Hari ini aku harus berjibaku dengan rasa rinduku pada seseorang. Seseorang yang sudah terbiasa bersamaku walaupun aku tak dekat dengannya. Seseorang dengan perhatian lebih padaku walaupun tak pernah Ia ungkapkan. Seseorang yang telah menjadikan aku besar dengan usahanya. Seseorang yang telah memaksaku lahir ke dunia dengan keadaan busuk ini, Ayah.
Liburan di rumah sangat asing bagiku tanpa medengar senandungmu. Nyanyian dangdut yang biasa Kau lantunkan untuk menhibur dirimu sendiri tanpa sadar juga memberikan hiburan bagi orang-orang di sekelilingmu. Aku juga merasakannya. Terhibur. Sungguh. Mungkin karena suaramu juga yang bagus. Jujur.
Liburan kali ini juga sangat aneh tanpa sesekali tertawa karena lelucon-lelucon yang biasa Kau lontarkan. Sungguh sangat lucu bahkan menggelikan. Walaupun kadang tak jarang ada yang tersinggung dengan lelucon itu. Mungkin karena memang lelucon yang Kau lontarkan memang ditujukan pada seseorang. Tapi memang lucu.
Rumah yang biasa dipimpinmu kini harus Kau tinggalkan. Rasanya alasan mencari nafkah yang lebih gede masih tak bisa kuterima. Entah kenapa seakan banyak alasan untuk tak menerimanya. Aku harus terpaksa dan berharap ini memang yang terbaik yang dipilihkan Tuhan buatmu. Tapi tetap aku tak bisa menerimanya.
Tak habis pikir olehku, aku harus berada di rumah kurang lebih dua puluh hari di liburan semester kali ini tanpamu. Tanpa kehangatan yang biasa Kau hadirkan di rumah. Kehangatan yang hanya bisa keluarga kita rasakan dengan kehadiranmu. Bukan tanpa alasan, tapi cukup aku ingin merasakan.
Adikku yang paling kecil rasanya akan sangat terbiasa dengan keadaan ini. Keadaan tanpamu Ayah. Memang umurnya masih sebelas bulan, tapi kini tuh bocah sekarang sudah bisa mengelilingi ruang tamu dengan usahanya sendiri. Tentunya proses itu yang ingin dilihat oleh semua ayah di dunia ini, melihat anaknya tumbuh, berkembang, beranjak gede. Termasuk Kau kan Yah..?
Tapi entah bukan karena meragukan kepemilikan perasaan itu atau tidak, 2 hari terakhir ini Kau selalu menanyakan kabar si kecil. Mulai tentang bagaimana perkembangannya, sudah tidur atau belum atau sekedar ingin menyapa. Kontan, dengan pertanyaan yang terucap bertubi-tubi itu pada Ibuku, anakmu (Nurul) yang lain iri. Kadang, dengan perasaan berkecamuk Nurul membalas pesan-pesan dari Ayah yang memenuhi inbox Hp ibu dengan pernyataan-pernyataan menusuk tanpa basa-basi. “Ayah nggak rindu aku ya..? Yang ayah rindukan hanya adik aja ya..?” Bahkan karena seringnya peristiwa ini terjadi, Ibu, mbak dan nenek yang tau hal ini ketawa dan terpingkal konyol melihat tingkah Nurul. hahahaha..
Huufft..Ayah. Itu ulahmu. Kau masih saja bisa membuat ketawa tanpa kehadiranmu. Menggelikan.
Yang sering aku hadapi adalah pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman sejawat dan sepermainanku yang sudah terbiasa dengan adanya Ayah di rumah. Sering kami mengingat tingkah-tingkah Ayah yang sering membantu kami menghidupkan suasana ketika kami berkumpul untuk rencana-rencana nakal kami atau hanya sekedar menemani kami ngobrol. Disitu ada kebanggaan akanmu yang muncul dalam diriku. Hahaha..aku tak tau entah kenapa.
Hhmm..yang jelas, aku bakalan sangat merindukanmu Ayah. Mungkin bukan aku saja, yang lain juga merindukanmu. Tapi kau harus tau bahwa aku selalu mengejar mimpi-mimpiku untukmu. Dan sekarang semakin jelas apa yang aku impikan dan tujuanku meraihnya.
Ayah, baik-baik di sana..!!
Selengkapnya...
Cerita Cinta IV; Daaaaaaddddd...
Cerita Cinta III; dad..
Pagi hari kemaren menjadi moment yang sangat hangat di tengah dinginnya cuaca kota Malang bagiku. Kekuatan yang jarang aku dapatkan dengan seseorang yang sangat menyayangiku walaupun tak pernah Ia ungkapkan. Aku akan sangat merindukannya. Merindukan setiap amarahnya. Setiap perlakuannya yang aku anggap sebagai sikap memimpin. Dad, You Are My Hero.
Bahagia adalah keinginan akhir dari semua tujuan manusia di bumi ini. Diakui ataupun tidak, hal itu tak bisa di pungkiri. Bagi orang tua, konsep bahagia mungkin akan berbeda-beda satu sama lainnya. Tapi satu yang pasti, mereka ingin melihat anaknya sukses. Kurasa itu impian setiap orang tua, aku khususkan pada seorang ayah (kali ini bingkisan buatnya). Tidak ada ayah yang tak menginginkan hal itu.
Dalam ilmu sosial, dua hal yang diyakini bahwa manusia hanya memiliki dua karakter. Baik dan jahat. Walau begitu, tidak ada yang benar-benar baik dan tak ada yang benar-benar jahat. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di belakang kita dari awal, keluarga. Walaupun ada kisah ayah yang apatis terhadap anaknya, tidak mendukung prestasi anaknya, tidak sejalan, bahkan cenderung menepikan keinginan-keinginan anaknya yang sejatinya untuk membanggakan; sadarilah tidak ada keadaan yang benar-benar busuk semacam itu. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia menginginkan anaknya sukses. Dia hanya ingin tujuan di setiap geraknya banting tulang mencari nafkah terealisasikan dengan melihat anaknya merengkuh kesuksesan.
Alasan yang sangat mulia kurasa. Semua anak di bumi di sisi baiknya pasti akan menyetujui hal ini. Siapa pun itu. Maka, tidak ada alasan untuk membuat dia kecewa. Tidak akan ada alasan untuk membuat dia sedih. Walaupun sebenarnya ada kekhawatiran gagal untuk membuat dia berbangga hati dengan mengatakan ‘Aku bangga padamu, Nak..!’, atau ‘Siapa dulu ayahnya..?!’. Dan tentu kita juga menginginkan dia berkata saat kita menjadi orang sukses ‘Dia Anakku..!’.
Alasan itu pula yang membuat hawa pagi sedingin itu tak kurasakan. Begitu hangat. Jam menunjukkan angka 04.35, waktunya aku beranjak dari tempat tidur dan menunaikan kewajibanku atas keyakinanku. Namun, usai membasahi wajah dengan air wudhu’, aku lihat ada sms yang belum aku baca dari Ibuku untuk menelpon beliau di jam 5 pagi ini. Gawat, lima belas menit lagi. Dan yang paling mengkhawatirkan, aku tidak memiliki banyak pulsa. Waduh,..kenapa keadaan seperti ini harus muncul di saat seperti ini sich.
Dengan beberapa cara sebagai eksperimentku, juga dengan mengorbankan pulsa temanku (maaf Gih..), akhirnya aku berhasil berkomunikasi dengan ayahku di seberang sana. Hapeku nyala, tanda ada panggilan. Aku lihat namanya, ‘Abi calling..’
‘Assalamua’laikum Mim..’, suara yang sangat aku banggakan menggema di sela-sela telingaku.
‘Wa’alaikumussalam Pak..’, kelihatannya tak ada topik spesifik yang akan menjadi objek perbincangan kita.
‘Gimana kabarmu..?’.
‘Baik Pak..!’
‘Ayah berangkat pagi ini, kamu nggak keberatan kan..?’
‘Hhmm, kali ini walaupun aku keberatan tak akan artinya. Tidak akan menarik kembali keinginan Bapak untuk tetap tinggal. Percuma. Dan aku yakin Bapak juga meyakini itu.’
‘Cerdas. Buat Bapak lebih banyak memujimu lagi..! Bapak selalu ingin memujimu dengan semua keberhasilanmu..!’
‘Aku pun juga tidak mengingankannya, tapi bagaimana jika aku gagal Pak..? Apa yang bakalan Bapak lakukan..?’
‘Hahaha..Kamu menantang Bapak..? Bisa saja Bapak berhenti bekerja, pergi ke tempatmu untuk kembali menyemangatimu bahwa ada orang yang mendukungmu dari awal. Dari sejak kau dilahirkan. Atau Bapak bisa saja pergi ke tempatmu, menunjukkan kekeceawaan yang Bapak rasakan, lalu Bapak akan sangat sedih hingga tidak mengakuimu sebagai anakku. Jika kamu harus memilih, yang mana yang ingin Bapak lakukan padamu..?’, pertanyaan dan pilihan yang sulit. Tak kusangka ayah akan membalikkan tantangan dengan akhir pilihan yang sangat sulit. Semua anak akan memilih yang pertain ma aku kira.
‘Tantangan balik nich..? Pastinya aku pilih yang pertama lah Pak. Hanya orang bodoh yang mengingankan ayahnya melakukan pilihan kedua..’
‘Hhmm..Hamim. Di dunia ini semua orang menginginkan yang terbaik, Bapak akui kamu juga punya keinginan itu. Tapi tidakkah pilihan pertama itu cenderung bersifat manja dan enak. Padahal kamu tau untuk sukses, butuh langkah pahit yang pasti di tengah usaha untuk berdiri kembali setelah gagal..?
Hamim..Bapak tau kamu sudah sering terlibat dengan menasehati dan dinasehati. Bapak yakin, kamu sudah muak dengan nasehat karena saatnya giliranmu untuk menasehati adik-adikmu, saudara-saudaramu, istri dan anakmu kelak. Tapi Bapak hanya ingin berkata, jika terpaksa kamu akan menerima perlakuan pilihan yang kedua, kamu harus yakin bahwa ‘tantangan yang tidak membuat kamu langsung mati, akan membuat kamu lebih kuat dari sebelumnya..’. Camkan itu Mim. Itu yang selalu diyakini orang-orang sukses.
Walaupun Bapak belum pernah melakukan itu. Kali ini Bapak serasa melakukan itu. Bapak yang sudah banyak bergantung dan dibantu banyak orang lain untuk menunjangmu berpendidikan tinggi, Bapak kini sadar, Bapak harus melakukan sesuatu untuk kesuksesanmu. Orang tua kandungmu adalah Bapak, bukan orang lain yang selama ini membantu. Bapak ingin melihat kamu sukses dengan usaha di belakang yang Bapak lakukan sendiri. Keringat Bapak bukan air liur orang lain. Tangan Bapak, bukan kebaikan tangan orang lain.’, aku tidak yakin ini diucapkan oleh ayahku. Ayah yang seorang lulusan SD. Aku tidak ingin kelihatan seperti ini, tapi aku menangis. Air mataku perlahan turun membasahi pipiku. Apa”an ini. Aku tidak berbicara dengan ayah dengan kondisi seperti ini. Memalukan.
‘Pak, aku hanya ingin Bapak baik-baik saja. Sudah cukup semua yang Bapak bicarakan tadi. Aku tidak ingin Bapak kecewa. Maaf pertanyaanku tadi..’, suara parau di belakang membuatku kelihatan lemah.
‘Kamu nggak usah nangis. Jangan cengeng begitu. Bapak tau yang kamu khawatirkan. Mungkin kekhawatiran itu juga yang membuatmu melarang Bapak kerja di luar negeri ya..? Tapi kali ini masih di Indonesia. Tenang saja. Bapak juga ingin tau kabarmu sewaktu-waktu..’
‘Ya Pak. Aku tau. Semoga saja seperti itu..’, air wudhu’ yang membasahi wajah dan sebagian tubuh yang lain kini tak kurasakan lagi dinginnya.
‘Yaudah, teman-teman Bapak sudah pada datang. Bapak harus berangkat. Yang perlu kamu ingat, tidak ada Ayah yang sampai hati melakukan pilihan kedua. Bagaimanapun, seorang Ayah akan selalu berusaha mengerti anaknya ketika anaknya salah, walaupun kadang tidak menemukan titik itu. Dan Bapak ingin kamu tau, Bapak selalu membanggakanmu, karena Bapak yakin kamu bisa diandalkan..’
‘Maksud Bapak..?’
‘Artikan sendiri Mim. Sudah ya. Bapak harus berangkat. Bapak juga tau kamu lagi dekat dengan perempuan. Jangan dikecewain. Bapak senang mendengarnya..!’
‘Aku nggak heran. Kalo Ibu tau, nggak mungkin Bapak nggak tau. Pasti Pak. Yaudah dech, Bapak hati” ya..!’, closing yang payah. Tapi aku gemetaran untuk mengucapkannya.
‘Hahaha..Ya, ya..Bapak tau. Sukses selalu ya Mim.. Assalamu’alaikum..’
‘Wa’alaikumussalam Pak..’.
Pembicaraan habis. Kali ini aku harus merelakan ayah jauh dari keluarga. Satu”nya cowok yang tersisa di rumah harus pergi merantau juga. Memang bukan pilihan yang bagus, tapi itu mungkin menjadi tindakan yang sangat tepat.
‘Sepertinya aku bakalan merindukanmu Pak kalo aku libur ntar. Pulang ke rumah tanpa melihatmu bekerja di rumah harus aku biasakan di tahun” yang akan datang. Dan Bapak harus yakin, aku pun tidak akan membiarkan Bapak kecewa’..
Selengkapnya...
Bingkisan Tuhan III
Dua hari kemaren harusnya menjadi hari yang menyenangkan. Hari dengan ketenangan. Masih dalam suasana tahun baru masehi dan kebetulan dua hari kemaren adalah akhir pekan. Tenang dan senang harusna aku rasakan disana dengan santai seperti di pantai dan enjoy serta rileks. Tapi tidak. Aku merasakan tegang dan gelisah, resah dan galau, tertekan, sakit serta lelah dan capek.
Ini bukan yang orang-orang harapkan. Bukan yang di inginkan semua orang di bumi ini. Tak ada yang mengharapkan semua hal di atas. Di tahun baru yang sudah memasuki hari keempat ini, semua mengharapkan sesuatu yang baru dan berbeda serta lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Termasuk aku. Aku yang sekarang dengan terpaksa menyandang status mahasiswa juga tidak ingin ketinggalan merasakan nikmatnya dunia untuk kumaksimalkan dan aku akhiri di akhirat dengan nyaman sebagai bekal nantinya. Bahagia, adalah tujuan semua insane di dunia ini. Dan tentunya, tidak mudah mendapatkannya. Banyak jalan terjal, berliku bahkan harus berjibaku dengan iblis dan kadang merelakan sebuah kepentingan untuk pengorbanan.
Satu yang pasti, semua itu kita lalui dengan cinta.
Semuanya diawali dengan takdirku sebagai orang miskin. Ya. Kadang aku berpikir miskin ini sebuah perlawanan. Namun di lain cerita aku merasa miskin ini adalah konsekuensi dari Tuhan yang entah atas perbuatanku yang mana. Tapi bukan hidup namanya jika tidak ada hitam di atas putih dan sedih di samping senang. Walaupun begitu, aku bersyukur telah, sedang dan akan merasakan semuanya.
Hari sabtu aku merasakan ketegangan yang tidak biasanya. Aku ujian salah satu mata kuliah. Oral Exam. Di sinilah dimulai keteganganku. Dengan materi yang belum aku pelajari di hari sebelumnya, aku mengambil resiko untuk masuk ruangan memenuhi panggilan dosen bersama empat teman lainnya. Menghadapi dosen dengan pengetahuan seuprit bukanlah rencana yang cantik. Aku tegang dan gelisah. Deg-degan mendapat giliran mengambil soal yang sudah disiapkan untuk dicaplok tangan-tangan yang akan menjawab pertanyaan tersebut. Dan dasar sial, aku tidak bisa menjawab satu dari dua pertanyaan yang diajukan dosen padaku. Padahal mata kuliah ini begitu penting bagiku. Sebuah mata kuliah pengantar yang akan mengantarkan aku pada cita-cita dan obsesiku nantinya. Tapi aku mengecewakan pengejaran itu. But it’s oke.
Keresahan itu belum habis. Pulang dari kampus, aku harus mengantarkan tugas (sebelum) akhirku di mata kuliah lain ke tempat tinggal dosenku di Jalan Galunggung. Alamat yang belum pernah aku dengar. Mungkin tanpa sadar pernah aku jamah, tapi saat itu aku tidak butuh untuk mengingat-ingat lagi di mana aku pernah mendengar alamat itu. Atau kalau tidak, aku harus merelakan satu mata kuliahku tanpa nilai. Waw..aku yakin tidak ada yang mengaharapkan itu terjadi pada dirinya.
Siang itu juga, aku berangkat dengan sala seorang abangku yang sebelumnya telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengantarkan aku ke alamat tersebut walaupun sebenarnya abangku juga tidak tau di mana tempat itu. Bertanya pada orang dan nyasar adalah harga yang harus aku bayar sebelum bertemu dengan dosenku. Perjuangan yang lumayan ringan jika dibandingkan dengan perjuangan Ikal yang berjuang mencari Arai, seorang manusia hebat yang di sekujur tubuhnya dipenuhi dengan semangat yang luar biasa, selama tiga tahun. Dan aku hanya butuh tiga puluh menit. Hehehe..
Usai perjuangan itu, aku menerima panggilan dari orang-orang yang paling aku cintai sepanjang perjalanan hidupku ini, my family. Ya nich, Ibuku nelpon. Wanita yang sangat aku cintai ini menelpon yang diawali wanita yang begitu mensupport aku, mB’Q.
“Assalamualaikum Mim, apa kabar..?”, mB’ yang selalu menyemangati aku mengawali perbincangan ini.
“Waalaikumussalam..baek aja mB’. Ada apa nich..? Oh ya mB’, lusa aku ujian lho. Doanya donk..!”, harapku.
“Pasti, tapi usahamu juga mesti di utamakan. Kamu pulang kapan..? Banyak yang nyari nich. Temen-temenmu juga dah da yang libur tuch. Tapi nggak usah mikirin di sini dulu. Pikirin UASmu, jangan pacaran terus..!?”.
“Apa”an sich mB’. Siapa tuch yang ngomong..?”.
“Just guess, cZ You so look like that. But now, I know You be there..”.
“Whatever. Maybe Yes. Hehehe..mang siapa ja temen-temenQ yang dah libur mB’..?”.
“Tuch kan benar. Bilangin Bibi ntar. Ada Bedur, Sofyan, Hilmi, Silvi, Hom dan yang laen. Anak” PS3 juga ada kemaren nyariin kamu. Yang buat Bibi kesel, da anak-anak SMP ikutan nyariin kamu”.
“Anak” SMP..? Ngapaen mB’..? Jangan bilang siswi”nya,,?”
“Emang iya. Nyariin Kak Hamim katanya. Hahaha..pasaranmu anak kecil ya Mim..!?”
“Hahaha..biasalah. Segmentasiku kan kemana-mana. Beneran lho mB’ jangan becanda donk..”
“Ya..nggak percaya. Teman”nya Erna juga ada yang nyari tuch. Kamu tuch emang. Kalo nggak percaya, ni ngobrol ma ibumu..”
“Ya dech, kasiin..”
“Apa Mim..?”, suara itu sepertinya sedang sebel, mirip dengan suara yang sering aku dengar akhir” ini.
“Assalamualaikum Bu..Nggak papa. Cuma kangen aja ma Ibu. Ibu apa kabar..?”
“Waalaikum salam. Baek” aja. Kamu gimana..?”
“Alhamdulillah baek. Ibu sekarang aku..”
“Kuliahmu gimana..? Jangan pacaran terus..”.
“Ah, Ibu ada” ja nich. Gosip dari mana lagi tuch..?”
“Nggak usah ngelak. Ibu tau. Gpp, asal sewajarnya. Ibu yakin kamu tau apa yang mesti kamu lakukan. Kamu sudah besar Mim. Jangan neko-neko. Seimbangkan dengan kuliahmu juga. Ibu belum tau tuch cerita-ceritamu yang suka nulis. Sekarang dibuktikan. Ibu pengen liat..”, waw, Ibuku mulai lebay nich. Benar” keren yang Ibu ucapkan. Bijak banget. Dapet dari mana ya kata” itu..?
“Ya Bu. Aku nggak tau Ibu tau dari mana, tapi jangan dimarahin ya. Katanya Ibu sakit ya kemaren..?”.
“Ya. Seminggu kemaren..”
“Lama banget Bu..?”
“Ne Ibu baru bisa jualan lagi. Oh Ya Mim, Ayahmu mau ke tempat kak Go-mu di luar kota..”
“Ngapaen Bu..? Kak Go mau nikah di sana..?”
“Nikah..?! Ya, ayahmu mau kerja di sana. Biayamu itu gede. Nggak cukup kalau masih melaut di sini dengan hasil pas-pasan. Sebenarnya Ibu nggak mau ngomongin ini ke kamu. Tapi harus di omongin. Ibu harap kamu nggak usah ngelarang ayahmu lagi. Kali ini alasannya sudah mantap. Jangan dilarang..!”
“Hah..Ibu beneran..? Tapi.. Di rumah nggak ada cowoknya donk..? Tapi..”
“Ini nich yang Ibu khawatirkan. Kamu nggak usah mikirin itu. Kali ini kamu ikhlasin ayahmu. Atau kamu mau Ibu nggak bisa ngirimin bayaran buat SPPmu lagi..? Ayahmu di sini susah mikirin kirimanmu tiap bulan. Kamu nyantae ajalah. Ibu tau yang kamu khawatirkan. Masalah kerjaan rumah, kita punya tetangga kok. Ada juga Mak jhosop yang nolongin kita. Pastinya, kamu dan kakak”mu nggak selamanya di luar kan..? Kalo libur, pasti pulang kan..? Nyantae ja ya..”.
“Hmm..kali ini aku ikut aja dech kalo emang kayak gitu alesannya..”
“Ywdah, Ibu lagi banyak kerjaan nich. Adikmu juga kemaren minta kiriman duit mendadak. Kamu ujian yang bener, deket ma anak orang juga hati”. Jangan sampe kelewatan. Sewajarnya aja. Oia, kalo lagi keluar berdua, ngabisin berapa duit..?”
“Sewajarnya aja kok Bu. Ibu apa”an sich..? Paling makan bareng..”
“Kamu kan suka ngemil, ke sana ke sini coklat bawaannya. Ywdah dech, Ibu tau kok kamu udah gede. Pikirin sendiri menjalani hidup. Pastinya jangan lupa hafalannya..”
“Ya Bu, makasih. Ywdah dech..”
“Masih mau ngobrol ma mB’mu..?”
“Nggak. Udahan aja dech. Oia Bu, temen”Q da yang maen ke rumah..?”
“Ya..makanya, Ibu heran ke kamu. Yang laen pada libur, kamu kok masih lama..? Trus, ada anak” SMP tuch yang nyari sama temen”nya Erna juga. Tapi nggak usah di bahas. Kamu kan suka ge-er..”
“Ibu apa”an sich. Lagian aku nggak tertarik..”
“Jadi bener, kamu udah punya pacar di sana..?”
“Tuch kan..siapa sekarang yang bahas..?”
“Ywdah Nak. Kamu sering berdoa juga ya buat kami di sini. Kesibukan boleh saja. Tapi jangan lupa shalatnya sama hafalannya. Assalamualaikum..”
“Ya Bu. Waalaikumussalam..”
Ibuku tau..? Dari mana..? Tapi yang lebih mengkhawatirkan, kabar ayah. Aku nggak habis pikir, tapi itu sudah kewajiban beliau. Aku yakin, bagaimanapun ayah adalah kepala keluarga. Beliau yang mencari nafkah. Buat makan dan sekolah anak”nya. Cukup mengejutkan, bahkan bagiku ini sebuah kabar yang harus aku terima dengan berat. Tapi nggak papa lah. Walaupun aku berat, tapi aku percaya sama keinginan ayah. Dulu juga ayah sempat berencana ke luar negeri. Tapi aku nggak mau dan aku tidak mengijinkan. Aku cukup punya banyak alesan untuk itu. Tapi kali ini, aku harus menuruti apa yang diyakini keluargaku.
Mendengar itu juga membuat aku tertekan. Aku harus pinter” mencari cara agar aku bisa mandiri di sini. Nggak melulu minta duit dan melongo nunggu kiriman duit dari rumah dengan tanggal yang nggak pasti. Setidaknya tekanan itu tak membuat aku terbebani. Karena aku tau skenario yang akan aku hadapi nantinya. Selama itu masih kehendak Tuhan.
Sakit juga aku rasakan ketika aku salah tempo makan. Lapar yang aku rasakan sangat menyiksaku. Dengan makan, akan membuat lapar itu hilang pikirku. Tapi shit..yang terjadi malah sebaliknya. Oh God, I know You are the director. Sakit yang sangat aku rasakan sesaat setelah makan bakso dengan porsi sekebon. Perutku seperti dikocok, ditonjok atau bahkan seperti ada yang sengaja ingin tumbuh keluar menekan. Sakit banget.
Lelah dan capek pun tak terhindarkan di dua hari itu. Hari-hari disaat orang-orang harusnya lebih santai dan enjoy menjalaninya, aku merasakan lelah yang sangat pada dua hari itu di penghujung hari. Dan kontan, waktu tidur, aku sangat ikhlas menjalaninya. Maksudnya pulas. Dan aku rasakan sampai terdengar adzan subuh, tanda aku harus bangun menunaikan sebuah kewajiban atas konsekuensi keyakinanku.
Dan disinilah kenikmatan aku menjalaninya. Di saat aku harus kesel dan sebel dengan dua hari itu, aku malah senang dengan kepenatan itu. Adalah dia yang mengembalikan senyum tersungging di bibirku. Menyebarkan damai dengan senyumnya. Menaburkan tentram di hati. Melenyapkan tegang dan gelisah yang kuhadapi saat ujian. Menyingkirkan resah dan galau saat ayahku harus memutuskan jauh dariku secara fisik. Menekan tekanan yang kuhadapi dan membalikkan beban menjadi peluang ke depan. Mengobati sakit yang terlanjur aku telan. Menarik lelah dan capek yang hinggap di pundakku.
Aku tidak tau siapa Bingkisan Tuhan yang diberikan-Nya padaku. Tapi aku harap dia-lah Bingkisan Tuhan itu. Dia yang telah membuat hari”ku lebih berenergi menghadapi hidup yang busuk ini.
Terimakasih Rumput Liar.
Selengkapnya...