Bicara..

sore seolah berjalan lambat, sangat pelan sampai aku tak bisa mendengarmu lagi. inderaku hanya merasakan kopi yang baru saja aku seruput. di lidah, di pegangan, di hidung, aromanya membuat mataku perlahan terpejam. Kau memanggilku lagi, aku mendengarmu tapi aku abaikan. Kau memutari meja, berjalan ke arahku, duduk di samping dan menyentuh bahuku. menyebut namaku tepat di telinga. aku membuka mata, menoleh dan mendapatkan senyummu yang mengembang.

kita beradu pandang. matamu menatapku dengan ancaman. aku membalasnya tanpa tau bersikap. matamu bicara, dengarkan aku. mataku bertanya, sudah berapa lama Kau duduk di situ dan melihatku. pandanganmu hilang, turun ke bawah, tempat tanganku berada. mengambil dan menggenggamnya dengan sangat hati-hati. aku menggerakkan tubuhku. sekarang kita berhadapan, tapi aku masih bertanya, apa yang ingin Kau lakukan.

sore masih sangat muda saat Kau kembali berbisik di telinga. memintaku pergi dari sini, meminta kita meninggalkan tempat ini, sambil menatap ke arah meja tempat kopiku berada. matamu meminta, habiskan kopimu. mataku memohon, minumlah sedikit. gengganganmu renggang. menggerakkannya ke meja dan meraih cangkir itu. mengarahkannya ke mulut, mencium aromanya, raksi yang sangat mudah kita perdebatkan sepanjang kita kenal. bibirmu menyentuh tepi cangkir. Kau meminumnya, sedikit, tapi Kau meminumnya. segera matamu melihatku dan bersuara pelan 'pahit'. aku tertawa, Kau tersenyum kesal.

sore masih belia, kita beranjak, memilih melihatnya lebih jauh di jalanan. mungkin tidak banyak yang akan kita temukan. tapi pasti kita akan menjumpai sesuatu. keindahan itu, pendar itu, atau hal lain yang membuatmu tau tentang dirimu. aku, diam-diam sudah menemukan diriku lewat dirimu. dan Kau, juga harus menemukannya. bisa di perjalanan ini, atau nanti di tempat lain. saat ini, atau beberapa waktu lagi. tapi Kau harus menerima dirimu saat Kau menemukannya.
Selengkapnya...

Harus Sering Diingat..

aku sudah sering memikirkan kematian. perihal yang sangat dekat dengan kita diakui atau tidak. Kau tidak bisa memprediksi kapan datang dan bagaimana caranya. yang harus Kau lakukan hanya mempersiapkannya diri dengan sangat baik sebelum dia menjemput. aku sudah sering memikirkannya, bahkan membicarakannya, bertindak seolah besok adalah waktunya. tapi lain hal jika aku melihat potensi tanda-tandanya. seperti tiga hari ini.

Selasa malam lalu, saat BMKG mencatat ada gempa di utara Bangkalan, aku langsung panik. info itu sudah ramai di banyak tempat. aplikasi perpesanan, media sosial sampai bisik" tetangga. bagian paling sulit dalam kondisi ini memang menenangkan diri. beberapa detik setelah seruput kopi yang aku taruh di atas CPU komputer, aku kembali membaca info itu dengan detil. kedalamannya 576km dan kekuatannya berkisar di 4.6 SR, tidak dirasakan oleh warga. tidak dirasakan. aku tidak menghubungi Ibu, khawatir panik. aku hanya memberitakan dengan semua keterangannya, juga agar tidak panik.

malam saat pulang dari kantor, aku masih merasakan kekhawatiran dalam diri. berkali-kali aku melihat hape dan mencoba menghubungi Ibu, tapi aku takut dengan respon yang muncul. aku takut kalau Ibu khawatir dan panik. sampai akhirnya pagi mengecupku dan perlahan membekukan semua kegelisahanku. hari mulai berjalan separuh saat aku mulai berpikir lagi untuk menghubungi Ibu. bagaimanapun Ibu harus tau dan aku harus berani bilang. keberanian adalah perlawanan pada kekhawatiran. aku mulai mengeluarkan hape dari saku bajuku. tapi, pucuk dicinta ulam tiba. baru membuka kunci, hapeku bunyi karena telpon dari Ibu.

akhirnya aku memberi tahukan info ini. aku jelaskan info ini, juga tentang kondisi tempat tinggal kita yang sangat rawan karena di pesisir, sekaligus hal" yang harus diantisipasi saat terjadi guncangan. ternyata Ibu lebih tenang dari yang aku duga. Ibu mendengarkan semua info dan mengiyakan semua penjelasan. tanpa aku duga, Ibu bercerita tentang gempa yag dulu beberapa kali terjadi saat aku kecil. aku mendengarkan dengan sangat antusias dan beberapa kali ingin tahu bagaimana kondisi saat itu, karena aku tidak mengingatnya. lama, lalu pembicaraan teralih pada pembahasan yang hangat. kita bertukar salam dan menyudahi panggilan.

petang sampai malam setelahnya, aku bisa menikmati Rabu dengan nyaman. sampai akhirnya tengah malam tiba dan aku masih terjaga, gempa di sekitar Madura kembali terjadi. kekuatannya 6.4 SR, cukup besar. posisinya agak jauh, ada di selatan Sumenep. saat itu juga, aku menelpon Ibu yang membangunkan tidurnya. memberi info ini dan bertanya situasi di sana. ternyata Ibu nyenyak tidur, tidak merasakannya dan Bapak sudah pergi melaut. semuanya baik" saja, tapi tidak yang di Sapudi, pulau yang sangat dekat dengan titik gempa.

hari ini aku masih terus memikirkannya. sama seperti kematian, gempa dan guncangan patahan ini tidak bisa diprediksi dengan pasti. kita hanya bersiap saat salah satunya datang. bersiap, bukan menghindar. kita tidak bisa lari dari segalanya, apalagi dari kematian. tapi kita masih bisa mengetahuinya, untuk menyimpulkan kekuatan.
Selengkapnya...

Jangan Kamu, Biarkan Aku..

Kau harus menjauh. Kau terlalu buta mendekatiku. menjadikan semua kebutuhan sebagai alasan bertemu dan meyakinkan diri bahwa semua ini benar. Kau harus percaya, hal itu akan sangat menyakitkan nantinya. sama sepertimu saat ini, aku dulu pernah menjalani ini. mendekat tanpa peduli terik siang hari atau dinginnya malam. yang aku rasa, senang melihatnya dan bahagia di dekatnya.

detik-detik menjadi sangat berharga dan semua tempat yang kita singgahi adalah puisi yang akan menjalar ke semua saraf di otak, menjelajahi jalanan cerebrum dan mengendalikan kemampuan berpikirku. semuanya tentang dia dan kebaikan hari akan pudar tanpanya. aku sangat tergila-gila padanya, juga sebaliknya. dia adalah hal paling irrasional yang pernah aku sentuh, begitu juga sebaliknya. aku dan dia, saling mencintai tanpa spasi, seperti bahan bakar yang siap meledak kapan saja.

hari-hari menjadi sangat menyenangkan dengannya. tanpanya, aku hanya serpihan abu dari sisa anak panah yang terbakar. anak panah yang belum sempat lepas dari busurnya, terjatuh dan lenyap terbakar teriknya matahari. pekan-pekan berlalu dan kami menemukan cermin. berdiri di depannya membuat kami tau ada yang salah dengan cerita ini. kisah yang sudah kami bangun dua kali pergantian tahun dengan banyak motif untuk bertahan.

bulan-bulan menjadi sangat sunyi saat cermin itu kami bawa ke manapun kami pergi. menjadikannya sebagai kebutuhan untuk disadarkan. ada banyak lubang di wajahku dan wajahnya. menjelma menjadi ketakutan yang tak biasa. takut kehilangan, takut berjarak dan takut tak bisa bersama. kami menepi, duduk bersebelahan dengan kepalanya bersandar di bahuku. mengingat-ingat lagi semua kenang yang harus disimpan dan dilupakan. memilahnya. memilahnya. memilahnya sampai menemukan tali yang mengikat kedua tangan kami.

tahun-tahun menjadi senyap setelah semuanya menjadi sangat masuk akal. setelah semuanya kami masukkan dalam kepala yang menerima rasionalitas. aku mencintainya dengan sangat bahaya, demikian juga dirinya. saling mencintai di atas ranjau yang tertutup serbuk kenyamanan. ranjau yang sangat kuat saat meledak dan tak akan bisa kami tahan dengan hati yang kami miliki saat itu. lalu polemik datang, mengepung tempat duduk kami dan bertahan lama. dan kami memilih berjarak. kami memilih menjadi jeda.

Kamu, juga harus punya jeda denganku. aku pernah sebuta itu mendekati dan mencintai. aku tak hanya menyakiti orang yang aku cintai, tapi juga menyakiti diri. aku dan dia, saling menyakiti. Kau akan bernasib sama jika cintamu buta. memang Kau tak akan bisa memilih jatuh cinta pada siapa, tapi Kau harus menggunakan akal sehatmu untuk melanjutkan hidup. karena saat itu terjadi, kita akan merendahkan cara berpikir. kita bukan tak bisa membedakan kebaikan dan keburukan. kita bisa membedakannya, tapi kita memilih mengabaikannya.

jika nanti aku jatuh hati padamu, diamlah di situ. biar aku yang berjalan ke arahmu, mendekati dan menyapamu. tentu jika Kau izinkan.
Selengkapnya...

Percayai Dirimu Sendiri..

aku di pengkolan Pakis saat berniat menulis ini. melintas sambil mendongak ke langit dengan bulan setengah bulat, atau Kau menyebutnya dengan bulan separoh. aku tidak punya alasan utuh menulis ini, hanya ingin melampiaskan lelah yang disudahi. karena jika dipikir-pikir, hari ini berakhir dengan menyenangkan.

aku baru saja ngobrol dengan Tito tentang pekerjaan barunya, dan bagaimana kerja mereka menjadi asik dilakukan. selama dua jam dengan secangkir kopi buatku, segelas teh hangat dan sepiring tahu tek, kami memaki dalam diskusi dan menerjemahkannya dalam beragam sudut pandang. sebelumnya, aku mendapatkan suntikan endorphin dari Ibu dan Bapak lewat sambungan telpon. itulah kenapa aku selalu iri dengan mereka yang sekolah dan bekerja lalu bisa pulang ke rumah, tempat semua lelah menjadi abu dan hilang dalam senyap. mendengar suara dan ngobrol dengan keduanya saja, sudah sangat melegakan. apalagi bisa bertemu secara fisik.

sebelumnya lagi, aku harus meyakinkan diri untuk menunda ngobrol dan ngopi bersama Ipunk dan Ismail. terlalu jauh, dan belum ada hal urgent yang harus kita bicarakan. sebelumnya lagi, aku meluruhkan emosi bersama Neneng di banyak tempat. masih di Surabaya, tapi di banyak tempat. semuanya melelahkan, karena beberapa kali harus mikir dan menyederhanakan buat masuk lagi ke kepalaku yang sedang ruwet. kepala yang akhir" ini menolak buat mikir lebih dalam untuk beberapa hal berat. aku ingin yang ringan" saja sementara ini, karena beberapa kali, motivasiku sedang tenggelam.

hari yang melelahkan ini juga terasa menyenangkan juga karena aku sangat leluasa memilih dengan siapa aku ngobrol, baik teks atau suara. karena aku sudah seringkali berdamai dengan kenyataan bahwa aku dan temen"ku adalah orang" baik yang berada di tempat buruk. tapi aku juga percaya bahwa selalu ada jalan keluar untuk segala hal. bosan, download film. bosan, nonton. bosan, masak. bosan, hangout. bosan, beli buku. bosan, baca buku. bosan, ngopi. dan seringkali saat aku bosan, ya tinggal tidur. karena kadang dalam hidup, Kau hanya bisa mempercayai dirimu sendiri.
Selengkapnya...