Pertemuan..

apa yang sudah aku pikirkan. menemui seseorang yang harusnya tak aku temui. mengiyakan permintaan untuk satu percakapan panjang. dan duduk berseberangan dalam satu meja ber jam-jam. mantan kekasih yang dulu hilang, datang. memintaku mengosongkan pagi dan menemuinya. aku bukan luluh pada serak suara dan isak-nya yang mulai terdengar saat menghubungiku mendadak. tapi aku ingin menjadi seorang teman yang baik, yang mau menemuinya, seperti yang dia sampaikan sebagai permohonan.

'aku akan menikah',
'lalu..?',
'Kau ingin mengatakan sesuatu..?',
'oh, selamat. itu kabar yang bagus',
'bagaimana jika pernikahan ini hanya untuk pengalihan. dari Kamu yang sudah masuk terlalu dalam di hidupku',
'harusnya itu tidak terjadi. karena sudah tidak ada apa" diantara kita. iya kan..?',

pembicaraan ini terlalu serius dan tanpa basa-basi. aku berharap hujan segera mengguyur tempat ini. aku tak ingin percakapan ini memburu kami ke masa itu. kami terdiam agak lama.

'sebenarnya, kenapa kita di sini..?',
'sampai orang itu melamarku, aku masih menunggu ada kabar dari Kamu. aku memang bodoh. aku sadar itu tidak akan terjadi, tapi aku tetap melakukannya. dan di sinilah aku sekarang. mengaku, agar aku lega. agar tidak ada lagi beban. aku tidak ingin merasa bersalah pada orang itu. aku ingin baik" saja sampai pernikahan itu terjadi', dia menarik nafas dalam". membuang pandangan dan meneguk teh hangat di depannya. aku tidak hanya kaget, aku tercengang.

kami terdiam lama. aku membiarkan angin yang tidak lagi sepoi ini menyapu semua inderaku. aku melihat dia gemetar kedinginan, tanpa jaket. sesekali tatapan kami bertemu dan membuangnya ke bawah.

'aku kira kalau kita bertemu sudah tidak akan canggung. hmmm, kapan pernikahanmu..?',
'pertengahan tahun. setelah lebaran. apa Kau pengen aku undang..?', aku tertawa. diikuti juga tawanya. aku mengangguk.
'tapi ada syaratnya. Kau harus datang dengan..', kalimatnya berhenti. menggantung. '..Kau sudah menikah..?', aku tersenyum. 'tunangan..?', senyumku semakin lebar. 'pacar..? jangan bilang pacar pun gak punya..', aku menatap matanya dan menghembuskan nafas.
'bohong. ah, aku gak percaya',
'percaya saja. aku gak ada alasan buat bohong ke Kamu',

kami kembali diam. sepertinya aku melakukan kesalahan. raut mukanya kembali serius, alisnya bertemu, seperti sedang berpikir runyam.

'kalau gitu, kenapa tak ada kabar..? aku menunggu',
'tapi aku tidak. sudahlah. rasanya, percakapan sebelum ini cukup menyenangkan',

percakapan ini seperti roller coster, memberi rotasi emosi yang tidak aku inginkan. mungkin juga dia. aku melihatnya, dia menoleh lalu juga melihatku. pandangan kita beradu agak lama. dan tawa kami pecah.

'eh beneran. aku tanya, siapa pacarmu..? boleh aku tau..?',
'gak punya. masih gak percaya..?', lalu percakapan kami berlangsung lama. tentang masa kosong tanpa kabar itu. tentang bagaimana dia bertemu dengan pria yang akan menikahinya ini. tentang alasan"ku yang belum ingin menikah.

'aku selalu kagum dengan caramu berpikir. tapi alasanmu tadi, lebay',
'santai lah. nanti aku juga akan menikah. entah kapan', angin tiba" kencang berhembus. aku masih berharap hujan, agar kami punya alasan untuk menyudahi pertemuan ini. aku tau, diapun berharap memiliki alasan buat menyudahi percakapan ini.

'seperti yang aku bilang tadi, aku cuma mau memberi tau itu. kabar baik seperti yang Kamu katakan. semoga tidak ada lagi alasan buat satu pertemuan lagi denganmu. aku senang melihatmu. sangat. bisa melihatmu lagi seperti hadiah ulang tahun bagiku. tapi cukup satu kali ini saja',
'sepertinya begitu',
'Kid..', dia berdiri dan menjulurkan tangannya. samar" aku melihat jarum jam di tangan kanannya sudah menunjukkan angka 11. waktu yang tepat buat mengakhiri pertemuan ini. '..terimakasih kesediaanmu menemuiku', lanjutnya. aku juga menjulurkan tangan dan menjabat tangannya.
'terimakasih juga sudah mengisi hari Mingguku sebelum kerja',
'kalau gitu, assalamu'alaikum', dia melepaskan jabatan tangannya.
'wa'alaikumussalam', dia membalikkan badan dan pergi. aku kembali duduk dan menghabiskan kopiku. sampai akhirnya adzan Dzuhur berkumandang, aku juga pergi.
Selengkapnya...

Rupa Kebahagiaan Malam Itu..

malam itu hujan baru saja reda. jalanan Surabaya masih basah dan sedikit licin. aku melaju kencang tanpa tau akan ke mana jalur selanjutnya. aku melewati gerimis yang masih turun dengan bayangan tentang jalan yang pernah aku tempuh, tidak sering. aku mengingat" rute yang baru saja aku buka dari google maps. aku harus sampai di Rumah Sakit Al-Irsyad segera. sesegera mungkin.

di kepalaku, malam itu harus jadi momen yang tak boleh dilewatkan. di kepalaku, aku mereka-reka waktu yang sedang aku tempuh. jika harus telat, tidak boleh lebih dari garis waktu emosi yang sedang kakakku rasakan. aku hanya khawatir, pengetahuanku tentang jalan-jalan di Surabaya membuat rencana itu lewat. hujan mulai turun semakin kencang saat aku tiba dan memarkir motor depan rumah sakit. aku segera masuk dan memencet beberapa nomor di hapeku. aku sudah tidak bisa mengandalkan receptionist. orangnya hanya satu dan sedang menangani orang lain.

'tuuuttt.. tuuuuttt', suara itu mendominasi pendengaranku selama 10 menit dan tak ada jawaban. di ruang tengah itu, aku memutar mataku ke semua sudut yang memungkinkanku menemui kakakku dan kakak ipar berada.

'Mim', dari belakang tiba" suara itu muncul dan mendekat. aku dan Zainal juga mendekat. Itu suara Reza, kakakku. ada yang aneh. senyumnya sangat lebar dan raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan. dia menyingkirkan tanganku yang aku julurkan untuk bersalaman. dia menarik bahuku dan memelukku. lama dan masih dengan senyumnya, tampak dari hembusan nafasnya dan hampir tertawa.

'Alhamdulillah, ponakanmu perempuan. perempuan. perempuan', dia berbisik ke telingaku. dia melepaskan pelukannya dan bergantian melakukan hal yang sama pada Zainal.
'Alhamdulillah, di mana dia sekarang..?. sudah bisa ditemui..?',
'belum. kalian kehujanan..?',
'enggak. bagaimana dengan kakak ipar..? baik..? normal atau caesar..?',
'baik. oh iya, bentar, saya harus mengurus kamar inap untuk Nazril', suaranya terengah seperti sedang diburu kebahagiaan yang ingin menyerbu semua indera dan tiap organ raganya.
'oh OKe, saya temani. kau belum jawab, normal atau caesar..?',
'caesar, tapi semuanya baik" saja',
'ada siapa saja di sana..?',
'ada Ibu, Lilid dan Ibu Mertua. bentar ya', semua kalimat, dia ucapkan dengan penuh senyum dan tawa.

aku belum pernah memiliki anak. aku belum pernah tau bagaimana rasanya memiliki anak. tapi malam ini, kakakku memberi tauku hal itu. semuanya sangat jelas tampak dari wajahnya. aku tidak berhenti tersenyum melihat raut mukanya yang bahagia. aku seperti sedang terhipnotis, larut dalam kebahagian yang dia rasakan. ada gemuruh yang sedang berdengung di dadaku. seolah ingin muncul lewat mulut untuk aku teriakkan.

ternyata begitu. karena kesederhanaannya, bahagia bisa hadir dalam banyak bentuk. sama seperti saat aku diam" melihatmu. mata dan pandanganmu yang tajam dan meneduhkan. malam ini, bahagia itu datang dengan kehadiran satu lagi anggota keluarga ke sini, ke dunia yang harusnya damai ini. aku tidak bisa menyembunyikan bahagia itu saat kami masuk melewati lorong-lorong rumah sakit dan melihat bayi itu. kami dipisah kaca. bukan, aslinya, kami ada di luar ruangan tempat si bayi berada. sebagian keluarga kakak ipar juga datang, bercakap dan melihat si bayi dengan penuh rasa senang.

setelah semua obrolan dengan keluarga kakak ipar berakhir. diam" sambil berbisik aku bertanya padanya tentang nama bayinya.
'jangan bilang Kamu kaget dan hanya menyiapkan satu nama buat laki"',
'sudah ada. aku sudah punya nama. aku sudah siapkan dua nama sejak awal. hahahahaa..', lalu dia menggerakkan bibirnya, tanpa suara, menyebut satu nama. sepertinya nama ini masih dia rahasiakan, bahkan dari Mok Nap, bibiku, ibunya.

kebahagiaan itu juga yang membuat waktu terasa cepat. malam cepat berlalu dan semakin gelap. hujan yang turun lagi, sudah kembali reda. diantaranya, ada rasa kantuk yang tidak bisa aku bendung. ternyata sudah dini hari.

baru malam itu aku hadir saat kerabat atau temanku melahirkan. sesaat nanti, aku berharap juga bisa datang di momen serupa, momen saat istri Kak Aziz melahirkan anak keduanya..
Selengkapnya...

How You Remind Me..

Mati. Ternyata Kamu berencana pergi dan segera meninggalkan kota ini. Segera memperlebar jarak dan mentetapkan radius. Segera menjauh dan menghilang dari pandanganku. Padahal sekarang saja aku sudah kesulitan menemukanmu. Terakhir kali melihatmu dua hari lalu, saat pagi, berpapasan tanpa sengaja, tanpa senyummu yang diam" aku inginkan.

Keresahan ini sama saja seperti aku akan kehilangan kalimat pertama untuk menuliskan rinduku. Bagaimana jika keresahan ini melebar ke mana". Saat aku tidak bisa lagi sembunyi" menunggu senyummu merekah. Saat aku tidak bisa lagi mendengar suara tawamu, meski dari kejauhan, tapi tidak lebih dari 14meter. Dan aku masih berharap Kau akan melihatku dengan caramu dulu, yang tajam dan meneduhkan, suatu hari nanti, meski juga tanpa sengaja.

Dua hari ini, setelah aku tau Kau akan segera pergi dan meninggalkan kota ini, aku menyusuri jalanan Surabaya yang basah dengan keresahan. Aku membawanya jauh sampai ke bagian timur kota. Bahkan How You Remind Me milik Avril tak lagi sanggup menyudahi resah yang aku sembunyikan bersama rinai hujan setiap malam, saat aku menyebrangi Wonokitri Besar dan Ir Soekarno, bolak balik.

Lagu yang berhasil dinyanyikan dengan irama syahdu oleh Avril ini mengingatkanku, tentang sebuah episode yang pernah dan sudah terjadi. Sudah dan lambat laun hilang meninggalkan kita. Episode itu berupa pertanyaan yang terangkum dalam lima kata 'Are we having fun yet?'. Lima kata yang juga diulang lima kali dalam lagu ini. Lima kata yang merangkum banyak istilah setelah informasi itu datang, dalam lima huruf; resah, sendu, waktu dan tentu saja rindu. Tapi, aku hanya tau diri..
Selengkapnya...

Hampir Merutuk Hujan..

Aku hampir saja merutuk pada hujan, kalau saja dia turun tadi. Tadi, sebelum petang menjemput. Saat aku baru sadar kalau langit sudah sangat gelap di bagian barat, tengah dan selatan Surabaya. Karena aku belum shalat Ashar. Karena aku bajingan. Meninggalkan shalat tepat waktu dan memilih masuk beskop saat adzan Ashar hanya tinggal 10 menit lagi, tadi. Aku masuk beskop dan melihat Istirahatlah Kata-Kata.

Perubahan angin dan mendung itu sudah terasa sejak aku berangkat ke Tunjungan Plaza sore tadi. Aku berharap hujan turun saat aku sudah masuk TP dan reda saat aku keluar beskop. Hahahaha, harapan konyol yang dibuat-buat. Tapi jalanan masih kering sampai aku kembali ke parkiran dan membawa sepeda motor keluar dari TP. Aku ngebut dan merutuk pada hujan, kalau saja dia turun tadi.

Dingin yang hadir menunggangi mendung masih terasa saat aku sampai di Pakis, bahkan sampai aku menyelesaikan tulisan ini di kamar. Sepertinya hujan tidak akan datang sendirian malam ini. Seperti sepekan sebelumnya. Hujan mengajak petir, kilat, badai dan banjir setelahnya. Jalanan tidak lagi ramah dan kesehatan yang utuh tidak lagi didapat dengan mudah.

Samar, di balik pintu kamar, aku mendengar gluduk bersahutan. Semoga Kamu juga baik saja..
Selengkapnya...

Alasan Merindukanmu..

Aku menyukai senyummu, tapi bukan itu alasanku merindukanmu. Aku seringkali mengambil jarak buat melihat senyum itu. Beberapa meter bahkan hanya centimeter. Berapapun jaraknya, asal Kamu tidak melihatku, asal Kamu tidak mengetahui keberadaanku, aku akan diam” menikmati senyum itu. Tidak banyak kebetulan yang aku dapatkan saat senyum itu merekah, tapi memiliki satu masa saja sudah sangat aku syukuri. Hmmm, jangan bertanya bagaimana caraku menemukan senyum” itu. Aku juga tidak tau kapan dan di mana Kau akan tersenyum. Aku hanya tau kalau senyum” itu seringkali ada saat tidak ada aku. Tapi suatu saat, aku ingin jadi penyebab senyum”mu tersungging. Entah kapan. Karena aku menyukai senyummu, meski bukan itu alasanku merindukanmu.

Aku menyukai suara tawamu, tapi bukan itu alasanku merindukanmu. Tawamu kadang aneh, kadang aku juga melihatnya terpaksa. Aku merasa ada kekosongan dalam tawa itu. Tapi suaranya begitu khas. Suaramu. Tipis dan menggelegar. Seperti bercak rindu yang aku miliki untukmu. Keberadaannya tipis tapi bulat dan tebal, seperti tekadku mendekat ke arahmu agar mendengar suara tawa itu. Tidak ada keraguan dalam tawamu. Sama halnya dengan suara yang mengiringinya; lewat dengan keras. Tapi beda dengan senyum”mu, suara tawamu bisa aku prediksi. Sehingga banyak masa yang bisa aku siapkan untuk meluruskan pandanganku, membuka semua indra pendengaran dan samar” menyelinap diantara pipimu yang memerah. Aku selalu akan menyiapkan itu. Karena aku menyukai suara tawamu, meski bukan itu alasanku merindukanmu.

Aku menyukai caramu yang dulu melihatku, tapi bukan itu alasanku merindukanmu. Dulu, hanya dua cara Kau melihatku; tajam dan teduh. Seringkali pandangan kita beradu dalam ketimpangan, Kau memicingkan mata seolah ingin berkelahi dan aku memutar mata ke sekitar wajahmu. Sering juga Kau memandangiku dengan mata yang lebar dan senyum yang terselip diantaranya; meneduhkan. Saat itu, saat dua pandangan itu Kau munculkan, saat itu juga pandanganku bisa aku alihkan dari cangkir kopi yang aku pegang. Belakangan, aku berharap pandangan kita bertemu dalam kondisi itu. Karena aku menyukai caramu yang dulu melihatku, meski bukan itu alasanku merindukanmu.

Aku merindukanmu, karena aku menyukaimu. Tapi, aku tau diri..
Selengkapnya...

Episode Kesedihan..

Tidak mudah menjalani hidup setelah kehilangan. Menjaga irama langkah tetap teratur, memberikan jeda pada tiap tarikan nafas dan membiarkan mata tertutup saat malam. Semua tidak akan biasa setelahnya. Kehilangan sosok pasangan hidup, teman berbagi, teman hidup, teman segalanya dalam obrolan, teman yang selalu ada saat kerasnya hidup sesekali hinggap. Teman, yang juga juga jadi ladang pahala di dunia untuk bekal di akhirat. Kehilangan, akan selalu berarti kehilangan.

Senin pagi di pekan terakhir 2016, Mbak Restu muncul dari balik tangga ruang redaksi New Media. Sepertinya dia naik dengan susah payah. Tangan kirinya bertumpu kuat di kayu pegangan tangga. Dia memakai baju hijau terusan, dengan jilbab lebar panjang hitam. Dia baru saja kehilangan Mas Taufan, suaminya, sepuluh hari sebelumnya. Setelah semua kesedihan itu, dia memaksa masuk kerja dan beraktifitas lagi.

Kehilangan itu tambah terasa saat sapa pertamanya memenuhi ruangan New Media. 'Assalamu'alaikum', dia jatuhkan tas yang dia bawa ke sofa ruangan dan melanjutkan langkah kakinya ke arah meja kerjanya. Pelan. Sambil menyapaku, Dwi, Tito dan Bruriy secara bergantian. Wajahnya sendu, seolah lelah bersemayam dalam dirinya di beberapa masa. Dia duduk. Pelan. Membersihkan debu yang terlanjur mampir di mejanya setelah lama dia absen. Dia hidupkan komputer tanpa bicara sedikitpun. Aku masih di mejaku, tepat di samping kiri mejanya. Aku diam. Aku tak berani bicara. Aku hanya melihatnya dengan senyum, siap" jika dia melihat ke arahku.

Selanjutnya, episode kesedihan pagi itu bergeser pada ingatan yang tak bisa dia buang. Pada semua memory kehidupannya yang dia jalani berdua beberapa tahun belakangan. Isak tangisnya mulai menderu. Perlahan. Tanpa banyak bicara dia ambil tisu yang hanya tersisa beberapa lembar di atas mejanya. Dan kemudian habis. Semuanya dia pakai untuk mengusap air matanya. Aku merasa jadi pecundang pagi itu. Aku tak tau harus melakukan apa. Aku berharap dia memanggilku agar aku bisa mendekat dan menenangkannya, meskipun tak tau bagaimana caranya.

Dwi bergegas turun ke bawah. Lalu Dwi kembali menaiki tangga dengan seplastik tisu di tangannya. Dia ambil beberapa lembar untuk mengusap air mata Mbak Restu yang sudah deras menetes, turun diantara sembab matanya. Dua detik selanjutnya, ruangan ini sudah ramai dengan suara tangisnya. Kami mendekatinya secara refleks. Dwi berdiri tepat di sampingnya. Eddy di sebelah kanan. Sementara aku, terus berusaha mendengarkan keluh kesahnya. Mbak Restu meracau dengan suara yang parau. Aku tidak tau apa yang dia bicarakan. Bahkan aku tak mendengar dengan jelas permintaannya saat menunjuk jarinya padaku.

Semua larut dalam kesedihan ini. Aku ingin sekali memegang pundaknya, memenggam tangannya dan berharap memberi keteduhan. Memberi ekpresi wajah yang bisa menenangkan. Memeluknya lalu membiarkan dia menangis sejadi-jadinya. Kadang, seseorang hanya ingin didengarkan untuk mengurangi bebannya. Bukan untuk dinasehati pesan klise. Tapi aku hanyalah aku, seorang teman yang jauh dikenalnya setelah dia memilih Mas Taufan sebagai pasangan hidup. Dwi hanyalah Dwi dan semuanya hanyalah teman kantor. Sementara orang yang berusaha kami tenangkan, adalah perempuan yang baru saja kehilangan satu orang untuk segalanya dalam hidupnya.

Mbak Restu memutuskan pulang setelah sekitar dua puluh menit duduk di meja itu dan mencurahkan semua kesedihannya. Baru tiga tahun belakangan aku kenal Mbak Restu dan semua interaksi itu berada di kantor. Tapi aku merasa ada ikatan lain selain hubungan kerja. Mungkin juga karena kultur komunikasi yang dibangun Suara Surabaya. Kami semua merasa seperti saudara. Dan aku, kami, baru saja mengalami sedih yang mendalam karena kehilangan yang dialami Mbak Restu.
Selengkapnya...