Mengetik Surat..

aku sedang bergairah menulis sepucuk surat untukmu. sebelum aku duduk mengetik ini, aku bersila menulis ini. berusaha mengungkap beberapa kalimat yang sudah lama ingin aku buang, aku tuang, aku limpahkan ke depanmu. biarkan berkeliaran diantara nafasmu yang sudah berbaur dengan udara lainnya. biarkan juga menguap. tapi aku urungkan, kertas yang aku tindih terlalu bersih. putih tanpa segores tinta. bolpen yang aku pegang, hanya berputar membentuk garis", melingkar, lalu menyatu sendiri. tidak terbaca, tidak ada kata, apalagi makna. aku sudah bersila menulis ini, tapi gagal terbaca.

padahal aku sedang bergairah menulis sepucuk surat untukmu. karena Kau sangat menggangguku. bahkan dalam perjalanan terlelahku, aku masih mencium harummu; ruang tipis yang tidak bisa aku sentuh. aku berusaha meraih, mengumpulkannya, seperti kepulan asap setelah percik api muncul. tapi tidak berhasil. aku hanya menemukan uap udara dari nafasku yang kedinginan, mengeluh karena harus beradaptasi dengan suhu Malang kembali. aku diamkan, sampai ada yang menyapaku, biar otakku terkecoh, biarkan dia pikir itu adalah sapa darimu. gangguan yang fatal.

aku masih berusaha menulis sepucuk surat untukmu. menahan dingin malam yang tak lagi sanggup dilawan dengan satu setel jaket. aku biarkan kepalaku merayu tangan, menemani mulut yang sedari tadi meracau banyak kata. tidak selalu tersambung dengan purna. mulutku hanya menyebut banyak kiasan, padahal dadaku sesak dengan rindu. bebunyian gitar di sebelah tak cukup memberiku jeda, pikiranku masih berjalan dengan namamu. hanya mereka berdua. tanpa bayangan, juga tanpa raga. mereka berjalan pelan, sesekali bercanda saling menatap. sementara indera lainnya, merekayasa cerita agar mereka tetap berjalan bersama, di jalan itu.

aku putuskan untuk tak menulis sepucuk surat untukmu. aku tak lagi bersila. aku beranjak, duduk lalu mengetik surat ini untukmu.
Selengkapnya...

Rindu Kopi Begini..

aku tidak punya banyak tempat untuk memenjara rindu. kadang, dia keluar sendiri tanpa aku ingin. bercengkrama dengan banyak benda yang dia pikir berasal dari satu peraduan. dia hanya tidak tau dari mana dia diciptakan, dari mana dia dihembuskan lalu hidup bersemayam di ingatan. bukan malam ini yang aku ingin bicarakan, tapi kemarin sore. saat kopiku bukan berasal dari bubuk kopi yang aku giling sendiri. di rumah, aktivitas itu sudah lama tidak terjadi. seringkali kopiku, berasal dari bungkus yang digunting, bukan biji yang digiling.

sore masih sangat muda, bahkan kumandang adzan Ashar baru dua puluh satu menit berlalu. aku memainkan gelas berisi kopi susu dan krim. aku menghirup aromanya. sudah lama sekali aku tidak minum kopi susu sachet. aku bukan membencinya, aku hanya jarang punya kesempatan bertemu dengannya. kopi sachet juga dari petani. di luar sana, ada orang" alay yang terlalu sentimen dengan kopi dari pabrik, alasannya bisa beragam. satu diantaranya dianggap tidak pro petani kopi, hahaha alasan picik dan sempit. memang dari mana asal kopinya jika bukan dari petani. atau, biar dianggap lebih 'ngopi', atau ngopinya lebih 'tulen', lebih ini dan itu. atau terakhir, kopi sachet itu cerminan pemilik modal. ah, itu juga alasan.

aku bukan merindukan kopinya, tapi orang" yang duduk bersamaku. di rumah, Bapak yang minum kopi begini, kopi susu sachet. kami duduk berdua, bertiga dengan temanku atau teman Bapak atau berempat bahkan lebih. tapi aku, tetap dengan kopi yang aku bawa dari Surabaya, biasanya. dengan kopi susu sachet begini juga, biasanya aku bersama temen" PKI. duduk bersila melingkar dengan banyak obrolan. atau mengitari meja di warung kopi depan kampus, tetap dengan banyak obrolan. mereka yang sudah lama tidak aku jumpai. ternyata sudah lama sekali aku tidak minum kopi susu sachet begini.

sore ini, aku kembali memikirkan rindu" itu. aku kumpulkan bersamaan dengan gelas yang aku goyang"kan daritadi. aku sendiri. Bapak masih melaut, dan teman" PKI masih di rumahnya masing". sore ini aku pejamkan mata, membayangkan obrolan apa yang biasanya kita utarakan dengan kopi begini. beberapa diantaranya aku rekam, aku ingat dan aku penjara. lainnya, aku tuangkan bersama suara seruput kopi ini. nikmat sekali. rasanya, aku juga harus bertukar rindu" begini denganmu, jika memungkinkan.
Selengkapnya...

Tidak Menunda Malam Terakhir..

tidak satu atau dua kali bakat menundaku membuahkan penyesalan, tentunya buatku sendiri. Agustus sudah berjalan tiga hari dan aku baru masuk Togamas Diponegoro. aku sengaja menunda masuk, karena dua hari berturut" toko yang setahun lalu pindah ini sesak, penuh sama pengunjung. padahal musim libur sekolah sudah berakhir dan harusnya sudah bukan waktunya lagi masuk ke toko buku buat nyari diskonan buku tulis. tapi yang aku lihat sebaliknya.

selama dua hari. dua hari aku lalu lalang menunggu Togamas sepi, ya setidaknya tidak sepenuh ini. aku berhenti di depan toko, berdiam tujuh menit di hari pertama, dan empat belas menit di hari kedua. lalu aku geber lagi motor dan pulang. hari ketiga aku datang lagi, menjelang petang. aku masuk dan merasa aneh. semua rak-nya berubah. tatanannya juga. sekarang sudut favoritku sudah dikuasai buku" sekolah SMA. aku hafal jalan menuju rak itu. semua buku" yang terencana untuk dibeli ada di sudutnya, terpojok bersama toilet karyawan dan rek komik; rak sastra dan fiksi. tapi sekarang susunannya memusingkan, dengan banyak angka algoritma dan kimia anak SMA.

aku mengelilingi toko sekali, aku sudah menemukan dua rak favoritku, tapi aku singgah dulu di rak alat tulis. penaku hilang, untuk kesekian kalinya. aku harus beli satu, setidaknya membuatku tidak malu lagi jika harus meeting dan meminjam pena dua menit sebelumnya ke teman kantor. aku membeli satu, lalu bergegas menuju rak sastra dan fiksi, tempat semua aroma kata berpusat.

sialan, ternyata tidak hanya rak nya yang pindah, tapi semua tatanannya ganti. aku tidak lagi menemukan buku" Sapardi di kolom keempat, dan buku" Seno di sampingnya. aku menemukan mereka naik satu kolom dan harus berbagi tempat dengan banyak buku lain. tapi itu tidak seberapa. saat aku lihat buku" Seno, penyesalan mulai hinggap di kepalaku. Sepotong Senja Untuk Pacarku miliknya, sekarang udah ganti cover, sialan. sialan. ternyata buku yang dulunya terbungkus ilustrasi surat pos merah muda ini masuk ke cetakan ketiga. dan aku menundanya sangat lama untuk membeli. sialan. daya beliku langsung memudar, aku ingin pergi saja dari Togamas. saat mau pergi, Ibu nelpon, dan menyelamatkan niatku.

dua menit Ibu nelpon, aku berbicara padanya sambil tetap berdiri di depan rak sastra dan fiksi. setelah pembicaraan berkahir, aku menemukan pelampiasan. tidak satu, tapi empat buku sekaligus untuk dibeli. hanya saja, niat saya sebelum masuk, danaku aku cukupkan untuk satu buku saja. keempatnya buku langka. satu buku aku sembunyikan, dua buku lainnya masih tersisa enam eksemplar dan aku biarkan. serta buku lagi yang hanya tersisa satu; Malam Terakhir, kumpulan cerpen Leila S. Chudori. sudah lama aku tidak baca cerpen, lama sekali. meskipun bukan alasanku memboyong buku tanpa sampul ini. tapi karena Leila. Leila adalah penulis majalah yang sempat jadi favoritku.

petang baru saja turun, dan aku sudah kegirangan di Togamas.
Selengkapnya...