Banyak Bicara..

aku sudah berubah, itu yang aku yakini malam ini. aku bukan lagi hujan yang menggenangi jalanan yang Kau tempuh. rinai yang membasahi dahan" yang Kau pegang saat menghindari setiap rintik hujan. aku bukan lagi hujan yang itu. aku hanya hujan, yang sengaja turun untuk melihat wajah kesalmu lebih lama saat berteduh. karena saat itu, wajahmu lebih mudah dirindukan. mungkin karna belakangan, aku sulit membuatmu tersenyum. atau mungkin, senyummu sudah tak ada di tempat yang dulu aku temui.

aku sudah berubah, tapi Kau masih menuduhku tidak. aku mendengar langsung darimu semalam, di mimpi. perlahan, Kau dekatkan badanmu saat duduk dan mengajukan banyak tuduhan. 'Kau masih sama, tidak ada yang berubah darimu. Kau terlalu banyak bicara. Lalu diam panjang. Tidak ada yang berubah darimu, dan selalu itu yang aku rindukan', matamu tajam melihatku dengan banyak senyum dalam satu menit percakapan.

aku sudah berubah, atau entahlah, mungkin juga tidak. aku hanya ingin menyangkalmu, agar Kau kesal, agar aku bisa melihat wajahmu yang itu. aku akan lakukan berulang", agar aku bisa lebih sering dan lama melihatnya. tapi saat aku berhasil melakukannya, Kau menghilang dari pendanganku. Kau pergi sebelum aku sempat melihat wajah kesalmu. wajah manis dengan suara merengek setelahnya. lucu. Kau harus melihatnya kapan". atau Kau bisa bercermin saat merasa kesal olehku.

aku sudah berubah, setidaknya itu yang aku yakini malam ini. tulisan ini aku buat dengan secangkir kopi untuk membantuku. agar aku tau bagian mana yang sudah berubah dariku. atau sebaliknya, agar bisa membantuku menyangkal klaim ini. hmmmm..
Selengkapnya...

Tuduhan Pada Hujan..

aku punya banyak pertanyaan pada hujan, yang membelah kita pada banyak hal. rindu dan gengsi. temu dan malu. sapa dan kelu. peduli dan angkuh. lupa dan terdiam. dan banyak hal lainnya yang hanya aku dan kamu tau. mungkin juga sengaja disimpan agar tak ada lagi ruang untuk menduakan tatapan dalam satu waktu.

malam ini aku sengaja membelah angin dalam lipatan jaket. aku ingin menemui hujan sangat lama. menemuinya dan mengurangi dingin yang diakibatkan. sudah beberapa kali aku pergi ke atap dan jalanan kota untuk mencari sudut senja yang sering mendung sembunyikan. agar aku tau ke mana akan mengajakmu berlari dari semua kebusukan ini.

aku sudah bosan menyulam benang ingatan saat hujan turun. membiarkannya tergenang dan menutupi semua lubang yang pernah hinggap dalam lintasan yang aku buat. aku ingin hujan menjawab semua pertanyaan, tidak, semua tuduhan yang akan memberatkannya. tidak akan ada pembelaan, karena semuanya aku sangkakan. tidak akan ada masa tahanan, semua sudah aku bebaskan sebelum waktunya. tapi hujan harus menjawab semuanya, agar aku punya alasan buat melepaskan.

aku tau hujan sengaja turun tidak deras malam ini. agar aku perlahan lupa dengan perjanjian yang kapan hari pernah kita tulis. mungkin Kau lupa, tapi aku tidak. mungkin, usaha hujan menghapus ingatan itu darimu berhasil saat kepalamu Kau biarkan basah olehnya. menetes lembut di kepalamu dan meluruhkan memory itu ke jalanan yang Kau lewati. dan malam ini, aku sangat senang karena hujan mau datang dan memenuhi undanganku.
Selengkapnya...

Sedang Buntu..

aku mencari" alasan agar bisa kembali menulis. menulis apapun yang bisa aku tulis. aku juga tidak tau apa yang ingin aku tulis. aku tak ingat hal terakhir yang membuatku semangat menulis. yang aku ingat sekilas, seorang teman memintaku menulis tetang kopi di blog, menanyakan sudah aku kirimkan ke kompetisi blog yang sedang berlangsung atau belum lalu aku lakukan. dua pekan kemudian, aku mendapat hadiah smartphone, terkirim ke kosku.

oia, aku ingat. hahahahaa.. semua isi blog bangsat ini berisi curahan hati, kadang milikku atau orang yang kebetulan sedang cerita padaku. tidak semuanya berisi keresahan. banyak diantaranya juga tentang kerinduan pada seseorang, yang aku ingat selalu memiliki masa untuk dirindu. entahlah, aku hanya ingin meracau. mungkin bisa membenamkan kebuntuan yang sedang hinggap padaku malam ini.

beberapa kali aku bisa dengan mudah merobohkan dinding" keras itu. menghancurkannya seperti hanya menyentuh dengan telapak tangan, dan tanpa banyak kekuatan yang harus aku kumpulkan. tapi kadang, aku harus memejamkan mata untuk berpikir menghilangkan kebusukan" yang mengitariku. seolah semua kehidupanku hanya untuk mengepalkan tangan dan menghatamkannya tapi tetap tidak pecah.

tapi iya, seringkali aku menyudahi kebuntuan menulis ini dengan kopi. secangkir kopi yang aku buat sendiri atau dengan adikku atau dipaksa mampir ke kedai kopi bersama teman. iya, itu saja. sebaiknya malam ini aku mengiyakan ajakan ngopi seorang teman kantor tadi..
Selengkapnya...

Menyudahi Keresahan..

tidak semua resah bisa padam oleh malam. sengaja memejamkan mata dan berpura tidak terjadi apa". saat bangun, saat membuka mata pertama kali pagi hari, gelisah itu masih ada. hanya sebentar reda dengan nada yang berbeda. berulang kali gundah itu aku kumpulkan di dada. menepikannya bersama serpihan tumpukan penyesalan yang lalu-lalu. orang" bilang itu persoalan asmara. aku bahkan tidak peduli dengan asmara. dengan semua drama yang menyertainya. dengan semua kebusukan di dalamnya. mungkin suatu hari iya. tapi tidak sekarang. tidak selama aku masih bisa memiliki sumber lain menemukan tawa.

akhir" ini resah itu berkubang di dalam raga. betah berlama" dan menjangkiti hampir bagian indera lainnya. bukan maksudku membiarkan. memberi ruang dan masa untuk menjadikannya tuan. aku hanya tak ingin lagi membuang tenaga untuk satu perhatian. atau mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. kembali menemukan sumber persoalan dari awal. hal" yang tidak ingin aku mengerti. karena kadang membiarkan diri dalam ketidaktahuan jauh lebih baik, untuk beberapa kasus.

aku masih bersama segelas kopiku saat menulis ini. menimbang banyak perihal sengaja maupun tidak, yang mampir di hidupku. aku ingin memindahkannya ke tempat lain, tapi entah ke mana. aku tidak ingin wajahku terlihat muram dan membuat wajah lain di depanku geram. banyak hal yang tidak bisa diceritakan hanya karena bertatap muka. berdampingan di satu tempat duduk atau bersebrangan di lebarnya meja makan. menceritakannya via suara bisa lebih baik, atau tidak. membicarakannya dalam banyak penggal kalimat di aplikasi perpesanan bisa lebih baik, atau tidak. aku tidak tau. mendiamkan dan menunggunya luruh juga bisa lebih baik, atau tidak.

malam ini aku memilih menuliskannya, meskipun tidak satupun kata yang mendeskripsikan keresahan itu. negara ini sudah carut marut. kita yang di dalamnya berpura sedang tidak terjadi apa". banyak yang mulai gila memikirkannya. mendewakan cara berpikir. dan ada yang menjadikan dirinya dewa dalam banyak urusan. merasa paling benar dan berkoar berpendapat. keresahan ini jauh lebih kecil dari persoalan bangsa ini. membaca tulisan ini pun hanya akan membuat beberapa detik terbuang. jadi, aku akan menyudahinya.
Selengkapnya...

Rindu Tanpa Irama..

akhir" ini rindu datang dengan deras. seperti aku tidak bisa lagi diam saat bertemu denganmu. ingin sekali aku menatap dalam matamu, agar Kau tau ada ribuan wajahmu yang tertanam di sana. agar Kau tau bahwa di retina yang aku miliki, bersemayam senyummu yang aku simpan diam". tapi melihatmu dengan sengaja hanya akan membuat kebekuan ini tambah dingin. tak ada lagi sapa, apalagi tawa.

aku menghindari pertemuan. membenci keramaian dan menjauhi semua pandangan. mata itu terlalu tajam untuk aku balas. seringkali aku tertusuk tanpa sengaja saat lirikanmu menemukanku. aku terpojok tanpa pertahanan. dan membuang semua ingatan agar tak ada lagi niat yang pernah aku lafalkan. karena yang aku tau, Kau bukan lagi candu yang aku sembunyikan. Kau sudah menjadi lembar kisah di banyak buku. di banyak cerita yang mampir di pendengaran.

rindu ini juga yang membuatku selalu menunggu larut mengunjungi malam. agar tak ada lagi bunyi"an yang menggangguku menuliskan gugahan, gelora yang tak lagi bisa aku diamkan. rindu ini berubah jadi sangat deras, seperti yang aku ceritakan di awal. rindu ini menjelma jadi wajah memalukan. menyimpan obsesi di dalamnya dan akan sangat membahayakanmu. sebaiknya aku simpan agar tak mengganggumu, seperti yang sudah sudah.

malam ini aku tidak ingin menulis hanya tiga paragraf kerinduan padamu. karena rindu ini sudah sangat memilukan. bahkan, ketukannya membuat huruf di keyboard yang aku sentuh menjadi syahdu. seperti lagu yang aku nyanyikan tanpa petik gitar. kacau. tak berirama dan menjadi liar. rindu ini menggebu". seperti gemuruh yang menemani kilatan petir saat mau hujan. aku tak bisa menghentikannya. memprediksinya saja sulit. bukan hanya saat keberadaanmu terdeteksi sangat dekat, tapi saat wajah dan namamu melintas di pikiranku. dan sialnya, itu terjadi hampir setiap saat.

akhir" ini rindu datang sangat deras. tapi aku tak bisa terus"an mengejawantahkannya dalam kata". dalam kalimat". karenanya, aku harus mengakhirinya. agar rindu ini bisa reda dan aku bisa berhenti mengganggumu.
Selengkapnya...

Hijaunya Magelang Dari Bukit Rhema dan Punthuk Mongkrong

Sabtu, 1 Oktober 2016
Pagi itu, hawa Magelang mulai panas. Kami, saya dan lima teman lainnya, berhenti dan meributkan destinasi wisata yang akan kita tuju, di warung tidak jauh dari gapura jalan Raya Borobudur. Saya, Tazri temanku dan Ullya adikku setuju-setuju saja ke manapun kita seharian nanti. Sementara Iim temanku, Agfa teman Iim dan Ariska teman Ullya masih ribut soal Gereja Ayam di Bukit Rhema yang akan kita kunjungi. Saya dan Tazri tidak mau ambil resiko, masuk ke dalam keributan yang dihuni para perempuan. Mereka sama-sama benar. Bersuara sama halnya dengan bawa obor di ruang sauna; meledak.

Magelang memiliki banyak tujuan wisata alam. Di sekitar Borobudur, banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi selain Candi Borobudur sendiri. Tapi karena rasa penasaranku pada bangunan ibadah berbentuk ayam sejak lama, saya mengusulkan tempat itu pada kawanan penyamun ini. Sementara Tazri setuju pergi ke Gereja Ayam karena sindrom AADC2. Iim dan Ullya ngangguk-ngangguk aja karena mereka ingin menghormati keinginan tamu, yaitu saya. Tapi Agfa dan Ariska, punya pandangan beda dan ingin mengajak kami ke tempat lain di Magelang.

Selengkapnya...

Orang Asing..

hai orang asing, siapa Kamu..? seringkali aku menemukanmu mengetuk pintu alam bawah sadarku, menyapa dan menemaniku dalam mimpi" aneh. sialnya, aku mencarimu begitu terbangun. tapi tak ada yang tersisa. semuanya hilang, termasuk ingatan tentang wajahmu yang penuh tawa dan senyum.

aku berusaha mengenalimu setiap kali mimpi itu datang lagi. meskipun aku tau hal itu akan sia". yang aku ingat, tanganmu selalu menggenggam tanganku dan sesekali suaramu mendekat berbisik diantara pendengaranku. tapi usaha untuk mengenalimu dari suara itu juga gagal begitu aku membuka mata.

hai orang asing, siapa Kamu..? pertanyaan ini sudah lama terulang sejak aku bangun beberapa pekan lalu. apa aku pernah bertemu denganmu..? atau Kau hanya ingin menghadirkan kenang yang sempat aku lupa..? aku tidak tau apa motifmu hadir berkali" di mimpiku. suatu saat, jika Kau bosan dan ingin menghilang, tolong jangan kembali lagi.
Selengkapnya...

Hari Kedua; Perjalanan Tanpa Foto..

30 September 2016
Kamar langsung panik usai shalat Subuh. Bukan, mungkin tepatnya Tazri aja yang heboh. Dia langsung pake celana, ambil mie instan, ambil botol, kencing di dalamnya, oh gak, maksudku ngisi air mineral di dalemnya, dan pergi ke dapur buat masak mie. Belum sempat aku tanya, Tazri sudah berlalu ke bagian belakang rumah. Aku mengencangkan lagu" One OK Rock di hapeku. Nyanyi" gak karuan sampai langkah sendal Tazri kembali mendekat ke kamar.

'Lagumu kacau Kid. Ada dangdut gak?', tanya Tazri sambil mengaduk mie instan dengan bumbunya di box plastik. Aku raih kembali hapeku dan ngutek" playlist.
'Gimana?', kataku setelah lagu 'Lika Liku' milik Eri Susan saya setel.
'Mantab. Kirain Kamu bakal berubah setelah kerja di media', katanya.
'Passion tetep passion Ciuk', kataku membalas.

Dangdut adalah bunyi"an yang akrab di telingaku sejak kecil. Bapak pelakunya. Sebelum kembali ke cerita Jogja, perihal dangdut, Bapakku adalah aktor utama anak”nya menggemari dangdut. Tapi aku kira itu hal wajar di desaku. Tidak ada orang yang gak suka dangdut. Lalu semuanya perlahan menular ke anak”nya, laki atau perempuan. Baik dokter atau kuli kayu sampai tukang becak. Semuanya akan sangat senang jika ada orkes dangdut atau film Rhoma Irama main di layar kaca. Bapakku? Jangan ditanya. Bapak malah punya suara lumayan buat nyanyi dan seringkali nyumbang suara saat ada pernikahan keluarga atau kerabat. Jadi, di balik wajah kampret dan slenge’an ini, ada syaraf yang akan menari saat lagu dangdut disetel. Dan Subuh itu, aku dan Tazri menyanyikan lagu Lika Liku sambil goyang.

Tapat pukul 5, kami keluar kos, keluar dari kawasan Sapen, melewati jalan Laksda Adi Sucipto-Afandi-Bougenvil melewati belakang FT UNY dan Peternakan UGM dan menyusuri Jalan Kaliurang yang terkenal itu. Tazri hanya bilang kalau kami akan ke tempat pemandian. Mata air, jernih dan menyegarkan. Kami harus berangkat pagi” sekali karena perjalanannya agak jauh, butuh waktu tempuh sekitar 45 menit dan untuk menghindari keramaian pengunjung.

Pagi itu Jogjakarta benar” dingin. Jaket terbalik yang aku kenakan seolah tak mampu menahan hawa pagi itu. Jalanan masih sepi, hanya 4 sampai 5 kendaraan saja yang aku lihat lalu lalang. Tapi beberapa pasar tumpah seperti Pasar Demangan di jalan Afandi sudah ramai oleh riuh suara warga dan becak serta delman. Tazri sudah mengingatkanku tentang cuaca ini. Dingin menggigil saat dini hari-pagi, panas berpeluh saat siang. Lalu semuanya terasa ramah saat sore. Dan malam jadi pilihan tepat untuk ngobrol dan bertukar kabar.

Sampai di KM 13 Jakal, Tazri belok kanan, lurus melewati jalan Besi sampai jalan Jangkang, melaju kencang sampai Pasar Jangkang dan kembali belok kanan. Kami mengikuti plang nama dan akhirnya masuk ke kawasan pemandian. Di kanan kiri lokasi, ada banner ‘Selamat Datang di Wisata Sungai dan Mata Air Blue Langoon Tirta Budi’. Kami memasuki sebuah komplek pemukiman warga dengan banyak petak sawah. Diantaranya, ada jalan setapak yang membelah rumah” itu menuju pemandian. Sepanjang jalan itu, ada plang penunjuk arah menuju Blue Langoon.

Sepertinya kami datang terlalu pagi. Di bawah banner itu, tertulis jam operasional Blue Langoon, yaitu pk. 06.00-18.00 WIB. Dan kami datang 15 menit lebih awal. Tazri bilang ‘Gapapa, justru keuntungannya banyak, gak ada orang sama sekali. Jadi kalau Kamu kelelep, yang ngetawain cuma saya’. Kampret. Pemandian ini benar” bagus didatangi saat pagi pake banget. Selain belum ada pengunjung, airnya biru seperti namanya.

Blue Langoon pemandian mata air dengan luas sekitar dua petak sawah terbagi dua seperti kolam. Sebelah kiri, kedalamannya 3m dan cukup menghanyutkan nyawa pengunjung yang gak bisa renang. Karenanya, ada papan pengumuman bahwa bagian yang kiri ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang bisa renang. Sewalah pelampung jika nekat dan beberapa peringatan lainnya yang membuatku ogah nyoba” masuk. Sementara yang kanan hanya sedalam satu meter. Luas keduanya tidak sama, bagian yang kiri lebih luas dari yang kanan, dipisah oleh batu” besar dan kecil, menegaskan bahwa pemandian ini alami dan berasal dari mata air. Bukan air mata, apalagi air seni. Seni budaya. Panjang nih kalau dibahas.

Saat kami tiba, ada dua warga pengelola Blue Langoon yang sedang bersih”. Dedaunan yang jatuh dari pohon” bamboo dan mangga disapu bersih dan dikumpulkan di satu titik. Ada beberapa gazebo untuk pengunjung, untuk menaruh pakaian atau sekedar duduk”. Kami melakukan beberapa gerakan sebelum nyebur. Pemanasan. Aku pergi ke bagian belakang rumah warga dan berdiri di samping kompor. Sementara Tazri merelakan diri dibakar bersama daun” kering tadi. Tapi karena aku harus kembali kerja lusa dan Tazri harus meneruskan tesisnya, pemanasan dengan cara itu kami hindari dan memilih turun ke bawah, ke pemandian.

‘Kid, itu tempat buat anak'. Sini lah. Megangin batu” ini lho’, si Kampret berteriak keras dari kolam yang ada di kiri. Aku hanya meludah ke arahnya, berharap mengenainya dan membuat dia jadi batu. Ternyata gak nyampe, terlalu jauh jaraknya.

Pagi itu, Blue Langoon hanya dihuni kami berdua. Tiba” suasana jadi mistis. Sunyi, seolah suara yang kita dengar hanya degup jantung dan bisikan diri sendiri. Aku mendekat ke arah bebatuan besar yang ada di tengah, yang memisahkan dua kolam ini. Aku memeganginya seakan aku memegang tiang paling atas Petronas dan takut jatuh. Ternyata beneran aku kelelep, kakiku tidak bisa merasakan tanah di dasar kolam ini. Aku segera menarik badan dan memunculkan kepala untuk bernafas. Aku memang objek ironi anak pantai. Lahir dan tumbuh di pinggir laut, tapi sampai detik ini tidak bisa renang.

Aku mandi” sendiri, sedangkan si Kutu Kupret itu naik ke gazebo, ngambil handphone dan video call sama gebetannya. Sayangnya di sini tidak diperbolehkan pakai sabun, shampoo dan sebagainya. Kata Tazri, hal itu mulai diberlakukan sejak pemandian ini terkenal awal tahun ini. Dulunya, boleh. Bahkan Tazri mengaku masih sempat sabunan dan shampoo-an di kolam ini. Banyak didatangi orang terkenal dan media, akhirnya tanggungjawab warga pengelola untuk merawat tinggi. Disapu tiap pagi sebelum buka dan diberi banyak aturan main, termasuk larangan mandi pakai sabun dan shampoo serta bahan kimia lainnya yang berpotensi merusak kejernihan kolam.

Sekitar 40 menit kemudian, datang 3 pengunjung lain. Mereka langsung mandi ke bawah. Aku langsung naik ke gazebo, khawatir kelelep dan ternyata yang ketawa banyak. Aku langsung minum air yang kami bawa, ambil pakaian menuju ruang ganti di samping toilet ujung lalu ganti pakain. Si Kupret yang sedang kasmaran itu masih melakukan video call. Aku lapar dan membuka box plastik isi mie instan. Bener perkiraannya, di sini, setelah renang”, kita bakalan lapar dan haus. Tapi mie instan yang Tazri bawa, double. Gak mungkin aku habisin sendiri.

Sebelum ke sini, Tazri minta aku jangan bawa kamera. Cukup senang” saja, renang dan mandi. Bego’, aku gak motret dan hapeku lowbet. Jadi dah ngaplo sendirian di gazebo nungguin si keparat itu video call. Sambil tidur”an, aku mikir sepertinya ada yang tidak pas dalam liburan kali ini. Harusnya liburan ini jadi liburanku sama dia, sudah pernah merencanakan, tapi terkendala izin. Entah sampai berapa lama aku tidur”an dan mikir banyak hal, Tazri tiba” membangunkanku dan turun ke bawah, mandi. Setelah itu dia naik lagi, makan sisa mie tadi, minum bensin dan ganti pakaian. Kita pulang tepat pk. 07.30 WIB.

Perjalanan pulang selalu lebih cepat saat berangkat. Kami kembali menelusuri jalan Kaliurang yang sudah ramai kendaraan. Saat di persimpangan RingRoad Utara, aku berinisiatif makan gudeg Yuk Djum tapi Tazri menentang. Begitu motor kami sudah masuk ke sentra Gudeg Sleman, aku gak pikir panjang. Aku minta Tazri berhenti di Yuk Djum, warung gudeg tersohor itu.

‘Jangan Kid, mahal. Mending gudeg tempat lain aja’, aku tak menghiraukan sarannya. Aku sudah berkali” ke Jogja tapi Yuk Djum selalu terlewat. Jadilah kami masuk sebagai konsumen dengan sepeda motor diantara mobil” mentereng di depan warung. Untuk gudeg, harga Yuk Djum memang mahal. Harganya 15ribu dengan lauk telor atau daging suwir sampai 25ribu dengan lauk ayam kampung yang besar. Minumannya sekira 5 sampai 8ribuan. Ada teh, jeruk, susu sampai Milo. Karena aku yang mengajak makan di sini dan ingin menyenangkan tuan rumah, aku pesan yang paling murah dan segelas teh hangat. Sebenarnya juga untuk menekan pengeluaran juga sih. Aku biarkan Tazri makan gudeg Yuk Djum sepuasnya, karena katanya baru sekali ini dia ke sini. Entah enak atau tidak. Menurutku, ya begini ini gudeg. Dan karena ini adalah nasi pertama kami hari ini, ya enak enak aja.

Jumat yang Agung
Hari ini kami memutuskan untuk tidak ke mana” menjelang shalat Jumat. Jadinya kami di dalam kamar saja. Tidur, bangun, video call, baca buku. Aku juga tidak menyia”kan ke Jogja. Pemilik kamar ini adalah mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi UGM. Sangat rugi jika aku tidak mencuri ilmunya. Beberapa buku yang dia miliki dan belum familiar bagiku, aku ambil dan aku baca dikit. Beberapa materi kuliahnya di laptop yang menarik juga aku buka” dan aku copy sebagian. Menurutku, ini adalah episode terpenting dari liburan kali ini.

Pukul 10 dan Tazri mengingatkanku untuk bersiap” shalat Jumat. Dia mengusulkan shalat Jumat di masjid kampusnya. Sekalian dia ingin memperlihatkan kegiatan unik di masjid UGM menjelang shalat Jumat. Kami tiba di UGM pk. 11. Masjid UGM sangat besar dengan halaman” yang juga luas. Saat aku mau masuk ke dalam masjid, Tazri mencegahku. Dia mengajakku berkeliling halaman masjid. Ternyata di sana banyak lapak dengan bermacam” jualan. Oo, jadi ini yang mau dia tunjukin.

Suasana halaman belakang masjid UGM seperti pasar malam. Banyak lapak dengan banyak barang yang mungkin saja dibutuhkan jemaah. Aku kira ini sudah jadi rutinitas, buktinya jemaah banyak yang beli. Mereka seolah memang sudah menyiapkan duit untuk belanja. Mulai dari perlatan ibadah seperti sajadah, songkok, tasbih dll, terus juga ada kuliner ringan, tumbuh”an herbal sampai perkakas rumah tangga. Penjual juga memenuhi lorong samping halaman yang bersebelahan dengan parkiran mobil masjid. Lengkap.

Jumatan di masjid UGM jadi pengalaman seru. Isi khutbah-nya bagus, bacaan Imam-nya juga bagus, sangat. Semua jemaah-nya juga tertib sesuai aturan shalat berjemaah. Shalat di lingkungan akademis memang selalu menyenangkan. Entah itu pesantren, sekolah menengah sampai kampus, masjid dan jemaah-nya selalu baik dan tertib. Usai shalat Jumat, aku diam sejenak di dalam masjid. Merasakan nyamannya duduk di pelataran masjid dengan hawa kampus. Cuacanya panas, tapi ubin masjid selalu menawarkan kesejukan. Tapi jangan terlalu lama, diam” ubin masjid juga menawarkan tempat untuk telentang dan tiduran.

Usai shalat Jumat kami juga gak ke mana”. Melakukan aktifitas sama seperti sebelum Jumatan tadi. Kami baru keluar sejam sebelum petang, ke Shopping Centre tempat buku bekas dan murah. Dikatakan bekas juga enggak sih, karena sebagian buku di sana ada yang masih segel dan baru. Kalau murah, pasti. Karena hampir semua penjual ngambil buku yang dijual langsung dari penerbitnya, yang tentu memberi harga lebih murah. Shopping Centre sama halnya dengan Blauran di Surabaya atau Willis di Malang. Bedanya, Shopping Centre ada dua lantai dengan koleksi yang lebih lengkap, menurutku.

Setelah keliling, aku beli dua buku baru, satu milik Seno Gumira Ajidarman berjudul Jokowi, Sangkuni, Machiavelli; Obrolan Politik dan satu lagi Kekerasan Budaya Pasca 1965 milik Wijaya Herlambang. Sebenarnya aku mengincar buku Seno satunya yang terbit tahun lalu; Sepotong Senja Untuk Pacarku. Tapi hampir semua lapak yang aku datangi gak punya. Ada satu lapak yang memajang buku Seno satu ini, dan aku tidak pikir panjang untuk membelinya. Ibu penjaga lapak lalu menawarkanku satu lagi buku. Katanya bagus. Dia masuk ke dalam lapak dan menunjukkanku buku Wijaya Herlambang. Pas banget. Aku butuh referensi lain dari Lekra, buku Serial Tempo yang aku punya tahun lalu.

Kami menunaikan Maghrib dan Isya’ di kos saja, sebelum keluar lagi buat ngopi dengan Bang Idat. Kami janjian di Klinik Kopi jalan Jakal KM 7,8. Setelah mencari dan akhirnya ketemu, kedai kopi yang ikut terlibat di syuting AADC2 itu tutup. Akhirnya kami pindah ke Hestek Kopi, kedai kopi yang lokasinya masih di bilangan Jakal, dekat perempatan RingRoad Utara. Aku juga meminta Ullya mampir dan ngopi. Bertemu dan sedikit ngobrol. Tapi Ullya baru bisa bergabung setelah pk 9-an karena masih di RS nemuin temannya yang baru saja melahirkan.

Ngobrol dengan Bang Idat dan Tazri dalam suasana akademis memang terasa menyenangkan. Aku tidak henti mendengarkan keduanya bicara soal Jogja dan kehidupan masyarakatnya yang dinamis, Pilkada DKI ditinjau dari segala isu dan aspek sampai nostalgia kami saat di Malang. Rasanya, aku juga pengen S2 segera. Mendengarkan dan mencuri ilmu mereka dari obrolan ini saja sudah sangat menyegarkan kepalaku yang terasa berat akhir” ini.

Ullya datang tepat pk. 21.30 WIB. Selagi Bang Idat dan Tazri berdebat dan saling olok, aku sempatkan menyapa dan ngobrol sama Ullya. Tapi aku menyesal. Dari obrolan pertama saja Ullya sudah memberiku pernyataan yang sudah lama enggan aku sadari, bahwa aku sudah tua. Aku mengira kalau Ullya masih mahasiswa baru di sini. Ternyata semester ini Ullya sudah semester tujuh. Padahal saat aku berjanji padanya untuk main ke Jogja, Ullya masih baru masuk kuliah dan aku baru saja keterima kerja di Surabaya. Ckck, waktu berjalan ngebut ya ternyata.

Ullya tiba” membuyarkan pertemuan maha sakral dan sekarat ini. pk. 22.00 WIB kosannya bakal tutup dan sekarang sudah lewat waktunya. Menurutnya, aku adalah tamu dan harus ditemui. Jadi dia mengambil resiko kosnya tutup daripada tidak menghormati tamu. Alasan yang bagus, meskipun terkesan klise. Tapi dari nada bicaranya, aku tau Ullya jujur. Sebelum pulang, aku menceritakan rencana kegiatan libur besok dan tempat yang akan kami kunjungi. Ullya setuju ikut, sementara Bang Idat ada janji dengan dosen pembimbing tesisnya. Akhirnya kami semua pulang dan meninggalkan Hestek Kopi. Malam yang menyenangkan, sangat.

Jalanan masih sangat ramai saat kami menyusuri jalan pulang ke kos. Kami berhenti makan dulu di depan gang kos. Warung lumayan besar, menyediakan bubur ijo dan ketan item, nasi campur, mie instan dan beragam minuman seperti kopi, teh dan minuman rasa”. Anak” di sini biasa menyebutnya Burjo, secara general. Sama seperti di Malang, kami menyebutnya Kayungyun, secara general. Meskipun sekarang sudah ada Saluyu atau warung bubur lainnya di Malang. Karena ngantuk dan sangat lelah, kami pulang dan langsung tidur. Karena besok pagi, akan ada perjalanan lebih seru. Kami belum merencanakannya secara detil dengan harapan bakal ada improvisasi. Karena perjalanan yang tidak terencana kadang lebih membekas dan menyenangkan.
Selengkapnya...

Dirindukan..

dirindukan bukan hanya milik manusia. mata yang menghadirkan ingatan juga menangkap benda-benda. lama tak melihat atau memiliki kenang bersamanya juga seringkali penyebab rindu tak terhindarkan. rasa itu akan bergejolak saat tak sengaja melihatnya kembali. aku, punya rindu pada sebuah tas, yang lama tak aku temui. tidak ada yang spesial dari tas itu. aku hanya menyukainya, sangat. hitam, kulit, ada gambar tengkoraknya, simple dan punya kesan tegas. dulu, aku sempat berencana mencurinya.

semalam aku tak sengaja melihatnya. aku berada di belakangnya. aku melihat, tepat di belakangnya. aku tak sengaja melihatnya saat menelusuri lorong kecil gelap, keluar dari beskop tempat aku nonton Ben-Hur yang di-remake. kenangan itu bukan hanya langsung memuncak, tapi juga memenuhi ingatanku sampai malam usai. sampai aku sudahi malam dengan secangkir kopi di bilangan Nginden Semolo.

mata dan pandanganku tak berhenti memandangi tas itu. aku ikuti irama langkah geraknya. aku berusaha menjangkaunya perlahan. aku menyentuhnya, dua detik, sampai akhirnya lorong itu habis dan terang menyerbu pandangan. aku pindahkan tanganku dari tas itu. puas, senang rasanya. akhirnya aku bisa melihatnya kembali. seperti aku bisa melihat kembali senyummu. diam" aku juga merindukan senyum pemilik tas itu. karena sudah lama sekali aku tak melihatnya.
Selengkapnya...

Hari Pertama; Tetap Istimewa..

aku berharap hujan datang langsung, saat aku tiba di Jogja, di Janti, tempat aku turun dari bus sebelum Tazri temanku menjemput. tapi ternyata tidak. samar" cahaya fajar menyembul dan menerangi Layang Janti perlahan. pagi akan cerah, tapi harapanku ditemani hujan di Jogja masih tinggi.

selain Tazri, aku mengirim pesan pada Ulya, Bang Idat dan Iim bahwa aku lagi di Jogja. meski sekali, aku ingin bertemu mereka. pada masing" dari mereka, aku punya hutang bertemu, main ke Jogja. Ulya adalah adik Rohman sahabatku yang sudah seperti sodara. abi dan ummi Ulya adalah temen ibuku. dulu sekali entah kapan, aku pernah berjanji main" ke Jogja bertemu dia yang sedang kuliah. dan kemarin saat ketemu kemarin, buset, ternyata Ulya udah semester 7. waktu berjalan cepet banget.
Selengkapnya...

Bepergian..

musim penghujan adalah saat yang tepat buat bepergian. meninggalkan banyak kenang di banyak tempat. mengunjungi banyak tempat untuk diceritakan. untuk diulangi di lain hari. mungkin bersamamu atau tetap bersama mendung yang meyelinap di antara langit saat musim penghujan. karena yang aku tau, kenangan akan memberi banyak gairah saat menngingatnya. menyenangkan atau menyedihkan. menyenangkan atau menyedihkan. membuatmu bimbang atau rindu buat mengulanginya. dan saat aku punya kesempatan bepergian seperti sekarang, aku tak ragu mengulangi mengunjungi daerah istimewa ini.

langit masih mendung saat aku keluar meninggalkan kos menuju kantor. jalanan yang basah dan hawa yang sejuk membuat suasana tambah sendu. jam 10 malam, aku mewujudkan keinginanku bepergian. untuk merasakan hujan dan meninggalkan banyak kenang di tempat lain. sekaligus memenuhi janji setahun lalu yang baru bisa aku penuhi sekarang pada Tazri, seorang teman S2 di Jogja. rada sungkan sebenarnya main ke sana sekarang. karena si Kampret itu baru saja menyelesaikan penelitian untuk keperluan tesisnya di KPI Pusat dan tentu sedang sibuk"nya menerjemahkannya dalam deskripsi. tapi dia malah butuh hiburan dan masukan setelah berkelana satu bulan di Jakarta.

aku pergi ke Bungurasih diantar Pram, temen kantor. naik bus adalah pilihan utama berangkat untuk keperluan mengirit dana liburan. aku sudah survei tanya Eva adikku ongkos bus dan baiknya naik yang mana. turun dari sepeda motor Pram, aku menyusuri tiap segmen jurusan bus yang aku lewati. aku perhatikan semua plang di atasnya, mencari Ekonomi jurusan Jogja dan dapet Sumber Kencana. dari semua persoalan yang pernah dilakukan oleh salah satu bus Sumber Group ini, kenyataan bahwa bus ini cukup murah untuk perjalanan 380km tidak bisa ditampik. sekali lagi, untuk menghemat dana liburan, aku langsung naik. 2 menit kemudian, bus berangkat.

aku banyak tidur setelah duit ongkos ditarik. kebangun, tidur kembali dan bangun lagi cari aktifitas. saat lampu masih menyala sempurna, aku buka buku Kuasa Media milik Noam Chomsky. aku hanya bawa buku ini dan satu buku catatan. karena pikirku, teman yang akan aku datangi adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi S2 UGM. aku memilih menghemat ruang tasku dan membajak buku"nya saat di Jogja nanti. dulu sekali, Tazri cerita kalau dia gak suka baca buku. hanya saat ada tugas dia sering datang ke kamarku dan membawa pergi beberapa buku di rak. tapi aku yakin sekarang tu Kampret punya tuntutan pada dirinya sendiri dan banyak membaca buku. fakta dia sekarang S2 dan di UGM adalah dua hal yang tak mungkin dia remehkan. jadinya aku hanya bawa buku tipis ini dan aku simpan saat lampu bus mulai remang. hanya tidur yang bisa membawaku nyaman di uji nyali dengan bus ini.

hujan tiba" turun sesaat setelah meninggalkan Terminal Jombang. deras. dan aku tidak melewatkannya. kebetulan aku bangun dan sedang melamun melihat jendela. aku keluarkan earphone dan Game of Emotions milik Kalista menyelip diantara suara rinai hujan dan ruang dengarku. situasi ini terus berlanjut sampai di Mantingan Ngawi dan baterai hapeku habis. aku memilih tidur lagi dan bangun lagi setelah sampai di Klaten. aku terus terjaga sampai turun di Janti, lokasi Tazri akan menjemputku. aku menelponnya dan 20 menit kemudian Tazri datang di hadapanku. Subuh yang tidak asing bagiku. perlahan fajar datang kemerahan. dari balik flyofer Janti aku bisa melihat dan merasakan hangatnya. Nggeeenggg, LIBURAN DIMULAI..!!

Kamis Dini Hari
29 September 2016
Selengkapnya...

Janji yang Mengecewakan..

hal menyedihkan lainnya adalah larut malam masih di kantor tanpa kopi. bukan untuk tetap terjaga, tapi menemani ratusan baris kalimat yang harus aku baca. mungkin juga untuk menjaga kewarasan yang hampir pergi diam" dariku. karena terus"an memelihara rindu untuk sesuatu yang tidak aku tau keberadaannya. atau mungkin sebenarnya aku yang mengada-ada. dan aku harus minum kopi, agar semuanya jelas.

kemarin aku datang ke c2o Library untuk sebuah acara. aku tidak yakin akan menyenangkan buatku, tapi acaranya bagus. pertemuan musik Surabaya. perihal yang tak akan aku mengerti secara utuh. aku menyukai musik, tapi cukup sampai titik mendengerkan dan menikmati setiap musik dan liriknya. tapi untuk mendiskusikannya, aku sama sekali tak punya referensi. tapi karena Om Totok mengajakku datang jauh" hari dan aku terlanjur mengiyakan, aku harus memenuhinya.

aku datang telat satu jam ke acara ini. selain karena hujan, juga karena aku butuh sedikit merebahkan badan sebagai jeda antara kerja dan refresh. aku anggap ini sebagai refresh, karena menurutku bakal banyak ilmu menyenangkan yang mampir di kepalaku. kemungkinan" itu yang aku pupuk agar aku datang ke acara ini. tapi saat pertama kali masuk, kemungkinan" itu pergi satu". ternyata harus bayar, 35ribu untuk umum dan 25ribu untuk mahasiswa. belum lagi aku hanya menerima 4 lembar fotocopy-an berisi lembar asal-usul pertemuan musik Surabaya. dan hal lainnya adalah, aku haus dan di 25ribu itu tidak dapat minuman. jadilah aku kecewa, tapi tidak menyesal.

aku kecewa, tapi aku tidak menyesal datang ke acara ini. karena sedari awal aku hanya ingin menepati kesediaanku atas ajakan Om Totok. janji tetaplah janji, membatalkannya adalah pengkhianatan. apalagi saat Om Totok nelpon dan mengirim pesan berkali" ke nomorku, menanyakan aku akan datang atau tidak. padahal aku ada di belakang tempatnya duduk saat itu. aku memberanikan diri ngomong ke Om Totok dan mengisyaratkan pulang tak lama lagi. Om Totok mengerti situasinya dan akhirnya aku pulang setelah satu setengah jam duduk bersila di pertemuan yang dilakukan lesehan itu.
Selengkapnya...

Menunggu Hujan..

sepekan ini aku menunggu hujan datang di malam hari. karenanya, sepekan ini aku tidak ada di kamar. tiap malam aku tidur di sofa kantor menghadap ke kanan atau ke kiri. keduanya memiliki jendela besar yang langsung memberikan visual pada hujan. tapi tak ada yang datang mengetuknya. saat BMKG Juanda memperkirakan Surabaya akan hujan selama tiga hari ke depan, aku meragu. karena panas yang aku rasa seharian, sama seperti sepekan ini. mendung memang datang berkali", tapi hujan tidak datang menemani setelahnya.

malam ini aku mendapatkan teman" menyenangkan di kantor. seharian aku duduk dan tidur di kantor, sejak pagi sampai larut malam. aku tidak berharap hujan datang, seperti malam" sebelumnya. aku hanya ingin kopiku tetap hangat dan koran pagi ini selesai aku baca. sesekali aku tertawa saat yang lain melempar canda. aku bahkan terbahak saat meja sebelah menunjukkan video lucu di instagram. aku merasa sangat nyaman malam ini, meski dalam kerinduan. kopiku masih tertutup dan terlindungi dari semriwing udara dingin AC, ada list ulasan yang harus kubaca, dua kotak brownies kukus Amanda di meja tengah dan sofa yang kosong. nyaman.

aku masih di duduk di meja redaksi saat lainnya pamit pulang dan menuruni tangga. aku juga berencana pulang karena aku berhenti meminta hujan datang menemuiku. tapi hingga malam sangat larut, aku bahkan tak sedikitpun menurunkan kaki dari kursi tempatku duduk. tiba" suara itu muncul. suara dari balik jendela besar di kanan dan kiriku. aku memastikan, melangkah ke sana dan melihat ke luar. aku mematung, dan tidak berhenti tersenyum. jalanan basah dan pucuk daun" itu bergerak mengikuti tetes air dari atas. hujan. lebih bahagia lagi, saat suara indah itu bertahan lama meski tak deras. terimakasih.
Selengkapnya...

Mengisi Blog..

Sepekan ini, ada dua pertanyaan yang sangat menggodaku untuk kembali mengisi blog. Durasi dua pertanyaan ini cukup sering dan dibuat oleh orang yang berbeda-beda. 'Kok rasanya Kamu iteman ya..?' dan 'Kenapa blog-mu lama sekali gak ke-isi..?'

Kedua pertanyaan ini membuatku menghela nafas agak pendek. Pertanyaan pertama membuatku kembali mengingat, 'apa aku pernah putih ya..?' Dulu sekali saat SD, aku pernah dipanggil dg sebutan 'China'. Karena mataku yang sipit, kulitku yang (katanya) putih dan rambut yang lurus belah tengah dan panjang. Padahal aku termasuk anak yang hiper saat itu. Soal layangan, aku tidak pernah diam di satu lapangan.

Siang seusai sekolah aku ada di lapangan dekat rumah. Saat pulang, bisa jadi aku sudah mengelilingi desa buat ngejar layangan putus, dengan cuaca di Madura yang nyaris tidak pernah adem dan mendung. Terik selalu mendominasi, apalagi aku tinggal sangat dekat dengan pantai. hmmmm, 10 meter di belakang rumahku adalah pantai dan laut lepas. Tapi saat itu kulitku gitu" aja. dan aku merasa tidak berkulit putih.

Aku bahkan menghabiskan enam tahun pendidikan SMP-SMAku juga di Madura. di kota paling timur, tapi tetap saja aku di Madura. Tetap terik dan panas. Tidak ada ampun untuk putih yang dimaksud. Tapi aku tidak merasa aku putih. Sampai akhirnya aku kuliah dan beberapa kali pulang ke rumah. Aku yang seringkali kesandung persoalan asmara saat pulang merasa kesal. Kenapa selalu ada anak kecil yang ngirim salam buatku saat di rumah. Ya, mereka adalah siswi" SMP dan SMA di desaku. Sedih sebenarnya, segmenku ternyata anak". Seorang teman mencoba jawab kegundahan ini.

'Bagi banyak orang di Indonesia, konsep tampan dan cantik masih berputar di persoalan kulit putih', katanya di awal;
'Hmmm yaa', kataku menunggu kalimat berikutnya;
'Yaudah gitu aja', katanya kemudian;
'Maksudmu aku putih..? Jangan becanda. Kamu bahkan lebih putih dariku', kataku;
'Ya setidaknya itu yang aku ketahui dari adikku yang ngirim salam buatmu', aku tidak bisa berkata apa" saat pernyataan ini keluar dari teman yang adiknya masih kelas 3 SMP. Gilak, aku pulang dan sepanjang perjalanan aku berusaha meyakinkan diri 'Kid, Kamu bukan pedofil'.

Suatu hari di rumah, saat masih masa" kuliah, aku tanyakan hal ini pada dua temanku yang perempuan. Sialnya, jawaban mereka serupa.
'Banyak jalan pembuka perempuan menyukai laki2. Menurutku, penilain pertama untukmu dari wajah', katanya;
'Wajahku kenapa..? Kan jelek, culun dan sipit', aku menyela;
'Imut dan tampak smart.. dan juga agak putih', jawaban paling kacau yang aku dengar. Semenjak itu, aku tidak suka keluar rumah tanpa jaket yang bertudung, menghindari melintasi jalan yang dilalui anak" SMP-SMA pulang sekolah dan mencopot kacamata jika terpaksa keluar rumah.

Aku lupa, masih banyak orang yang menilai lainnya dari pandangan pertama, kesan pertama saat bertemu dan penampilan. dan bisa jadi saat beberapa orang mempersoalkan sekarang aku agak item karena jarang bertemu lalu membuka tabir bahwa sebenarnya aku emang gak putih. atau mereka baru sadar. atau ini karena ilusi optik. atau saat terakhir ketemu mereka melihatku duduk dengan background hitam, dan sepekan ini saat ketemu aku sedang berdiri di tembok putih, kontras, lalu terbukalah fakta mengejutkan yang sebenarnya. hmmm, benar" mengganggu, membuatku berpikir 'apa aku pernah putih..?'

Pertanyaan kedua sebenarnya tidak sepenting pertanyaan pertama. Tapi aku sudah kepalang janji sama teman" yang nanya kalau aku akan sering ngisi blog ini lagi mulai malam ini. Sebenarnya bisa jadi aku hanya sedang males ngisi blog ini. Sebabnya juga bisa banyak banget. Bisa jadi karena hampir gak ada waktu berlama" depan laptop. atau keseringan berada di luar. atau memang sengaja tidak menyempatkan diri mengisi. atau yang paling memungkinkan, aku sudah kehilangan Kamu, lirik di semua tulisan"ku.
Selengkapnya...

Arabika Dlundung; Silaturahmi dalam Secangkir Kopi

Apa yang membuatmu sangat antusias untuk satu cangkir kopi..? Jawabanmu bisa beragam dan tak hanya satu. Tapi bagi yang hobi ngopi, berbagi nikmat yang pernah dirasakan adalah ketertarikan terbesar pada kopi. Nikmat itu kadang tidak selalu hadir dalam rasa pahitnya, tapi juga kebersamaan yang menyertainya, tawa yang membungkusnya atau silaturahmi yang diperjuangkan.

Sore itu akhir pekan lalu, dalam suasana Syawal, aku bersama Rohman seorang teman bersilaturahmi ke Mahfud Halimi, kakak kelas di pesantren yang buka kedai kopi di Mojokerto. Berbekal akun facebook, instagram dan nekat, kami berangkat mencari kedai ini. Kami agak susah menghubunginya, karena saat di pesantren hampir tidak pernah berkomunikasi dengannya. Kami hanya tau kalau perjalanan ini tidak akan mudah. Patokannya adalah Bypass Mojokerto, selebihnya kami serahkan pada Tuhan dan indera lain yang sudah terlatih.

Selengkapnya...

Sapamu yang Keras..

Malam ini Kamu datang dengan semuanya. Bersama angin kencang, tetabuhan yang menggetarkan langit, suara merdu saat Kau turun dan genangan yang Kau tinggalkan. dan Kau membuatku mendekam lebih lama di kantor.
Selengkapnya...

Membuat Pengakuan..

Hai Hujan..
Kemarin malam aku sangat ingin bertemu denganmu. Aku menunggumu sejak siang, tapi melewatkanmu saat petang. Padahal aku sangat ini ingin bertemu denganmu. Lalu semuanya menjadi sangat syahdu. Seperti yang Kau tau. Setelah sesuatu pergi, Kau akan lebih menghargainya dibanding saat Kau bersamanya. Musim-mu yang sudah berakhir, membuat aku lebih merindukanmu saat turun mendadak.
Selengkapnya...

Setelah Enam Hari..

Cara terbaik kecewa adalah dengan berharap terlalu tinggi. Ali bin Abi Thalib alaihis salam pernah mengatakannya. Sayyidina Ali melajutkan, dan yang paling menyakitkan adalah berharap pada manusia. Seringkali aku menjadi objek tersebut. Beberapa orang pernah menaruh harap padaku, menitipkannya, sampai aku kehilangan keseimbangan mengembannya. Seringkali titipan itu berakhir dengan kekecewaan. Bapak Ibuku adalah dua diantaranya. Keduanya sangat kecewa saat aku enggan lulus tepat waktu seperti yang diinginkan almarhum Abah Mahin dan Kak Hakim. Bahkan sampai saat ini, aku belum meminta maaf atas itu.

Bapak Ibuku ingin aku tinggal lebih lama libur lebaran ini. Sulit menjelaskan  kalau sebenarnya liburan kali aku malah mendapat hari yang banyak bertemu dengan keduanya.
Selengkapnya...

Hari Keenam; Harga Pertemuan..

Hariku dimulai dengan Cengkarok; makanan khas Sepulu yang mungkin gak akan Kau sukai saat tau cara membuatnya. Jadi, nasi basi dijemur sampai bener" kering. Direndam lama dalam air sampai lembut lalu dikukus jadi nasi lagi. Disantap dengan parutan kelapa dan ikan asin, lebih enak ikan asinnya kering.
Selengkapnya...

Hari Kelima; Pulang Mengenang..

Lebaran, Iedul Fitri 1437 Hijriah. Banyak yang mengartikannya sebagai hari kemenangan dan hari kembali suci. Artikel dan opini tentang arti yang salah kaprah ini bertebaran di mana", di media" baik harian dan online. Aku membacanya dan mencatatnya dengan hikmad meski salah. Aku membacanya dan meniru cara menyampaikan gagasannya meski salah. dan aku mengumpulkan artikel dan opini" itu meski salah.

Selamat Lebaran. Aku tidak peduli meski banyak masyarakat salah mengartikan Iedul Fitri. Aku berlebaran di rumah yang juga tidak peduli opini" itu.
Selengkapnya...

Hari Keempat; Malam Lebaran..

Tidak ada muslim Sepulu yang ingin melewatkan malam Iedul Fitri. Tidak ada. Sebagian besar dari kami adalah perantauan. Jika ada moment paling tepat untuk mudik, itu adalah malam ini, malam lebaran Iedul Fitri. Malam lebaran terbuat dari menang, rindu dan rumah. Tidak ada yang tidak tergiur dengan komposisi ketiganya. Aku pernah melewatkannya sekali karena kerja, selanjutnya aku berjuang untuk itu.

Malam ini Supernova kecuali Kak Reza, Lilid dan Iin semuanya ada di rumah. Setelah silaturahmi ke masing keluarga lainnya dan bayar zakat fitrah, kami segera duduk di depan teras rumah. Karena ngerokok, Bapak juga akhirnya keluar dan duduk depan teras. Ibu juga keluar membuat beberapa minuman dan menyediakan kue-kue kering menemani kami ngobrol. Waktu sudah hampir masuk tengah malam.
Selengkapnya...

Hari Keempat; Batas Menjelang Malam Lebaran..

Batas itu ada. Batas yang memisahkan aku dan kamu sebelum menjadikan kita. Batas seringkali memicu perseteruan antara Indonesia dan Malaysia di ujung Ambalat. Batas pula yang memadati ruang pengetahuan kita dan menimbulkan banyak salah kaprah pada pemberitaan ledakan di Madinah dini hari tadi. Bahwa ledakan itu terjadi di pintu Masjid Nabawi, bahwa ledakan itu dekat dengan makam Muhammad SAW dan membuat masyarakat Madinah panik. Itulah batas kita, yang digunakan media massa untuk saling membenci.
Selengkapnya...

Hari Ketiga; Sakit..

Nurul tumbang. Sakit, mual dan akhirnya membatalkan puasa. Aku ikut andil dalam sakitnya. Nurul mengeluh mual setelah sekitar 60km duduk di belakang sepeda motor yang aku kendarai pagi-siang tadi. Aku semakin merasa bersalah karena Nurul memilih membatalkan puasa dengan secangkir air dan roti Holland yang ada di kulkas sejak kemarin. Nurul langsung muntah setelah menelan potong roti terakhir. Akhirnya Nurul harus istirahat dan tak bisa lagi maen bulutangkis bersama Zein dan Zainal sore tadi.

Nurul juga akhirnya tidak menunaikan ibadah shalat taraweh terakhir Ramadhan kali ini. Dia melewatkannya. Nurul melewatkannya karena harus istirahat dengan nyaman di kamar.
Selengkapnya...

Hari Kedua; Kualitas Pertemuan..

Bagiku, setiap momen dengan orang disayang, tak boleh dilewatkan semenit pun. Karenanya, lebih cepat lebih baik. Semakin lama juga semakin bagus. Sebentar pun, kudu berkualitas. Karenanya, aku tak ingin meninggalkan rumah sebentar apapun.

Hari ini sudah mulai banyak yang tau kepulanganku. Hapeku penuh tak hanya di inbox sms dan chat, tapi juga ditag di media sosial. Ajakan berbuka puasa dan diskusi lebih banyak mendominasi.
Selengkapnya...

Hari Pertama; Zein..

Ibu langsung menceritakan banyak hal padaku setibanya di rumah. Cerita paling menarik bagiku adalah banyak orang membicarakan Zein yang tidak naik kelas. Pihak sekolah menemui Ibu dan memberitau kondisi Zein di sekolah, semua skill yang bisa dilakukannya dan apa yang tidak bisa dilakukannya. Zein dipertimbangkan untuk tidak naik kelas untuk yang terakhir, untuk hal yang tidak bisa dia kuasai; bernalar, menjawab pertanyaan ujian. Saat mendengar cerita ini, aku sedih bukan kepalang. Karena semua orang yang membicarakan Zein juga menyeret nama baik keluarga dan aku, merasa bertanggungjawab atas kesedihan Zein.
Selengkapnya...

Kronologi..

Setahun lalu sadar atau tidak, aku menyukai dan mulai mendekatimu sampai sekarang. Kemudian aku menemukan risalah yang sampai saat ini tak bisa aku pahami, diam" aku gundah dengan banyak cemburu yang hadir. Tak ada yang terjadi, karena aku menemukan senyum mu merekah dengan keberadaan raga lain. Cemburuku tertata dan aku mulai membiasakannya, karena aku senang melihatmu tersenyum.
Selengkapnya...

Percakapan dalam Temu..

Sudah lama aku kehilangan hangatnya semua percakapan kita. Beberapa pekan lalu. Tapi rasanya sangat lama. Bahkan aku sudah lupa intonasi bicara dan renyah suaramu. Terhalang oleh banyak kabut; hawa dingin yang menjadikan kita semakin jauh dari rasa takut. Jauh dari rasa cemas kehilangan dan menjadikannya uap air dalam muara ketiadaan.

AKu tau, semua percakapan itu memiliki banyak kebohongan. Rekayasa yang kita susun hanya untuk bertahan lebih lama duduk diam melipat tangan, bersebrangan dan seringkali tak bersebelahan. Lirih lagu yang diam" kita dengar pun hanya mengalun tanpa melodi di pendengaran. Semuanya biasa, kita yang menjadikannya luar biasa. Bukan untuk cangkir kopi dan gelasmu yang isinya beragam, tapi karena ada aku dan kamu, saat itu. Tapi sudah lama sekali tak terjadi, bagiku.

Percakapan itu hanya berhasil saat kita bertemu dalam dunia yang katanya tak berbatas. Menegur keteraturan dengan sapa yang harusnya lebih hangat saat langsung diucapkan. Tidak hangat dan seringkali tak berbekas. Padahal ada banyak frasa yang kita kirim sebagai obrolan. Memang temu menjadikan kita berbeda. Temu yang membuat kita jadi begitu. Menjadikan tatap lebih banyak menyampaikan impuls ke bibir untuk tersenyum. dan harapan bertemu menjadikanku selalu menulis tiga paragraf dalam pekan" dengan anomali cuaca ini.
Selengkapnya...

Seperti Ini Hujan..

Malam ini hujan turun membasahi bumi. Mungkin itu sebaris kalimat umum yang sering orang" tulis untuk menggambarkan hujan. Malam ini, atau di malam" lainnya. Aku, ingin sekali menulis 'apa kabarmu?' di lembar chat kosong kita. Karena hujan bersahabat tidak dengan semua orang. Tapi kumpulan huruf itu hanya berisi tanya di belakang, tanpa tau angin malam benar" melindungi ragamu dari rinai hujan.

Aku sengaja meneruskan perjalanan saat hujan turun, membasahi bumi. AKu hanya ingin tau seberapa besar cintaku pada gerombolan air ini saat sendiri. Saat tak ada lagi tangan yang bisa aku genggam hangat setelahnya. Di kerumunan ini, di antara aspal yang basah dan tergenang, aku hanya memastikan bahwa ingatan pendek tentang wajahmu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi mungkin tercampur, dengan pertanyaan apakah hujan membasahi lainnya selain bumi.

Sebenarnya tak ada alasan aku membuat tulisan tiga paragraf ini, saat hujan masih membasahi bumi. Aku hanya ingin mengungkap romansa yang baru saja terjadi. Antara aku dan hujan yang akhirnya kembali. Nuansa itu belum kuat lagi, setelah lama aku membenci mendung dan menempatkannya di sana, di tempat yang sepi. Karena aku tau, hujan bersahabat tidak dengan semua orang, seperti Kamu.
Selengkapnya...

Awal Juni..

Pertemuan kita selalu terpisahkan oleh kenangan-kenangan. Oleh kenangan yang baru saja terjadi atau yang lama dan kembali Kau gali. Ingatan sendu yang membuatmu haru. dan ingatan riang seperti saat Kau lari-lari kecil di antara ilalang. Jadi, sudahilah kepura-puraan ini. Tak pernah ada 'kita' dalam pertemuan ini, pertemuan itu dan pertemuan-pertemuan lain yang terencana dan tak terjadi.

Aku sering melihat mata itu. Mata yang tak pernah bulat seperti saat di depan wajah lainnya. Mata tanpa sambungan saraf ke bibir yang membuatmu tersenyum. Aku, aku yang salah. Aku terlalu lama berdiri di sini dan mempertemukan harap. Ternyata ada kisah lain yang Kau buat dan bersembunyi di balik tawamu. Mungkin tidak satu. Kisah-kisahmu itu mengendap di balik tawa yang aku suguhkan saat langkahmu masuk mengerubungi banyak ruang di kepalaku.

Mei sudah habis, sudah lewat. Bulan setelahnya baru dua hari berjalan. Sampai detik ini, aku masih mencuri setiap masa pertemuan denganmu. Sampai waktu itu, aku masih berusaha melihat mata dan senyummu, meskipun dekat. dan saat tulisan ini aku selesaikan, aku merasa bodoh, ternyata aku tidak tau apa" tentangmu.
Selengkapnya...

Pertemuan dalam Ruang Tunggu..

Akhirnya kita ada di satu titik pertemuan. Melempar banyak pertanyaan, dibalut tawa sungguhan. Malam yang menyenangkan. Mungkin hanya bagiku. Bagimu, malam ini berulangkali ada, dengan banyak pasang mata yang bukan milikku.

Ribuan menit aku menunggu malam ini terjadi, atau sengaja terjadi. Malam yang tak akan terulang hanya lewat doa dalam sunyi. Aku sudah melihat kursi yang Kau duduki berulangkali dalam bingkai gambar. Mengingatnya hanya menghilangkan tawa yang aku buat, rasanya hambar. Untungnya, warna-warni gores yang tepat berada di belakangmu, menenangkan. Meskipun tak lama, tapi cukup meredakan irama degup yang terus berangsur hadir tak beraturan.

Aku memilih menduakan pandangan pada secangkir kopi di depanku, memisahkan resahku dan lipatan tanganmu di seberang. Bukan baru sekali ini canggungku datang, tapi baru kali ini aku kehilangan cara membuangnya. Aku ingin sekali bicara, satu pertanyaan yang rasanya mustahil aku sampaikan langsung di depanmu. Di depan pasang mata yang selalu berhasil mengatupkan bibir tanpa banyak kedip. Padahal pertanyaan yang aku bagi dalam dua frase itu sudah aku tulis dan aku ketik. Semuanya menguap, seperti harum kopi yang aku hirup.

Akhirnya kita ada di satu titik pertemuan. Mengalihkan banyak pandangan pada satu layar yang harusnya kita simpan. Aku, mungkin juga Kamu, mungkin tidak, menunggu senyum kita bertemu. Aku mengiyakan, menunggu itu membosankan. Tapi pura” menunggu adalah kejahatan.
Selengkapnya...

Janji Senja..

Datang dan pergi seketika, adalah kisah yang pernah senja titipkan padaku. Meminang pikiran agar lebih dalam menyelami rindu padamu. Tapi sejak awal, aku sengaja membiarkan romansa itu lewat dengan syahdu. Aku tau, setiap paragraf ini hanya mengantar rindu, semuanya semu, seperti katamu.

Hari belakangan, langit selalu berhasil mencuri perhatianku. Bukan karena aku menunggu gelap dan hujan setelahnya. Tapi karena senja yang selalu Kau ceritakan indahnya. Bukan karena aku menanti mendung yang menjadikan awan tampak abu. Tapi karena pendar jingga yang Kau ceritakan sebelum petang membuatnya berlalu.

Diam", aku rajin mendaki anak tangga pergi ke loteng, ruang yang tak dimiliki siapapun. Aku perlahan menengadahkan kepala, memicingkan mata menikmati matahari turun. Padanya, aku bertanya tentangmu. Kamu yang tak tau bagaimana cara menikmati rindu karena tertimbun jarak. Menunggangi resah, yang hanya berotasi pada satu lingkar layaknya awan berarak.

Tapi aku percaya pada senja. Dia selalu menjanjikan satu hal; ada. Dia selalu hadir melengkapi hari, dan pergi saat petang mengganti. Aku, ada.
Selengkapnya...

Bagaimana Caranya..?!

Katakan, bagaimana cara menemukanmu dalam mimpi..? AKu ingin tidurku tak lagi hitam putih. Aku ingin ada warna di sekelilingku sampai aku terbangun lagi. Sudah lama aku membiarkan tidurku penuh dengan ukiran huruf di atas kanfas. Semua berdasar putih dan kumpulan hitam dengan banyak spasi di antaranya. Bisakah Kamu menyelipkan banyak warna dari masing" jeda itu. Jadi, katakan, bagaimana cara menemuimu dalam mimpi..?

'Miim', meskipun jika aku menemukanmu nanti, aku tak tau apa aku mengingatmu setelah bangun kembali.
'Miimm', suara perempuan, sepertinya Ibu.
'Miimm, Kamu tidur..?', iya, itu Ibu.
'Hmmmm, iya Bu. Hah, enggak Bu. Kenapa..?',
'Ada Silvi nih',
'Oo iya Bu',
'Eh, bangun. Itu ada Silvi', suara Ibu semakin dekat. Ternyata Ibu berdiri di depan pintu kamar.
'Iya, biarin aja Bu. Saya ngantuk',
'Silvi pengen ketemu Kamu',
'Oo, sama siapa Bu..?', aku bicara masih dengan mata terpejam dan suara lirih.
'Tadi sama Sofyan. Sekarang sendirian tuh',
'Oo, iya',
'Miimm, kasian lho daritadi mereka',
'Iya Bu, saya keluar', mataku sepet, aku benar" ngantuk. Aku seperti gak bisa bedain mana pintu mana lemari. Keduanya terlihat sama, tapi beda. Aku langsung duduk di samping Silvi dan mengagetkannya. Kepalaku aku sandarkan di tangan yang aku lipat. Sepertinya Silvi daritadi ngomong, tapi aku gak dengerin.
‘Sil, bentar deh. Saya cuci muka dulu. Mau minum apa..?’
‘Udah nih Ibumu bawain barusan’,
‘Oo, bentar ya’, aku menuju kamar mandi dan tidur. Tidak, aku cuci muka dan kembali menemui Silvi.
‘Jadi, ada apa..? Maaf ya, aku ngantuk banget. Eh tadi Ibu bilang Kamu sama anak” ke sini..?’,
‘Iya, tapi udah pulang pas Ibumu bilang Kamu baik” saja’.
‘Maksudnya..? Emang aku kenapa..?’,
‘Mau aku certain..? Tapi cukup aku bilang abis itu gak usah nanya ya. Deal..?’,
‘Iya deh. Apaan..?’,
‘Hmmm, ada anak sini yang katanya hampir mati karena kelelep’,
‘Hahahahahaa. Sialan. Udah sana pulang’,
‘Kok ketawa..?’,
‘Bapak udah memperingatkan sih. Katanya ini bakal jadi banyak diomongin orang. Kok bisa gitu ya..? Kenapa..?’,
‘Aneh aja ada anak Sepulu hampir mati karena gak bisa renang. Tadi pas dikasi tau sama Ibumu kalo Kamu masih idup, ya Sofyan dan yang lain pulang’,
‘Kamu..?’,
‘Mau ngobrol. Ada yang mau saya obrolin’,
‘Tentang..?’,
‘Kalau ngomong juga sama kayak chat nya ya..?! Singkat singkat’,
‘Tentang apa Sil..?’,
‘Tentang anak Sepulu yang hampir mati kelelep’, saat Bapak bilang tentang kabar ini akan menyebar, aku mikir macem”. Banyak. Mungkin aneh saja, ada anak Sepulu yang gak bisa renang. Sepulu adalah daerah pesisir. Gak usah melakukan perjalanan dua jam dan jalan” sempit seperti di Malang buat ke pantai. Mencari pantai dengan pasir putih dan lautnya yang nenangin, gak usah harus eksodus ke kota” tetangga seperti tinggal di Surabaya. Saat mau liburan ke pantai, harus ke Gresik atau Lamongan, bahkan beberapa harus ke Pacitan karena pantai di Surabaya hanya satu dan pasti sesak saat liburan. Ditambah lagi, aku adalah anak dari seorang nelayan yang sudah lama, memiliki reputasi bagus sebagai nelayan diantara teman”nya. Bukan karena selalu mendapat banyak hasil melaut, tapi salah seorang yang senior.
‘Tentang apa Sil..?’,
‘Hmmm, hidup’,
‘Mulai deh. Drama nih pasti’,
‘Aku udah gak tau lagi mau ngapain..? Udah cukup tau rasanya………’, Silvi bercerita banyak tentang hidupnya yang harus sendirian dan tinggal bersama neneknya. Sejak kecil, keluarga Silvi sudah tak lagi utuh. Pindah” ke beberapa kota. Menemukan dan kehilangan cinta juga jadi jadi bagian cerita di hidupnya. Dan kaparatnya, aku kadang tidak ada untuk mendengarkan ceritanya.
‘Kalau gitu, segera nikah. Apalagi yang ditunggu..?’,
‘Harusnya gitu. Tapi beberapa hari ini aku jadi mikir, nikah hanya akan menyelesaikan satu persoalan hidupku. Lainnya..? Aku rasa enggak’,
‘Hahahahaa. Sil, dulu seseorang pernah bilang gini. Hidup ini kompleks. Cerita di hidupku gak hanya aku yang menjalani. Ada orang” lain. Diantara mereka ada yang menetap dan ada juga yang lewat. Kau boleh egois, sesuka hatimu berbuat, karena ini hidupmu. Tapi Kamu hanya egois, kecanduan egois dan egois itu akan menjadi dirimu’, Silvi mulai mengernyitkan dahi sambil senyum”.
‘Kayak pernah denger. Di mana dan kapan ya..?’, tentu saja Silvi pernah denger. Ini adalah nasehatnya saat aku pernah berada di posisinya, enam tahun lalu mungkin, saat aku baru menjalani tahun kedua kuliahku, kuliah yang berantakan.
‘Masak sih..? di buku kali. Lagian nih ya. Eh bentar, ada terusannya. Orang itu juga bilang ke aku kalau hidup ini bukan tentang beban yang kita pikul, sendirian. Jangan merasa hidup adalah sekumpulan beban dan beban itu milikmu semua. Gimana..? Keren gak..? Udah cocok gak jadi motivator..?’,
‘Harusnya temenmu itu yang cocok jadi motivator’,
‘Siapa bilang dia temenku. Seseorang. Hanya orang’,
‘Pinter banget balik”in omongan. Kamu banget tuh’,
‘Jadi gimana..? Fell better..?’,
‘Lumayan’,
‘Kok cuma lumayan. Susah lho nginget yang barusan’,
‘Gak jadi lumayan deh kalo Kamu traktir minum’,
‘Ntar malem ya..? di Sofyan..? Boleh deh’,
‘Kalau mau’,
‘OKe’,
‘Bener nih..? Gak sibuk..?’,
‘Halah, paling juga kalian nelpon mulu. Bikin gak tenang. Iya ntar malem abis Isya’ ya’,
‘ih ge-er. Eh tapi beneran ya..?’,
‘Iya, beneran. Kenapa..?’,
‘Soalnya kalau ada Kamu, kita gak bayar’,
‘Kok gitu..?’,
‘Gak tau. Tiap kita ngumpul” di sana, bayar. Tapi pas tiap ada Kamu, gratis tis. Beneran’,
‘Hmmm, jadi itu sebabnya aku dipaksa nongkrong di Sofyan mulu tiap pulang..?’,
‘ge-er. Tapi bener sih. Hahahaha..’,
‘Apa Ibu gak narik bayaran ya kalau Sofyan beli soto Ibu..? Balas gitu’,
‘Ya rugilah Ibumu kalau Sofyan gak ditarik bayaran. Sofyan kan berporsi-porsi kalau makan soto Ibumu’,
‘Yaudah deh, ntar malem. Jangan telat. Keseringan. Gak usah dandan deh kayak kemarin. Dandanmu buat calon suamimu aja’,
‘Gak ada perempuan yang gak dandan. Ah Kamu kebanyakan temenan sama laki sih. Homo kali ya..?’, Silvi beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah sepeda motornya.
‘Oh iya, nasehat tadi ada lanjutannya. Katanya, jangan lupa bahagia’, Silvi berbalik arah, melihatku dan berkata ‘Kurang panjang ah’,
‘Hmmm, karena bahagia hanya Kamu bisa ciptakan sendiri’,
‘Pinter. Jadi, kapan Kamu bahagiain dirimu sendiri..? Untuk beberapa kali, bikin orang ketawa Kamu jago. Tapi jangan palsu, kayak apa ya. Kayak kosong gitu. Buat bikin orang seneng, Kamu dulu yang harus seneng. Gitu cara kerjanya. Jadi, udah nyatain sama dia..?’,
‘Ini kok ujung”nya saya kena..? Udah sana pulang”, aku masih melihat ke arahnya. Aku tau Silvi tidak akan berhenti meledekku sampai benar” enyah dari hadapanku. Benar. Silvi senyum” sambil mengerlingkan mata sambil menyebut tanpa suara seorang nama perempuan yang pernah aku ceritakan padanya. Sekitar empat detik kemudian, Silvi benar” hilang dari pandangan mataku.

Aku jadi semakin ingin tau jawabanmu, bagaimana cara menemukanmu dalam mimpi..? Karena dengan begitu saja, aku sudah bahagia. dan aku tak bisa bayangkan jika itu bukan dalam mimpi, level bahagianya bisa naik beberapa tingkat.

30 April 2016
Selengkapnya...

Jeda Antara Mati dan Hidup..

Siang ini aku hampir mati, dalam arti sebenarnya. Bukan karena merindukanmu, bukan juga karena berusaha mengusir namamu dalam doaku setiap rindu itu datang. Aku hampir mati, karena satu ironi yang sampai sekarang aku benci menanggungnya. Anak nelayan yang tidak bisa berenang. Mungkin salahku, mendahulukan keinginan duniawi daripada menjalankan ibadah wajib.

Siang ini aku berada di rumah untuk banyak hal. Dari semuanya, hal yang paling aku sukai adalah hmm apa ya, gak ada sih. Semuanya menarik. Kenyataan kalau aku berada di rumah dan bertemu semua penghuninya, itu adalah weekend terbaik yang pernah ada. Semua orang juga berpikir hal yang sama sepertiku. Kenyataan kalau akan ada bincang” tipis antara aku, Sofyan, Silvi, Hilmi, Ook dan Lauhim kedua kalinya juga membuatku antusias menjalani hari sampai petang menjemput. Hal lainnya adalah, spekulasi kalau aku akan ‘pandinan’, pergi ke pantai, laut untuk bermain, seolah berenang atau hal lainnya. Ternyata, hal lainnya adalah pilihan yang Tuhan berikan padaku.

Siang ini seorang teman Bapak datang ke rumah, bilang kalau Bapak butuh bantuan untuk menyelesaikan ‘dandanan’ kapalnya. Sudah dua hari Bapak gak melaut, karena ada masalah di mesin dan alas di bagian buritan kapal. Setelah semua selesai diperbaiki dibantu satu tukang, tibalah Bapak sendirian harus melakukan semacam finishing touch untuk kapal ini. Saat permintaan bantuan itu datang di daun telinga pintu rumah, tanpa basa basi aku dan Zainal ganti celana pendek dan melepaskan kaos. Mengucap salam pada Ibu, dan langsung menuju pantai yang hanya berjarak 50 meter dari belakang rumah. Aku pergi, tepat saat adzan Dzuhur berkumandang. Keraguan langkah kakiku untuk kembali ke rumah atau meneruskan perjalanan ke pantai semakin besar saat aku sudah melihat kapal Bapak dari kejauhan. Aku sempat kembali ke rumah, tepat di depan rumah, tapi yang aku lakukan hanya menyapa Zein yang baru selesai mandi dan jalan lagi ke pantai.

Siang itu, air laut lagi pasang. Aku tak menyangka bakal setinggi ini. Aku benar” tenggelam, tinggi air laut di atas kepalaku. Untung ada tali perahu yang satu ujungnya mengikat kapal dan bebatuan di pantai di ujung satunya. Lumayan bergelantungan buat mencapai kapal Bapak.

‘Pak’, aku menjulurkan tangan kananku yang disambut uluran tangan kanan Bapak dan aku menciumnya.
‘Itu kenapa kakimu..?’, Bapak menunjuk darah yang muncul di pergelangan kaki kananku.
‘Oh, kapan ini ya..? Kok gak kerasa..?’,
‘Kena tiram paling. Tadi renang deket tali..?’, tanya Bapak santai.
‘Iya sih Pak. Aw’, sakitnya mulai kerasa sekarang. Darahnya keluar lumayan banyak dan segera aku pindahkan kaki ke air laut untuk aku basah. Sementara itu, Zainal sudah bolak balik naik dan turun kapal buat bersih” kapal dan berenang.
‘Ini air di dalam keluarkan pakai pompa itu, kalau udah tinggal dikit, dikeluarin manual pakai gayung kayu itu’, Bapak memberi instruksi padaku dan Zainal.
Kami berdua mengeluarkan air yang ada di lambunng kapal seperti yang diinstruksikan. Bagiku siang itu, apalagi yang bisa membuat bahagia selain situasi ini..? Jika ada, situasi itu adalah Nurul dan Zein juga di sini. Sepintas, aku memikirkan Nurul. Dia akan menjalani UN SMP 9 Mei nanti dan aku belum menelponnya memberi semangat. Walaupun entah itu berfungsi atau tidak. Sepintas juga aku berencana meminta Ibu nelpon pesantrennya, karena orang tua santri lebih punya kuasa atas pembicaraan lewat sambungan telpon dengan santri.
‘Kak, bisa renang..?’, tanya Zainal padaku seketika.
‘Enggak. Kamu..?’,
‘Bisa dikit’, jawab Zainal dengan langsung menceburkan diri ke laut turun dari kapal.
‘OKe, saya nyebur ntar tangkep ya. Tolongin’, pintaku.
‘OKee’, jawaban Zainal aku sambut dengan loncatanku ke laut. Sial, aku tidak bisa merasakan tanah di bawah kakiku. Aku tenggelam. Jarak antara tanah dan kakiku mengapung terlalu jauh, jauh. Saat sampai di tanah, aku kembali naik ke atas dengan susah payah. Dari sudut pandang yang sangat singkat itu, aku melihat Zainal mengarah ke posisiku tenggelam dan menarikku. Tanganku dia tempatkan ke bahunya dan memegangnya. Tapi aku melihat Zainal tidak bisa menguasai gerakan tangannya. Gilak, dengan posisi ini malah Zainal yang akan tenggelam dan mati. Akhirnya aku melepaskan tanganku dari bahunya dan menenggelamkan diri kembali. Aku berusaha menyentuh tanah di bawah dan kembali mendorong ke atas. Seketika itu, aku berteriak dengan keras.
‘Pak, tolong Zainal. Pak’, teriakku sekeras mungkin. Tapi sepertinya tak cukup kuat. Sekilas aku melihat Bapak tersenyum sebelum meloncat dari kapal. Sementara aku sudah tidak lagi melihat Zainal. Dua detik kemudian, ada tangan yang menarik tanganku ke atas. Ternyata itu tangan Bapak. Aku kaget. Sial, kenapa aku duluan yang ditolong. Bapak membawaku menyentuh bagian kapal yang bisa dinaiki.
‘Pak, Zainal Pak. Di mana dia..?’, detik itu juga aku merasa bersalah. Mataku celingukan mencari Zainal saat tanganku sudah menyentuk kapal dan menaikinya sebagian dengan sisa tenagaku. Dalam kondisi panik itu, aku bertanya pada Bapak dengan mulut penuh air laut, asin. ‘Pak, mana Zainal..?’,
‘Itu di sana..? Sebaiknya Kamu naik dan duduk dulu’, suara Bapak benar” tenang. Bapak menyelingi perkataannya itu dengan senyum. Padahal aku di sini sudah takut terjadi apa” pada Zainal.
‘Saya di sini Kak’, suara Zainal datang dari arah kanan tempatku bergelantungan. Dia juga sama bergelantungan, tapi dengan kaki masih di laut. Sementara Bapak melihat sekeliling, menghitung berapa kapal yang ada penghuninya dan melihat kejadian ini. Bapak menghampiri saya dan ketawa.
‘Empat orang melihat ini. Sepertinya, sore sampai malam nanti kita akan kedatangan banyak tamu. Sekitar 30 sampai 1 menit berhenti depan rumah bertanya keadaanmu’,
‘Hah..?’, aku gak paham apa yang dikatakan Bapak.
‘Coba duduk’, Bapak memintaku. Aku melakukannya. ‘Atur nafasmu. Kamu yang tenggelam, Zainal masih bisa menyelamatkan diri tadi. Harusnya Kamu tidak melepaskan tanganmu dari bahu Zainal’, Bapak tidak berhenti tersenyum saat berkata ini padaku.
‘Tapi Zainal bisa mati kalau tidak aku lepaskan tanganku dari bahunya. Aku memberi beban terlalu banyak pada bahunya’,
‘Tidak, Kamu panik. Zainal jadi korban kepanikanmu. Akhirnya dia juga berpikir kalau Kamu harus diselematkan terlebih dahulu dan kehilangan keseimbangan menggerakkan kakinya’,
‘Bapak kenapa ketawa..?’,
‘Bapak tau Kamu memikirkan hidup Zainal saat itu’,
‘’Iya, Pak’,
‘Sekarang kita berdua tau kelemahan yang sangat ingin Kamu tutupi. Setidaknya itu menjadikanmu tau mana batasan yang harus Kamu simpan untuk dihindari dan batasan yang harus Kamu robohkan’,
Siang itu Bapak seperti ingin kembali mengingat bahwa selalu ada pelajaran penting dari jeda pendek yang memisahkan mati dan hidup. Aku dan Zainal kembali naik kapal dan menyelesaikan kerjaan ini dan pulang sekitar sejam kemudian.

30 April 2016
Selengkapnya...

Cerita Malam Itu..

Tidak banyak keramaian yang bisa dihindari. Malam itu, aku berjuang untuk satu keinginan dan melawan ketakutakanku sendiri. Aku harus bertemu teman” masa kecilku dan mengacuhkan keramaian di tempat pertemuannya. Aku tidak tau kalau café Sofyan ini akan serame ini saat malam. Dipenuhi banyak anak” SMP SMA dan beberapa pemuda/i jauh dari sini. Aku bahkan tak bisa berkutik duduk di sudut café, yang ditinggal Sofyan karena harus melayani pelanggan, menunggu kedatangan teman lainnya, bodoh karena datang pertama, sesuai jam yang dijanjikan.

Aku bukan ingin segera tau rasa kopi hitam racikan Sofyan, tapi aku tidak sabar bertemu mereka. Para bajingan yang akhirnya kembali ke Sepulu setelah enam, tidak, tapi tujuh tahun merantau. Tapi bagi mereka, aku lebih keparat dari sekedar mencuri uang rakyat. Aku meninggalkan Sepulu setelah SD, beberapa kali pulang tapi bukan untuk mereka. Lebaran dan liburan singkat lainnya adalah alasan yang bagiku masuk akal untuk hanya menyapa hai pada mereka. Karenanya, malam ini setelah mendapat kepastian beberapa diantara mereka berada di sini, tak ada alasan yang bisa menahan menghadiri pertemuan ini.

‘Jadi, ceritakan. Kenapa lama sekali..?’, suara seorang perempuan datang tepat dari belakangku. Aku mengernyitkan dahi, menunggu benar tidaknya suara itu ditujukan padaku. Satu”nya perempuan yang bersedia hadir malam ini adalah Silvi, teman perempuan pertamaku. Silvi makhluk lain jenis pertama yang tidak bisa aku hindari. Ketakutanku pada perempuan tidak berlaku padanya. Aku bahkan bisa makan dengan satu kaki diangkat di depannya.

‘Aku nanya. Kenapa lama sekali..? Kamu paling susah ditemuin lho’, aku menoleh ke kanan tempatku duduk, tempat suara itu berasal dua detik kemudian.
‘Hai Sil. Maksudnya lama sekali..? Susah ketemu itu cuma sama Kamu. Kamu malah gak bisa dihubungin sejak dua tahun lalu. Hayo lohh’, ternyata benar Silvi. Aku hampir tidak bisa mengenalinya dengan jilbab dan lipstick itu.
‘Mana ada..?! Tiap pulang, aku ke rumah anak” lain, termasuk rumahmu. Ibumu cerita, bilang kalau seringkali yang nelpon duluan itu Ibumu, bukan Kamu. Kamu tuh ya, segitunya kerja’,
‘Bukannya Kamu mau nikah ya..? Kok masih nyerocos gini aja sih kalo ngomong..? Kalem, yang manis jadi perempuan’,
‘Ya justru karena mau nikah, gak usah jaim. Gak usah sok cool, dingin kayak Kamu. Suka diem, menyendiri di kamar. Ini ngapain sih baca buku..? Ih, kita kan mau rame” bareng. Ngapain sih bawa buku, bawa tas lagi. Pasti Kamu bawa bolpen ya..?’, tangan Silvi gak berhenti merogoh tas kecil yang aku bawa.
‘Ini buat baca, buat nunggu, aku yakin kalian pada telat datang. Eh, nyari apa sih..?’,
‘Meriksa aja. Biasanya ada puisimu di tiap buku yang Kamu bawa. Tumben yang ini gak ada. Biasanya di kertas, ada di selipin gitu’,
‘Ada di halaman dua sebelum belakang’,
‘Oh iya, ini dia. Hmmm. Sialan. Ini buat siapa..? Ngaku. Ini tanggalnya 2 Januari. Hayo ini buat siapa..? Kamu tuh ya, punya pacar gak cerita. Siapa perempuan gak beruntung ini..? Cerita. Ayo cerita, anak” belum datang. Ceritaaa’,
‘Gak punya pacar’,
‘Trus ini buat siapa..?’,
‘Hmmm gak tau sih. Kalau pacar sih bukan. Soalnya dia gak mau disebut pacar, gak mau pacaran juga. Gebetan juga enggak. Aku juga gak tau dia mau aku gebet apa enggak. Parahnya, mungkin dia gak tau lagi aku deketin. Ya aku juga sih yang keliru ya. Aku gak pernah bilang apa”. Takut. Tau sendiri kan kalo aku ketemu sama perempuan kayak apa. Apalagi kalau aku suka sama tu perempuan. Bisa grogi gila. Kenapa liatnya gitu..?’,
‘Gapapa’,
‘Eh, kenapa..?’
‘Gapapa. Aku seneng lho liat Kamu banyak omong tentang perempuan. Kamu itu, hmmm, lagi jatuh cinta ya..?’, suara Silvi lirih sambil ngacak” rambutku.
‘Apaan sih..?’,
‘Udah lama lho aku gak ketemu Kamu yang kayak gini. Cerita panjaaanggg. Dua tahun lalu, terakhir kita ketemu, Kamu banyak nanya dan aku yang cerita tentang tunanganku. Gantian dong sekarang’,
‘Ah, apaan sih. Enggak ah’,
‘Apanya yang gak..? Trus, apa namanya kalo bukan jatuh cinta..? Seorang Hamim, ngomongin sesuatu panjang lebar, berarti dia sedang antusias banget. Kamu tu ya, Kamu pikir aku gak tau apa” tentang Kamu. Ayok cerita’,
‘Hahahaa, apaan..? Kamu tau aku lagi pakai celana dalam warna apa?’, Silvi menarik sarung yang aku kenakan ke belakang dan membuka kaosku ke atas. ‘Bentar ya’,
“Sil, eh, parah. Ngaco nih. Banyak orang’,
‘Jadi kalau gak banyak orang saya boleh liat celana dalammu..?’,
‘Ya gak jugaa’, aku tarik jilbabnya sampai melorot. ‘Kenapa senyum”..?’
by the way, Kamu enggak kangen aku..? Dua tahun lho kita gak ketemu. Dua tahun itu lama’,
‘Enggak, Kamu yang ngilang ke Pasuruan. Aku mah di sini” aja. Lebaran juga pasti pulang. Kamu mungkin yang kangen aku’,
‘Iya. ternyata aku kangen banget sama Kamu. Kamu tuh asli, nyebelin banget. Kangen sama mukamu yang sinis itu, datar kayak nampan’,
‘Ternyata..? Kok pake ternyata. Jadi tadinya gak kangen..? Trus barusan ketemu jadi kangen..? Aneh’,
‘Iya, bisa lah kayak gitu. Jangan bilang kalau sekarang Kamu gak kangen..?’
‘Enggak tuh’, rambutku tambah diacak gak karuan.
‘Yaudah aku pulang’,
‘Pulang aja’, Silvi beranjak dari meja. ‘Eh Sil, becanda. Sil’, Silvi berjalan ke arah Sofyan dan memesan minuman.
‘Takut aku pergi ya..?;
‘Enggak. Gak enak aja ama yang lain. Soalnya aku menjanjikan Kamu juga bisa datang’,
‘Kamu tuh kapan gak jahat coba’, Silvi mencubit perut bagian kiriku.
‘Kangennya udah ilang. Kan udah ketemu. Tadi sih pas tau kalo bakal dateng, ya senang gitu. Kangen sama kalian. Sama Kamu juga, ngilang dua tahun dan gak ada nomor hape yang bisa dihubungin’,
‘Nah, sekarang ceritakan perempuan itu. Bentar, biar aku tebak. Hmmm, manis anggun dan smart. Berarti, hmmm, dia pake rok?’
‘Enggak. Eh, bentar manis anggun dan smart itu maksudnya apa..?’
‘Itu kan kriteriamu’,
‘Tau dari mana..?’,
‘Ada deehhh. Hmmm, kalau gitu dia pake jilbab..?’
‘Iya’,
‘Dia pake celana..? Dia tomboy..?’,
‘Pake sarung, gak tomboy’,
‘Serius. Dia pake celana..?’
‘Iya’,
‘Hmmm, temen kantor..?’,
‘Iya. Mau terusan nebak atau aku cerita aja..?’,
‘Cerita apaan..? Mau dong’, tiba” Sofyan, Ook, Lauhim, Hilmi duduk di seberang meja. ‘Gimana kabarmu, Mim..?’,
‘Heii, Alhamdulillah baik. Kalian gimana..?’, aku menggenggam tangan mereka satu per satu, lama, hangat dan penuh kerinduan.

Malam itu, aku tak hanya mengacuhkan keramaian yang biasanya aku hindari. Aku bahkan tak bisa berhenti tertawa dan sesekali cerita panjang tentang kehidupanku di Malang dan Surabaya. Kami gantian bercerita tantang kehidupan yang saat ini dijalani, rencana” masa depan dan bujukan pada mereka yang masih di luar Sepulu untuk pulang, untuk membangun Sepulu. Malam itu, tak ada pendengar yang baik. Kami nyeletuk setiap cerita, menyanggah setiap pernyataan dan menertawakan semua kisah masa kecil kami. Malam penuh nostalgia, aku gila jika mengatakan tidak merindukan moment ini. Malam itu, rasanya aku ingin menjejakkan kaki di tempat tak ada lagi pijakan setelahnya. Malam itu juga menghadirkan ketakutan, takut pertemuan ini tak terulang lagi.

Malam, 30 Januari 2016
Selengkapnya...

Meningkatkan Level..

Sebenarnya, di mana letak jeda yang memisahkan 'peduli' dan 'khawatir'..? Seharusnya seharian ini aku memiliki tawa yang sumringah dan jejak yang tegap melihat langit mendung. Pagi ini aku bertemu Ibu, Bapak, Zainal, Zein, Kak Hakim, apalagi yang harus aku pedulikan pada luka? Lupa, terhanyut oleh semua jalan" yang aku tempuh ke Perum Wiguna sana. Harumnya pertemuan ini sama halnya aku bertemu denganmu semalam meskipun beda level. Tapi perbincangan di dalamnya, membuatku khawatir dan harus meningkatkan kelas peduli.

Sepertinya aku harus merangkum 'peduli' dan 'khawatir' dalam satu jamuan yang harus aku santap. Dari obrolan itu aku tau, rumahku, mulai dekat dengan narkoba. Tiga hari lalu, salah seorang tetanggaku berurusan dengan polisi karena kedapatan mengantarkan sabu" ke pemesan. Beberapa blok dari rumahku, bandar besarnya tertangkap. Tetanggaku, tetangga yang aku maksud ini adalah adik kelasku dua atau tiga tahun di SD, aku lupa. Bukan itu poinnya. Aku gelisah mendengarnya, justru karena rumahku dekat dengan narkoba.

Mulai sekarang, aku pastikan 'peduli' dan 'khawatir' itu sudah ada dan menggenapi semua inderaku. Bukan untukku, tapi untuk orang" yang aku sayangi di sana. Obat"an keparat ini tak akan aku biarkan lewat di kaki" kecil keluargaku.
Selengkapnya...

Wanna Tell You Something..

Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tentang rindu yang tak bisa lagi aku tahan hanya dengan memandangi fotomu. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tapi aku tidak ingin mengganggu dan membuat harimu semakin busuk karena sapaku. Aku tidak tau apa yang sedang Kau inginkan, pikirkan, resahkan dan Kau renungkan. Tapi bertanya pun hanya akan menempatkanku sebagai manusia paling menyebalkan dalam hidupmu. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tentang risau yang tak akan terbayarkan hanya dengan seperangkat earphone dan gadget yang aku gunakan. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tapi biarkan aku simpan dulu dan Hai, semoga harimu baik" saja. Selengkapnya...

Tidak Semua 'Terlambat' Bagus..

Aku tidak ingin hal hebat terjadi padaku. Setiap harinya aku sudah mendapat cukup anugerah yang dibutuhkan. Mendengar suara Ibu dari seberang telpon, menggerakkan jemariku di atas kertas, melihat senyum dia disengaja atau tidak, atau berbuat banyak dengan apa yang pernah aku dapat. Meskipun belakangan, aku merasa kebahagiaan menyelinap keluar dari diriku. Entah aku yang bangsat, atau karena lingkunganku yang sudah tidak lagi baik.
Aku harus bertempur dengan semua kebusukan ini sendiri. Aku tidak ingin melibatkan orang lain. Aku tidak ingin orang yang aku sayangi tau. Aku tidak ingin mereka juga harus mengadu kekuatan dengan para bedebah yang sedang berdiri di depanku. Biarkan seperti ini. Semua orang di sekelilingku harus tertawa. Tertawa karenaku akan jauh lebih bagus. Aku tidak ingin membagi luka, yang mungkin hanya bisa dipahami hanya saat merasakannya langsung.
Aku harus terus berjalan diantara setapak lorong yang mereka ludahi. Siapapun boleh merendahkanku, tapi tidak dengan temanku, tidak dengan orang yang aku sayangi. Siapapun Anda. Aku tak akan menjilat untuk membersihkan keringat ini. Biarkan saja begini, biarkan aku usap sendiri. Dalam kesenjangan sinar sore dan petang pun, aku akan tetap melangkahi pandangan para bedebah ini. Bedebah yang tak tau membedakan kebaikan dan keuntungan. Dua hal yang hanya diapahami jika Kau membeli buah segar di pasar tradisional dengan penuh keikhlasan.
Aku sudah muak dengan suara yang akhir" ini seringkali berteriak tepat di telingaku. Mempecundangi kebaikan dengan mempersilahkan keuntungan, yang Kau pun tak tau untuk siapa. Aku tidak ingin lari. Aku hanya butuh menyimpan tenaga untuk melindungi yang lain. Agar tak ada yang menyentuhnya, agar tak ada lagi ada mendung di antara kelopak matanya. Hal yang aku benci dari diriku sendiri. Menangis tanpa air mata. Kebodohan yang hanya Tuhan berikan padaku.
Semua detik yang aku butuhkan mungkin sudah lewat saat aku menulis bingkisan cerita ini. Samar" aku melihat langit tengah kota Surabaya dikepung mendung. Mungkin juga aku sudah melewatkan senyum paling sumringah dia hari ini. Atau mungkin aku sudah melewatkan diskon makan siang di Sutos hari ini. Banyak hal yang mungkin terjadi diantara 'sekarang' dan 'tidak pernah'. Beruntungnya aku pernah merasakannya semua, walaupun bukan hari ini. Memandangi mendung dengan pupil mataku sendiri, menikmati senyum dia yang dikepung wajah sinisnya dan merasakan makan siang yang lebih hangat bersama temanku di Sutos beberapa waktu silam.
Beginilah akhirnya, aku akan menghujat kerikil yang memenuhi perjalananku. Dan aku harus kembali berpura tersenyum dengan kepalan tangan yang aku simpan. Tapi, tak ada yang lebih parah dari filsuf yang terlambat bijak. Sebuah keharusan yang ditakdirkan. Seperti teman yang terlambat peduli. Atau pemimpin yang terlambat cerdas. Atau fajar yang terlambat bersinar saat pagi. Atau ilmu yang terlambat diamalkan. Kau harus tau kapan bersikap, saat waktunya sudah tepat. Seperti aku harus mengakhiri tulisan ini, sebelum terlambat.
Selengkapnya...

Siang Tadi..

Siang ini adalah siang yang aku rindukan. Mendung muncul. Menguntit diantara panas dan birunya langit. Samar" angin juga menyapu jalanan, menambah suasana rindang pohon karena dedaunannya. Aku tak berhenti bertanya dan bergumam, 'semoga semuanya baik" saja. jika ada yang buruk buatku, semoga baik buat yang lain'. Rute monoton ke masjid pun terasa sangat tuma'ninah siang ini.
Kehilangan memang menyedihkan, tapi sangat menyakitkan jika kehilangan tersebut melibatkan sesuatu yang selalu hadir di harimu. Perjalanan Dzuhur ini misalnya. Aku mungkin tidak sesedih kru On Air, News Room, She Radio dan Mb' Restu Indah saat Mas Yoyong, Om Aris dan Abah Rifi tidak lagi bersama Suara Surabaya Media. Bersama Om Iman, mereka bertiga adalah para Master Chef yang memenuhi daftar menu di Suara Surabaya. Perjalanan mereka bertiga ke masjid pun tidak selalu sama. Begitupun aku. Tapi, aku merindukan, tidak, aku kehilangan obrolan dengan mereka seusai Dzuhur digelar.
Om Yoyong sambil menungguku mengikat sepatu, sering melontarkan pertanyaan nyeleneh. 'Kid, kenapa Kamu jadi karyawan? Menulis bisa ngasilin banyak duit lho'. atau pernah pertanyaan horror 'Kid, apa idemu untuk SSTODAY jam 1 nanti? Temanya bla bla bla'. Abah Rifi lebih menakutkan. 'Cong, kapan pulang terakhir? Apa idemu buat Bangkalan?'. Semua pertanyaan itu memenuhi perjalanan pulang kami dengan jalan kaki, kecuali Mas Anton nyulik.
Perjalanan itu akan lebih semarak jika tiba" Mas Alim dan Mas Punjung nyaut seketika. Kadang membully saya, kadang nyerobot pertanyaan tadi dengan jawaban yang gak kalah nyeleneh. dan saya, sangat beruntung bisa ada di antara mereka, berjalan dengan orang" hebat yang suatu saat aku curi ilmunya. Tapi sebagian dari mereka sudah tidak di lingkungan, sebelum aku mencuri penuh ilmunya. Mudah saja menyebut mereka orang hebat. Karena mereka sangat sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam bertindak. Aku? masih jauh. mendekati pun tidak.
Mungkin ini yang membuatku merasakan nyaman suasana siang ini. Aku kembali berjalan dengan gerombolan ini, tapi tanpa mereka bertiga. Hanya ada Mas Alim, Mas Helix, Om Iman dan Mas Punjung. Tidak jelas yang kita bicarakan, tapi hangat. Setiap kalimat berakhir dengan tawa dan saling menuding, tapi hangat. Seolah angin yang menemani mendung tadi tak terasa. Semoga semuanya baik" saja.
Selengkapnya...

Aku Tidak Ingin Percaya..

Aku tidak ingin percaya, aku menulis lagi. Padahal malam tak lagi hangat, hujan datang berkali-kali. Hal paling sendu yang tak mungkin aku lewatkan. Tapi aku tak bisa menahan emosi ini padamu. Bagaimana mungkin aku merindukanmu seperti ini. Kejam. Lalu aku juga tak bisa menahannya untuk memberitau padamu. Harusnya aku bisa menahannya seperti biasa, seperti biasanya. Dan mendoakanmu diam", agar Kau baik" saja. Seperti sedang mengalami hari biasa, penuh tawa, tanpa kehadiran bajingan kecil yang belakangan ini sering dapat masalah dengan atasan.

Aku tidak ingin percaya, aku menulis lagi. Padahal lelahku belum usai, saat instruksi aneh datang padaku berkali-kali. Hal paling memuakkan yang tak mungkin aku lewatkan. Tapi aku malah menulis semua kata rindu ini padamu. Semua kalimat beserta paragraf yang sedang Kau baca ini, hanya akan mengantarkanmu pada semakin buruknya jarak antara kita. Aku hanya tidak bisa lagi membingkainya dalam diam. Aku sudah berusaha sekeras mungkin tidak lagi menulis untukmu, dalam kegilaan rasa yang entah apa namanya. Lalu semua akan hilang pada waktunya. Meninggalkan tanda tanya yang akan aku dan Kamu temukan di akhir pembicaraan. Hilang, tak hanya memudar dan tak akan kembali berpendar.

Aku tidak ingin percaya, aku menulis lagi. Padahal masih banyak barang yang harus aku masukkan kardus, untuk aku pindah di kamar dan rumah lain yang akan aku tempati. Hal paling memberatkan setelah rasa nyaman datang berkali-kali. Tapi aku malah menulis semua ungkapan menjijikkan ini padamu. Entah apa rasamu, aku harap ada kata lain selain jijik, padaku. Karena jauh di dalam hatimu, Kau tidak akan mengiyakan. Karena beberapa kilometer dari langkah kaki terakhirmu sekarang, ada seseorang yang sedang Kau rindukan, dan bukan aku. Seseorang yang membuat tawamu tetap nyaring terdengar, dan bukan aku. Seseorang yang akan membuat jemarimu melentik seketika untuk satu paragraf rindu, dan bukan aku. Aku akan mengerti, seseorang itu bukan aku.

Aku tidak ingin percaya, aku menulis lagi. Padahal aku masih dalam situasi resah yang datang padaku berkali-kali. Hal paling aku hindari, karena akan membuatku susah berpikir, membayangkan wajahmu. Karenanya, sembunyi" aku bingkai dirimu di kamera. Tapi aku malah duduk di depan laptop ini dan menulis semua yang aku rasakan pada setiap pertemuan kita, yang tak sering dan kadang tak terjadi meskipun sengaja. Karena aku masih bertanya siapa sebenarnya yang Kau tuju, meskipun aku tau bukan aku. Keresahan tentang siapa yang akan mengisi hatimu nanti, ruang kosong yang belum ingin Kau isi. Atau mungkin sudah terisi dan tak Kau biarkan nama itu mampir di pendengaranku. Tubuhmu sudah bersandar di mata angin yang berbeda. Aku seperti orang tolol, tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi denganmu, pada rasamu yang tidak mungkin padaku. Kau menanti malam, saat aku menunggu datangnya fajar.

Aku tidak ingin percaya, aku menulis lagi. Menulis tentangmu, yang tetap aku rindukan tiap malam datang..
Selengkapnya...

Akhir Februari..

Aku sudah menantikan besok, hari berakhirnya Februari. Terlalu banyak dinamika terjadi dengan ketidakberuntungan di sisiku. Bahkan, sampai sejam sebelum tulisan ini ada. Aku ingin sekali berteriak, mengatakan sesuatu seperti berkata kotor. Dada ini sesak, bahkan mataku tak berhenti memicing sampai tulisan ini selesai. Kulit diantara kedua alisku berlipat-lipat tanpa aku mau. Seolah ada iblis bersandar di bahuku, bergelantung di kelopak mataku dan mengelus dadaku dengan tawa riang. Aku tak berniat mengusirnya, aku ingin tetap begitu sementara waktu. Sampai aku tau, bagaimana cara menguasainya.
Aku sudah menantikan besok, hari berakhirnya Februari. Bulan yang katanya penuh kasih sayang. Is bullshit. Satu"nya kasih sayang yang aku dapat hanya saat mendengar suara ibuku di ujung telpon. Mungkin seminggu sekali, kadang lebih. Berulang kali aku berusaha tersenyum, tapi iblis lain datang dengan wujud manusia di sekitarku. Bahkan sejam sebelum tulisan ini dibuat. Ingin sekali aku menyiram setiap rupa itu dengan air, tapi pastinya hanya membuat masalah semakin rumit, dan membuat hari"ku semakin busuk. Bisa saja aku membiarkannya seperti ini sepanjang waktu, tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin kebencian ini menguasaiku saat bertemu denganmu nanti.
Aku sudah menantikan besok, hari berakhirnya Februari. Mungkin tidak hanya aku, kedua teman juga demikian. Satu diantaranya malah menderita darah tinggi dan menerima siklus bulanan lebih cepat. Satu lainnya akhirnya memilih untuk selalu diam, menghindari bermasalah. Aku adalah perwujudan keduanya mungkin. Dua hari lalu, seorang teman bilang padaku, aku mengalami darah rendah. Kurang istirahat dan banyak pikiran. Aku juga akhirnya memilih diam, bukan karena dibungkam, tapi karena tidak sepaham. Bahkan sejam sebelum tulisan ini dibuat. Aku tidak tau sampai kapan aku membiarkan ini. Aku hanya ingin tau sampai mana batasku.
Aku sudah menantikan besok, hari berakhirnya Februari. Seperti manusia lainnya, aku memiliki harapan pada waktu yang semestinya atas kuasaku. Aku berharap Maret jadi bulan yang baik. Seperti Januari, bulan penuh pertemanan, persahabatan dan semua kasih sayang numpuk di sana. Aku ingin mengulanginya lagi. Maret, mestinya jadi usaha dan kuasaku untuk mengupayakannya.
Aku sudah menantikan besok, hari berakhirnya Februari.
Selengkapnya...

Talak 3; Pesan Moral yang Segar..

Apa jadinya jika sepasang suami istri yang sudah bercerai dengan vonis talak 3 ingin rujuk? Itu yang sedang diusahakan Bagas dan Risa setelah 3 bulan pengadilan negeri mengabulkan gugatan cerai mereka. Keinginan rujuk itu semakin menjadi setelah kerjaan utama mereka berdua menjanjikan bayaran besar yang akan menyelamatkan kondisi keuangan keduanya. Syaratnya, keduanya harus kembali bersatu. Tapi, niatan rujuk tersebut baru berhasil setelah si perempuan melewati satu kali pernikahan lainnya atau yang disebut muhallil. Jadilah Bagas dan Risa mencari seorang pria untuk jadi suami 'sementara'.

Usaha mencari muhallil ini tidak mudah. Dari seorang kenalan Bagas sampai mantan pacar Risa saat SMA sudah didatangi sebagai kandidat suami sementara ini, tapi selalu saja ada kriteria penting yang mengharuskan si kandidat gugur. Sebelumnya, Bagas juga sudah melakukan cara melanggar hukum dengan membuat identitas palsu dan menyuap, tapi juga tidak berhasil. Pada akhirnya, mencari muhallil tetap dilakukan dan pilihan tersebut jatuh pada Bimo; teman kerja Bagas dan sahabat Risa sejak SD.

Singkat cerita, Bimo harus melakukan peran sulit pertamanya sebagai orang yang akan melamar Risa, yaitu menaklukkan hati Budhe Risa. Tapi masalah utama muncul, benih-benih cinta antara Bimo dan Risa hadir di tengah usaha rujuk ini. Persoalan semakin runcing setelah Bagas mengetahui perasaan keduanya. Semua konflik ini bisa Kamu saksikan di film Talak 3, yang masih tayang di beberapa bioskop Indonesia hari ini.

Umumnya, animo orang nonton film karena keterkenalan salah satu unsur di dalamnya. Entah pemain, sutradara, penulis skenario atau cerita (diadaptasi dari novel terkenal atau biografi). Bahkan beberapa calon penonton menjadikan unsur-unsur itu sebagai jaminan kalau film tersebut bagus. Film ini, banyak. Pemainnya, Vino G Bastian sebagai Bagas, Reza Rahardian sebagai Bimo dan Laudya Cintya Bella sebagai Risa. Soal reputasi, ketiganya tidak perlu lagi diragukan. Vino adalah aktor utama terbaik FFI 2008, Reza menerima penghargaan yang sama di tahun 2010 dan 2013, sedangkan Bella sudah malang melintang di banyak sinetron, FTV dan film bioskop sejak masih sangat belia. Maka, kombinasi ketiganya dalam satu film, itu keberuntungan kita sebagai penonton.

Sutradaranya dua sineas kreatif; Hanung Brahmantyo dan Ismail Basbeth. Mungkin Kamu sudah tau karya-karya Hanung, tapi agak asing dengan Ismail. Pria 30 tahun ini memang besar sebagai sutradara film indie. Tapi tahun lalu, Ismail adalah penerima piala FFI ‘Sutarada Terbaik’ lewat film bioskop pertamanya ‘Mencari Hilal’. Sudah? Belum. Sampai di sini mungkin Kamu merasa tulisan ini muji habis”an film Talak 3. Santai, penulis bukan tipe gawat muji karena hal” tertentu, tapi film ini memang maksimal menyajikan semua komponen dalam film. Hanung, Ismail serta Hilman (penulis skenario) terasa berhasil mengeluarkan kemampuan akting ketiga aktor utamanya, sehingga alur ceritanya kuat dan konflik yang dibangun benar” greget.

Talak 3 tidak hanya memberikan cerita adem dengan konflik, tapi kesegaran ide beserta pesan moralnya. Kehidupan rumah tangga sederhana yang dimunculkan Talak 3 seolah nyata bisa ditemui di sekitar kita. Pasangan muda, kerja keras, egoisme, ekonomi kreatif, intrik, pengkhianatan, persahabatan, kejujuran, cinta terpendam dan ikhlas. Semuanya mengepung film ini dengan persoalan yang seakan tiada putus sejak awal. Lalu jujur pada diri sendiri yang bermuara pada ikhlas muncul sebagai antiklimaks. Segar.

Belum lagi latar tempat yang dipilih kedua sutradara ini adalah Jogjakarta; wilayah yang penuh dengan kreatifitas dan budaya. Kamu yang pernah, datang, tinggal di Jogja terasa diajak bernostalgia dengan jalan-jalan, bangunan ikonik dan tempat wisatanya, meskipun cuma satu. Sekaligus jadi nilai minus yang penulis temukan, eksplorasi latar tempat yang tidak banyak. Hanung dan Ismail tau betul memainkan sisi emosi lainnya; romansa.

Sampai tulisan ini dibuat, 2 pekan di bioskop, Talak 3 menempati posisi kedua film Indonesia dengan penonton terbanyak (368.736)*. Btw, seperti biasa, Hanung (sepertinya beserta Ismail) muncul di salah satu adegan. Hmmm, dengan kesotoyan ilmu film yang penulis buat, nilai film Talak 3: 8.5/10. Layak ditonton.


*sumber: filmindonesia.or.id
Selengkapnya...

Mengasingkan Diri..

Semalaman aku sengaja mengasingkan diri di sini, di sudut ruang New Media. Telingaku menikmati suara Adele dalam alunan lagu 'When We Were Young', sementara jemariku tak berhenti mengetik sejak petang, saat Surabaya diguyur hujan deras. Sebenarnya, aku hanya berpura menikmati lagu ini, aku berusaha. Aku sedang mengembalikan mood menulisku, yang perlahan memudar. Saat mendengar intro single ini, aku seperti menemukanmu, seperti aku menemukan cara mengembalikan mood menulis beserta inspirasinya.

Malam ini aku berada dalam gelisah yang jumlahnya tak sedikit. Aku ingin menulis banyak hal, aku sudah tak ingin menampungnya di kepala kecil ini. Terlalu banyak, berkecamuk ingin keluar semua bersamaan. Baru" ini aku berusaha mengingat menulis review film, genre yang sudah lama tak aku lakukan sejak SMA. Aku ingin sekali menulis review film 'Talak 3', film bagus yang aku tonton di tayang perdana kemarin. Saat nonton film ini, kepalaku tak berhenti mengatur alur untuk menulis sinopsisnya. Tapi, selalu begitu. Muncul saat tak diinginkan, dan menguap saat di kamar, di depan meja, di depan laptopku.

Suara bass dan piano lagu 'When We Were Young' masih menggema di telingaku saat ini. Keresahanku bertambah saat melihat gelas berisi kopi di samping keyboard. Sekilas mengingatkanku, kopi Lanang Malangsari di toplesku menipis. Aku bingung harus diisi kopi yang mana lagi tu toples. Berharap besok aku bisa menemukannya. Belum lagi, aku masih memikirkan bagaimana cara menulis review film yang baik. Aku sudah mencari file majalah SMAku dulu sebagai komparasi. Tapi hasilnya nihil. Ironis, hal itu juga yang terjadi padaku. Semakin berusaha mencari dan menemuimu, semakin tebal tembok yang ada di hadapanku untuk aku robohkan. Tapi aku enggan. Aku tidak ingin merusak apapun, merobohkan apapun, jika akhirnya bukan menyisakan senyum di bibirmu.

Malam ini, sekali lagi, aku berpura tak terjadi apa". Aku menggerakkan kaki sepanjang tulisan ini dibuat dan mematikan androidku. Aku sedang berusaha mengembalikan mood, memintalnya hingga menumpuk dan menulis review film 'Talak 3'. Bodoh. Cara menulis review film-nya saja aku masih mencari. Aku lupa. Aku tidak ingin menulis dengan struktur biasa" saja untuk review film yang tidak biasa saja. Ini juga yang sedang aku lakukan untukmu, mungkin. Aku tidak ingin menjadi biasa" saja, untukmu yang tidak biasa saja.
Selengkapnya...

Pengasingan..

Malam ini, aku berada dalam pengasingan. Di satu sudut ruang kepalamu yang tak bisa aku terka, tak bisa aku baca. Aku tidak memilihnya, aku berada di sini untuk suatu alasan yang belum aku temukan. Mungkin aku bersembunyi, sengaja. Mungkin juga aku tersembunyi, di sini, di satu sudut ruang kepalamu.

Aku melihatmu berkali", dari dalam sini, di satu sudut ruang kepalamu. Seringkali saat Kau terpejam, beberapa kali saat Kau membuka mata tak sengaja. Apa Kau merasakannya? atau hawa kehadiranku terlalu tipis untuk Kau rasakan? Aku pernah berteriak, memanggil namamu, tepat di telinga kananmu. Saat tau tak terdengar, aku pergi mengelilingi kepalamu. Aku tiba di ujung telingamu yang lain, aku teriakkan namamu lagi. Tapi sepertinya aku memang begini, berada dalam pengasingan.

Aku masih di sini, terjaga, mendengar dongeng yang mampir di pendengaranmu. Sesaat kemudian, matamu mengecil, menutup, lalu terpejam. Sedang aku, tergerak mendekat, berlari ke arah suara yang belum berhenti bercerita dongeng padamu. Mungkin untuk mengantarkanmu tidur, atau Kau tak sengaja tidur mendengar cerita dongeng itu. Beruntung sekali pemilik suara itu, mengantarkanmu tidur, lalu melihat senyum aslimu sesaat setelah matamu terpejam. Aku berusaha keluar, tapi semua organmu tak bekerja. Ternyata aku benar" berada dalam pengasingan.

Aku sudah bertanya padamu, saat Kau tidur tadi, tentang keberadaanku. Apa benar aku berada dalam pengasingan, di satu sudut ruang kepalamu? Mungkin Kau mengigau, atau Kau benar" mendengar suaraku lalu menjawab? 'Semalam saja', katamu lirih masih dengan mata terpejam. Tidak, bahkan aku tidak ingin berada di sini lama. Dalam pengasingan, entah terjebak atau tidak, tapi aku tidak ingin melewatkan malam tanpa merasakan indramu. Aku ingin keluar dari sini. AKu akan memaksa keluar dari sini jika benar aku berada dalam pengasingan. Untuk melihatmu, untuk menatapmu, untuk menuntaskan rindu.

Malam ini, aku berada dalam pengasingan, di satu sudut ruang kepalamu. Untuk apa aku di sini? Benarkah aku berada dalam pengasingan, atau Kau sengaja menempatkanku di sini?
Selengkapnya...

Hari Kesembilan..

Sudah delapan hari Surabaya diguyur hujan dengan rutin. Setiap hari hujan dan setiap hari deras. Delapan hari itu, Surabaya jadi adem setelah sebelumnya didera panas yang sangat tanpa setetespun hujan. Dua hari pertama dari delapan hari itu, hujan turun saat pagi. Setelah Subuh sampai mengantarku berangkat kerja. Aku tak bisa menolak rezeki ini. Hujan"an berangkat ke kantor. Enam hari berikutnya, hujan turun deras saat petang. Hampir rata di Surabaya, sebagian datang lebih awal hingga petang membenamkan senja, peristiwa yang sudah lama tidak aku dan Kamu lakukan bersama.

Pagi ini adalah hari kesembilan, mungkin seperti hari sebelumnya, Surabaya diguyur hujan saat petang nanti. Meski begitu, Surabaya pagi ini adem sejak Subuh. Mendung agak lama mendiami langit Surabaya. Sampai aku menulis ini pk. 09.30 WIB, mendung masih nampak dan memberikan senyum sumringah di beberapa bibir yang aku temui saat berangkat kerja tadi. Termasuk Rahman, seorang teman yang datang berkunjung dari Banjarmasin sejak Sabtu kemarin. Seharian kemarin, dia heran, cuaca Surabaya tak seperti yang dia kira. Adem dan nyaman seperti saat dirinya tinggal 5 tahun di Jogja dulu.

Pagi hari kesembilan ini, aku kerja lebih pagi. Aku melakukannya karena mendapat teror dari Zaki, seorang teman yang akan melangsungkan resepsi pernikahan petang nanti, waktu yang biasanya hujan sejak enam hari lalu. 'Mim, datang. Beberapa kali ngopi gak bisa, resepsiku harus bisa. Kalo gak, awas'. Teks ini datang bersama sebuah foto undangan pernikahan, dua pekan lalu, sepekan sebelum teror Sarinah terjadi. Mungkin maksud dia agar aku bisa izin lebih awal pada kantor. Aku tak membalasnya, karena undangan ini sudah Ia sampaikan dua bulan lalu, saat aku bersama dia dan teman" lainnya ngopi di kawasan Bendul Merisi. Kami semua mengiyakan, setelah kaget dua detik. Rahman, juga datang jauh dari Banjar karena resepsi ini. Zaki dan Rahman adalah sepasang kekasih. Sori, maksudku, mereka berdua adalah Comanisty yang melanjutkan pendidikan di Jogja. Hanya mereka berdua. Jadi, seolah tidak mungkin Rahman tidak datang ke acara ini.

Seharian kemarin, di hari kedelapan, aku, Izzin dan Lukman kebagian ber-kelanakota menemani Rahman keliling Surabaya. Hampir di semua lokasi yang kita datangi, aku hanya menguap dan mencari tempat duduk untuk bersender dan tidur. Sesekali pesan kopi jika ada atau buka handphone jika sempat. Izzin dan Lukman lebih lama berada di Surabaya, jadi mereka lebih paham tentang tempat asik di Surabaya, yang membuat Rahman rileks, dan membuatku nyaman tidur.

Pagi ini, di hari kesembilan, aku mulai bosan dengan teks yang datang padaku, mengajak, bertanya dan memaksaku cabut dari kota ini. Hampir semuanya mengajak liburan di kotanya dan dua teks diantaranya memintaku untuk pindah kerja. Gresik, Malang, Kediri, Semarang, Bandung, Cianjur dan Jakarta. Hmmm, aku masih ingin menemanimu ke Jogja. Harus tembus. Rencana ini sempat pupus karena Laras akan melakukan umroh di waktu yang sama. Setelah tau travel Laras mengundurkan jadwal, di kepalaku masih ada Jogja sebagai destinasi pertama liburan di kota lain, bersamamu. Setelah itu, aku harus menemui teror lainnya di Malang, sodara" yang sudah lama tak aku jumpai.

Pagi ini, di hari kesembilan, aku suntuk, dipenuhi kantuk dan membusuk. Butuh liburan, butuh hiburan. Bisa saja aku mendapatkannya petang nanti bersama Comanisty lainnya. Tapi aku selalu mendapatkannya saat hujan datang delapan hari ini, dan saat bersamamu.
Selengkapnya...