Bukan Kiasan..

Berada di kampung halaman saat disibukkan dengan deadline untuk menyelesaikan tugas akhir ternyata bukan ide yang buruk. Sedikit merugi memang. Saat kesempatan datang bertubi-tubi untuk bertemu dosen atau sedikit menambah referensi dengan mendatangi perpustakaan kampus terbuang. Tapi setidaknya, motivasi semakin bertambah ketika sejenak lebih lama berada di rumah sendiri setelah liburan Ramadhan kali ini.
Semua itu didapat saat dapat melihat rona wajah bahagia semua anggota keluarga karena kedatangan sosok dirimu. Saat dapat mencium tangan semua anggota keluargamu yang lebih tua dan Kau hormati. Saat melihat rumah serta kamarmu yang dipenuhi kenangan yang akan mengantarkanmu pada masa depan yang pernah Kau rencanakan dari sana. Saat dapat bersenda gurau, berbagi cerita dan melakukan hal-hal gila dengan sodara-sodarimu. Saat dapat berdedikasi dan berbagi pengalaman dengan adik-adikmu. Saat dapat melihat dengan dekat perkembangan semua sodara-sodarimu. Saat dapat mendengar sapaan teman-temanmu, bertutur dan berbagi kenangan. Saat dapat menghabiskan malam dan segelas kopi dengan teman-teman SDmu dulu. Saat dapat merasakan kembali permainan di pantai yang membesarkanmu. Hingga dapat memijakkan kakimu lebih lama di kampung halaman yang mengajari banyak hal.
Dini hari ini aku bergadang untuk tiga hal; membaca buku referensi tugas akhirku, menyusun struktur kepengurusan organisasi pemuda di desaku dan menonton bola. Jam dinding atas TV di ruang tamu menunjukkan angka 02.05 saat aku mendengar pintu rumah dibuka seseorang. Tanpa mengacuhkannya, aku tak mengubah arah pandanganku pada televisi yang menyiarkan pertandingan Real Madrid Vs Granada menit ’56 dengan keunggulan sementara diraih Real Madrid 1-0.
Tak sengaja aku tolehkan kepalaku ke luar rumah melalui sudut-sudut jendela saat suara tapak kaki seseorang memburu kusaran pasir di jalan. Aku mengenal sosok itu. Sangat mengenalnya. Seorang pria. Sosok itu memperlihatkan wajah yang letih dan masih mengantuk yang ia paksakan dengan menenteng ember besar di tangan kanannya serta lampu senter di tangan kirinya. Dari arah jalannya, aku tau pria berkaos oblong ini menuju pantai 20 meter dari tempat Ia berdiri saat ini.
Dengan segala persoalan hidup yang membelitnya, pria ini masih memiliki keyakinan dan kegigihan bahwa ada sesuatu berharga di masa depannya yang harus Ia lindungi. Melindungi kepastian kebahagiaan yang Ia harapkan di masa tuanya nanti. Melindungi setiap detik kegembiraan yang akan Ia dapatkan nanti saat usia senjanya datang. Melindungi kesempatannya untuk terus melihat pertumbuhan dan perkembangan semua anggota keluarganya di rumah itu; istri, mertua, semua keponakannya, calon anak dari keponakannya dan tentu saja anak-anaknya kelak.
Sebenarnya dia tau bahwa bangun malam seperti ini dan pergi ke pantai kemudian melaut, tak cukup bahkan sangat disadarinya sangat tak mampu melindunggi semua keinginan yang menjadi asanya. Tapi keyakinan akan nilai dirinya bagi keluarganya yang tak besar dan harapan dari masing-masing jiwa di rumah yang dhuni keluarga besar itu membuatnya selalu menahan dinginnya dini hari suasana desa ini.
Sebenarnya Ia juga tau bahwa badai tak datang hanya sekali. Karena Tuhan selalu membuat ujian hidup sesuai dengan perkembangan nasib manusia yang dinamis. Tapi aku yakin, pria ini mampu menghadapinya walaupun tak dengan cepat. Karena suatu ketika pria ini pernah memberi nasihat padaku bahwa ‘badai yang tak langsung membuatmu mati akan semakin membuatmu semakin kuat’. Dia yang mengatakannya. Dia yang berpesan itu padaku. Dia yang selalu aku sebut dengan panggilan ayah.
Selengkapnya...