Menjadi Sendiri yang Kau Rindukan..


Tidak ada yang benar” diciptakan sendirian di kehidupan yang semakin busuk ini. Menjadi sendiri adalah pilihan semu untuk menepikan kehadiran sunyi. Terpaksa sendiri bisa jadi konsekuensi keinginan menyiksa yang tak selalu berarti. Pada akhirnya, kita salah kaprah memaknai 'jauh dari hingar bingar' menjadi kesendirian yang lebih sakit dari mati. Padahal, selalu ada alasan untuk mengembangkan senyum bersama kebodohan. Menertawakannya lebih keras di jalanan dengan teman. Menduakan kesombongan untuk menghilangkan beban. Lalu kembali bergerak untuk tau Kau masih hidup dengan kesialan.
Sore ini, di kamar ini, aku masih percaya bahwa bertambahnya usia bukanlah hal yang harus ditakutkan. Aku sudah melakukan semua keinginan yang aku manjakan selama hampir dua tahun belakangan. Aku tak perlu lagi sembunyi dari perasaan” yang membekukan. Hal” yang tak ingin aku simpan sendiri tapi akhirnya ketahuan. Hal” cengeng yang aku tepikan tanpa harus tau kapan akan muncul kemudian. Hal” yang aku rindukan saat menata senja bersamamu atau menginjak sepatu yang tak bisa Kau bersihkan. Hal” gila yang aku lakukan bersama teman” kampret di kota sebelah seminggu lalu.
Sore ini, seminggu lalu, aku masih ingat duduk di mobil penuh isak tangis yang tertahan. Sopir-nya sesekali sok asyik bertanya padaku tentang lagu apa yang harus dia nyalakan. Mengalihkan penglihatanku yang tertuju pada mata-nya yang sembab karena air yang berjatuhan. Mencoba mengganggu pendengaranku dari sengguk tangisan. Pria di sampingnya sama saja. Banyak tisu yang dia habiskan hanya untuk menyeka air mata. Sesekali dia alihkan pandangan ke luar, meskipun dia tau itu tak ada hasilnya. Si kampret di belakang juga sama saja. Tereak” rame agar kami yang di mobil tak melihat matanya yang merah bukan karena debu jalanan kota.
Entah kenapa mobil ini begitu hening sejak meninggalkan bandara Abdurahman Shaleh Malang. Padahal lagu” terputar tak hanya dengan irama sedih, tapi juga riang. Perjalanan ke kota begitu cepat untuk pulang. Padahal seisi mobil; Acung, Shandy, Dimas, Nawaf dan Ajis tak memiliki masalah dengan polisi yang mengharuskan kami berperang. Kami hanya baru saja mengantarkan seseorang. Teman paling kampret yang sudah menyelesaikan studinya dan berencana kembali ke rumahnya di Lampung, hari itu saat siang.
Nama si kampret ini adalah Soemarno, oh sori, namanya Fadhil. Udah ganti ternyata. Bagaimana kabar Ente..? Semoga selalu ada waktu untuk menghubungi teman”mu yang menemanimu selama 5 tahun ini. Ente bukan sahabat terbaik mungkin bagi meraka, tapi tetap saja Ente meninggalkan banyak jejak tawa bersama yang tak terlupakan dengan mereka. Bagiku pun, Ente hanya seorang teman yang usianya sama, tapi sok”an muda dengan panggil ‘Abang’ karena beda angkatan kuliah. Tapi tetap saja kita memiliki banyak pertemuan yang selalu diakhiri dengan genggaman tangan.
Sudah seringkali aku mengantarkan teman meninggalkan Malang untuk kembali ke habitat asalnya. Mereka yang meninggalkan seringkali adalah teman perjuangan yang tak hanya bercakap sekali dua kali. Tapi teman yang aku anggap saudara. Seseorang pernah dengan lantang berkata kita berteman lebih dari sekedar saudara. Aku sih mengiyakan, karena bagiku teman adalah keluarga yang kita pilih. Sama sepertimu, atau Acung, Shandy, Nawaf, Dimas dan Ajis mengganggapmu. Mengantarkan teman”ku ke stasiun atau bandara selalu berakhir dengan senyum dan pelukan yang menenangkan. Tapi mengantarmu kemarin, sial, begitu emosi dan sentimentil.
Bagaimana Kau menjawab pertanyaan Shandy di mobil seminggu lalu. Dia bertanya ‘Siapa yang bakal ganggu rumahku lagi, Mas Kid..?’. Kau kira gampang menjawab pertanyaan sepele ini..? Bahkan aku pun hanya tersenyum ke arahnya lalu pura” ngobrol dengan Acung. Tapi aku pun diam saat Acung bertanya ‘Lagu apa yang pas buat kita saat ini, Mas Kid..?’. Kampret kan Dhil..?!
Dimas hanya terdiam di tempat duduknya, tepat di tengah antara aku dan Nawaf. Tapi Ajis, dia berkata padaku ‘Mas Kid, ayok nyanyi. Ayok dong’, saat lagu Ebiet G Ade terputar. Hahahahaa.. Kau kira gampang menanggapi semua obrolan itu Dhil..? Bahkan tulisan ini saja baru tercipta seminggu setelahnya. Dan aku harus menghabiskan dua cangkir kopi dalam 35 menit saat tulisan ini diketik.
Aku masih ingat, aku orang terakhir yang Kau peluk saat langkah kakimu akan memasuki ruang tunggu Abdurahman Shaleh. Kau berbisik ke telingaku, ‘Jaga mereka, Mas Kid’ dan langsung membalikkan badan tanpa melihatku lagi. Kami pun langsung melakukan hal yang sama. Kami langsung memalingkan muka dan tubuh menuju parkiran. Acung merangkulku hingga sampai di pintu mobil sambil ngobrol dengan terbata”. Aku lihat matanya berkaca”, dan berpura melihat ke langit saat aku berusaha melihatnya. Hahahahaa.. Benar” manusia kampret yang bikin Acung sampe kayak gini. Padahal malam sebelumnya, Acung adalah orang paling riang di antara kita saat dia memetik gitar untuk kita, untukku, untukmu dengan memainkan nada” Sheila On 7. Rumah Shandy malam itu benar” riang tanpa sedih seperti siang itu. Shandy bahkan menuntaskan tiga ronde yang Kau pilihkan untuk kami, karena biasanya dia enggan.
Mungkin daritadi Kau kesal karena hanya cerita mereka yang aku tulis. Ke mana kesedihanku dan Nawaf..? Dulu, ayahku pernah bilang padaku bahwa pria bukan robot yang tak memiliki hati atau tembok yang tak bisa mendengar. Pria tetaplah manusia yang memiliki jiwa dan di dalamnya ada nurani. Tapi saat sedih, Kau tak harus menangis menitikkan air mata. Mungkin Nawaf sama saja. Kami bukan tak sedih, tapi kami memilih tempat untuk mengungkapkannya.
Seperti kataku di awal, tak ada yang benar” diciptakan sendirian. Kami pun di sini juga memahami itu. Rumah Shandy tetap ramai meskipun tanpa gelak tawamu. Permainan gitar Acung tetap menawan meski tanpa hadirmu. Riang senyum Ajis akan tetap merekah meski bukan karena candamu. Sayup mata Dimas akan tetap menyala meski tak melihatmu. Nawaf dan aku akan tetap menjalani rutinitas biasa meski saat kami menghubungi tak bisa langsung Kau penuhi. Kami di sini masih akan tetap sama. Hanya saja, sekarang akan agak berbeda sedikit ditambah jarak di antara kita. Tapi di jaman yang semakin kampret ini, Kau masih bisa mendengarkan suara kami dengan sangat mudah lewat semua aplikasi di iPhone-mu.
Kita tidak bisa memilih takdir kita. Tapi kita tetap melakukan kewajiban kita, besar atau kecil. Hanya jalan yang bisa Kau pilih, tidak disertai hasil. Hanya kekuatan yang bisa Kau pilih, tanpa jumlahnya. Jika Kau memilih menjadi singa, jadilah. Tapi Kau tidak bisa meminta seberapa kekuatannya. Meski begitu, singa tetaplah singa. Kau tak perlu menjelaskan seberapa tangguh dan buas seekor singa.
Semua yang ada di Malang sekarang adalah masa lalumu. Masa” kita menendang kebekuan komunikasi karena perselisihan. Masa” kaget dengan pisuhan karena tiba” ditunjuk untuk berbicara di depan teman” lainnya. Masa” menunggu dengan memaki karena jemputan untuk hang out tak kunjung datang. Masa” menguasai jalanan karena mobilmu harus masuk bengkel di saat tidak tepat. Masa” jongkok karena kekalahan main ceki dengan angka ratusan. Masa” jackpot saat oleng saja tak cukup menahan kuat aroma rum. Masa" menghabiskan menuntaskan perlawanan dingin malam dengan panasnya secangkir kopi dan hangat kebersamaan. Semua adalah masa lalu, ya, masa lalumu. Dan tidak ada yang mampu memaniskan masa lalu, kalau bukan kematian yang semakin dekat. Lalu, bermanfaatlah di sana. Seperti Kau bermanfaat bagi kami di sini.
Selengkapnya...