Selamat Jalan, Pak Kiyai..

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raaji'un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Selamat jalan KH. Makhtum, terimakasih atas semuanya.

'Assalamu'alaikum Tadz. Kiyai Makhtum baru saja wafat di RS Darmo. Belum tau kapan kembali ke pondok dan dikebumikan. Kalau berkenan ke pondok, hubungi saya ya'
'Tadz, kalau sudah gak sibuk, tolong bales'
'Tadz, infonya Kiyai Makhtum Insya Allah nyampe pondok jam 8 malam dan dikebumikan besok pagi. Nungguin anaknya yang di Madinah dan Jogja'
'Tadz, kami sudah dalam perjalanan kembali ke pondok'

Empat pesan datang berangsur dan menyesaki inbox hapeku sejak siang dan sore kemarin. Aku bukan tidak membacanya, tapi aku bingung menjawabnya. Saat membaca, kesedihan langsung membawaku berjalan memutari waktu. Lama dan pelan.
Entah kenapa, aku mengingat hampir semua ekspresi almarhum di pertemuan kita. Almarhum tidak pernah secara langsung mengajar di kelasku, 6 tahun di Al-Amien. Kesempatanku bertemu beliau hanya saat Kuliah Subuh yang pengisi utamanya selalu tiga serangkai anak" Djauhari atau saat acara Kuliah Umum Kemasyarakat, bekal menjelang liburan. Aku tak pernah tau rasanya belajar pada beliau di kelas, dengan jarak yang hanya terpisah meja dan lantai. Tidak pernah. Tapi aku bisa membayangkannya. Sama rasanya saat duduk bersila mendengar suara dari kedua kakaknya, yang lebih dulu tiada. Seolah ada rasa intimidasi keilmuan yang dalam. Ragaku bergetar seolah sedang jatuh cinta. dan aku, tak pernah melewatkan setiap pertemuan dengan ketiganya tanpa pena dan kertas.
Siang itu, untuk sesaat, aku mengalami de javu yang, tidak, aku ingin lama memasuki de javu. Aku tidak konsentrasi dengan yang aku kerjakan di meja redaksi. Beberapa kali atasan memanggil tanpa jawaban, hingga akhirnya berujung instruksi dengan teriakan. Aku tak bisa menahan sedih ini. Meskipun di depan dua perempuan siang itu di ruangan. Aku hanyut dalam sedih. Anehnya, aku merasa sangat kehilangan. Padahal sudah lama aku tidak pernah bertemu almarhum. Terakhir, enam tahun lalu di RSI Sumenep, saat beliau tergolek sakit. Padahal, almarhum bukan pengajar di Tahfidz, lembaga tempatku berada. Apa karena beliau adalah penyandang terakhir dari Djauhari, tepat di belakang namanya. Tidak, aku tidak mengerti. Aku hanya sedih, sangat. dan kehilangan.
Sampai di kamar pun, aku ingin sekali menangis. Aku tak berhenti berdoa, memohon ampunan untuknya padaNya. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Ada sesak yang bergemuruh di dada, ingin aku ungkapkan, tapi tak ada air mata. Sudah aku coba membangun suasana sedih. Surat Yaasin yang aku baca bahkan hanya mengantarkanku pada mata yang sembab tanpa genangan air di pelupuknya. Bagaimana lagi aku mengungkap kesedihan ini. Satu"nya air mata pada almarhum yang aku rasakan, keluar saat tulisan ini dibuat. Saat pagi, saat aku baru memasuki kantor 10 menit, saat almarhum sudah dikebumikan.
Bersama beberapa teman, aku sudah berencana menjenguk beliau ke RS Darmo. Sore atau petang, di sela" kerja. Tapi kabar duka itu benar" menyesalkan. Aku tidak berhenti menyalahkan diri, menunda rencana menjenguk beliau yang sudah 2-3 hari dirawat di Surabaya. Hal paling mengecewakan lainnya adalah aku tidak mengikuti shalat janazah di Al-Amien pagi ini. AKu hanya bisa shalat ghaib di kos, di kamar, dengan kondisi yang sangat sial, kondisi air mata tertahan tanpa tau kenapa.
Kemarin, di kamar, aku mengingat semua yang bisa aku ingat tentang beliau. Anak Djauhari paling cerdas, pintar dan jenius. Kedua kakaknya pun mengakui hal itu. Banyak yang bilang kalau almarhum punya ilmu ladunni, sejak masih nyantri pada Kiyai Imam Zarkasyi di Gontor sampai S2 di Madinah sana. Semasa hidup, mendengar beliau memberi ceramah, sama hanya aku mendengar Yudi Latif bicara. To the point, sangat berbobot, berkelas dan bermanfaat tak hanya secara pengetahuan, tapi menyentuh sisi kehidupan yang harus dijalani sebagai seorang santri. Selama memimpin majalah sekolah dua periode, cita"ku adalah mendapat tulisan beliau di rubrik Kolom, tapi tak pernah berhasil. Sudahlah, aku tak sanggup lagi meneruskan tulisan ini.
Selengkapnya...

Reason..

Sampai hari ini pun aku belum cerita ke Kiki, konsultasi tentang sakitku yang sudah 3 pekan ini bersarang. Kiki bukan satu"nya temenku yang dokter, tapi dia selalu menjelaskan keluhanku dengan sangat detil dan, dengan solusinya. Tapi Kiki paling bawel kalau aku gak nurut, apalagi mengacuhkan. Tiap sakit dan mau konsultasi, itu alasan pertama yang membuatku enggan menghubunginya.
Seringkali, saat Kiki memberi jawaban, sakitku selalu berbarengan dengan pancaroba. Dan selalu berlangsung lama. Satu hari kolaps di tempat tidur, lalu bisa berhari" setelahnya beraktifitas dengan minim stamina, lemas dan sakit di bagian kepala. Terjadi berkali" dan aku jadi pasien tetapnya. Sebenarnya, tadi pagi dokter muda ini bertanya tentang JTF 2015 via teks. Tapi aku terjebak dengan kamera di tangan, lupa cerita. Cerita pun, paling dibuka dengan omelan. Apalagi kalau dia tau kalau kali ini sakitku juga karena mengabaikan cuaca. Bahkan, empat hari terakhir, tidak ada siang yang aku lewatkan tanpa hujan"an. Tapi siang ini, hujan"annya terasa spesial. Gak pake telor.

Malam ini, aku memutar komposisi Reason milik Eva Celia berkali-kali. Tanpa henti. Hanya lagu itu. Sial, enak banget. Sudah sejak pertama kali dilaunching, aku sudah jatuh cinta dengan lagu ini. Tapi baru kali ini aku sempat mendengarnya dengan tenang, di tempat sepi tanpa ada orang lain, ditemani secangkir kopi di samping keyboard dan menemani hingga tulisan ini berakhir. Baru kali ada kompsosisi dari musisi perempuan yang menemaniku menulis. Menulis sekali lagi, tentangmu. Tidak, kali ini tentang senyummu. Ya, hanya senyummu.
Aku tak mengira malam ini akan panjang bagiku. Kenyataan seharian ini belum istiarahat, mata digunakan maksimal dan besok pagi harus sudah kembali ke kantor, harusnya sudah cukup jadi alasan buat kembali ke kamar dan tidur. Tapi aku malah menambahkan gula ke setiap minuman yang aku teguk untuk menahan reduksi semangat. Aku masih tak menyangka bisa melihatmu tersenyum dengan sengaja. Sayangnya, senyum itu berada tepat di depanku. Situasi yang membuatku semakin meneruskan niatku kabur dari kursi petang itu. Aku berkali" memintamu pindah duduk di sampingku, tapi negatif. Kau memilih tetap di kursimu dan aku masih dengan grogi yang aku sembunyikan di tempatku duduk, di depanmu, karena senyum itu.
Reason masih terdengar jelas di ruang dengarku. Mengalun ladid, seolah Eva juga berkomunikasi dengan gesturnya padaku. Seperti yang aku lihat malam itu. Sesekali sebuah senyum tersungging tanpa sengaja dan sialnya, aku juga melihat tanpa sengaja. Jadilah kondisi yang harusnya tidak sama" tau, aku melanggarnya. Kau tidak tau aku melihat senyum itu, tapi aku tau Kau sedang tersenyum. Sehingga beberapa kali aku sengaja diam dan berhenti bicara, agar Kau juga diam dan tersenyum saat tak melihatku. Tak semua berhasil, tapi beberapa kali aku menangkap momen itu dengan mata, kamera sempurna ciptaan Tuhan. Oh shit, ternyata kamera hapeku juga membingkainya.
Bagaimana jika pembahasan ini aku akhiri saja..? Biarkan aku menikmatinya sendiri dan mendeskripsikannya diam". Sudah lama aku tidak berkisah lagi di sini. Penyakit 'invisible' ku belum sembuh. Memulainya kembali pun butuh waktu lama dan satu pelecut sempurna agar jemari juga ikut menepikan rasa malas itu. dan pelecut malam ini adalah sneyum itu, senyummu.


I could be all that I am, right now I know I'm on my way to it I want to be
Even if I ever feel lost inside, you are the reason I find my way again
Reason_ Eva Celia
Selengkapnya...

Beranjak atau Bicara..

Malam yang berat. Dua hari yang sama. Berada di kamar dengan kaos terbungkus jaket. Berkeringat hebat, satu kondisi favorit saat sakit. Tidak, aku hanya ingin menyebutnya dengan kondisi lemah. Kurang berdaya. Kondisi sengaja mematikan kipas angin dan menutup jendela. Kondisi sedang bermusuhan dengan angin, apapun medianya. Kondisi yang pernah aku rasa saat aku candu memikirkanmu.
Aku tidak ingin pagiku bermula begini. Kacau. Beranjak seadanya saat Subuh, dengan tangan gemetar seperti mengidap parkinson. Tampil sembrono di hadapan Tuhan, sedangkan aku menyimpan banyak keluh yang harus dibicarakan padaNya. Beberapa teman datang ke kamar bergantian. Entah kenapa mereka jadi sok tau, jadi memperhatikan setiap gerak yang ingin aku lakukan. Jadi penyayang. Jadi pengasuh tiba". Jadi sok bijak dengan bilang aku sakit dan harus segera dirawat. Hal mengherankan lainnya, dari mana mereka menyimpulkan..? dan jika benar, dari mana mereka tau..?
Padahal Jumat ku baik" saja, meskipun semua orang di NewMedia berkata wajahku pucat, awut"an dan tidak segar. Aku tidak mengabaikan, aku hanya balik bertanya 'Memangnya, di hari lainnya aku bagaimana..?'. Aku berbohong, hal yang sama sering dilakukan Ibu dan Bapak saat sedang sakit. Malamnya, aku berada di kondisi yang sama seperti malam ini.
Hari ini pun aku ingin berpura". Aku mulai bisa melakukannya. Seperti semua orang di sekelilingku. Berpura tertawa untuk menarik perhatian. Berpura pintar untuk menjilat. Berpura tersenyum untuk menyembunyikan kebencian. Berpura bicara untuk menghindari tanya. Berpura" bukan munafik. Hanya candu yang terbiasa. hingga akhirnya berakhir pada kekosongan. Aku biasa melakukannya. Berpura tidak terjadi apa", sampai kemudian emosiku hilang bersamanya.
Saat seperti ini, pikiranku sering meracau. Berkata apapun tak sesuai hati. Berteriak pada bolpen yang seringkali aku pegang. Berbisik pada setiap buku, menanggapi salah satu isinya. Blur, adalah buku yang sering aku ajak ngobrol. Bill Kovach dan Tom Rosentiel, penulisnya, tak pernah tau aku sering mengolok"nya. Aku mengajakanya agar sering ke Indonesia, agar tau bagaimana distorsi informasi masih sering tersaji sebagai berita. Hanya di sini, di negeri antah berantah, katamu.
Saat seperti ini, aku memang tak lagi waras. Tapi berhasil membuat hidupku lebih tenang, membuat bayangmu selalu ada dan menentramkan malamku. Aku takkan tenang, saat sehatku datang. Sehat itu melelahkan, harus mendengar dan melihat seperti biasa. Meskipun tak semua ingin Kau dengar dan lihat. Malah, Kamu yang ingin sekali aku pandang, harus terhalang oleh banyak siluet bayang.
Saat seperti ini, aku ingin berjalan ke luar. Menyusuri malam, sendiri. Berhenti berharap pada manusia lainnya. Mungkin sebentar, mungkin juga lama.
Selengkapnya...

Kembali Pulang; Ironi Siang Itu..

25 Desember 2015
Hujan masih deras mengguyur siang itu. Di kepalaku, berkecamuk banyak diksi untuk aku deskripsikan, untuk aku ceritakan padamu. Tentang hujan yang Kau hindari, tentang tawaku yang tak mungkin Kau lihat, tentang tanya yang tak mungkin Kau jawab iya 'maukah Kau hujan"an bersamaku..?' dan tentang semua bunyi merdu rinai tak beraturan ini. Siang itu aku gila, senyum dan tawa bergantian berebut satu tempat di bibir.
Dari tempatku berdiri, aku melihat petir menyambar di sana-sini. Disusul suara gemuruh guntur yang selalu membuat Ibu khawatir. Setiap kali suara geledek itu datang, Zein adalah objek pertama yang Ibu lihat setelah beristighfar. Dari tempatku berdiri, aku menyembunyikan kecemasanku pada Bapak yang tak kunjung nampak di seberang laut. Bapak bukan orang sakti yang bisa menangkal petir, Bapak juga bukan teman laut, badai dan ombak. Tapi, durasi yang dia jalani selama 20an tahun ini, jadi jaminan buatku menghilangkan cemas. Anak sialan, malah yang aku cemaskan adalah kemungkinan" jawabanmu tentang pertanyaanku.
Dari tempatku berdiri, aku sudah tau jawaban yang akan Kau sampaikan. Kau alergi hujan dan aku manusia gurun norak yang sudah lama merindukan hujan. Salah satu bahagia bagiku, sebenarnya cukup dengan membuatmu tertawa. Tapi sifat dasar manusia-ku datang, tidak puas, ingin lebih dan egois. Aku ingin melihatmu tertawa karena aku tertawa, karena aku hujan"an atau karena kita berdua hujan"an. Aku gelengkan kepala. Jika sampai ajakan itu terlontar dari mulutku, aku tidak akan memaafkan diriku. Karenanya, aku simpan pertanyaan sia" itu.
Dari tempatku berdiri, jarak pandang sangat terbatas pada dua perahu yang sudah bersandar di pantai depanku, objek terdekat. Aku masih berdiri tanpa tau kapan aku beranjak pulang. Sesekali aku menghela nafas panjang, tanda kalau aku terlalu lama berpikir. Bagaimana tidak, aku berhadapan dengan teka teki dunia bernama hati. Apalagi hati yang satu ini tertanam pada fisik seorang perempuan. Tambah rumitlah urusan. Jika ada stetoskop khusus untuk mendengar percakapan antara hati dan isi kepalamu, aku adalah orang pertama yang membelinya. Tapi jangankan mendengar organ tersembunyimu, melihat ragamu saja aku enggan, penyakit bertemu perempuan.
Dari tempatku berdiri, aku merasa samar" aliran air hujan sudah masuk sampai ke semua organ intimku. Sesekali aku mendekapkan tangan, ironi yang lazim aku lakukan. Hujan"an, berusaha menghangatkan tubuh. Mencintai hujan, tapi menempatkan payung saat keluar kantor untuk makan. Merindukanmu, tapi tak ingin bertemu. Tak ingin menyapa. Tak ingin terlihat olehmu. Alasanku banyak, tapi semuanya masuk akal, menurutku. Mungkin suatu saat, aku harus ke dukun. Konsultasi tentang penyakit 'alergi perempuan' ku.
Dari tempatku berdiri, aku masih bertanya satu hal yang belum Kau jawab. Apakah Kau juga merindukanku..?!
Selengkapnya...

Kembali Pulang..

5 Desember 2015
Doaku terkabul. Hujan turun deras saat aku pulang ke rumah. Jarang terjadi, karena tanah Madura yang panas seringkali hanya dikepung gerimis, meski berulang kali. Tapi tidak siang ini. Sejak pagi, mendung membungkam cahaya matahari, menepikannya entah ke mana. Sebelum hujan turun, gelegar guntur dan kilat petir jelas didengar dan nampak terlihat. Mengerikan. Tidak bagiku.
Siang itu, Ibu meminta Zein, adik bungsuku yang masih kelas 1 SD mematikan TV dan mencopot semua kabel yang terhubung. Zein yang juga takut setiap kali petir terlihat, menuruti permintaan Ibu dan bersembunyi di samping pintu kamarku. Dia mendekat dan memelukku saat petir kembali datang dengan cahaya memanjang dan bercabang, terlihat di sela2 pintu rumah yang tak tertutup purna. Dari arah dapur, Ibu berdiri memandangi langit melalui jendela.
'Deras ya, siapa yang bantu Bapakmu..?', gumam Ibu. Aku bergegas ganti celana pendek, kaos dan membuka pintu.
'Biar saya aja Bu', aku tersenyum ke arah Ibu. Ibu menghela nafas. Mungkin Ibu tau kalau sebenarnya aku ingin hujan"an.
'Hati" ya. Buruan, jangan sampe Zein liat, ntar dia ikut', Ibu mengatakan itu dengan mimik seolah ingin mengusirku. Aku berjalan santai menikmati derasnya hujan ke pantai, sekitar 21 meter di belakang rumah. Hahahahaha, sambil jalan, aku mengingat kapan terakhir aku melakukan ini, hujan"an tanpa peduli kesehatan. Hujan semakin deras saat aku berhasil mengingatnya. Sesampainya di lencak yang ada di pantai, aku memicingkan mata dari balik kacamata yang aku kenakan. Aku budi, buta dikit, dengan kondisi cuaca seperti ini, mengandalkan kacamata saja tak cukup.
Kekhawatiran Ibu bukan tanpa sebab. Saat hujan deras seperti ini, laut bisa sangat mematikan. Gelombangnya sangat labil, ditambah angin kencang yang berhembus seolah ingin menikam semua usahamu untuk selamat. Aku berdiri mematung, baju dan celana pendek yang aku kenakan sudah basah kuyup sejak awal keluar rumah. Satu persatu aku melihat perahu datang dari arah utara, berlabuh. Tapi tidak ada tanda" parahu itu milik Bapak. Sebelas. Iya, sebelas kapal. Aku menghitungnya.
'Kak', aku masih memicingkan mata dengan kecamata masih basah. AKu tak bisa mengelapnya. Percuma kurasa. Sesekali menundukkan kepala dan berpikir. Bodoh, terlalu berlebihan. Bapak sudah melakukan profesi ini sejak aku balita, sudah sekitar 20an tahun. Hujan dan angin kencang seperti ini saja tak akan memadamkan usahanya pulang ke rumah. Bapak sudah melewati banyak badai yang mungkin dia sembunyikan dari kami.
'Kak, masih lama', aku menoleh ke depan, ke arah suara yang aku dengar barusan.
'Eh Rul, apanya..?', tanyaku padanya saat dia ambil tanganku menyalami. Khoirul adalah teman sepermainan Zainal, adik keduaku. Dia sangat dekat dengan keluarga kami. Dia juga yang seringkali membantu Bapak mengangkut semua hasil ikan yang didapat Bapak, ke rumah.
'Bapak masih lama datang. Mungkin setengah jam dari sekarang. Pulanglah, biar aku yang menunggunya, seperti biasa. Saat Kakak selesai mandi, paling Bapak udah datang', pintanya padaku. Dia mendorongku untuk pulang. Dia mendorong dalam arti yang sebenarnya, secara fisik. Kami berdua masih hujan"an. AKu melihat ke arahnya, dia menggerakkan kepala dan bibirnya seolah ingin aku pergi dari tempat ini. Kebetulan hujan sudah mulai melambat turun dari sebelumnya.
'OKe, minta tolong ya Rul', kataku padanya.
'Jangan khawatir, ini sudah aku lakukan sejak kalian semua gak ada di rumah', maksud Khoirul adalah kami bertiga; Saya, Zainal dan Nurul yang satu persatu meninggalkan Seppolo dan melanjutkan studi. Aku meninggalkan pantai dengan jalan mundur, sambil tetap mengarahkan pandanganku berharap Bapak datang sebelum aku pulang.
AKu ingin bertahan lebih lama di sana, tapi hujan sudah mereda. Aku harus memenuhi janji dengan seorang teman datang ke tempat usaha barunya berupa warung kopi dan angkringan. Baru dibuka 2 pekan. Dia ingin aku berkunjung dan melakukan review serta riset kecil"an untuk pengembangan. Tentu bukan secara hitung"an ekonomi bisnis, hanya menelaah minum dan makanan yang dia sajikan serta beberapa analisa psikologi konsumen. Haduuuhh, ada" aja ni anak. Aku ini siapa coba.
'Belum thonduk ya Mim..?', tanya Ibu saat melihat sosokku di depan rumah.
'Belum Bu, Khoirul yang mau jemput',
'Ooh, dia udah di sana. Yaudah mandi sana', kata Ibu yakin. Aku melihat wajah Ibu. Aku tersenyum, lalu tertawa dalam hati. Aku lupa, keluarga besar ini sejak dulu dibangun oleh banyak kepala dan tangan. Dibangun oleh banyak kesedihan yang terbagi tanpa diminta dan dengan rangkulan hangat banyak dekap tanpa menawarkan. Semuanya berlandaskan kepercayaan. dan perlahan terwarisi dengan sendirinya, tanpa diajari pada generasi selanjutnya, karena semuanya terlihat nyata dengan sikap. Perlahan juga, menular pada orang lain di sekitar kami. Khoirul misalnya.
Berada di luar sana, mungkin sudah membuatku terlalu naif. Setiap hari, sesekali aku menulis kasus" yang tidak mengenakkan, seringkali melibatkan pengkhianatan. Intrik, politik, kebohongan, dusta, prasangka dan under estimate sering jadi dasar berita yang aku tulis tiap harinya, atau kadang sering aku dengar. Aku lupa, hari ini aku berlibur. Aku harus menempatkan diriku pada situasi di tanah yang aku injak. Kebetulan, libur kali ini adalah pulang ke rumah. dan dalam rumah ini, ada keluarga yang sudah mengajariku banyak hal, sebelum aku duduk di kursi kecil sekolah TK dulu.
Selengkapnya...

Tanyakan Pertanyaan Itu, Bu..

Bu, berlebihankah jika aku akan pulang hanya untuk melihatmu..? Obrolan kita petang tadi benar" membuatku gusar. Bahkan saat tulisan ini dibuat, aku tak berhenti bertanya, apa yang ada di benak Ibu tentangku..? Ibu hanya menanyakan kabarku, hal yang aku takutkan.
Dulu, saat di pesantren dan selama kuliah, Ibu menanyakan dua hal sebelum kabarku. Hafalan Qur'an dan shalat-ku. Sampai dua setengah tahun terakhir ini pun, Ibu masih melakukan hal yang sama. Tapi tidak untuk sebulan belakangan. Ibu hanya menanyakan kabarku, kesehatan dan aktifitas malam yang aku lakukan. Bu, beginikah kita..? Kau menyembunyikan sesuatu dariku dan aku harus bertanya" sampai sebulan ini.
Dulu, Ibu selalu bergumam lirih bahkan sedih saat aku mengelak dari semua pertanyaan tentang ibadahku. Apa karena itu, Ibu kini tak menanyakan hal itu lagi..? Bu, jangan bikin aku gusar. Apakah Ibu sudah tak lagi percaya pada kebutuhanku pada Tuhan..? Atau, Ibu mentorelir semua yang aku lakukan di sini, dengan semua kegiatan kampret ini..? Ibu tidak ingin aku terganggu dengan pertanyaan" itu..? Bu, jika bukan Ibu, siapa lagi yang mengingatkan hubungan vertikalku pada Tuhan..? dan Ibu, tidak menjawab saat aku bertanya pertanyaan ini beberapa hari lalu.
Bu, aku kira tidak berlebihan jika besok aku pulang hanya untuk menemui Ibu. Meminta jawaban tentang kegusaran ini. Memandangimu lama, sekuat leherku menengadah dari tempatku mencium tanganmu ke wajah teduhmu. Bu, pekan ini hujan masih diperkirakan turun deras di Jawa Timur. Masih bisa kan aku hujan"an sementara Ibu tersenyum seolah melihat pria kesetanan menemukan mainannya..? Jangan lagi Ibu tunjukan wajah cemberut dan berakhir dengan omelan karena takut aku sakit. Aku sudah lama latihan untuk mempersiapkan datangnya hujan kali ini. Sama seperti setiap hari aku mempersiapkan diri melihat dia karena terlalu gugup.
Bu, mungkin besok tak aku temukan jawaban dari pertanyaanku. Tak apa. Aku hanya ingin Ibu tau, soal aktiftasku pada Tuhan, aku masih yang dulu. Mungkin pertanyaanmu sudah berkurang di setiap kali komunikasi kita, tapi tidak ada yang berkurang, antara cintaku padamu, atau doaku untukmu dan semua langkah ini, tentu untuk melihat senyummu mengembang ikhlas..
Selengkapnya...