Hijaunya Magelang Dari Bukit Rhema dan Punthuk Mongkrong

Sabtu, 1 Oktober 2016
Pagi itu, hawa Magelang mulai panas. Kami, saya dan lima teman lainnya, berhenti dan meributkan destinasi wisata yang akan kita tuju, di warung tidak jauh dari gapura jalan Raya Borobudur. Saya, Tazri temanku dan Ullya adikku setuju-setuju saja ke manapun kita seharian nanti. Sementara Iim temanku, Agfa teman Iim dan Ariska teman Ullya masih ribut soal Gereja Ayam di Bukit Rhema yang akan kita kunjungi. Saya dan Tazri tidak mau ambil resiko, masuk ke dalam keributan yang dihuni para perempuan. Mereka sama-sama benar. Bersuara sama halnya dengan bawa obor di ruang sauna; meledak.

Magelang memiliki banyak tujuan wisata alam. Di sekitar Borobudur, banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi selain Candi Borobudur sendiri. Tapi karena rasa penasaranku pada bangunan ibadah berbentuk ayam sejak lama, saya mengusulkan tempat itu pada kawanan penyamun ini. Sementara Tazri setuju pergi ke Gereja Ayam karena sindrom AADC2. Iim dan Ullya ngangguk-ngangguk aja karena mereka ingin menghormati keinginan tamu, yaitu saya. Tapi Agfa dan Ariska, punya pandangan beda dan ingin mengajak kami ke tempat lain di Magelang.

Perseteruan selesai setelah sepakat bahwa tempat wisata kedua, setelah dari Bukit Rhema nanti, Agfa dan Ariska yang menentukan. Akhirnya kami kembali menaiki sepeda motor dan menuju Bukit Rhema. Setengah jam berselang, kami memasuki gang kecil menuju Bukit Rhema. Di perjalanan saja, ada tiga wisata yang kami lewati. Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Borobudur. Di atas gang, ada plang tertulis 'Gereja Ayam 900m'. Gang-nya kecil, hanya cukup satu mobil melintas. Setelah 700m, ada orang melambaikan tangan di tengah jalan. Setelah semakin dekat, ternyata orang itu pakai rompi orange yang biasa dipakai tukang parkir. Hampir saja kami kira dia korban bencana yang sedang minta mie instan, melambaikan tangan ke helikopter yang lewat. Tukang parkir tadi menuntun kami memasuki halaman rumah di sisi kanan yang dipakai buat parkir.

Halaman rumah ini cukup luas. Ada warung dengan gazebo untuk bersantai. Di situ juga ada banner yang menjelaskan harga tiket masuk ke Gereja Ayam, apa saja keunggulan berwisata ke Gereja Ayam dan berbagai paket yang bisa dimanfaatkan wisatawan untuk mendapatkan foto bagus. Kami juga baru mengetahui alamat Bukit Rhema ini dari banner tersebut. Lokasinya di Kembanglimus, Kecamatan Borobudur.

Kami jalan menanjak 100m sebelum menemui perempatan tracking. Sepertinya salah satu jalur lagi menuju Punthuk Setumbu. Sementara jalan ke Gereja Ayam ada di simpang kiri. Di sana ada bangunan kecil yang dihuni 2 petugas penarik tiket masuk. 10ribu untuk wisatawan lokal dan 15ribu untuk wisatawan asing. Setelah itu, kami harus melewati jalan menanjak 100m lagi. 

Jalan tanjakan yang sudah dicor ini terbagi dua. Bagian kiri, cor-nya lebih luas untuk dilewati mobil atau truk. Sedangkan bagian kanan, dibuat anak tangga dan pagar pembatas sebagai pegangan untuk pejalan kaki. Pengelola juga memfasilitasi jeep, agar pengunjung tidak capek saat menanjak dengan membayar 7ribu/orang. Saat kami ke sana, ada 2 jeep yang sedang beroperasi dan lalu lalang. Petugas tiket tadi sempat menawari kami naik jeep, tapi kami menolak karena kaki kami cukup kuat dan dompet kami tidak.



Sesampainya di atas, pandangan kami langsung disambut bangunan tua yang megah. Halaman luas degan pepohonan yang memisahkan kami dengan gereja dan ramai wisatawan yang datang, membuat senyum kami mulai tersungging puas. Hari hampir siang dan langit mulai meredup tiba-tiba. Riuh pengunjung membuat kami semangat. Kami mendekat ke gereja dan spontan mengeluarkan kamera. Kurasan cat yang sedikit terkelupas masih tampak di sisi bangunan. Di depannya, ada tiga patung 'malaikat' bertengger kokoh. Lubang-lubang jendela yang memenuhi sisi gereja membuat kami semakin antusias masuk ke dalam.

Di halaman ini ada banyak tempat duduk dan pohon-pohon besar untuk berteduh. Beberapa orang sibuk foto-foto dengan latar gereja dan sebagian lainnya duduk di kayu-kayu kecil yang disediakan. Bahkan ada keluarga yang menggelar tikar dan tidur”an di atasnya. Sudah semacam piknik gitu. Sejenak, kami melakukan aktifitas sendiri-sendiri. Dan pada akhirnya karena saya yang pegang kamera, saya diminta motret mereka dengan berbagai pose dan latar sebelum akhirnya memutuskan masuk gereja.

Berfoto di depan Gereja 'Ayam'


Berfoto di depan Gereja 'Ayam'


Gereja 'Ayam' tampak dari depan


Gereja 'Ayam' tampak dari depan

Di pintu masuk gereja, ada dua petugas yang akan meriksa tiket. Setelah disobek sebagai tanda tiket sudah terpakai, kami langsung menjumpai hall gereja di lantai dasar. Gereja ini berbenah, tapi bukan seperti perbaikan. Lebih mirip menyelesaikan pembangunan. Beberapa tukang mondar mandir memasukkan material dari truk yang baru saja tiba di luar gereja. Beberapa lainnya ada di dalam, memasang ubin, mencampur semen-pasir dan bebatuan serta ada yang duduk istirahat.

Secara singkat, saya mencuri waktu seorang tukang, yang dari tampilannya seperti mandor-nya. Pada kami, dia bercerita bahwa bangunan yang kami injak ini niatnya bukan dibangun sebagai gereja, melainkan tempat  ibadah/berdoa. Orang yang membangunnya bernama Daniel Alamsjah. Awalnya, Daniel ini membuat bangunan sebagai tempat berdoa semua orang, tidak terbatas pada agama tertentu. Tapi pembangunan mandeg karena kehabisan dana. Dan yang bapak dan tukang-tukang ini kerjakan sekarang, adalah meneruskan yang pembangunan. Satu lagi ceritanya, bangunan ini bukan berbentuk ayam, melainkan merpati yang sedang mengeram. Kami mengakhiri percakapan dengan bapak ini dengan seruan ‘Oooo, gitu Pak’.

Foto adat di dinding lantai 2
Di depan, di bagian kepala, ada tangga-tangga yang mengantar kami ke atas, ke tempat mahkota merpati berada. Satu tangga terlewati. Lantai dua adalah leher merpati. Di sekelilingnya, ada jendela-jendela kecil berbentuk segitiga dan beberapa foto laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat pernikahan. Dari jendela, kami melihat bisa melihat ekor merpati jauh di belakang. Kami naik lagi. Lantai tiga adalah paruh merpati. Di lantai ini dipenuhi kursi-kursi untuk ditempati pengunjung yang antre ke lantai berikutnya.

Tepat di paruh merpati dari dalam, ada pagar pembatas dengan tulisan peringatan. Kemudian dari atas, turun satu per satu pengunjung melalui tangga kecil melingkar dari besi. Seorang laki-laki mendekati kami berenam dan berkata ‘Selamat datang Mas dan Mbak. Mohon ditunggu ya, gantian. Waktu untuk berada di atas hanya 5 menit ya per rombongan. Bisa lebih jika tidak yang antre di bawah’, katanya dengan senyum lebar. Seketika kami melihat tangga bawah, ternyata kami adalah rombongan terakhir yang masuk. Ullya dan Ariska sumringah, melihat kami dan berbisik ‘Kita bisa lama di atas Mas, hehehe’.

Bukit Barede tampak dari atas Gereja 'Ayam'
Setelah 10 menit duduk, akhirnya tiba giliran kami naik ke atas. Dan wow, pemandangannya menakjubkan. Pandangan kami disesaki bukit di kanan kiri dan hamparan hijau pepohonan. Bukit di samping kanan, yang baru kami ketahui adalah Bukit Barede, tampak hijau dan menyejukkan mata. Saya masih menikmati pemandangan saat lainnya sudah berpose menunggu saya peka mengeluarkan kamera. Gila, ini pemandangan yang tidak bisa dinikmati hanya 5 menit. Dua menit saya memberi mereka jeda untuk foto dengan kamera hape, lalu saya mengalah dan melayani permintaan mereka sepuasnya. Saat motret mereka menghadap depan, samar-samar saya melihat penampakan Candi Borobudur. Saya mendekat ke bagian depan mahkota, dan iya, itu Candi Borobudur.

Pemandangan dari atas mahkota Gereja 'Ayam'
Candi Borobudur tampak dari mahkota Gereja 'Ayam'

Larangan bersandar di atas mahkota
Lumayan lama kami ada di atas, di bagian mahkota. Tempatnya melingkar kecil. Mungkin hanya cukup 10 orang berdiri di atasnya. Di sela antara helai mahkota, ada pagar pembatas dari besi disertai tulisan peringatan. ‘Jangan Naik & Bersandar Di Atas Pagar Pembatas. Berbahaya’. Tentu saja ini peringatan buat mereka yang kadang gila dan para fakir sandaran. Dari sini, kami juga melihat bagian belakang, ekor merpati dengan sangat leluasa. Ternyata badannya panjang dan tertanam ke tanah. Tampak seperti ‘mengeram’.

Cukup lama kami di atas, sekira 15 menit sebelum akhirnya dua rombongan lain naik ke atas dan sebagai sinyal kami harus turun. Seperempat jam yang mengesankan. Kami turun sampai ke hall gereja. Di sana, ada tempat duduk di tengah dengan meja bundar dan empat tempat duduk dari bebatuan. Kami mendiskusikan destinasi selanjutnya saat seorang pekerja bangunan menghampiri tempat kami duduk. Dia menawari kami masuk ke ruang bawah tanah bangunan ini dan dia siap mengantarnya. Tapi para perempuan menolak karena alasan seram dan akhirnya kami keluar.

Menurut petugas tiket di bawah tadi, Bukit Rhema dengan Gereja ‘Ayam’-nya ramai dikunjungi saat weekend. Dalam sehari (Sabtu atau Minggu), tempat wisata ini bisa dikunjungi 500 wisatawan. Saat weekday, paling banyak 300 pengunjung datang. Jika ingin foto-foto, sebaiknya memang datang saat weekday agar tidak antre lama saat di atas. Selain itu, perhatikan juga cuaca. Saat ada gejala hujan dan kabut, sebaiknya urungkan niat. Karena pemandangan akan sangat terganggu.

Langit makin redup dan wisatawan masih terus berdatangan, jalan kaki dan naik jeep. Agfa usul kami istirahat sejenak buat minum dan nyemil. Di luar gedung, tepat di mulut tanjakan saat memasuki gereja ini, ada dua warung di kanan dan kiri. Kami berhenti di warung sebelah kiri dari arah pulang dan memesan tiga kelapa muda. Sepertinya kami semua sedang lapar. Sepiring gorengan di warung ini ludes dengan cepat. Sepuluh menit berselang, hujan mengguyur Bukit Rhema. Sedaapp, tepat seperti yang saya harapkan.

Punthuk Mongkrong; Destinasi Nekat
Hujan masih mengguyur Magelang Selatan saat kami singgah di sebuah masjid setelah keluar dari Bukit Rhema. Usai menunaikan shalat Dzuhur dan berteduh sekitar 15 menit, kami kembali melanjutkan perjalanan. Destinasi selanjutnya adalah Punthuk Mongkrong, ide Ariska yang diiyakan oleh Agfa. Lokasinya tidak jauh dari Bukit Rhema dan Candi Borobudur. Setelah browsing lokasinya, Ariska dan Tazri berada di depan memimpin perjalanan maha suci ini. Lengkap dengan gadget saya di tangannya yang menampilkan maps menuju Punthuk Mongkrong.

Kami sempat kesasar sebelum kembali ke jalan lurus yang diridhoi. Ancer-ancer utama wisata kali ini adalah Balai Desa Giritengah. Sesampainya di sana, kami dibuat geleng-geleng menghadapi jalur menanjak yang curam dan beraspal sempit. Saya tidak sedang bermetafora, jalanan yang kami lalu benar-benar menanjak dan kecil. Sepertinya, mobil tidak bisa masuk, karena sempit dan hanya bisa dilalui sepeda motor dari dua arah berlawanan. Selain itu, juga ada jalannya menanjak curam dengan beberapa jalan rusak di beberapa titik, hingga hanya bisa dilalui bergantian.

Kawasan Giritengah ini punya tiga lokasi wisata yang jadi andalan. Selain Punthuk Mongkrong, juga ada Punthuk Sukmojoyo dan Pos Mati. Dari ketiganya, Punthuk Mongkrong yang paling tinggi. Dan kami memilihnya, tentu saja untuk menepikan rutinitas yang jumud dan penat dengan menikmati hijaunya pemandangan. Bisa mengambil gambar itu bonus. Bisa selfie itu bonus yang tidak diperlukan. Tapi hanya saya yang setuju, yang lain, selfie adalah tujuan utama untuk eksistensi.

Punthuk Mongkrong ada di bagian kanan di jalan beraspal yang paling atas. Setelah itu, kami harus melewati jalan kecil yang hanya bisa dilewati satu sepeda motor. Sekitar 100m dari persimpangan tadi, tibalah kami di parkiran. Di depannya, ada gazebo yang dihuni oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka berdua adalah petugas tiket masuk ke Punthuk Mongkrong. Kami membayar 2ribu untuk masing-masing sepeda motor yang diparkir dan 3ribu untuk masing-masing kepala.

Jalan setapak menuju Punthuk Mongkrong

Tracking menuju Punthuk Mongkrong


Gapura Punthuk Mongkrong

Perjalanan ke Punthuk Mongkrong masih jauh, sekitar 500m lagi. Jalur tempat wisata ini dibuka dengan rumah-rumah warga. Lalu kita akan melewati jalan setapak dengan jurang di kanan dan perkebunan di kiri. Pemandangan dari sini pun sebenarnya sudah bagus. Tak jauh dari sana, ada gapura dengan dua warung di sisi kiri. Jalan setapak tadi masih menuntun kami melewati pepohonan dengan pijakan batu-batu gunung. Dan, sampailah kita di Punthuk Mongkrong.

Sementara yang lain duduk di gazebo-gazebo kecil yang disediakan, saya langsung ke pijakan atas. Ternyata benar. Di perjalanan menanjak tadi, Ullya sempat berbisik bahwa mendung masih bertahan di langit diikuti kabut. Sesampainya di atas, saya hanya bisa memasang muka datar. Pemandangan yang saya harap tidak ada. Semuanya putih tertutup kabut. Satu-satunya penampakan hijau adalah tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar punthuk. Sambil merem, saya hanya membayangkan pemandangan apa yang bisa saya lihat jika cuaca cerah.

Tugu Batu Punthuk Mongkrong

Jembatan tempat foto di Punthuk Mongkrong


Punthuk Mongkrong yang terhalang kabut tebal


Imbauan 'Jangan Sungkan' buat foto di jembatan Punthuk Mongkrong

Di pijakan paling atas, ada tugu dari batu dengan tulisan ‘Situs BG 212 Punthuk Mongkrong Pangruwating Diyu’. Saya tidak tau artinya. Seperti saya tidak tau kalau kabut ini benar-benar membenamkan cahaya matahari dan memberikan pandangan satu warna pada saya. Menebak kalau angka itu ada hubungannya sama Wiro Sableng pun saya enggan. Saya terlanjur kecewa. Tapi entah kenapa tidak dengan mereka. Dan saya pun menyembunyikan kekecewaan ini. Tawa dan celotehan kami sore itu adalah satu-satunya suara yang menggema di Punthuk Mongkrong. Sore itu, setelah kabut datang, hanya kami yang bertahan lama di atas.

Punthuk Mongkrong dikelilingi jurang. Areanya sempit dan diberi pegangan bambu di sisi-sisinya. Pengunjung dimanjakan dengan spot foto yang menarik. Untuk menunjangnya, punthuk yang memiliki ketinggian 624 mdpl ini melengkapi dengan rumah pohon, bangku duduk dari pohon dan jembatan berbentuk segitiga yang terbuat dari bambu. Jembatan ini merupakan spot utama buat foto. Tepat di hadapan jembatan ini, kata Agfa, ada Gunung Merapi dan Merbabu. Berfoto dengan latar dua gunung tersebut diyakini jadi tujuan sebagian wisatawan saat sunrise dan sunset. Di sisi yang lain, juga ada penampakan Gunung Sumbing dan Suroloyo yang legendaries itu.

Jalur pulang Punthuk Mongkrong
Setelah puas foto-foto, kami turun dari punthuk tidak lama berselang. Tepat sesampainya di parkiran, hujan datang mengguyur. Kami berteduh di samping gazebo tempat petugas tiket berada. Petugas laki-laki mendekati kami dan menawarkan air minum. Lalu dia menemani kami dengan cerita soal Punthuk Mongkrong. Wisata ini dibuka tahun lalu dan baru saja merayakan hari jadinya yang pertama, tepat 26 September lalu. Keuntungan dari wisata ini akan dibagi dengan warga sekitar punthuk. Menurutnya, sejak setahun dibuka, Punthuk Mongkrong selalu ramai saat weekend dan stabil saat weekday. Hujan reda dan kami menyudahi pembicaraan. Lalu kami turun, pulang melewati jalur yang tadi.

Saat ini, wisata alam sedang digemari. Banyak orang yang ingin memiliki ‘me time’ dengan mengunjungi tempat-tempat lain yang menawarkan pemandanan berbeda di setiap rutinitas. Membuka banyak wisata alam benar-benar turut menghidupkan gairah mencintai negeri sendiri. Mengajak berlibur di negeri sendiri, melestarikan kekayaan alam dan memberikan kesadaran bahwa bukan tanpa alasan Indonesia disebut Zamrud Katulistiwa. Lalu, dengan adanya media sosial juga menunjang promosi wisata alam dan bagaimana cara mewaratnya.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @visitjawatengah .

0 komentar:

Posting Komentar