Jauh Dari Jarak Pandangmu

Tak banyak yang bisa aku lakukan malam ini. Aku hanya bersembunyi dari panas yang tak tau malu menyerang hawa malam. Aku hanya berusaha menghindari kebusukan siang hari di balik pintu kamar. Aku hanya menulis, dan berupaya seolah tak ada apa”. Aku hanya ingin membunuh bosan yang sudah lama menggelayuti raga.
Sekali lagi kembali sebuah bayangan menjelma dalam sebuah teks. Mengantarkanku untuk berlaku kejam dan tak sopan padanya. Perlakuan biadab yang sebelumnya pernah aku terima. Tapi aku tak ingin mengenangnya. Kenangan hanya akan menjadi hantu di sudut pikiran. Harusnya juga Kau tanamkan itu. Karena apapun yang Kau alami saat itu, itu hanya memperlambat tanganmu untuk menyambut cahaya lain yang lebih terang.
Aku ingin meredupkan sebuah keinginan. Keinginan yang tak bisa aku penuhi hanya dengan sebuah tekad. Aku tak bisa bergerak dalam sunyi dan berteriak dalam senyap. Aku memutuskan untuk lelap dalam lelah. Sekalipun sendu terus bertahan dan nyaman berada dalam tubuh mungil ini, aku terus mengingat pedihnya yang tak sebentar.
Pintu kamarku masih terkunci dari dalam. Segelas kopi dan beberapa batang biskuit tepat berada di sebelah kanan notebook dan buku catatan kerjaku. Di atasnya sebuah bolpen berada jauh dari tutupnya. Sebuah suara langkah kaki diam” mendekat dan berhenti di depan pintu. Seorang teman membuka dan menyapa dari baliknya. Dengan senyum yang dibuat”. Sama seperti kebekuan ini. Kita hanya membuatnya seolah besar dan tak bisa diperbaiki. Padahal sebuah senyum dan segelas teh sebenarnya cukup mencairkannya. Mengantarkan kita pada satu arah yang tak akan berbeda. Hanya saja sebuah nada pernah aku dengar dengan lembut dan tak bersuara menghampiri dan mendekam semua semu. Kemudian terluka.
Aku seringkali membuatnya terasa mudah. Atau setidaknya seakan-akan mudah seperti yang tampak. Tapi aku salah. Banyak yang tidak mengerti. Kau pun juga demikian. Menyimpulkannya sendiri. Terluka dan saling menyalahkan kemudian. Karenanya aku takut membicarakan tentang hati. Padamu dan pada siapapun. Maka aku tuliskan saja pada secarik kertas. Lalu aku akan aku simpan pada sebuah tempat. Sebuah tempat jauh dari penglihatanmu dan hanya aku yang dapat mengubahnya. Mungkin suatu hari aku akan mengirimkannya ke.. entah ke mana.
Tapi sialkulah, Kau selalu bisa menemukannya. Aku kira awan hitam yang aku kirim bisa menghambat langkahmu. Tapi aku salah. Kau dengan mudah berteman dengannya. Kau tiba” menangkapnya dan menuliskan sebaliknya. Maka aku putuskan untuk pergi saja. Jauh dari pandanganmu. Jauh dari jarak pandangmu. Jauh dari jalan yang bisa dengan mudah Kau rasakan. Biarlah tersimpan. Mungkin akan lebih aman.
Selengkapnya...

Katakan Saja..

Rasanya hawa pagi di kamar ini memunculkan keinginan untuk tetap menulis setiap hari. Entah motivasi apa yang ada di baliknya, yang pasti aku menikmatinya. Sama seperti saat ini aku sangat menikmati hembusan udara penuh wewangian di kamar ini. Kamar yang sangat nyaman untuk beristirahat sebenarnya setelah melakoni aktifitas sangat melelahkan. Namun, keinginan ini menunda sejenak tubuhku berbaring. Apalagi, seorang teman penghuni kamar sebelah, dengan kencang menyetel lagu” milik Sheila On 7. Hampir tak ada alasan untuk tidak terjaga.
Katakanlah..
Udara pagi ini juga yang mengantarkanku untuk kembali menelusuri jalan pikiranmu. Jalan pikiran yang tak pernah aku tau dan aku tebak. Aku seperti terjerembab dalam gerombolan ombak. Mengalir kencang dan memaksaku untuk terus bergerak. Mendikte iringan langkah di tepi air laut yang riak. Saat ini aku sungguh ingin mendekati ragamu dan berteriak. Sungguh, ini bukan karena aku baru saja minum dan tersedak. Tapi akibat degupan jantung yang tak beraturan terus berdetak. Bisakah Kau tak mengatakan tidak. Karena aku terus menghampirimu agar Kau jujur pada dirimu sendiri hingga Kau terdesak.
Katakanlah..
Dunia ini bukan lagi arena bertaruh dalam kesenjangan. Aku masih belum peduli pada topik” di luar sana yang selalu mengantarkanku istirahat lebih sedikit dari orang lain. Kasus Djoko Susilo, desas desus pencalonan Djokowi untuk jadi presiden, Ahmad Dhani yang sampai saat ini masih mengkhawatirkan kesehatan Dul, adanya mobil murah, langkanya kedelai hingga rivalitas Ronaldo-Bale dan Messi-Neymar yang mulai berlangsung. Aku masih hanya peduli pada alasanmu untuk tidak kembali membuka mulut kecilmu berkata. Berkata padaku apa yang Kau rasakan tanpa menutupi.
Katakanlah..
Bukan saatnya lagi Kau berada pada kebimbangan. Kau sudah melewati masa” itu dengan baik. Masa” dua tahun lalu yang selalu Kau takutkan. Masa” penuh rasa sakit yang sangat menguras emosi. Masa” sendu hingga Kau mengeluarkan air mata tak sedikit. Masa” keraguan untuk tetap menjalani hidup atau terus mengurung diri di kamar. Bukankah Kau sudah katakan padaku bahwa semua itu kebodohan. Kau juga mengatakan bahwa semua itu sudah berlalu dan tak ingin lagi mengingatnya. Bahkan Kau juga mengatakan bahwa setiap orang yang ada di sini, di Bumi ini, memiliki masa lalu yang ingin dihapus. Itu Kau yang mengatakannya. Mengatakan padaku. Mengatakan tepat di telingaku.
Katakanlah..
Aku tidak ingin memaksa kehadiranku untukmu. Aku hanya ingin melihatmu tak lagi berada dalam kubangan penyesalan dan kesedihan. Kau harus tersenyum. Senyummu, walaupun tak merepresentasikan kejernihan jiwamu, sangat tulus bagi orang yang melihatnya. Tak ada orang yang tak menyukai senyummu. Senyum yang selalu berhasil menghipnotis kepedihan orang” di sekitarmu. Senyum yang kadang berhasil dengan mudahnya membuat orang lain langsung terpana. Senyum yang sangat indah. Senyum yang suatu saat akan Kau tunjukkan padaku tanpa penghalang.
Katakanlah..
Katakanlah apapun yang ingin Kau katakan. Katakanlah sesuatu agar Kau tau apa yang sebenarnya menjadi keinginanmu. Katakanlah apa yang menjadi permintaan hatimu sebenarnya. Katakanlah. Katakanlah jangan ragukan jeritan hatimu. Katakanlah dengan lantang. Telinga dan ragaku siap mendengarkan semua kata yang akan Kau katakan. Katakanlah. Kau sudah lama menganiaya semua kata. Kau sudah terlalu lama menyandera semua kalimat. Kau tak bisa lagi memenjara semua huruf” itu.
Katakanlah..
#haikamu, ingatlah satu hal. Saat Kau berpikir bisa menghidarkan semua bahasa itu dariku, jangan pernah berpikir bisa menyembunyikannya dari Tuhan..
Selengkapnya...

Rindu Dalam Doa

Hari ini pagi, siang dan soreku menyatu dalam kebisingan. Aku tak bisa menyembunyikan kekesalan yang begitu saja muncul saat aku menemui soreku. Oh, tidak, tapi sore yang menemuiku. Membangunkan tidurku hingga aku merasa pagi dan siang meninggalkan semua keluh kesah yang ingin aku sampaikan.
Aku tidak tau pasti apa yang terjadi pada rindu yang sempat menghantuiku. Seakan musnah tanpa kelakar yang selalu tersembunyi dalam teks keheningan. Seakan hilang tanpa sendu yang selalu membuncah saat pikiranku tak bisa membendung bayangmu hanya dengan berpikir. Seakan senyap tanpa suara yang selalu berbisik lembut di setiap organ dalam tubuhku sampai aku gila. Entah apa yang terjadi. Aku tak bisa menemukan alasan dan jawabannya. Aku hanya bisa merasakan Kau lebih dekat. Sangat dekat. Hingga seakan wajahmu tepat berada di depanku dengan amarah yang membuat cantikmu memuncak.
Kebisingan sore ini semakin menjadi-jadi saat masjid di kompleks tempatku tinggal mengumandangkan adzan pada pukul 16.21. Katanya ada kegiatan pelepasan calon jemaah haji yang dilakukan sedari tadi. Mungkin adzan tersebut untuk menguatkan tekad dan niat mereka sebelum berangkat ke Sukolilo untuk menunggu kloter. Atau jangan” mereka memang baru shalat Ashar. Entahlah, apapun itu semoga kalian diberkahi dan dirahmati Allah. Semoga juga aktifitas hajimu mabrur sepulangnya nanti.
Samar” aku mendengar suara rindumu di sela” kebisingan tadi. Semakin jelas di telingaku saat aku kembali mengingat sebuah kabar dari seorang saudara-yang-aku-pilih semalam. Semacam kabar dan respon baik darimu. Semoga saja begitu. Karena aku tau Kau juga tak bisa menepikan rindu itu. Rindu yang juga mengalir deras dari pandanganmu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mendengar suaramu di tengah kebisingan yang tak sebentar itu. Aku hanya bisa tersenyum dalam kagetku. Apakah itu yang dinamakan rindu suci. Rindu yang tak pernah diungkapkan satu sama lain. Rindu yang memuncak saat keduanya tak saling bertemu, mengirim pesan teks tapi diam” saling mendoakan. Yaahh, akhir” ini aku sering mendengar kalimat itu dari Sudjiwo Tedjo.
Apa Kau melakukan hal yang sama..? Menyelipkan namaku di setiap doamu seperti yang aku lakukan..? Seberkas senyummu selalu hadir saat namamu aku sebut dalam doaku. Menggantikan bayangan senyum wajah lainnya yang aku sebut namanya bergantian.
Sore ini cepat berlalu dan lenyap dalam gelap malam. Aku masih duduk di depan notebook ini menceritakan semua keluh yang tak mungkin aku sampaikan pada lainnya. Tidak juga padamu. Karena sudah lama aku tak mendengar suaramu. Sudah lama sekali Kau sembunyikan dariku. Sudah lama sekali Kau hindarkan suara manjamu itu di telingaku. Sekali lagi, apapun yang terjadi, aku hanya berharap Kau baik” saja menjalani rutinitasmu di sana.
Selengkapnya...

#mancing

Malam ini hanya beberapa bintang yang bisa aku hitung di langit Surabaya. Semua sinarnya tampak memudar dalam barisan cahaya bulan. Angin diam” mengalun lembut diantara dua mataku yang tak bisa terpejam purna. Letihku masih bisa aku tahan di balik gelap kamar tanpa penerangan. Bahkan ragaku masih memaksa untuk kembali membuka beberapa kertas tanpa bahasa. Bahasa kesendirian yang tak mungkin aku ejawantahkan. Bahasa keramaian tanpa objek yang pernah aku tuliskan. Bahasa yang pernah terjerembab dalam kebisuan sedu sedan. Bahasa rindu yang memaksaku untuk menulis teks ini untuk sebuah derita.
Malam ini akan terasa sangat panjang. Bukan karena lelapku tak bisa aku arahkan. Bukan juga karena hawa panas Surabaya yang tak tau malu. Atau bukan karena besok aku akan menjalani psikotest di jalanan. Tapi karena aku bingung mendeskripsikan rindu yang sudah berlangsung lama, rindu yang tak bisa aku sampaikan padamu. Walaupun aku tau Kau juga merasakan hal sama jauh dalam hatimu.
Belakangan ini aku selalu berupaya mengajakmu berkomunikasi. Aku sudah tak tahan untuk menyapamu. Sudah seringkali aku menyakitimu dengan tak merespon semua senyummu saat bertemu denganku. Bahkan mungkin Kau membenci sikapku yang tak membalas pesan” teks yang Kau tujukan padaku. Yang terakhir, aku bahkan sengaja memalingkan wajah saat tawa renyah dan senyum manismu penuh dengan keterkejutan itu Kau arahkan padaku. Tentu aku melakukannya bukan tanpa alasan.
Beberapa waktu belakangan ini Kau begitu sulit dilihat. Aku bahkan tak bisa membaca yang terjadi melalui matamu. Dua pesan teks yang aku kirim berakhir tanpa respon. Sampai saat ini aku masih belum tau alasan Kau melakukannya. Mungkin Kau kembali jengah dengan desas desus di rumah KITA itu. Atau Kau kembali muak ada gosip yang membuatmu malu untuk memijakkan kaki di rumah itu. Tapi yang jelas dan terjadi padaku, keenggananmu membuat malam”ku penuh derita. Entahlah, aku hanya berharap Kau baik” saja menjalani rutinitasmu. Jauh dari demam yang beberapa hari lalu membelenggumu.
Kau tau, kebekuan ini membuatku hampir gila selama sehari lalu. Malam hariku selalu dipenuhi dengan imajinasi tak logis seperti kebanyakan urusan asmara lainnya. Sometimes, aku ingin menjadi sesuatu yang bisa selalu Kau sentuh. Kadang juga aku ingin menjadi udara yang selalu Kau hirup dan Kau butuhkan. Aku tak tau harus menjadi apa diriku agar Kau selalu melihatku. Melihat bagaimana rindu ini menyesakkan dada. Melihat bagaimana keramaian ini begitu sendu tanpa hingar bingar suaramu. Melihat bagaimana aku diam tanpa langkah untuk melihatmu dari kejauhan.
Aku tau Kau juga memiliki semua keresahan yang memuakkan ini. Tapi Kau harus lebih kuat karena aktifitasmu tak mengijinkanmu berada dalam titik jenuh ini. Diamlah di situ, di tempat Kau duduk dan memimpin kumpulan manusia itu. Diamlah dan jangan Kau hiraukan kabut rindu yang sedang melandamu. Lebih banyak yang membutuhkanmu di tempat Kau berdiri saat ini. Bahkan Kau menjadi idola dan harapan baru bagi himpunan itu dengan posisi yang saat ini Kau rengkuh. Diamlah. Jangan mencariku, berjalan ke arahku atau bahkan mengejarku. Suatu saat aku yang akan menemukanmu.
Kau boleh benci pada jarak ini. Pada semua hal yang memisahkan kiloan meter tempat kita berada. Kau juga boleh benci padaku jika suatu saat nanti ada pria lain yang berusaha lebih gigih daripada aku untuk mendapatkanmu. Hmmm.. Kau mesti sadari, bahwa Kau sangat mudah dikagumi seperti kataku. Kau juga mesti akui bahwa Kau sangat mudah untuk dicintai. Alasan lama yang pernah aku katakan, bahwa aku tak ingin memasung keinginan orang lain untuk mendapatkan senyummu. Walaupun aku tau hatimu hanya untuk aku taklukkan.
Kau harus tau bahwa setiap gerak kecilmu mampu meledakkan degup jantung pria di sekitarmu. Kau harus sadari bahwa senyum kecilmu mampu me #mancing semua pasang mata untuk terpana. Setiap detik anggunmu bisa saja membius semua langkah terhenti. Setiap perilaku smart-mu dapat dengan mudah dipahami sebagai pesona bagi yang lain. Tapi Kau harus tau, bahwa jika nantinya bukan tanganku yang Kau genggam, aku tetap tersenyum untuk kebahagiaanmu.
Selengkapnya...

Gute Nacht, Itu Saja

Bagaimana malammu..?
Sampai saat ini aku masih percaya bahwa keluarga adalah segalanya di luar urusan vertical dengan Tuhan. Keluarga tak hanya penting, tapi menjadi alasan untuk semua aktifitasku di semua malam 23 tahun ini. Walaupun, tak semuanya aku lakukan dengan benar. Kadang lalai, kadang terlaksana sesuai harapan.
Bagaimana malammu..?
Malam ini aku masih terbelit rindu pada semua orang yang menjadi keluargaku. Tak hanya kelu, tapi menderu hingga membelenggu. Aku bukan seorang anak, cucu, ponakan, sepupu, adik atau kakak yang cengeng dan selalu home sick. Tapi aku hanya seorang anggota keluarga yang terus menyematkan nama” keluarga di hati. Ya, di hati. Di hati dan tak akan terhapus sampai nanti. Selalu ada nama mereka di setiap doa yang aku panjatkan.
Bagaimana malammu..?
Aku masih heran, kenapa sebagian orang masih menganggap keluarga adalah ayah dan ibu serta sodara kandung saja. Atau lebih luas dikit dengan istri/suami, nenek, paman dan lainnya yang pernah hidup dengannya di rumah. Menurutku, teman juga adalah keluarga. Teman yang membingkai hidup kita saat kita tak di rumah. Teman adalah pegangan saat kita menggenggam rasa senang dan tercederai rasa sedih. Teman adalah pertanyaan saat lingkunganmu menjadi gelap. Teman adalah jawaban saat matahari terlalu terang untuk kita lewati sendiri. Teman adalah tongkat yang menopang semua inspirasi. Lebih dari itu, teman adalah keluarga yang kita pilih.
Bagaimana malammu..?
Kita lahir dari seorang perempuan dengan laki” di sampingnya. Kemudian kita menyebutnya orangtua. Itu adalah takdir Tuhan. Semua sodara ayah dan ibu adalah paman, bibi, pakdhe, budhe dan semacamnya kita menyebutnya. Itu adalah konsekuensi. Anak” dari sodara/i orangtua kita sebut sepupu. Ayah dan ibu dari mereka, kita sebut nenek dan kakek. Sodara kandung yang lebih dulu dan setelah kita lahir, kita sebut sebagai kakak dan adik. Itu semuanya konsekuensi takdir Tuhan. Jika mereka adalah keluarga, kita tak bisa memilih siapa keluarga kita. Ada yang kita suka dan ada yang kita tidak suka. Tapi kita tak bisa membuangnya, karena konsekuensi tadi.
Bagaimana malammu..?
Nah, di sinilah teman hadir untuk pilihan. Seperti yang saya sebutkan di atas, kita memilih teman untuk ikut meramaikan kehidupan kita. Fungsinya hampir mirip dengan keluarga utama kita. Menjadi teman sharing, curhat, berkeluh kesah, berbagi dan lainnya. Saat senang dan sedih, tentu keluarga utama adalah sasaran untuk berbagi. Saat jauh, bisa kita lakukan lewat ponsel dan layanan komunikasi lainnya. Tapi saat kita butuh sosok secara fisik, teman hadir memberikan harapan itu walaupun kadarnya tak sekuat keluarga utama. Karena itu, teman adalah keluarga yang kita pilih. Dan aku selalu rindu barada di tengah kehangatan my family and my chosen family.
Bagaimana malammu..?
Mungkin Kau masih sibuk dengan dunia barumu. Dunia organisasi dengan jabatan sangat urgent di dalamnya. Mungkin juga Kau masih meragu dengan dunia lalumu, dunia dua tahun lalu. Atau mungkin Kau masih mencari alasan untuk tak menyambut pesan” itu. Apapun yang sedang Kau lakukan, semoga harimu menyenangkan. Itu saja.
Selengkapnya...