tersadar satu hal yang belum aku rasakan dan ingin sekali aku alami hari ini sebelum malam mangakhiri kebekuan bulan; menyapa ibuku. Sangat ironis saat di hari terspesial bagi seorang Ibu ini kuucapkan selamat pada Rara dan setiap teman perempuanku yang nantinya akan menyandang status ibu tapi pada ibuku belum. Bahkan untuk menyapanya lewat sms saja belum. Celaka..
Aku merindukannya. Aku baru sadari bahwa Ibuku adalah perempuan pertama yang aku rindukan. Ibu, bagaimana aku bisa melupakan moment itu..? Melupakan moment untuk menyapamu. Melupakan untuk mendendangkan lagu cinta dan kasih sayang buatmu. Melupakan sentuh halusmu yang selalu mampu meruntuhkan emosi dalam diriku. Melupakan untuk mendengar suaramu.

Ibu Ibu Ibu..
Keindahan hari ini untuk Ibu..
Kesejukan ini untuk pemilik rindu..
Tak akan ada syahdu.. Dan tak ingin hadirkan sendu..

Ibu Ibu Ibu..
Kerinduan ini tak ingin berlalu..
Ingin aku bingkai bersama langit biru..
Tak ingin menanamkan bayang semu.. Karena Ibu masih memiliki aku..

Ibu Ibu Ibu..
Senja ini tampak sangat malu..
Senyummu mengobati semua pilu..
Menepis semua ragu.. Dan terpesona dengan laku agungmu..

Ibu Ibu Ibu..
Akusayangdancintakamubertubitubitanpaspasi..
Selengkapnya...

PPKJ; Hari Kedua Liputan yang Sial (buatKu)..

Tersenyum, tertawa, gembira dan melakukan kekonyolan adalah item yang harusnya ada di sore hari saat liputan hari kedua ini. Karena kegiatan kita hari itu lebih fun dibanding hari pertama lalu. Membingkai kegiatan” mereka (anak” jalan Griya Baca) di alun”; belajar, bermain dan bernyanyi. Namun,… (Kita simpan dulu…)
Sabtu. Hari kedua liputan. Jam 14.00 harusnya team IDE sudah berkumpul di gerbang utama kampus III. Tapi sampai jam 14.30, hanya dua biji hombreng yang nongol dan memilih enjoy di Warung Kopi Ka’ Imoet. Dengan tekad yang gak bulat, aku dan Octo berangkat ke Alun” Kota meninggalkan Landungsari yang saat itu dipenuhi dedaunan jatuh mirip suasana di drama” Korea.
Setengah jam perjalanan kami tempuh lantaran macet yang berlebihan sepanjang Jalan Raya Dinoyo dan Jalan Gajayana. Sempat beberapa kali berhenti karena traffick lamp sedang marah dengan menyalakan merahnya. Dan aku pikir ngebut bukan ide yang bagus.
Sesampainya di Alun” Kota, 3 pesan masuk di inbox hapeQ. Agus yang kelelahan karena aktifitas SINDEN-nya di Batu sedang menuju ke TKP. Begitu juga Cipa yang telah menyelesaikan interview ‘newbies’ di tempat kerjanya serta Isha yang telah menyudahi pekerjaan rumahnya beradu dengan teriknya senja menuju ke lokasi. Sambil menunggu mereka, aku dan Octo berkeliling menyertai tambun yang bertalu meramaikan seputar kolam alun”.
Mereka tiba. Senang rasanya bisa kembali menghirup udara sore Alun” yang biasanya kuhirup bersama seseorang. Beberapa pedagang mulai bersuara menawarkan jualannya pada setiap raga yang lewat di depan, samping kanan maupun kirinya. Teriakan anak kecil karena bahagia bermain bersama keluarganya memenuhi pendengaranku. Sementara Octo dan Agus masih bermain dengan kameranya, aku sempatkan menyapa beberapa burung dara yang biasa temani kebersamaanku bersama seseorang.
Sekawanan penjahat, eh bukan, anak” kecil maksudnya sedang tampak di pinggir alun” depan Kantor Pos Malang, objek kita sore ini. Sekitar 20 anak berrsama pemuda dan pemudi dengan balutan jas almamater biru sedang asyik merangkai batangan kayu yang biasa dipakai sebagai wadah es krim. Terlihat di bagian dadanya terdapat logo UB. Dan kami berhasil membingkis keceriaan itu dengan sempurna. Sempurna karena sore itu begitu sejuk. Sempurna karena kami dapat mewawancarai tiga anak perempuan di antara mereka. Sempurna karena kami dapat menyaksikan mereka menyanyikan beberapa lagu dengan tarian. Sempurna karena kami masih bisa duduk santai menikmati senja berempat karena Octo pulang.
Sore itu menyisakan aku, Agus, Mita dan Isha untuk bercengkrama di sekitar kolam yang dipenuhi pengunjung lainnya. Sore yang dirindukan setiap manusia dengan keindahan asa, rasa dan karsa-nya. Kami sempatkan berfoto-foto. Kami bergantian berpose. Pose-pose yang nyeleneh, sok cool dan tentunya yang paling banyak membuang memory adalah Agus; karena tu makhluk yang paling banyak minta difoto.
Setelah koordianasi sedikit, kami langsung pulang. Kebetulan, tempat parkir Agus dan Cipa berbeda dengan kami (aku dan Isha). Sesampainya di tempat motorku, aku yang saat itu tengah risau (gak mau pake kata ‘galau’), terkejut dengan kenyataan bahwa kunci motorku kagak ada. Seluruh isi tas telah aku keluarkan. Dan tak hanya sekali, empat kali aku melakukan ritual bongkar tas dengan taringku, maaf, tanganku aku lakukan. Hasilnya, nihil. Tiba” seorang perempuan menghampiri tempatku dan beratanya, “Kid, ada pisau..?”, Oh bukan. “Kid, ada apa..? Ada yang ketinggalan..? Atau ada yang hilang..?”, Isha, temenku bertanya. “Iya, kunciku ketinggalan. Hilang lebih tepatnya. Apa kau melihatnya sejak kita di sana tadi..?”, jawabku dengan pertanyaan di ujungnya.
Tanpa pikir panjang, Isha mengajak aku untuk mencari jejak kunci motorku ke pusat alun”. Gila. Mana mungkin ketemu. Tapi kita berangkat. Mencari. Asyiikkk.. Hasilnya, tetap nihil. Dua kali putaran kaita lakukan. Tak ada. Aku kalut, risau (sekali lagi, aku gak mau make kata ‘galau’), terpojok sendirian di kamar seperti semua menghimpitku. Aku membayangkan apa jadinya aku mendorong motor itu dari alun” sampe Landungsari. Aku membayangkan gimana reaksi temenku yang punya mengetahui hal ini. Aku membayangkan rawon yang ada di pinggir jalan gajayana, eh maaf, yang ini gak termasuk.
Tiba” aku berinisiatif untuk mengadukan kehilangan ini pada tukang parkir. Dengan raut wajah menyeramkan ala preman, sang Jukir menjawab “Oo.. Init a Mas..?”, tu orang menjawab dengan kunci motorku di tangannya. Haaaa.. Aseeemmm.. “Makasih banyak Pak”, namun ucapan itu buru” dibalas oleh sang Jukir; “Beliin rokok seikhlasmu Mas”, haha, asem ni orang. Dengan muka bego’ aku yang hanya membawa duit 12.000 pergi ke toko di pojok alun”. Aku bawakan sebungkus rokok Uno Mild yang harganya lebih mahal dari toko” biasanya itu. Bersamaan dengan berlalunya Isha dari Alun”, aku pun melaju dengan kecepatan standart. Dalam perjalanan, aku hanya tersenyum mengingat kesialan PPKJ ternyata masih berlanjut.
Haha.. Begitu banyak yang sudah terjadi sore itu. Aku hanya berpikir, bahwa masih banyak posisi yang lebih bawah dari kita. Masih banyak yang lebih membutuhkan dari kita. Bersyukur harus tetap kita lakukan dengan kondisi apapun itu. Dan mestinya kita harus kembali mengingat bahwa ber-empati kadang menjadi keharusan di saat simpati saja tak cukup. Selengkapnya...

PPKJ; Hari Pertama yang (tak) Menyenangkan..

Tak terasa perjalanan mahasiswa Ilmu Komunikasi 2008 sudah pada fase akhir. Berbagai kegiatan sudah tercatat akan mewarnai masa-masa (seharusnya) senggang di semester ini. Dan tiga mata kuliah telah terdaftar sebagai lirik di akhir lagu yang harus ditempuh. Salah satunya adalah mata kuliah Praktek Produksi.
Mata kuliah ini ditempuh oleh semua konsentrasi yang ada di Jurusan Ilmu Komunikasi; Audio Visual, Jurnalistik & Studi Media dan Public Relation. Sebagai mata kuliah praktek, Praktek Produksi menawarkan kerja keras dalam menempuhnya. Karena tugas akhirnya harus memproduksi karya sesuai konsentrasi secara berkelompok. Kami, Empat Sekawan, juga harus menyelami keangkeran produksi tersebut. Aku, Agus dan Octo bahu membahu di Jurnalistik sebagai satu kelompok, sedangkan Nasich harus berjibaku dengan rekan-rekannya di Audio Visual.
Liputan Hari Pertama
Singkat cerita, kami bertiga tergabung dalam kelompok produksi bersama Angga Rarastya Himawan, Aisyah Nur Ammini, Dessy Kurniawaty dan Silvia Aria Sasmita. Mulanya kami, yang menyebut diri kami dengan IDE ORGANIZER ingin membuat newsletter sebagai tugas akhir. Namun, setelah enam perusahaan menolak dengan alasan yang hampir sama (dana), akhirnya kami bertaruh untuk dapat mengerjakan produksi video siaran berupa features dengan beberapa nama sosok yang kita bidik. Dan akhirnya, dimulailah perjuangan kami di hari pertama.
Aku sebagai sutradara sebenarnya kurang memahami (bahkan bisa dibilang gak tau apa”) tentang memproduksi sebuah video. Tapi aku yakin dengan berkumpulnya orang” misterius macam Agus pemilik otak brillian dengan konsep”nya, Nia dengan imajinasinya, Isha dengan semangat dan gagasannya, Octo dengan skill dan pengalaman phhotografinya, Angga dengan ide” segarnya serta Cipa dengan kemampuan presenter yang tak diragukan lagi, kelompok ini mampu menyelesaikan tugas akhir ini.
Dari hasil survey sebelumnya, hanya dua nama yang memberikan secercah harapan untuk dapat kita liput. Dan pada hari Kamis, 24 November jam 13.30 siang kita berangkat dengan basmalah dari gerbang kampus setelah sehari sebelumnya telah melakukan beberapa koordinasi untuk persiapan liputan perdana ini. Target kita, Hamdani, salah seorang pengurus senior di Griya Baca. Namun kita sempatkan mampir ke Karangploso, tempat seniman sarat karya yang sebelumnya tercatat sebagai alternatif sosok.
Empat motor melaju kencang meninggalkan Landungsari menuju Karangploso melewati Junrejo Batu. Hampir lima belas menit kita lewati deru debu (kayak nama sinetron jaman dulu aje) dan bising motor jalan raya. Karena ketidaktahuan akan kediaman sang seniman, kita berhenti di depan sebuah tempat dengan plang Joglo GK. Cipa yang memiliki ide pergi mencari. Kami berenam berteduh di rindangnya pepohonan dan beberapa menikmati es dawet yang ada di seberang jalan.
Tiba”, satu pesan dari Cipa mengharuskan kita bergerak lagi. Dan di sinilah rentetan musibah dimulai. Motor Isha tak bisa digerakkan, lebih tepatnya mogok. Setengah jam kita berusaha membujuk motor Isha untuk jalan, namun hasilnya tak ada. Akhirnya dengan beberapa keringat yang masih melekat di wajah, kita mencari bengkel untuk motor Isha. Aku yang menaiki motor Isha harus berhenti di tiga bengkel, karena tak semuanya bersedia memperbaiki motor Isha. Dan di bengkel terakhir, sekitar 210 meter dari pemberhentian pertama, motor tersebut singgah untuk direparasi. Huuufftt (gaya anak alay..)..
Sepuluh menit berselang dan setelah memberikan beberapa keterangan, penjaga bengkel menyarankan agar motor Isha ditinggal untuk diperbaiki. “Baiklah. Mari kita lanjutkan perjalanan kita”, ujarku setelah keterangan dari penjaga bengkel tersebut. “Hmm.. Kita ambil motor abiz itu kita…… Hah..?!? Helmku mana..?!?!”, sepertinya ekspresi tersebut cukup menggambarkan wajah asem saat itu. Helm merah kepunyaan sahabatku tertinggal entah di mana. Aku langsung capcus (pake gaya bencis..) bersama Agus untuk mencari jejak” helm bermerk INK yang masih baru itu. Tapi dasar, moment ini sepertinya tepat sekali untuk aku nobatkan sebagai musibah kedua.
Dengan wajah lemas karena belum sarapan sambil mikirin helm ilang, aku lanjutkan perjalanan dengan semua personel. Berharap tak ada lagi musibah yang menimpa akhirnya kita tiba di tujuan utama hari itu; Griya Baca. Kebetulan, Hamdani, sosok yang akan kita wawancarai juga baru saja tiba di Griya Baca dari kampusnya. Dan….wawancara pun dimulai. Tak ada kendala. Berjalan lancar, walaupun beberapa kali penghuni Griya Baca lainnya lalu lalang dan menimbulkan kegaduhan. Usai mewawancarai Hamdani, Cipa langsung kembali ke studio Andalus FM untuk bekerja. Yang lain, masih bertahan hingga matahari terbenam. Di beberapa kesempatan juga, kita sempat berbincang” dengan penghuni Griya Baca seperti Nada (nama yang tak akan dilupakan oleh seorang anggota IDE), Linda dan Nanti.
Sore hari tengah berakhir. Berakhir pula perjumpaan kami dengan teman” baru tersebut hari itu. Kami berenam pulang, menembus senja sambil menikmatinya. Tapi tidddaaaakkk.. Musibah kecil terjadi lagi. Aku dan Agus tersesat. Entah ke mana. Yang pasti bukan arah pulang. Tapi setelah balik lagi pada rute sebelumnya, harapan dan sudut kehidupan kemballi terlihat jelas. Usai mampir di tempat gorengan di perumahan (lupa namanya, Tanya Agus..) elit di Jalan Ijen untuk membeli gorangan yang sangat disukai Agus karena kenikamatannya, kita pulang ke koz... dan istirahat…….
Lelah dan kesal tentunya dirasakan oleh setiap raga personel. Kepenatan yang dirasakan kadang tak berbanding lurus dengan usaha kita seharian. Saat itu kita sadari bahwa kerja keras saja tak cukup untuk menjalani mata kuliah ini. dibutuhkan rasa sabar, tabah dan sedikit percikan serbuk ‘lucky’. Tentunya tanpa mengenyampingkan doa. Selengkapnya...