Eine Hoffnung, Bye Oktober

Hari ini aku telah melihat matahari terakhir di bulan Oktober 2013. Aku ingin segera melihatnya berlalu. Aku ingin sekali segera menyambut November 2013. Mungkin akan kedengaran terlalu, tapi aku tak sanggup lagi bersembunyi dalam sendu.
Saat tulisan ini sampai di paragraph kedua, aku menarik nafas panjang sedalam”nya. Banyak sekali sedih yang aku alami di bulan ini. Banyak sekali kesialan yang aku dapatkan. Banyak kesalahan yang aku lakukan setiap harinya. Bahkan tak terhitung kekeliruan yang menghampiriku dalam sepekan terakhir. Sial, bodoh sekali.
Semua rencana yang sudah aku tuliskan selalu berakhir dengan kecewa. Padahal, sudah aku tempatkan whiteboard di balik pintu kamarku. Berharap saat aku bangun atau berencana keluar kamar, aku mengingat semua rencana di setiap harinya. Tapi, mungkin mataku terhalang untuk melihatnya atau aku terlalu bodoh untuk membuat eksekusi rencana. Pada akhirnya, kekuatan niat yang berbicara. Mungkin niatku terlalu lemah untuk mengantarkanku pada setiap gerak.
Kerjaanku hampir berantakan. Beberapa kali aku sering telat. Bahkan tak hanya satu atau dua menit, tapi pernah satu dan dua jam. Itu terjadi dua kali di awal bulan ini. Terdengar gila dan sangat ceroboh. Tapi itu terjadi. Walaupun sebenarnya aku memiliki alasan, saat itu aku tidak enak badan. Tapi tetap itu tidak termasuk alasan untuk telat dan diucapkan pada atasan di kantor.
Aku sering melakukan kesalahan di kantor. Tapi di bulan ini, kesalahan itu tambah membesar dan hampir mendekati fatal. Aku tak ingin menuliskannya. Itu hanya akan membuat merasa sangat bangsat-nya aku. Bahkan kemarin, aku menghadiri rapat evaluasi divisi yang dihadiri semua anggota, tapi hanya membahas kesalahan dan evaluasiku. Ya hanya buatku. Jadi, rapat itu dibuat hanya untuk aku. Benar” gila. Apa yang sudah aku lakukan sejauh ini. Di sela” break rapat, aku sempatkan menelpon Ibuku. Bukan manja. Mungkin kedengaran terlambat, tapi aku menghubungi beliau untuk meminta maaf. Maaf untuk sesuatu yang belum aku sadari dan menyakiti beliau. Beliau sangat bijak dengan mengutip satu ayat al-Qur’an. ‘Ibu sudah maafkan. Minta tolonglah pada Tuhan. Jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu. Dan jangan lupa bahwa di kamarmu ada al-Qur’an yang harus Kau baca’. Istimewa sekali. Hmmmm.. Kondisi ini sangat menyulitkanku. Sangat. Tapi entahlah, yang penting saat ini dari rapat evaluasi itu aku sudah menyadari di mana letak kesalahan” yang aku perbuat.
Oktober 2013 ini juga memberikanku duka yang mendalam. Dalam satu tulisan sebelumnya di blog ini, aku menyebutkan duka ini sangat mengejutkan dan mendalam. Aku tak bisa membahas lagi duka dan luka ini. Semua keluarga merasa kehilangan. Apalagi nenek, ibu, paman dan bibiku. Mereka adalah orang terdekat abahku. Belum lagi istri dan anak” Abah yang sekarang menjadi janda. Aku tak dapat dengan mudah mengingatnya. Aku malah tak ingin mengingatnya. Terlalu menyakitkan.
Kesialan yang tak kalah hebatnya adalah aku tak dapat dengan benar dan serius menjalani aktifitas mahasiswa-ku. Skripsiku tak selembar pun aku sentuh dan satu hurufpun aku tulis lanjutannya. Sejak empat hari lalu, aku membiarkan kamarku berantakan dengan banyak tulisan dan reminder untuk meneruskan skripsi. Berantakan sekali. Ditambah dengan cucian yang belum aku setrika, Koran dan kabel di mana”. Kerusakan ini akan tambah parah jika debu yang bertebaran juga dihitung. Entahlah, sementara aku lebih nyaman dengan kamar yang seperti ini.
Aku juga melakukan banyak kesalahan pada organisasi”ku. Sebenarnya bisa saja tak usah dipedulikan. Tapi aku sangat layak mendapat julukan jahannam jika tak aku pedulikan. Aku sudah dipercaya dan sudah mendapati amanat ini. Dua di Malang dan satu di rumah. Gila kan. Ketiga”nya posisiku sebagai orang nomor satu dalam struktur. Mungkin benar apa yang pernah dikatakan Kak Reza padaku, ‘Kau bukan adikku yang aku kenal dulu. Semangat, selalu memiliki keinginan, selalu membuatku iri karena prestasimu dan saat ini Kau hanya menjadi pecundang dengan tidak menghiraukan kepercayaan banyak orang’. Apa yang dikatakannya sangat dalam dan membuatku berpikir panjang. Walaupun dia akhiri dengan ‘Walaupun begitu, aku dan yang lainnya masih terus di sampingmu’.
Terakhir, aku mengacaukan komunikasiku dengan beberapa teman, lalu juga Kau. Jika membaca tulisan ini, tolong maafkan aku Kawan. Aku tak bermaksud menaburkan duri” tajam dalam komunikasi persahabatan ini. Aku hanya belum bisa berbenah diri. Bahkan, semalam aku kesulitan mencari orang untuk aku hubungi. Hanya untuk sekedar bercerita. Beruntung aku memiliki Mb’ Iseh yang setia di hape, pulsa karena nomornya sama dan selalu mendengarkan apa yang ingin aku keluhkan dari busuknya kondisi ini. Kak Aziz dan Kak Hakim tak mungkin aku ganggu dengan urusan ini. Mereka berdua fokus bekerja dan menghidupi keluarga kecilnya. Mungkin kabar gembira Oktober ini adalah telah lahir seorang anak, seorang ponakan, seorang cucu, seorang cicit bernama Alif di Surabaya. Anak Kak Hakim. Pekan lalu aku dan keluarga menjenguknya sebelum mengantarkan pamanku ke Bandara Juanda.
Dan untukmu, ya Kau. Aku juga minta maaf padamu untuk beberapa alasan aku bersembunyi darimu. Padahal aku sangat ingin bertemu denganmu, menyapamu lalu memegang erat tanganmu dan menanyakan kabarmu. Tapi aku terlalu lemah untuk melakukan itu dan hanya bisa memberikan tiga hal yang akan membalut dan menjaga ragamu, pergelangan tanganmu dan hatimu.
Siang ini aku tau beberapa hal, aku butuh dua hal untuk kesialan dan kesalahan” yang aku lakukan. Jam tangan dan jam alarm.
Selengkapnya...

Merindukan Malammu

Malam ini terlalu membosankan. Semua sentuhan rindumu kembali menyapa kamarku yang mulai berantakan ini. Tak hanya mengalun di telinga, tapi juga membuat dadaku berdesir. Entah bagaimana Kau melakukan ini. padahal kemarin pagi, aku hanya melihatmu dari atas. Melihatmu duduk di sepeda motor dengan kaos putih bergaris hitam dan jilbab hitam menutupi kepalamu. Aku tak sanggup menyapamu hingga Kau berlalu dari pandanganku dengan deru bising sepeda motor itu.
Aku merasa malam ini begitu tegas menyayat resahku perlahan. Begitu nyata dan merobohkan caraku bertahan. Aku seperti kehilangan. Sebuah pesan datang menghampiri dinding kamar dan memintaku untuk sandaran. Aku ingin sekali menghiraukan. Karena malam ini sudah menghadirkan pekat dan menghalangi pandangan. Bahkan aku tak dapat menghentikan tangan mendera dua lembar kertas dengan goresan.
Sudah lama sekali aku tak melewati malam dengan rindu yang begitu hebat padamu. Padahal kesibukan ini sudah lama membelenggu kisahmu. Ingatan tentangmu hanya berakhir dalam lelap. Tak pernah kembali dalam rasa ingin bertemu. Sekedar kekakuan melihat senyummu dari beberapa gambar. Tapi malam panjang dengan suhu 35 derajat celcius di kota ini, wajah dengan rona anggunmu datang. Menghinggapi semua ketulusan dan mendekap kehadiranku untuk segera berlabuh. Tapi sayang sekali, aku ingin menghindarimu dan bayangmu, berlari ke arah pohon cempaka kemudian berteduh.
Tidak sekali ini juga rindu datang menyakiti, tapi baru malam ini mataku menjadi saksi. Aku begitu tergugah. Aku terpesona. Aku ingin sekali bicara padamu. Sungguh aku ingin ucapkan satu kali saja kegelisahan ribuan kata. Sudah lama sekali aku terdiam dalam hening yang tak tau kapan berakhir. Sekali lagi mataku menjadi saksi kelunya bibir ini. Saksi kakunya raga ini. Saksi tak berdayanya hati ini dalam rindu.
Hingga malam ini akan berakhir, hanya kesunyian datang menemani. Benar katamu, kesepian adalah teman yang setia. Menempa celah dalam jiwa untuk kuat. Memberikan sedikit bayang senyummu dalam semangat. Terus begitu hingga aku tak lagi mampu mengingat. Setiap detil wajahmu. Setiap centi senyummu. Setiap huruf dalam bisikmu. Setiap desah dalam suaramu. Setiap gores jejakmu. Setiap lembar nafasmu. Semua tentangmu abstrak dalam setiap tetes tanyaku.


Selengkapnya...

Duka yang Mendalam Hari Ini

Entahlah.. Hingga aku menulis ini, tak ada air mata kesedihan yang aku kucurkan untuk kepergian Abahku yang meninggal dini hari tadi karena kecelakaan sehari sebelumnya (16 Oktober) di Lamongan. Tapi bagiku, tulisan ini begitu emosional. Bukan karena kecelakaan itu juga mengambil nyawa dua menantunya yang berkendara dengannya di mobil Avanza itu, tapi karena Abah adalah manusia yang memberikan aku banyak kesempatan. Kesempatan hidup dalam kubangan sendu. Kesempatan mengenyam pendidikan hingga sejauh ini. Kesempatan belajar untuk ikhlas. Kesempatan mengambil setiap hikmah dari luka. Kesempatan untuk berdamai dengan kerasnya jalan menuju impian. Kesempatan untuk terinspirasi agar selalu menunduk dan down to earth yang hingga hari ini tak bisa aku lakukan secara penuh. Benar Tuhan yang memberikannya, tapi itu semua lewat Kamu Abah. Lewat Kamu.
Kejadian kemarin tiba" juga merenggut nyawamu. Abah, kepergianmu tak hanya menyisakan luka bagi kami. Tapi juga merenggut hampir semua ceria yang ada hari ini. Bahkan, jika dari sana Kau melihat aku tertawa, itu karena aku sedang menghibur adikku yang ditinggal ayah dan ibu untuk menjemputmu di rumah sakit. Ada luka dan sedih yang menganga dari dalam tubuh ini. Aku lunglai Abah. Aku pilu. Aku remuk saat mendengar Kau tak lagi bisa menyambung nyawa menyusul dua menantumu yang meninggal di tempat dan setengah jam setelah dilarikan ke rumah sakit.
Kesedihan ini jelas menyisakan isak tangis yang tak sebentar Abah. Kau semacam salah satu cahaya yang dikirim Tuhan pada keluarga besar ini. Kau memang bukan satu”nya, tapi Kau yang memulainya. Kau sudah menjadi tangan yang selalu terbuka untuk Kami raih. Kau adalah raga yang selalu siap untuk Kami peluk saat Kami risau. Kau adalah langkah yang kami tiru gerakannya. Kau adalah api yang membara dan sangat panas untuk menginspirasi agar Kami selalu berbagi.
Kami tidak pernah tidak mencintaimu. Kami selalu menggapmu lebih dari sekedar kakak sepupu dari orang tua kami. Kami selalu menggapmu sebagai ayah, sodara dan teman untuk bicara. Aku tidak pernah tau seberapa besar porsi sayangmu pada masing” dari Kami. Aku, Kak Aziz, Mb’ Iseh, Kak Hakim atau Kak Reza. Aku tidak pernah tau. Tapi aku selalu tau bahwa Kami sangat mencintaimu. Menyayangimu. Merindukan setiap detik pertemuan dan bercanda bersama. Aku juga tidak tau siapa yang paling Abah sayang diantara Kami, tapi Kami tak peduli hal itu. Setiap kali Abah menemui Kami, yang Kami pedulikan hanya sebuah cara agar bisa duduk denganmu tanpa sungkan.
Abah, kebaikanmu mengajarkan banyak hal hari ini pada Kami. Kebaikanmu mengajarkan Kami cara bersedih yang tepat. Kebaikanmu selama ini mengajarkan Kami agar selalu siap untuk suatu saat berduka. Kebaikanmu mengajarkan Kami untuk selalu kuat dan bersatu padu jika suatu saat ditinggalkan lagi. Semua orang pasti akan menemui ajalnya. Semuanya. Tapi hal itulah yang membuat aku, Kak Aziz, Mb’ Iseh, Kak Hakim dan Kak Reza selalu tau dan sadar bahwa ada tangan dan senyum di keluarga ini saat Kami menemui masalah yang tak bisa dipecahkan sendiri.
Kami berlima sudah cukup tua untuk Kau lepas. Kami ikhlas. Kami, kecuali Kak Aziz, hanya sedih tak bisa bertemu denganmu saat terakhir kali Kau datang ke rumah. Itu adalah penyesalan yang sangat menyedihkan. Kini Kami hanya bisa melihatmu, mengenangmu, merindukanmu lewat gambar dan photo yang tersebar di mana”.
Saat tau Kau sudah tiada, aku ingin sekali meluapkan kesedihan. Tapi saat itu, terlalu banyak orang di rumah. Tetangga dan kerabat jauh berdatangan di rumah. Aku hanya tak ingin terlihat lemah. Sejak dulu, aku tak bisa menangis di depan orang lain. Apalagi jika manusia di depanku itu adalah perempuan. Itu Kau dan ayah yang mengajariku.
Saat menulis ini, aku sedang di kamar Kos, sedang siap” untuk kembali bekerja. Tapi Kau tau Abah, saat menulis satu paragraph di atas, air mataku tak henti mengalir dan membuatku sesenggukan. Berlembar” tisu di samping laptopku penuh basah dengan air yang aku uspa dari mataku.
Abah, entah bagaimana cara menyampaikannya. Kami minta maaf atas setiap detik yang pernah Kau lewatkan dengan amarah pada Kami. Kami hanya kumpulan ponakan yang kadang menyebalkan. Kami minta maaf jika itu pernah terjadi. Apalagi, saat aku kecil dulu, aku sering sekali meyentuh kulit yang mengganti jempolmu yang hilang karena kecelakaan juga. Aku selalu memainkannya karena lucu. Itu saja. Tak ada maksud lain. Karena saat kecil dulu, aku hanya mencari hiburan dari semua orang.
Banyak orang di rumah yang mengatakan Kau meninggal saat sudah menuntaskan semuanya. Semua tanggungan. Semuanya. Walaupun Kau tidak sempat tau bahwa Ce’ Nana dan Ce’ Masadeh saat ini menjadi janda. Tapi percayalah Abah, itu hampir benar bagi Kami. Kami berlima pun juga sudah bersiap bertempur di kehidupan yang nyata. Walaupun aku dan Kak Reza masih terjebak di kehidupan dunia mahasiswa yang belagu, tapi Kami berdua sudah hidup berdampingan dengan realitas yang kejam ini.
Kami berlima akan menjaga rumah yang dihuni keluarga besar di sini. Kami akan menjaga para orangtua yang berada di dalamnya. Kami juga akan mendedikasikan semuanya pada lima plus dua generasi kedua selanjutnya setelah kami di sini. Kami berjanji.
Selengkapnya...