Semalam, Hujan

Sepagian ini aku menyembunyikan sesuatu. Tapi tak bisa lagi aku teduhkan. Aku baru saja mengalami malam yang aku harapkan. Semalam, hujan, untuk pertama kalinya turun di Pakis dan sekitarnya. Sudah dua kali hujan turun sebelumnya di Surabaya, tapi tidak di selatan. Aku benar” merasakan sengatan tawa dalam hati yang tak bisa diungkap. Mungkin tepatnya tak bisa kaluar, malu, karena ada perempuan di belakang tempatku duduk. Aku membiarkan rintiknya mengguyur pakaianku, hingga masuk membasahi sebagian tubuh dan ubun” kepalaku.
Semalam, hujan datang tak bilang. Dia hanya memberi tanda melalui mendung yang kali ini tinggal lebih lama di langit. Sudah dua kali langit Surabaya mendung, tapi aku hanya mendengar cerita bahwa di daerah ini sedang hujan, dan daerah lainnya deras. Tidak dengan Pakis. Mungkin aku terlalu serius merespon, terlena dengan hape yang tak kunjung aku ketahui cara memperbaikinya. Jadinya, tak ada persiapan merayakannya. Menyambut hujan yang sudah lama dirindukan.
Semalam, aroma khas tanah yang diguyur hujan menyengat di penciumanku dan hidung Laras. Kami tak menduga rintik hujan yang turun dengan ragu, datang bersama milyaran lainnya. Aku mempercepat laju kendaraan dan sesekali berbisik sendiri. Aku bahkan tak mendengar dengan jelas apa yang sedang Laras ceritakan padaku tentang kisah asmaranya bersama Shandy. Aku hanya menyimaknya secara perlahan dia tertawa dan sesekali memanggil namaku, entah buat apa. Ternyata hujan semakin deras turun, dan semakin lemah pendengaranku pada suara Laras. Meskipun antara telingaku dan mulutnya hanya berjarak 7cm. Aku semakin meracau tak jelas, hingga Laras mendengar apa yang sedang aku bisikkan.
‘Kalau gitu, kenapa Kamu percepat..?!’, tanya Laras padaku.
‘Hah..?!’, aku bingung, kenapa dia bertanya begitu.
‘Daritadi Kamu bilang ‘aku ingin ngerasain hujan’. Yaudah pelan” aja’,
‘Hah..? Aku bilang gitu..?’,
‘Iya, daritadi’,
‘Kamu gapapa..? Hujan lho. Basah..’,
‘Gapapa. Justru Kamu gmana..? Blum pulang seharian di kantor, malah hujan”an pas keluar’,
‘Hahahahaa, gak ada yang lebih aku harapkan dari ini, Yas’, aku memelankan laju roda dan melewati rute terlama sampai ke kantor. Sial, hujan semakin deras. Hal yang aku bingungkan. Harusnya aku sedang sendirian. Aku tak ingin orang lain hujan”an karena mengiyakan kegilaanku. Aku percepat, lalu berhenti di outlet cemilan yang Laras inginkan sebelum sampai kantor. Aku bertahan di luar, menyapa hujan. Hahahaha, alay. Aku benar” tak bisa menahan rindu ini. Aku bahkan beberapa kali muntah, kondisi saat aku sangat senang dan antusias.
Semalam, aku bertanya pada hujan. Kenapa Kau datang begitu lama..? Aku, dan banyak orang lain menginginkanmu turun, sejak lama. Aku tau, mungkin Kau datang menyapa pada yang lebih membutuhkan. Kau datang dengan cepat di Sumatera dan Kalimantan, jauh sebelum November dimulai. Lalu perlahan Kau bergerak, ke Jawa dan sekitarnya, pulau busuk, munafik dan yang dipenuhi manusia berdosa sepertiku.
Semalam, aku hanya tak berhenti tersenyum seolah kesurupan. Seolah aku mendengar apa yang ingin Kau katakan. Kami turun, itulah cara kami menang dan mati. Membuat manusia senang seakan kami adalah berkah bagi mereka, kami merasa menang. Mengaliri sawah” kalian dan menghentikan kekeringan di beberapa tempatmu. Tapi dengan cara yang sama, kami mati. Membuat manusia resah seakan kami adalah bencana. Mendiami beberapa tempat rendahmu terlalu banyak hingga kalian tak lagi bisa menampung kami. Dan, saat musimnya tiba, kami datang tak hanya sekali. Masihkah Kau mengharapkan kami datang, manusia..? Dahiku mengernyit mencari jawaban paling baik. Tidak, bisa jadi iya dan akan tidak lagi pada suatu waktu.
Semalam, pendengaranku terganggu. Aku semakin tak mendengar jelas panggilan Laras yang sudah mendapat cemilan yang dia inginkan, untuk kembali ke kantor. Hujan masih deras mengguyur. Aku ragu hujan bertahan lama, seperti raguku apa bajuku akan kering cepat..? Atau aku harus membiarkan baju dan celanaku basah seperti ini masuk ke ruang New Media, ruang dengan dua AC dingin yang hanya akan meneruskan potensi penyakit masuk. Aku ragu aku peduli. Karena aku sudah tau konsekuensinya.
Karena semalam, pagiku tak lagi datar. Karena semalam, aku kembali akur dengan netbook tuaku. Karena semalam, aku jadi bertanya, apa Kau juga sedang bahagia..? Semoga iya.
Selengkapnya...

Not In Mood..

Hari ini pagiku datar. Tidak ada senyum, tanpa dahaga, tidak lapar dan terasa hambar. Tatapanku hanya mengarah pada kaca besar di samping meja redaksi yang aku tempati. Langit masih redup dan matahari tak begitu berani keluar dengan terang. Tampak jelas, cahayanya kabur karena terhalang kabut. Entah, semacam ada yang salah dengan bangunku. Padahal tak ada mimpi semalam. Tidurku nyenyak, tidak ada Kamu di dalamnya, tidak seperti hari" sebelumnya.
Hari ini aku ingin berpura" saja. Berpura tersenyum seperti biasanya. Bukan hobiku menyenangkan orang lain. Aku lebih suka bermanfaat bagi orang lain. Mungkin saja tersenyum di depan orang bisa menular. Aku ingin berpura lapar, lalu mencari camilan di bawah agar pandanganku beragam. Tapi aku tak ingin berpura haus. Dudukku yang lama di depan layar komputer akan membahayakan jika tak dibarengi dengan minum yang cukup. Sudah jadi rutinitasku mencari kardus dengan banyak gelas mineral di dalamnya, ngambil dan membawanya ke ruang New Media.
Hari ini aku hanya sedang tak semangat. Selain bernafas dan mengetik berita, aktifitasku hari ini hanya terbatas pada ngunyah, minum, sesekali meniup panas hawa kopi yang aku seruput. Jangan tanya kenapa, aku juga tak tau. Bukan juga karena kekalahan Rossi semalam. Aku tidak begitu peduli. Kalah menang, Rossi tetaplah Rossi, rider idolaku. Sama seperti merindukanmu, tak butuh alasan aku menyukai dan nge-fans Rossi sejak SD dulu. Entah dekat atau jauh secara fisik, aku juga tak tau kenapa tetap merindukanmu. Merindukan obrolan tak penting kita. Merindukan tawa lebar yang kadang tak bisa Kau tahan. Mungkin saya satu"nya pria yang merindu dengan cara seperti ini. Bodoh.
Hari ini aku hanya ingin bercerita melalui teks, untuk mengusir kebosanan. Beberapa pesan masuk hampir aku abaikan. Beberapa diantaranya ngajak nonton Spectre, beberapa yang lain bertanya kapan jam kosong hari ini. Aku membalas yang bertanya, dan merespon yang membutuhkan penjelasan. Lalu kembali menopang sikut di meja dengan tangan terkepal depan wajah. Entah apa yang aku lihat, layar komputer di depanku juga tak begitu menarik untuk dilihat. Memejamkan mata pun sulit, karena aku sudah menekan kantuk sejak semalam. Kemudian mataku beralih pada gelas" plastik kosong dan cangkir berisi kopi di depanku. Aku masih bertanya dalam hening, tempat yang sering aku singgahi saat ruang dengarku mulai penuh dengan omong kosong. 'Apa aku terlalu naif..? Berpikir bahwa ada manusia yang benar" lugu..?'.
Hari ini akhirnya aku memutuskan sesuatu. Aku ingin bepergian ke tempat lain. Tempat yang Sapardi akan ceritakan dalam novelnya 'Hujan di Bulan Juni'. Mungkin akan aku baca saat benar" tak lagi ada yang bisa aku lakukan untuk Androidku yang sedang hank. Atau aku memaksa, membacanya dan membusuk di kamar yang terakhir aku lihat sedang berantakan. Atau aku menyerah, memilih tempat bagus buat menghabiskan tiap lembar novel yang diadaptasi dari kumpulan puisi itu. Asal ada secangkir kopi, gairahku hidup. Untuk meneruskan niat membacanya atau hanya duduk mencorat coret kertas menuliskan namamu.
Selengkapnya...

Izinkan Aku, Hujan..

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang aku rindukan.
Pagi ini Surabaya lebih gelap dari biasanya. Mendung samar” mengitari langit Surabaya dan sekitarnya. Awan berwarna abu” itu tampak sedang gelisah membuat keputusan. Dilema; menghentikan kemarau berkepanjangan, atau hanya memberi harapan. Aku memandangi dengan dahi mengernyit dan tangan terkepal di depan wajah. Dari meja redaksi yang aku tempati, tampak jelas ini bukan kabut seperti yang diceritakan BMKG beberapa hari sebelumnya, yang juga terjadi di langit Bandung.
Jauh sebelum pagi ini, BMKG memberi banyak prediksi, hal yang hanya bisa dilakukan manusia atas kehendak Tuhan. Kemarau tahun ini lebih panjang dan musim penghujan akan datang terlambat. Kekeringan akan usai di akhir Oktober dan hujan turun membasahi negara kagetan ini di awal November. Aku menunggu dan tak berhenti berdoa. Di luar hubungan horizontal dengan manusia, hujan adalah hal pertama yang aku rindukan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena semua orang butuh hujan. Bukan hanya untuk mengakhiri kekeringan, tapi juga menyudahi derita korban bencana asap di sana, di Sumatera dan Kalimantan.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang tak akan aku lewatkan.
Sampai dua hari yang lalu pun, pagi di Surabaya tetap begitu. Sejuk dan agak gelap. Kemudian datang siang, mengandaskan harap dalam sekejap. Panas, bahkan suhunya pernah mencapai 41 derajat celcius. Semua mengeluh, jalanan penuh karena kota ini tak pernah menawarkan jeda secara utuh. Bahkan di luar sana, warga masih diributkan soal persiapan Pilwali 9 Desember nanti dan animo unjuk rasa yang berangsur naik tiap harinya. Aku hanya mendengar, sesekali menauliskannya untuk disebar sebagai berita.
Beberapa teman bertanya, kenapa Surabaya sepanas ini. Sebagian lainnya hanya berujar mengeluh lewat layanan pesan singkat ke hapeku. Aku tak langsung menjawab, sebagian aku biarkan begitu. Keluhan hanya keluhan, ketidakpuasan pada yang didapat. Beda cerita jika keluhan ditujukan pada apa yang orang lain dapat. Aku hanya menjawab datar, sesekali sok menenangkan bahwa cuaca ini adalah pertanda hujan akan segera tiba. Di luar hubungan vertikal dengan Tuhan, hujan adalah hal pertama yang aku butuhkan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena kata banyak orang, di Surabaya, hanya hujan yang memicu senyum dan tawa asliku. Aku juga tidak terlalu mengerti apa yang mereka maksud.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, fenomena alam yang sangat aku cintai.
Pagi di Surabaya hari ini beda. Karena semalam hujan turun untuk pertama kalinya nyaris merata di Surabaya. Gerimis, sebagian daerah malah deras sampai bau tanah tercium jelas. Aku tak berhenti tersenyum merasakannya. Mencium aroma khas tanah yang diguyur hujan. Ingin sekali beranjak dari meja redaksi malam itu. Sayangnya, di Surabaya selatan, di tempatku berada, hujan masih tertahan. Banyak yang mengeluhkannya. Bahkan tak sedikit warga yang sengaja pergi ke tempat yang hujannya deras mengguyur.
Pagi ini keluhan datang tak hanya soal hujan. Inbox hapeku penuh dengan pesan singat dan chat dari teman” di Malang. Mereka bertanya tentang keberadaanku selanjutnya setelah mengakhiri studi S1 di Malang. ‘Masihkah Malang menjadi kota yang kerap akan Kau singgahi..?’ ‘Masihkah Kau akan sering menemui kami di sini..?’ ‘Masihkah kita akan berbagi gagasan, gelas, tawa dan semua keributan bersama..?’. Kalian lebbay. Aku tinggal di Malang tak hanya satu atau dua hari. Aku merepotkan kalian tak hanya satu atau dua kali. Aku duduk dan bersila tak hanya di satu atau dua tempat di sana. Bahkan, di 2,5 tahun aku berdomisili di Surabaya pun, kalian dan Malang masih jadi penyebab tawaku muncul.
Justru, aku yang mulai khawatir. Aku takut. Aku cemas tak bisa sesering dulu menginjakkan kaki di sana. Khawatir tak banyak rintik hujan yang aku lalui bersama kalian di sana. Meskipun sakit kadang datang sebagai konsekuensi. Siapa peduli. Tapi pagi ini, aku ingin mengembalikan inspirasiku yang sudah lama mengering karena kemarau. Aku merindukan hujan. Aku menginginkannya. Aku membutuhkannya, sama seperti aku membutuhkan canda kalian untuk tertawa. Izinkan aku sejenak lebih lama berada di kota ini untuk menanti, hmmm, tidak, izinkan aku menikmati hujan pertamaku di sini. Izinkan aku datang pada kalian dengan senyum asliku setelah melalui hujan pertamaku di sini. Lalu, aku akan menceritakannya pada kalian. Seperti yang aku katakan di meja makan malam itu, ‘izinkan aku bermanfaat bagi kalian’.
Selengkapnya...