Canggung

Kamarku masih dalam kegelapan. Cahaya hanya masuk melewati jendela kecil di sudut ruangan tempatku tidur ini. Gorden yang menutupinya masih rapi menahan serbuan cahaya dari luar. Samar” aku mendengar suara adzan berkumandang di langit Surabaya. Sepertinya sudah saatnya Ashar. Padahal baru saja aku selesai meeting dan ingin sekali istirahat, karena tengah malam nanti aku harus kembali duduk di kantor melakoni rutinitas kerja yang belum bisa aku abaikan.
Rutinitas ini juga ternyata yang membuatku harus menahan langkah kakiku untuk pergi ke acara pernikahan seorang teman, sahabat dan sodara kemaren di Malang. Entahlah, aku sangat kecewa tidak bisa menghadiri acara besar itu. Padahal tak hanya menjabat tangannya dengan hangat, tapi kekecewaanku juga pada tak bisa berkumpul dengan sodara” lainnya yang ikut hadir meramaikan. Bayu, maaf.
Sore ini aku masih bergelut dengan huruf” untuk menggambarkan rinduku padamu. Seorang perempuan. Seseorang yang tampak mempesona dan hampir menyita semua kebekuan tengah malamku hampir setahun ini. Sempat aku mendengar suaramu dari kejauhan kemaren. Suara yang tak bisa menuntaskan kerinduan sebenarnya. Tapi bersyukurlah beberapa teks pesan masuk menyesaki inbox hapeku darimu.
Melihatmu benar” tak pernah mudah. Apalagi jika harus menatap wajah dan mata tajam penuh keangkuhan itu. Mata yang penuh amarah dan membuat anggunmu memuncak. Mungkin saat itu semua orang akan terpana melihat betapa sosokmu sangat mudah dikagumi. Kau hanya tak menyadarinya. Walaupun aku yakin merelakan, tapi tak sedikit kecemburuan ini menggugah raga untuk terus menyapamu dengan salam.
Lihat saja nanti, Kau harus melihatnya sendiri. Lihatlah betapa dirimu terlalu takut untuk menyadari bahwa Kau butuh cerita cinta. Lihatlah juga bahwa tangan ini selalu bergetar untuk dapat mengusir dingin yang membungkus tanganmu.
Jangan Kau tanyakan kenapa sapa dan tanganku tak pernah menyentuh aroma indah sosokmu. Taukah betapa canggungnya tingkahku..? Karena saat aku sengaja atau tidak menatapmu, Kau beri aku lagi senyuman mautmu. Aku hanya melihatmu, melihat punggung dan kerudung merahmu dari atas. Kau masih sama cantik seperti dulu ternyata. Masih tetap manis, anggun dan smart. Sekalipun tak pernah Kau sadari bahkan menyangkal setiap tuduhan itu.
Kau hanya cukup terima semua tudingan itu tersemat padamu. Aku juga tak akan memaksa semua rindu ini terbentang hanya untuk mengarahkan semua senyummu padaku. Aku tak peduli pada perasaanmu, karena itu tak akan mengubah canggungku padamu. Maka, aku akhiri saja tulisan ini.
Selengkapnya...