Obrolan yang Berpihak..

Black Dog Led Zeppelin adalah racun. saya gak mungkin menulis ini kalau warung kopi ini tidak tiba" menyetel lagu itu. gairah membuka blogku muncul, dan sekali melihat, aku selalu tergoda buat menulis. apapun. termasuk percakapan dengan Ibu di ujung telpon, barusan.

'halo, Nak. Assalamu'alaikum', kirian Nissa Sabyan, ternyata Ibu.
'Wa'alaikumussalam, Bu. ada apa..?',
'kok lemes..? kok belum tidur..? lagi kerja ini..?',
'enggak, Bu. udah pulang',
'kok rame..?', kalo Ibu udah nanya gini, jadi sungkan jawabnya.
'injih, Bu. lagi ngopi sama temen-temen di deket kos. srruuppp', duh. ngapain pake ingusan segala sih.

'lagi pilek..?',
'enggak, Bu. narik nafas aja',
'hmm, masuk angin ini', buset dah. kena ramal.
'baik-baik aja kok ini',
'tadi hujan-hujanan..?', nah kan. ketebak lagi.

'iya sore tadi. gerimis',
'kemarin..?',
'injih, pas beli makan siang',
'Senen..?',
'injih, malem pas lagi maen sama Bdoer',
'Minggu..?',
'injih, malem pas nyari makan sama temen kantor',
'Sabtu..?',
'injih, pas lagi di Malang',
'Jumat..?',
'injih, pas ...'

'Miiim, kok gitu. udah berapa hari itu hujan-hujanan..? suka hujan pas kecil aja. ngapain sampe sekarang masih hujan-hujanan..?', nah. mulai.
'itu sampe Jumat aja, Bu. Kamis enggak',
'iya tapi kok tiap hari sih. kan bisa berteduh', ini kalau dijawab lagi bakal kacau dunia perfilman.
'injih, Bu. udah enggak ini. lagi gak enak badan juga ini',
'nah kan', dih. doi gantian bilang 'nah kan'.
'injih, Bu. udah pada tidur ya di sana..?',
'jangan ngalihin pembicaraan', buset dah gak bisa banget dikerjain. 'yaudah, nanti pas pulang oles minyak kayu putih, istirahat.
'injih, Bu', lalu obrolan bisa saya alihkan. obrolan panjang yang mengantarkan saya pulang dengan jalan kaki sampai akhirnya saya membuka laptop untuk menulis ini.

'ssrrruuppppp', ngapain sih ingusan..?! memang, untuk menang, Kau harus tau berada di pihak mana. Ibu adalah perempuan yang gak mungkin (bisa) saya kerjain.
Selengkapnya...

Hari Ketiga; Taman Sungai Mudal..

'gak mau mikir lagi..? sudah bulat nih berhenti, pulang dan gak balik Jogja..?', Saiful, temen seangkatan Ullya semasa SMA, bertanya pada Ullya yang duduk di depanku. Ullya menatapku, melihat Ullya menatapku, Saiful juga melihat ke arahku.
'kenapa pada lihat saya..?', tanyaku pada mereka berdua. Murti yang duduk di depan Saiful, melirik ke arahku dan sekejab kembali melihat minuman di depannya.
'iya. udah bilang semua orang. udah bilang sekolah, udah bilang keluarga juga. gak usah dijelasin ke Mas Hamim kan..? kan udah cerita semalem', Ullya menjawab santai, dengan suara lirih sambil menyeruput jus pesanannya.
'kan yang nanya bukan saya. tuh si Saiful',
'panjang, gak usah cerita lah ya Ful', kata Ullya sambil mengangkat alis pada Saiful. tangan kanan Ullya masih memegang gelas jus dan menggerakannya mengikuti arah wajahnya yang beretorika.
'pulang kan kalo udah ada tujuan, nikah misalnya', kata Saiful pada Ullya. dia mengambil jeda, melihat ke arahku dan kembali bicara, 'emang Kamu udah ada yang mau nikahin..?', sontak aku tertawa mendengarnya. Saiful yang melihatku, juga tertawa. Saiful memastikan kalo aku, mas-nya, tidak akan marah membully Ullya.
'Kamu tuh ya. huh. Mas Hamim belain Ullya dong, malah ketawa', Ullya, masih dengan gelas di tangannya menggerakkan gelas seolah ingin menyiram Saiful.
'kalian dari pagi begini mulu, jadian aja dah', kataku pelan.
'idih', celetuk Ullya. bersamaan, Saiful juga bilang, 'hih'. sementara Murti tertawa merespon tanyaku dan jawaban kedua temannya itu.
'yaudah yaudah, diterusin gak nih UNOnya..?', tanyaku pada mereka. mereka menggangguk dan kembali konsentrasi melihat semua kartu-kartu di depannya. aku tau sepertinya permainan ini tidak akan mengesankan, karena tubuh kita dibalut lelah setelah seharian jalan. Warunk Upnormal yang kita datangi ini juga sepertinya tidak bisa lama kita singgahi. sesekali aku, Ullya, Saiful dan Murti menggerakkan badan seolah menunjukkan rasa lelah. juga, sesekali menguap. hari ini memang melelahkan, tidak hanya bagiku, juga bagi mereka. Ullya mengajak Saiful dan Murti untuk menemaniku dan Ullya jalan. Ullya punya usulan tempat buat wisata, aku mengiyakan, Ullya mengajak pasukan, dan dua yang tergerak menyetujui.

pagi sebelum jam yang dijanjikan untuk bertemu, aku keliling Malioboro, berharap lapak totebag yang aku incar sudah buka. aku berjalan jauh ke arah simpang nol kilometer. aku tidak ingat tepatnya lapaknya. aku hanya berjalan dan sesekali melihat banyak lapak lainnya, berharap totebag yang aku inginkan dijual di lapak itu dan aku gak perlu jauh" sampe ke persimpangan itu. tapi nihil. selain kepagian, juga karena totebag ini jarang ada. warna biru gelap, dengan sablon kacamata besar warna orange.

aku sudah sampai di depan gerbang Pasar Bringharjo, dan memulai pencarian. aku kembali ke arah sebaliknya, mengingat-ingat lapak yang aku temui kemarin sore. aku memang naif, menyesal baru sekarang setelah sadar bahwa tidak ada waktu lagi buat mencari besok. pagi ini jam sembilan aku sudah janji pada Ullya untuk menunggu di jalan Dagen Malioboro, titik kumpul buat jalan-jalan hari ini. sedangkan besok pagi-pagi sekali, aku sudah harus di Stasiun Tugu buat pulang. masih ada malam ini, tapi rasanya, jalan-jalan ini sampe malem. jadi, aku harus menemukan lapak dan totebag inceran itu pagi ini juga. tapi gagal. aku sudah berjalan sejak depan Pasar Bringharjo, sampe kembali ke gang Sosrowijayan, tidak ada.

aku hanya mandi keringat karena jalan cepat" dengan terburu. dan kondisi ini berlanjut hingga akhirnya aku sampai di penginapan dan bersiap" menemui Ullya. sebelum mandi, aku sampatkan bertanya pada Ullya, jadi jam berapa ketemunya dan di mana. aku punya firasat titik temunya akan geser dan jamnya juga molor. ternyata bener, Ullya membalas pesanku dengan permintaan maaf karena akan telat. Ullya harus menunggu temannya yang masih belum bangun, yang juga akan ikut perjalanan ini. OKee, aku pergi mandi pelan". aku melangkah empat detik dengan kaki kanan, dan empat detik juga dengan kaki kiri. slow motion. ya enggak lah. aku males punya urusan panjang dengan perempuan. jadi aku cepetin mandi, ambil tas dan masukin kamera, lalu keluar dari gang dan bersantai di pedestrian Malioboro.

setengah jam berikutnya, Ullya nge-Line dan mengabarkan kalau dia akan berangkat. satu temannya sudah bersamanya dan menuju kemari, sedangkan satu lagi masih baru saja bangun dan akan segera ke tempat pertemuan. mendengar itu aku masih meneruskan membaca Malam Terakhir milik Laela S. Khudori yang aku bawa di tas. aku sengaja tidak pesan kopi, khawatir Ullya tiba" sudah nyampe dan kopi belum habis. kopi adalah salah satu solusi dari semua persoalan idupku, jadi aku tidak biasa meninggalkan kopi tersisa. halah.

dua puluh menit berlalu saat Ullya nge-Line lagi kalau dia udah di Malioboro, di jalan Dagen. aku beranjak ke sana dan menemui Ullya. berkenalan dengan seorang temannya yang memakai masker dan gak dilepas". namanya Murti. kita bertiga di pinggir jalan di depan warung makan menunggu satu lagi teman Ullya. lama, ada kali hampir setengah jam, lalu datang. sesi kenalan dan ngobrol berjalan cepat dan kami berangkat. saking cepatnya, aku lupa namanya dan aku yang membonceng Ullya, berkendara di belakangnya yang membonceng Murti. dari belakang, aku perhatikan mereka ini pada bawa ransel, dan sepertinya bawa banyak barang. kayaknya ada rencana" yang aku kelewat.

'Mas, ini perjalanan mungkin sejam-an. gapapa..?', tanya Ullya tiba".
'udah jalan nih, ya gapapa jadinya. coba tadi bilangnya, ya cancel',
'hmm, jahat banget ya tamunya. tapi ya tuan rumahnya gak memuaskan ya. hehe', lalu obrolan berlanjut ke hal" gak penting. beberapa kali aku menanyakan nama kedua temannya yang di depan. aku lupa. 'Murti, Mas. yang cowok, Saiful. dua"nya angkatan Ullya di pondok. kalo Murti, Mas gak mungkin kenal, kalau Saiful, pasti inget kan..?',
'enggak. kenapa harus kenal..?',
'kayaknya Mas kelas akhir, Saiful kelas dua SMP. sama kayak Ullya',
'wah jauh banget. saya lupa kalo jauh gitu',
'udah tua kali, Mas', Ullya mengatakannya dengan sungguh". soalnya dia tertawa setelah itu. terbahak-bahak. sialan.
setelah setengah jam, perjalanan ini lebih mirip menuju Balekambang di Malang. jalan" kecil, kanan kiri sawah dengan sedikit bangunan.

'Mas, kira" lima belas menit lagi. gak nyampe sejam-an ternyata. maap ya Mas, jauh', lagi" Ullya minta maap. dan shit, wow. perjalanan ini makin seru. di depanku sekarang, terbentang pemandangan yang indah. OKe, mungkin agak berlebihan. tapi di depan mataku sekarang, ada jalan kecil dua arah yang cukup hanya untuk dua truk, gunung menjulang yang sangat tampak di mata dengan hijaunya, dan sepoi angin yang melewati wajahku dengan sangat lembut. mirip pemandangan pagi saat berdiri di depan gerbang UMM saat cuaca cerah. kalau perjalanannya begini, aku akan sangat menikmati.

'Ullya, ini bener jalannya..? gilak, bagus banget',
'cie',
'bagus banget. eh bentar, maksudnya apa cie..?',
'gapapa. lanjut, Mas',

tiga atau empat menit kami melintasi jalan dengan pemandangan tadi. aku tak berhenti memaki. sialan, bagus banget. aku tak akan protes kalau suguhan pemandangannya begini. tidak semua hal harus direkam dan dipost, beberapa diantaranya cukup dinikmati dengan mata. dan visual seperti ini sangat nyaman dinikmati.

setelah sempat nyasar karena Ullya dan Saiful yang lupa jalur pastinya, akhirnya kami sampai di sebuah parkiran. aku turun dari motor, menoleh ke Ullya dan dua temannya. 'wow, ini kita di atas..? pemandangan yang bagus. kita foto" lalu pulang..?',

'ini view dari parkirannya aja. bagus, kan..?! wisatanya air terjun, Mas. sumber air, pemandian',
'iya Mas', Murti dan Saiful menambahkan.
'hah..? saya gak bawa ganti baju lho ini',
'loh, iya ta..? kan Ullya udah bilang semalem. duh, gimana dong..?',
'hahaha, ya gapapa', aku duduk di bangku panjang dari kayu di parkiran terbuka itu. Ullya ngobrol dengan Murti. aku mengeluarkan kamera dan mengabadikan beberapa gambar. Saiful mendekat ke tempatku berdiri dan bicara.
'hmm, Tadz. saya Saiful',
'heh, bilang ustadz sekali lagi, atau kita gak usah kenal',
'oh iya, maap Lim',
'juga Mu'allim. panggil saja nama atau lainnya',
'iya Mas, maap', tampaknya Saiful ketakutan.
'hahaha, becanda Ful. tapi panggil nama saja gapapa. tolong jangan Tadz atau semacamnya',
'oKee deal. saya Saiful ...', lalu Saiful menjelaskan tentangnya, tentang dia yang kenal aku dan hal" yang membenarkan jika aku gak kenal dia. mungkin lupa. karena angkatanku empat tahun di atasnya dan dia juga tidak banyak aktif di organisasi selama di pesantren saat SMP, atau saat aku masih di pesantren. kami lalu banyak ngobrol nostalgia tentang pesantren dan isinya. juga tentang bagaimana perjalanannya bisa kuliah di UIN Jogja.

'OKee, Mas. kita turun. tempatnya di bawah', Ullya menunjuk pintu wisata itu, sekitar 200m dari tempat parkir ini. 'Mas, maap banget ya. tapi di sana ada kok penyewaan baju renang',
'hah, huss berisik. gapapa Ullya',

kami beranjak dari tempat parkir dengan becanda ala Saiful dan Ullya. sementara Murti masih tidak banyak bicara seperti tadi pagi ketemu. dia hanya tertawa melihat becandaan Saiful dan Ullya yang sesekali aku timpali.

saat masuk, kami harus bayar karcis masuk empat ribu per orang. tatanannya masih alami. jalan setapak yang kami lewati masih tanah yang dibentuk-bentuk. bertingkat seperti terasering. tidak ada paving atau semacamnya. kami langsung dihadapkan pada dua kamar mandi di kiri dan mushalla di satu lantai berikutnya. air wudhu'nya mengalir lewat kendi" besar yang sangat dingin. benar" sumber air. di timur mushalla, ada warung yang jual mie pangsit. setelah ngobrol dan melihat-lihat, kami shalat Dzuhur dulu. Ullya dan dua temannya masih menyalahkan diri dan sungkan karena aku gak akan ikut mandi.

'masih mau nyalah-nyalahin atau makan..?!', tanyaku.
'makan dong', mereka serempak jawab.
'makan aja kompak banget jawabnya. yaudah yuk. tadi saya udah ke situ, jualnya mie pangsit aja' gapapa ya..?',
'gapapa, Mas. kan Mas Hamim yang belum sarapan. kita mah udah. jadi makan apa aja gak masalah',
kami memesan tiga mangkok mie pangsit. Saiful hanya pesan es. kurang lebih setengah jam kita berada di warung itu. masih dengan becanda dengan objek utama bully adalah Ullya dan Saiful. kali ini Murti beberapa kali menimpali. aku, ikut tertawa dengan perut terisi.

puas tertawa dan nge-mie, kami turun. yoi, turun. ternyata Mudal ini semacam lembah dengan air terjun. mata airnya mengalir sampe ke bawah dan kami harus menuruni bebatuan yang sudah diberi tangga buatan dari bambu" untuk menuju kolam terbawah. di beberapa kelok perjalanan turun itu, ada air mineral dengan banyak gelas yang disediakan gratis buat pengunjung. kami minum. kami foto" dan kaget ternyata banyak bule di sini. mereka sama seperti kami, berwisata dan pengen mandi" aja. sesampainya di bawah. tiga anak itu ganti pakaian dan bincang" dengan penjaga kolam. aku di belakang mereka, tertahan dengan kamera di tangan yang masih takjub sama tempat ini. beberapa sudut aku abadikan, termasuk mereka.

saat aku tiba di kolam dan motret candid, mereka berteriak dengan masih wajah bersalah karena aku gak ikutan mandi. aku melontarkan satu dua alasan, dan mereka kembali berenang dengan riang. menyenangkan melihat mereka senang. tertawa-tawa di kolam tanpa peduli hal lainnya. di sana ada beberapa orang yang masih di kolam dan sudah kelar lalu menepi di warung di sampingnya.

mereka sewa pelampung baju renang. Ullya sih emang gak bisa renang, aku tau itu karena saat ke Jogja edisi sebelumnya, aku sama Ullya juga ke mandi" begini dan dia bilang gak bisa renang. tapi Murti dan Saiful kayaknya begitu, karena mereka juga sewa. kolamnya agak dalem, jadi kaki mereka gak bisa nyentuh dasar tanah dan harus sewa pelampung biar mandi"nya menyenangkan.

kelar foto" sekitar, aku turun ke warung dan memesan secangkir kopi. ternyata yang mereka sediakan hanya kopi sachet dan minuman dingin serta mie instan. aku pesan kopi dan duduk di bangku tempat anak tiga ini naroh pakaian. sekalian jagain. aku masukin kamera dan mengeluarkan hape. cek chat kantor dan lainnya. menghubungi Sinal, bertanya kabarnya dan cek medsos bentar. lalu kembali memasukkannya dan gantian mengeluarkan kamera sampai akhirnya mereka puas dan menyatakan kelar mandi"nya.

adzan Ashar sudah berkumandang saat mereka ganti baju. kami istirahat sebentar lalu naik lagi ke atas dan memutuskan shalat Ashar dulu sebelum pulang. becanda" dulu, baru menuju parkiran dan pulang. sepertinya bersenang" tadi juga melelahkan. akhirnya kami memutuskan singgah di warung makan di perjalanan, sekalian shalat Maghrib. karena petang sudah tiba dan meminta kita memberi jeda pada aktivitas.

kami makan di salah satu cabang super sambel, di jalur pulang. sepertinya kami sangat lapar, dan tidak berani bertaruh makan di tempat lain yang asing, yang gak tau rasanya enak apa enggak. aku mengiyakan dan warung sangat ramai. kami kebagian tempat di dalem dan pojok. selama kursinya empat, kami gak ada masalah. pelayanan lumayan cepat, makan kami juga demikian dan shalat dengan segera. hingga akhirnya memutuskan masih ingin nongkrong untuk ngobrol.

kami memilih mampir ke Upnormal di jalan Gejayan yang baru buka. katanya juga deket dengan kosan Murti, biar Ullya nganternya deket. kami agak lama di sana. melakukan obrolan gak penting hanya untuk meluruhkan penat dan mengendurkan syaraf yang tegang. Ullya, jadi bahan olokan. Saiful pelakunya. saya, menimpali. Murti yang menertawakan. semua simpul tawa itu berlangsung hingga malam larut dan dingin diam" menyergap memaksa kami mewujudkan niat untuk pulang.

'Mas, udah nyampe penginapan..? Ullya nginep di kosan Murti. dia takut sendirian', line Ullya masuk saat saya udah bebaring di penginapan.
'udah. btw, Saiful orangnya baik. boleh lah Ullya sama dia',
'enggak. Mas gak mau pamit apa ketemuan lagi gitu sebelum besok pagi-pagi pulang..? jangan nyebelin, mau pulang lho ini',
'hahahaa. gak usah lah. paginya banget, Ullya paling masih tiduran',
'yaahh. oke kalau gitu, segera pulang dan cari jodoh. segera',

nasihat apaan dah itu.
saya beranjak dari kasur, ganti baju dan kembali keluar kamar. duduk" di trotoar Mailoboro dan memesan secangkir kopi di warung. malam agak tenang, kios" udah pada tutup. keramaian hanya terjadi di titik pedestrian yang ada plang Malioboro. plang itu gak lagi tersedia di ujung jalan Malioboro, karena dibongkar untuk perbaikan jalan. tapi jalan agak deket sekitar 100m, ada plang itu di depan antara hotel Inna Simpang dan kantor kantor DPRD Yogya. sampai saya kembali ke penginapan satu jam kemudian pun, titik itu masih ramai. jenis keramaian yang aku senangi.

lihatlah mereka. tertawa dengan tulus. Kau harus melihatnya. melihat yang aku lihat. rasanya tawa itu menular. kebahagiaan itu terasa sampai ke ujung bibirku, memintaku juga ikut tertawa. mereka memiliki senjata paling dahsyat yaitu hati. keteguhan di dalamnya akan meruntuhkan semua nasib yang berpotensi jadi kesedihan. bisa saja Kau menghadapai semua persoalan hidup dengan strategi, tapi perjalanan ini dimulai dengan hati yang kuat. kemauan, kehendak, hasrat yang kokoh untuk terus berusaha. dan dalam satu suara tawa yang mereka keluarkan, ada semua rincian itu di sana. menular, juga membahagiakan.

selamat malam, Jogja.
Selengkapnya...

Bicara..

sore seolah berjalan lambat, sangat pelan sampai aku tak bisa mendengarmu lagi. inderaku hanya merasakan kopi yang baru saja aku seruput. di lidah, di pegangan, di hidung, aromanya membuat mataku perlahan terpejam. Kau memanggilku lagi, aku mendengarmu tapi aku abaikan. Kau memutari meja, berjalan ke arahku, duduk di samping dan menyentuh bahuku. menyebut namaku tepat di telinga. aku membuka mata, menoleh dan mendapatkan senyummu yang mengembang.

kita beradu pandang. matamu menatapku dengan ancaman. aku membalasnya tanpa tau bersikap. matamu bicara, dengarkan aku. mataku bertanya, sudah berapa lama Kau duduk di situ dan melihatku. pandanganmu hilang, turun ke bawah, tempat tanganku berada. mengambil dan menggenggamnya dengan sangat hati-hati. aku menggerakkan tubuhku. sekarang kita berhadapan, tapi aku masih bertanya, apa yang ingin Kau lakukan.

sore masih sangat muda saat Kau kembali berbisik di telinga. memintaku pergi dari sini, meminta kita meninggalkan tempat ini, sambil menatap ke arah meja tempat kopiku berada. matamu meminta, habiskan kopimu. mataku memohon, minumlah sedikit. gengganganmu renggang. menggerakkannya ke meja dan meraih cangkir itu. mengarahkannya ke mulut, mencium aromanya, raksi yang sangat mudah kita perdebatkan sepanjang kita kenal. bibirmu menyentuh tepi cangkir. Kau meminumnya, sedikit, tapi Kau meminumnya. segera matamu melihatku dan bersuara pelan 'pahit'. aku tertawa, Kau tersenyum kesal.

sore masih belia, kita beranjak, memilih melihatnya lebih jauh di jalanan. mungkin tidak banyak yang akan kita temukan. tapi pasti kita akan menjumpai sesuatu. keindahan itu, pendar itu, atau hal lain yang membuatmu tau tentang dirimu. aku, diam-diam sudah menemukan diriku lewat dirimu. dan Kau, juga harus menemukannya. bisa di perjalanan ini, atau nanti di tempat lain. saat ini, atau beberapa waktu lagi. tapi Kau harus menerima dirimu saat Kau menemukannya.
Selengkapnya...

Harus Sering Diingat..

aku sudah sering memikirkan kematian. perihal yang sangat dekat dengan kita diakui atau tidak. Kau tidak bisa memprediksi kapan datang dan bagaimana caranya. yang harus Kau lakukan hanya mempersiapkannya diri dengan sangat baik sebelum dia menjemput. aku sudah sering memikirkannya, bahkan membicarakannya, bertindak seolah besok adalah waktunya. tapi lain hal jika aku melihat potensi tanda-tandanya. seperti tiga hari ini.

Selasa malam lalu, saat BMKG mencatat ada gempa di utara Bangkalan, aku langsung panik. info itu sudah ramai di banyak tempat. aplikasi perpesanan, media sosial sampai bisik" tetangga. bagian paling sulit dalam kondisi ini memang menenangkan diri. beberapa detik setelah seruput kopi yang aku taruh di atas CPU komputer, aku kembali membaca info itu dengan detil. kedalamannya 576km dan kekuatannya berkisar di 4.6 SR, tidak dirasakan oleh warga. tidak dirasakan. aku tidak menghubungi Ibu, khawatir panik. aku hanya memberitakan dengan semua keterangannya, juga agar tidak panik.

malam saat pulang dari kantor, aku masih merasakan kekhawatiran dalam diri. berkali-kali aku melihat hape dan mencoba menghubungi Ibu, tapi aku takut dengan respon yang muncul. aku takut kalau Ibu khawatir dan panik. sampai akhirnya pagi mengecupku dan perlahan membekukan semua kegelisahanku. hari mulai berjalan separuh saat aku mulai berpikir lagi untuk menghubungi Ibu. bagaimanapun Ibu harus tau dan aku harus berani bilang. keberanian adalah perlawanan pada kekhawatiran. aku mulai mengeluarkan hape dari saku bajuku. tapi, pucuk dicinta ulam tiba. baru membuka kunci, hapeku bunyi karena telpon dari Ibu.

akhirnya aku memberi tahukan info ini. aku jelaskan info ini, juga tentang kondisi tempat tinggal kita yang sangat rawan karena di pesisir, sekaligus hal" yang harus diantisipasi saat terjadi guncangan. ternyata Ibu lebih tenang dari yang aku duga. Ibu mendengarkan semua info dan mengiyakan semua penjelasan. tanpa aku duga, Ibu bercerita tentang gempa yag dulu beberapa kali terjadi saat aku kecil. aku mendengarkan dengan sangat antusias dan beberapa kali ingin tahu bagaimana kondisi saat itu, karena aku tidak mengingatnya. lama, lalu pembicaraan teralih pada pembahasan yang hangat. kita bertukar salam dan menyudahi panggilan.

petang sampai malam setelahnya, aku bisa menikmati Rabu dengan nyaman. sampai akhirnya tengah malam tiba dan aku masih terjaga, gempa di sekitar Madura kembali terjadi. kekuatannya 6.4 SR, cukup besar. posisinya agak jauh, ada di selatan Sumenep. saat itu juga, aku menelpon Ibu yang membangunkan tidurnya. memberi info ini dan bertanya situasi di sana. ternyata Ibu nyenyak tidur, tidak merasakannya dan Bapak sudah pergi melaut. semuanya baik" saja, tapi tidak yang di Sapudi, pulau yang sangat dekat dengan titik gempa.

hari ini aku masih terus memikirkannya. sama seperti kematian, gempa dan guncangan patahan ini tidak bisa diprediksi dengan pasti. kita hanya bersiap saat salah satunya datang. bersiap, bukan menghindar. kita tidak bisa lari dari segalanya, apalagi dari kematian. tapi kita masih bisa mengetahuinya, untuk menyimpulkan kekuatan.
Selengkapnya...

Jangan Kamu, Biarkan Aku..

Kau harus menjauh. Kau terlalu buta mendekatiku. menjadikan semua kebutuhan sebagai alasan bertemu dan meyakinkan diri bahwa semua ini benar. Kau harus percaya, hal itu akan sangat menyakitkan nantinya. sama sepertimu saat ini, aku dulu pernah menjalani ini. mendekat tanpa peduli terik siang hari atau dinginnya malam. yang aku rasa, senang melihatnya dan bahagia di dekatnya.

detik-detik menjadi sangat berharga dan semua tempat yang kita singgahi adalah puisi yang akan menjalar ke semua saraf di otak, menjelajahi jalanan cerebrum dan mengendalikan kemampuan berpikirku. semuanya tentang dia dan kebaikan hari akan pudar tanpanya. aku sangat tergila-gila padanya, juga sebaliknya. dia adalah hal paling irrasional yang pernah aku sentuh, begitu juga sebaliknya. aku dan dia, saling mencintai tanpa spasi, seperti bahan bakar yang siap meledak kapan saja.

hari-hari menjadi sangat menyenangkan dengannya. tanpanya, aku hanya serpihan abu dari sisa anak panah yang terbakar. anak panah yang belum sempat lepas dari busurnya, terjatuh dan lenyap terbakar teriknya matahari. pekan-pekan berlalu dan kami menemukan cermin. berdiri di depannya membuat kami tau ada yang salah dengan cerita ini. kisah yang sudah kami bangun dua kali pergantian tahun dengan banyak motif untuk bertahan.

bulan-bulan menjadi sangat sunyi saat cermin itu kami bawa ke manapun kami pergi. menjadikannya sebagai kebutuhan untuk disadarkan. ada banyak lubang di wajahku dan wajahnya. menjelma menjadi ketakutan yang tak biasa. takut kehilangan, takut berjarak dan takut tak bisa bersama. kami menepi, duduk bersebelahan dengan kepalanya bersandar di bahuku. mengingat-ingat lagi semua kenang yang harus disimpan dan dilupakan. memilahnya. memilahnya. memilahnya sampai menemukan tali yang mengikat kedua tangan kami.

tahun-tahun menjadi senyap setelah semuanya menjadi sangat masuk akal. setelah semuanya kami masukkan dalam kepala yang menerima rasionalitas. aku mencintainya dengan sangat bahaya, demikian juga dirinya. saling mencintai di atas ranjau yang tertutup serbuk kenyamanan. ranjau yang sangat kuat saat meledak dan tak akan bisa kami tahan dengan hati yang kami miliki saat itu. lalu polemik datang, mengepung tempat duduk kami dan bertahan lama. dan kami memilih berjarak. kami memilih menjadi jeda.

Kamu, juga harus punya jeda denganku. aku pernah sebuta itu mendekati dan mencintai. aku tak hanya menyakiti orang yang aku cintai, tapi juga menyakiti diri. aku dan dia, saling menyakiti. Kau akan bernasib sama jika cintamu buta. memang Kau tak akan bisa memilih jatuh cinta pada siapa, tapi Kau harus menggunakan akal sehatmu untuk melanjutkan hidup. karena saat itu terjadi, kita akan merendahkan cara berpikir. kita bukan tak bisa membedakan kebaikan dan keburukan. kita bisa membedakannya, tapi kita memilih mengabaikannya.

jika nanti aku jatuh hati padamu, diamlah di situ. biar aku yang berjalan ke arahmu, mendekati dan menyapamu. tentu jika Kau izinkan.
Selengkapnya...

Percayai Dirimu Sendiri..

aku di pengkolan Pakis saat berniat menulis ini. melintas sambil mendongak ke langit dengan bulan setengah bulat, atau Kau menyebutnya dengan bulan separoh. aku tidak punya alasan utuh menulis ini, hanya ingin melampiaskan lelah yang disudahi. karena jika dipikir-pikir, hari ini berakhir dengan menyenangkan.

aku baru saja ngobrol dengan Tito tentang pekerjaan barunya, dan bagaimana kerja mereka menjadi asik dilakukan. selama dua jam dengan secangkir kopi buatku, segelas teh hangat dan sepiring tahu tek, kami memaki dalam diskusi dan menerjemahkannya dalam beragam sudut pandang. sebelumnya, aku mendapatkan suntikan endorphin dari Ibu dan Bapak lewat sambungan telpon. itulah kenapa aku selalu iri dengan mereka yang sekolah dan bekerja lalu bisa pulang ke rumah, tempat semua lelah menjadi abu dan hilang dalam senyap. mendengar suara dan ngobrol dengan keduanya saja, sudah sangat melegakan. apalagi bisa bertemu secara fisik.

sebelumnya lagi, aku harus meyakinkan diri untuk menunda ngobrol dan ngopi bersama Ipunk dan Ismail. terlalu jauh, dan belum ada hal urgent yang harus kita bicarakan. sebelumnya lagi, aku meluruhkan emosi bersama Neneng di banyak tempat. masih di Surabaya, tapi di banyak tempat. semuanya melelahkan, karena beberapa kali harus mikir dan menyederhanakan buat masuk lagi ke kepalaku yang sedang ruwet. kepala yang akhir" ini menolak buat mikir lebih dalam untuk beberapa hal berat. aku ingin yang ringan" saja sementara ini, karena beberapa kali, motivasiku sedang tenggelam.

hari yang melelahkan ini juga terasa menyenangkan juga karena aku sangat leluasa memilih dengan siapa aku ngobrol, baik teks atau suara. karena aku sudah seringkali berdamai dengan kenyataan bahwa aku dan temen"ku adalah orang" baik yang berada di tempat buruk. tapi aku juga percaya bahwa selalu ada jalan keluar untuk segala hal. bosan, download film. bosan, nonton. bosan, masak. bosan, hangout. bosan, beli buku. bosan, baca buku. bosan, ngopi. dan seringkali saat aku bosan, ya tinggal tidur. karena kadang dalam hidup, Kau hanya bisa mempercayai dirimu sendiri.
Selengkapnya...

Membeli..

kebiasaan. tergoda, membeli, dan hanya menyimpannya. sayangnya aku tak pernah bisa menahan godaan aroma buku dan pengetahuan di dalamnya. padahal aku masih punya hutang pada Kiki. the murder of roger ackroyd masih belum purna aku baca. dia seringkali mengingatkan ngomel", hmm, sudah dua bulan ini. dia ingin sekali aku membacanya, mengakhirinya sebelum selesai, menebak endingnya dan berdiskusi dengannya. aku, bahkan seringkali lupa kalau buku yang aku beli dua bulan lalu itu ada di tas. selalu ada di semua perjalananku, ke manapun. baru sembilan satu dari tiga lima dua halaman. bedebah.

malam saat aku beli, Kiki terstimulus untuk membeli juga. di malam yang sama, dia beli dua buku Agatha Christie dan menyelesaikan sebelum pagi. aku..? baru buka dan membaca dua halaman. mengetahui itu, Kiki memaki saat pagi baru berlangsung beberapa jam. sepertinya penjelasan tidak akan ada gunanya. tapi aku lebih suka dia memaki daripada menyuntikku dengan jarum"nya. sekalipun kita tidak pernah bertemu dengan pakaian kerja.

pagi ini, aku ingat, aku punya buku ini. ada di dalam tas. selalu ada. kadang Kau harus melihat lebih dalam untuk mengetahui yang Kau miliki. aku melakukannya pagi ini. setelah semalam aku terjebak di semua tumpukan buku di Big Bad Wolf, bazaar buku sialan yang membuatku lupa kalau dompetku sudah kritis di stadium empat. baru masuk, aku sudah menemukan dua buku harta karun yang menurut Tito kudu aku beli, OKe, maksudnya kudu aku baca. entah kapan. aku mengambilnya, membaca nama di bagian bawah cover depan dan sinopsisnya, dan ya, aku harus membelinya, maksudku, membacanya. entah kapan.

kabar baiknya, aku memiliki buku" itu. dan berharap punya umur panjang untuk terus ingat untuk membacanya. OKe ya, aku harus membacanya. karena jika tak jadi membeli, aku tak akan memilikinya, kan..?
Selengkapnya...

Deklarasi Tawa..

setelah dua tahun, semalam aku memutuskan untuk membeli bubuk kopi untuk di kamar. sebuah deklarasi untuk berada lama di depan laptop dan kamar. deklarasi menjadikan kamar adalah ruang pengetahuan untuk dieksplore seperti beberapa tahun lalu. aku punya banyak film dan dua belas kardus isi buku yang belum aku bongkar karena pindahan. deklarasi, bahwa semua isi kamar ini akan terus membuatku idup menemani keputusanku untuk (masih) sendiri.

kalimat terakhir adalah hal ironis sekaligus mengecewakan beberapa orang. banyak yang protes dengan pilihan ini. terutama keluargaku, minus Bapak dan Ibu. entahlah, mungkin keduanya masih tidak ingin ikut campur soal asmara. lainnya, berusaha tanpa ampun menyindir, menyudutkan, dan sesekali menjodohkan. beberapa kali aku mengikuti cara main mereka, tapi seringkali tidak. sayangnya, aku sangat tidak nyaman dekat dengan perempuan yang baru dikenal. bagiku, interaksi adalah kenyamanan obrolan. jika tidak memiliki itu, aku seringkali menghindar dari awal agar hubungan lainnya tetap terjalin.

dan, beberapa hari terakhir, makhluk ini muncul. mendatangi hidupku juga tempat tinggalku. berdiri di depan pagar setiap aku akan keluar kos. kebetulan..?! sepertinya dia detektif yang sedang menyamar. hari itu, di depan mobilnya, dia berdiri dengan kaca mata hitam. menyapa lalu pergi. aneh. aku sangat menghindari obrolan chat dengannya. apalagi sambungan telepon. jadi semua pembicaraan kita dilakukan dengan tatap muka. udah kayak ujian semesteran. dan karena aneh, aku lebih banyak mengabaikannya. dan karena itu juga, aku akan lebih banyak di kamar, dengan semua kopi-kopi ini.

beberapa hari terakhir juga, aku harus membantu beberapa komunikasi yang mampet dan tidak tersambung dengan utuh. hubungan dua orang teman dengan warganya yang akan jadi calon pemilihnya. hubungan seorang teman yang baru saja menemukan pilihan hatinya. dan beberapa teman yang butuh alasan-alasan untuk tersenyum setelah bersedih. ironis. lagi. karena aku sendiri adalah bajingan kecil yang juga seringkali salah menangkap interaksi dengan banyak orang.

aku hanya punya beberapa tawa yang aku simpan. sedikit. nanti, aku akan gunakan saat aku tidak punya alasan buat tertawa. perjalanan setiap hari selalu panjang. bukan dua puluh empat jam. itu hanya angka dalam jam digital. hidup, selalu mempermainkan kita tanpa melihat waktu. jadi aku harus menyimpan tawa untuk diriku sendiri, nanti, untuk aku gunakan di saat" tertentu. tapi beberapa hari terakhir berinteraksi dengan seorang teman, aku menyadari sesuatu. berbagi tawa bukan berarti akan kehilangan tawa. kebahagiaan itu tidak terbatas. berbagi tawa, berarti melipatgandakannya.
Selengkapnya...

Tidak Lagi Dibatasi..

membatasi diri itu gak enak. jadi aku tau rasanya kalimat yang terbentuk karena batasan diksi. terpenjara karena kekhawatiran. tenggelam oleh prasangka dan tersembunyi di balik semua keangkuhan. belakangan, tulisan" ini tidak menemukan iramanya. terbelenggu oleh perspektif yang keliru. karena aku harus menjaga prasangka, menjaga perasaan dan memelihara kekhawatiran. beberapa orang tiba" mengklaim bahwa tulisan ini untuknya, tulisan itu untuknya atau tulisan yang itu benar" ditujukan untuknya. menggambarkan perasaanku pada si ini atau si itu. padahal aku asal nulis aja.

aku menyadari itu. karenanya, beberapa tulisan akhir" ini sangat tidak menggambarkan warna blog ini. tidak nyaman dibaca dan tidak memuaskanku. bukan esensinya, tapi gayanya. iramanya, dan sebagian besar diksinya. malam ini aku ingin menghentikan ini. aku tidak ingin lagi menulis dengan kekhawatiran. rasanya gak enak. sangat tidak nikmat dan membuang" waktu.
Selengkapnya...

Gud Lak, Brada..

setiap fase selalu memliki perjalanan. juga demikian, setiap perjalanan memiliki fase. malam ini begitu emosional bagiku. perjalanan dari stasiun Sar Turi ke kos jadi sangat lambat. jadi sangat hening dan haru. aku baru saja mengantarkan Sinal yang akan melakukan perjalanan ke Jakarta buat mewujudkan keinginan". aku baru saja mengantarkan sebuah usaha yang ditanam olehnya sejak setahun ini. aku, baru saja mengantarkan adikku menjauh dariku.

dulu saat SD, aku sering ada di Bandara Juanda. sebagian besar keluarga besarku tidak di Bangkalan. mereka tersebar di Jakarta, Malaysia, Singapore, berlayar di Eropa dan Amerika Tengah menjadi TKI. jadi saat mereka pulang, aku selalu ikut serta buat menjemput. pun begitu saat mereka berangkat lagi, aku akan berada di list paling atas buat ikut mengantar. tiap kali sesi perpisahan, sodara"ku yang anak" mereka, menangis. dan aku, harus menahan tangis. aku harus menahannya untuk menenangkan mereka. bersikap sok kuat dan mengelus" bahu kakak"ku. adegan bodoh yang seringkali ditertawakan Nenek.

aku dan kakak"ku adalah sepupu, tapi hubungan yang terjadi bukan seperti itu. kami lebih mirip sodara kandung yang saling mendukung. tidak ada garis yang membedakan kami. begitu juga para orang tua kami. semuanya memanggil Bapak pada semua Bapak di keluarga ini. semua memanggil Ibu pada semua Ibu yang melahirkan kami. semuanya akrab dan terikat dengan hebat. dengan erat. jadi kami tak bisa membedakan siapapun yang berangkat keluar dari Jawa Timur. siapapun dia, kami pasti terharu dan seringkali menangis.

belakangan, sudah jadi era kami. para cucu. aku sering mengantar dan menjemput kakak"ku ke Bandara atau Stasiun. haru yang menyelinap selalu terobati dengan pelukan sebelum mereka berangkat. tapi malam ini, hanya aku yang mengantarkan Sinal. haru itu datang terlambat. saat melihat Sinal di pintu check in, aku hanya merasa tenang dan bangga. haru baru datang setelah aku keluar dari stasiun dan melintasi jalanan. gilak, time flies. Sinal udah gede sekarang. aku harus berhenti menganggapnya sebagai anak kecil lagi. dan begitu kesalahan semua seorang kakak, menganggap adiknya selalu masih anak kecil.

jalanan masih sangat lambat saat aku berhenti mengenang masa kecilku. haru itu perlahan menghilang dan meninggalkan bangga. aku suka membantu orang lain mendapatkan yang mereka inginkan, terutama saat mereka tidak tau apa yang mereka inginkan. tapi yang sedang aku bicarakan adalah adikku, aku harus menjadi jembatan untuk menemukan keinginannya. gud lak, Brada.
Selengkapnya...

Sembunyi Sendirian..

Kau tidak akan bisa menyimpan banyak hal sendirian. menyembunyikannya di siang hari dan mengekangnya saat malam. berusaha tak ada sinar yang menyinari hingga akhirnya tak ada yang tau. menggenggamnya erat" agar tak ada celah yang membuatnya tercecer dan terbaca. mungkin malam ini Kau bisa melakukannya. tapi tak ada yang bisa menerka esok hari.

aku ingin berhenti menyembunyikan ini. semua sunyi dan sepi yang seringkali bertamu ke kamarku. mereka diam" menyelinap masuk dari pintu yang tak aku kunci. duduk di sampingku, mengepung dan memelukku dengan sigap. dulu, aku terbiasa begini. menyambut keduanya dengan hangat dan tertawa bersama. berbagi cerita dengan banyak tawa. tapi dua hari ini, mereka terasa asing bagiku. ingin sekali aku menghindarinya.

malam ini juga sama. tapi aku tidak ingin menahan mereka di depan pintu. aku biarkan mereka menyelinap dan duduk di sampingku. mereka bertanya tentang banyak hal yang tidak semua bisa aku jawab. kadang aku diam karena aku tidak ingin menjawab. aku tidak ingin mereka semakin menggenggam tanganku dan merangkulku lebih kuat. aku ingin bernafas dengan nyaman dalam ramai. sesekali mereka menjauh saat satu komposisi aku putar. begitu jeda, mereka mendekat, dan berusaha membawaku keluar dari ruangan ini.

sayangnya, aku tidak lagi sendirian. aku bersamamu sekarang, dan beberapa malam ini. mungkin Kau tidak hadir secara fisik. Kau menjelma menjadi pandangan yang mengintai, syahdu yang awas dan rindu yang hebat. rasanya tak usah lagi aku bicarakan, karena mereka mulai menghindariku dengan samar keberadaanmu. mereka membuat jarak, ruang yang tak akan dilangkahi. sedangkan aku, berdiri tanpa keinginan. berjalan ke arahmu, atau mempersilakan mereka lagi. di ruangan ini, Kau tidak nyata. tapi aku tau, kakiku akan memilihmu. ragaku akan menujumu. semakin aku mendekatimu, semakin tebal bayanganmu sehingga terlihat itu Kamu. semakin terlihat, semakin banyak hal yang Kau tunjukan padaku, meski mungkin Kau tak ingin.

Kau tidak akan bisa menyembunyikan banyak hal lagi sekarang, sendirian. perlahan semuanya terungkap. tidak ada lagi gurat sedih yang akan kita dengar bersama. tidak ada suara lantang tawa yang akan kita ciptakan bersama. semua yang bersama dan beriringan itu akan segera pudar. Kau tak usah menyembunyikannya lagi. karena yang menyembunyikan sesuatu, tak selalu banyak bicara. tersenyum dalam kekosongan, dan berpaling saat ramai. dan aku, masih harus memilih.
Selengkapnya...

Senyum Monalisa..

halo, Monalisa. mungkin sebuah kebetulan kita bertemu lagi. karena akhir" ini malam selalu membuatku terjaga lebih lama. saat aku pulang, lampu" sudah padam dan penerangan berkurang. jadi aku tak akan lagi melihatmu yang berdiri di tembok belakang pintu dengan senyum itu. malam ini juga sudah larut, tapi lampu masih nyala. aku melihatmu dengan terang tanpa ada bayang yang menghalang.

aku masih berdiri saat niatku menulis ini muncul. berdiri di depanmu, melihatmu dan tersenyum balik ke arahmu. sejak hari ini bergulir, beberapa hal jadi tidak mudah. ada menit yang harus aku lewati dengan terpaksa, lainnya datang hanya untuk mengacau. aku harus membiasakan diri tersenyum, seperti yang selalu Kau lakukan tanpa diminta. meski aku tau, Kau melakukannya dengan maksud, iya kan..?! apa rahasiamu..?! katakan, rahasiamu aman bersamaku.

sesekali aku gerakkan kepalaku ke kanan, memiringkannya lama, sekitar delapan detik. lalu ke arah sebaliknya, satu detik lebih lama. aku memandangimu dengan banyak tanya di kepala. terutama alasanmu terus tersenyum. apa Kau ingin orang" yang melihatmu juga tersenyum..?! Kau ingin berkata agar belajar tersenyum, karena hidup tidak selalu adil, begitu..?!

aku bergumam, atau tepatnya, sedang mengajakmu bicara. Kau diam. memberikan senyuman sepanjang waktu, dan diam" menularkannya padaku. lalu aku tersenyum, mengutuk diri yang sering bertemu senyum serupa lalu terpikat. mengutuk logika, yang mudah meyakinkan hati untuk berlari dengan cepat. padahal menghindarinya seringkali berat. dan menyisakan menit" lain untuk aku hadapi saat pagi.

halo, Monalisa. kota ini memabukkan tiap sudutnya, tapi sulit mengetahui di mana kita pantas berada. karena jujur pada diri sendiri, butuh keberanian yang mungkin tidak semua orang miliki. aku tidak akan berpura" memahami kerumitan yang ada dalam hidupku. karena saat melihatmu, seolah Kau sedang berkata, hadapi saja, semua orang pernah melakukan kesalahan.
Selengkapnya...

Oo, Namanya Dinda..

sialan. sudah empat hari ini aku gak bisa move on dari perempuan ini. tiap hari membuka YouTube hanya buat lihat perempuan ini berulang-ulang. senyumnya, judesnya, ketawanya, cara dia bicara benar" manis dan menggemaskan. di semua tayangan yang ada dianya, dia selalu dapet peran pinter dan terlihat anggun, setidaknya di mataku.

awalnya aku tidak sengaja melihat satu adegan di RCTI setahun lalu. dia, perempuan ini, berdiri bersama salah seorang temannya laki" di sebuah klinik, di dalam, di depan pintu. mereka berdua hanya berdiri memandangi area luar, tidak beranjak karena di luar sedang hujan deras. aku melihatnya langsung reflek nyahut, 'manis banget, siapa sih..?', temen"ku menyebut nama artis, tapi setelah itu aku lupa.

sebulan lalu, tiba" ada trailer film Roman Picisan sedang tayang. dan aku langsung inget kalau salah satu perempuan pemeran utamanya familiar. aku telusuri, dan ketahuan namanya Adinda Azani, 23 tahun, pacaran sama artis juga. dari penelusuran singkat yang aku lakukan, aku tahu kalau dia maen di beberapa FTV. aku buka YouTube, dan mengetik FTV beserta namanya. ada, beberapa. lalu aku menonton salah satunya. 'ckck, manis banget ni anak'.

sehari berselang, aku sudah lupa lagi. Jazz Traffic merenggut beberapa ingatan dan waktu longgarku. belasan hari atau lebih, aku lupa lagi sama Adinda Azani. sampai akhirnya JTF dan after event nya selesai empat hari lalu, aku kembali diingatkan tentangnya oleh seorang teman. dia abis nonton Rompis di beskop dan cerita ke aku kalau filmnya menggemaskan. hampir seperti Dilan, tapi gak sedahsyat Dilan.

hari itu juga, aku buka YouTube dan kembali mengetik nama Adinda Azani. ternyata, Roman Picisan adalah film layar lebar yang diadaptasi dari sinetron televisi yang sukses tapi tamat tahun lalu. haha sialan, aku baru tahu dan akhirnya aku membuka salah satu potongan sinetronnya. tapi keterusan, gak berhenti dan akhirnya kecanduan, sampai dua menit sebelum aku menulis ini. kalau menit ini..?! masih..!!

rasanya ini tidak baik. aku terpengaruh dan tersihir oleh semua pesona Adinda Azani, Rompis dan jalan ceritanya. beberapa aktivitas yang aku rencanakan, tertunda. aku memberi sebagian besar prioritas padanya dan mengurangi pada hal lainnya. bedebah, kan..?! aku mengurangi fokusku bekerja dan meremehkannya, dua hari ini. tapi mungkin saja aku sudah tidak lagi tertarik dengan rutinitas ini. dan hanya hal" kecil yang ditinggalkan orang sibuk. sayangnya aku melakukan hal sebaliknya, meninggalkan kesibukan untuk hal" kecil. tapi, bukannya kesibukan adalah rutinitas yang kita pilih..?!
Selengkapnya...

Jangan Berjanji..

setelah malam itu, aku menyadari satu hal, dengan terlambat. aku menyadarinya perlahan setelah langkahku dan langkahmu semakin jauh meninggalkan titik temu yang sudah satu jam kita singgahi. aku membalikkan badan, melihatmu yang juga membalikkan badan lalu melambaikan tangan. aku buru" menulis pesan singkat, karena teriakanku sudah tak terdengar, tertutup oleh sinyal kereta yang akan berangkat. Kamu merogoh saku belakang celana belakang, setelah melihatku sedang menggerakkan hape di tangan, memberi isyarat agar melihat hapenya.

satu jam sebelumnya, kita ngobrol berdua. kita ngobrol tanpa menghilangkan pandangan mata. malam itu aku mulai berani memandangi mata perempuan lebih dari dua detik. aku tak lagi membuang pandangan ke bawah atau mengalihkannya ke kanan-kiri. aku memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutmu, tapi tak terdengar di telingaku. aku hanya mengangguk saat Kau mulai berhenti bicara. Kau tersenyum saat aku aku diam. sepertinya Kau tau aku sedang tidak mendengarkanmu. lalu aku mulai malu dan tersenyum. begitu terus sampai kita berdua diam.

'harusnya tidak ada pertemuan ini', katamu.
'benar. to the point, pertemuan ini tidak boleh terjadi lagi', aku bicara dengan angkuh.
'tunggu, kenapa begitu..?',
'kita sama" tau, pertemuan ini memiliki tendensi asmara yang sangat kuat. aku ingin mengingkarinya, tapi tidak bisa. maaf jika salah, tapi sepertinya Kamu juga demikian. dan kalau itu benar, kita tidak mengulanginya',
'Ooh. baiklah',
'apa omonganku salah..?',
'bener kok. tiba" aku sedih. ternyata Kamu juga merasakan hal ini. dan ternyata kita berdua terjebak begini lalu Kamu meminta mengakhirinya', Kamu menundukkan kepala dan menghembuskan nafas panjang. aku melihatmu dan bilang,
'aku tidak keberatan melihatmu sedih dan menangis sekarang. tapi Kau harus tau, aku juga merasakan hal yang sama', kita terdiam lama. aku melihatmu yang masih tertunduk. beberapa masa berselang, aku kembali melihatmu, dan Kau sedang melihatku, dan diam.

operator stasiun mengumumkan kalau kereta yang akan aku naiki sudah tiba. suaranya kemudian meminta agar penumpangnya segera naik, kereta akan berangkat dua puluh menit lagi. bersamaan dengan suara itu, aku memandangimu. kita bertukar pandang dan tersenyum.

'ngomong apa kita ini..? hahahaa', katamu.
'hahahaa iya', aku membalasmu.

kita diam lagi. saling memandangi dan tersenyum. memainkan alis. menaik-turunkannya dan tertawa.

'kata orang, tidak ada pertemanan laki" dan perempuan yang murni. percaya gak..?', tanyaku.
'percaya. kita buktinya', katamu.
'baguslah. makanya aku lebih suka berteman dengan perempuan yang sudah punya tunangan atau suami',
'aku tau itu. sebagai pembatas kan',
'pinter', kataku sambil menunjuk cincin tunangan yang Kamu pakai.

aku berdiri, menandakan kalau aku ingin beranjak dari peron dan menyudahi obrolan ini. Kamu juga berdiri, membuka tas dan mengeluarkan potongan kertas.

'ini buatmu', katamu menyodorkan potongan kertas itu. sebuah markah buku.
'bikin sendiri..?', tanyaku.
'iya. kalau gak suka dibakar ya. bagusnya sih Kamu yang make, jangan sampe orang lain',
'oKee', aku mengiyakan.

aku melangkahkan kaki, menjauh dari tempat kita ngobrol tadi. perlahan, Kau juga meninggalkan tempat itu lalu membalikkan badan untuk melambaikan tangan.

'cinta itu tidak sederhana, kita jangan berjanji apapun', aku mengirimimu pesan.
'sebaiknya begitu. sampai jumpa, Kid', balasmu.
Selengkapnya...

Kehangatan yang Emosional..

belakangan, pulang selalu jadi hal emosional bagiku. aneh, tapi itu selalu terjadi. bahkan sejak aku merencanakannya. sehari sampai dua jam mau berangkat, aku beberapa kali muntah, tanda kalau akau sedang excited pada sesuatu. kadang ini terjadi saat aku berencana bertemu denganmu, muntah" di atas sepeda motor dan bingung cari air minum setelahnya. sepagian ini juga demikian. aku menyadari itu lalu membeli sebotol air mineral untuk persiapan.

aku harus menemui Ibu yang sedang menemani Sinal periksa di RSUD, di klinik THT. sakit tenggorokan Sinal sudah parah, tidak bisa makan dan minum dengan mudah. sebelumnya sudah ke Klinik Khusus THT, tapi hasilnya nihil. Ibu beberapa kali menelponku, mencurahkan perasaannya tentang sakit yang Sinal rasakan. mungkin tidak semua, karena samar" ada isak yang Ibu tahan, aku merasakan dari suaranya yang sedikit parau.

seperti biasa, Ibu, siapapun, akan punya perhatian berlebihan pada anaknya. Sinal, sama seperti saya, tidak peduli pada sakit" begini. karena tidak ingin membuat orang" di sekitarnya khawatir, apalagi Ibu. tapi justru begini jadinya. setiap kali Ibu menelpon membicarakan ini, aku berusaha meyakinkan Ibu bahwa Sinal baik" saja, dan ini bisa dilalui. tapi karena kekhawatiran Ibu semakin menjadi dan hanya aku yang dicurhati, aku merasa harus ke sana berbicara langsung pada Ibu.

kekhawatiran Ibu yang berlebihan sudah terlihat sejak pertama kali tatapan kita bertemu di ruangan depan RSUD. Ibu senang, juga sedih. senyumnya merekah melihatku, tapi matanya sayu lelah. aku mengambil tangannya dan segera mencium telapaknya. kita lalu menuju ruang tunggu di depan banyak pintu klinik. Sinal masih terlihat kurus sejak terakhir bertemu sepekan lalu. jelas karena asupan makannya kurang, karena susan nelan dan minum.

kekhawatiran Ibu yang berlebihan masih terlihat saat menemani Sinal masuk ke klinik THT dan bertanya banyak hal ke dokter, juga saat antre laboratorium, dan antre ambil obat. aku tidak bisa ngapa"in, ini urusan Ibu dengan hatinya yang sedang gelisah. aku hanya memegang tangan kanannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku masih memegang The Murder of Roger Ackroyd untuk aku baca.

malam hari di rumah, baru Ibu bisa mencurahkan hatinya yang dalam padaku, di depan Sinal juga dan Bapak. suaranya lebih parau dari biasanya, aku mendekatinya, bersandar di sampingnya dengan tangan kanan memeluk pundaknya. aku memberi kode pada Sinal agar memeluknya. Sinal bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Ibu yang duduk berselonjor.

Ibu, seperti perempuanya lain, punya sense yang peka dan berlebihan pada hal yang sangat Ia cintai. pada anak"nya, Ibu ingin yang terbaik. tidak ingin ada yang terluka dan sakit. sekecil apapun. karenanya, sikap yang sangat berlebihan ini sangat menggangu. tapi baginya, ini sangat mengganggu pikirannya. karena dia sudah menghadapi pertarungan batin, di hatinya, ada pertempuran yang tidak semua orang lihat.

masih dalam situasi awkard, Bapak tertawa, melontarkan sindiran pada Ibu, mengejeknya dan membully. senyum Ibu langsung pecah. sialan, begini amat ya suami istri. tahu bagaimana bersikap saat salah satunya sedih dan tepat sasaran. sebelum Bapak bersuara, bahkan aku dan Sinal bicara banyak, juga melucu, tapi tidak mempan. Ibu tetap nangis dengan memohon padaku agar menasihati Sinal agar tidak beraktivitas berat yang membuatnya tambah sakit. tapi begitu Bapak yang duduknya dua meter dari Ibu berseloroh, Ibu langsung tertawa dan balas mengejek Bapak. yaelah. suasana konyol yang sangat aku rindukan. suasana hangat berempat, karena Zein sedang pergi ngaji di TPQ.

ada di rumah selalu emosional begini, dengan atau tanpa kejadian yang seperti ini. bukan, bukan yang seperti itu. tapi yang sederhana saja. melihat cara Ibu mengerjakan banyak hal di dapur, membantunya dan berusaha mengambil alih beberapa pekerjaan kecil yang dilakukannya. atau melihat cara Bapak melengkapi pekerjaan Ibu selesai melaut, berbicara bersama teman"nya yang datang bertamu sore dan malam hari hingga akhirnya kita berkumpul di ruang tengah membicarakan hal" gak penting sampai yang menguras emosi. kadang Zein menengahi dengan keluguannya, kadang nyebelinnya. tapi Zein seringkali jadi alasan kami tetap senang dan tertawa begini.

pulang selalu jadi emosional sekarang, belakangan ini. ironisnya, itu terjadi setelah nenek tiada. kesempatan bertemu keluarga besar ini selalu menyenangkan. menjadi sangat berarti. irosnisnya setelah nenek tak lagi di dunia. kehilangan memang selalu merubah banyak hal. tidak ada yang sama setelahnya. dan semua kesadaran tentang penting dan berarti itu, datang setelah semuanya berlalu. kita akan lebih mudah memaknai setelah kehilangan menemui. dan karena mati adalah kepastian, menjadikan setiap pertemuan berarti adalah keharusan.

sabtu, empat belas Juli 2018
Selengkapnya...

Hanya untuk Memastikan..

aku tau namamu bukan Salma. ingatanku masih kuat dan ini baru saja terjadi belum satu windu. jadi jangan meremehkan dan membuatku menundukkan muka. aku hanya bingung dan merasa malu. sudah banyak menit yang aku lalui tanpa membicarakanmu, dengan hati sendiri sekalipun. aku menahan semua kegilaan di kepala, berpura" mendengar dengan memejamkan mata. padahal Kamu masih mengisi semua jiwa dan raga. tiba" bergelora dari seutas senyum sampai sekali ucapan sapa.

aku tau namamu bukan Siska, bukan Dara, Rina apalagi Raisa. namamu sangat mudah diucapkan dan diingat. aku sering menyebutnya dalam doa. jadi jangan membuatku bingung karena kita sudah tak lagi bertemu dengan banyak tatapan muka. meskipun nanti bertemu, itu pasti menyedihkan. pasti mengusik rindu" yang sudah lama kita coba, dengan upaya yang berat, untuk diasingkan. lalu kita berpura-pura baik" saja. memenjara semua sapa dan keluhan di hati. diam" mengutuk pertemuan" itu, juga diam" mematung tidak ingin pergi.

aku tau namamu, aku hafal dan sangat lekat di kapala. atau di hati. atau di telinga kananku. juga di kedua tanganku. atau, pergilah ke mana saja ingin Kau singgahi seluruh anggota badanku, pasti akan Kau temui Kamu, atau setidaknya namamu. bertengger dengan pongah. menantang untuk ditemui dan ditatap dengan gagah. namamu sangat mudah ditemui di semua ragaku. jadi jangan membuatku bingung dengan semua huruf lain yang Kau lempar di sembarang lantai tempatku menyapu. aku tak akan menghindar, Kau pun juga menginginkan demikian. sampai akhirnya ada reruntuhan atap yang membuat semua langkah berjauhan. langkahmu, jalanmu, dan semua garis hidup yang sengaja atau tidak kita hadapi.

aku tau namamu, kurang dari lima huruf dengan dua konsonan yang mirip denganku.
Selengkapnya...

Hari Kedua; ArtJog 2018..

'halo, Mas. nunggu lama pasti ya..? duh, maap ya. maap terus nih dari kemarin', Ullya memegang pundakku dari belakang dan segera menghadirkan raganya di depanku. kaki meja yang aku tempati tiba" berdecit berkali-kali karena Ullya menggesernya juga berulang kali.

'Mas, maap ya. duh, jadi malu nih tuan rumah', kata Ullya masih dengan menggeser kaki meja untuk menyesuaikan tatanan kursi yang dia duduki.

'iya gapapa. nafas dulu lah, biar enak', kataku juga terengah-engah melihatnya.

'hahahaa. iya nih baru selesai tugasnya. tapi kan kita janjiannya pas petang, nah ini udah jam tujuh aja. yaudah kalo gitu kita lama ya di sini', pandangan Ullya lurus menuju ke arahku, dengan rasa bersalah dan memelas.

'eh iya gapapa kali. santai. Ullya pesen dulu dah',
'bentar, katanya nafas dulu. bentar ya', Ullya menanggalkan tas kecil yang melingkari tubuhnya. menaruhnya di atas meja dan kembali memandangiku, dan juga es krimku.
'mau..?'
'enggak. itu rasa apa aja..?',
'greentea, duren dan cappucino. mix yang aneh kan..?',
'bentar ya, Ullya pesen dulu', Ullya berlalu dari meja, ke kasir untuk membayar dan mengambil pesanan. sekitar tujuh menit kemudian, Ullya sudah kembali lagi ke meja dangan cup small.

'sambil nunggu Ullya tadi, saya sempet mikir gini. kan yang medium empat puluh ribu dapet tiga rasa. yang small dua puluh ribu dua rasa. nah, harusnya beli dua small dan kita dapet empat rasa', kataku dengan suara yang pelan.
'hmmm, bener juga. pinter, kok gak dari dulu ngasi taunya. ntar kalo ke sini lagi Ullya coba begitu',
'ya kan baru kali ini saya ke sini. barusan kepikiran',
'hmm, kebanyakan mikir. oh ya, gimana ArtJog..? seru..?',
'seru seru aja. oia, sendirian nih Ullya..?',
'iya, Mas. pada gak bisa. si Sipit Vidia juga lagi ada acara. hmm, Mas',
'oo gitu. hmm iya apa..?',
'kenapa sih jarang post fotomu di medsos..? hampir gak ada lho',
'kenapa emang..?',
'kemarin tuh pas nyari" Kamu di SevenSky, Ullya tuh ditanya Vidia. begimana perawakannya. nah, Ullya itu gak inget wajah Mas', mendengar ini aku langsung tertawa terbahak. kaget, juga lucu.
'eh jangan ketawa Mas. beneran. jadi Ullya itu nginget" di medsos, Mas Hamim nih kok lupa ya wajahnya. lama banget lho kita gak ketemu. Mas juga gak pernah posting apa" di medsos. tipe misterius', Ullya cerita lagi dan aku tertawa lagi.
'wah, Ullya jahat juga ya', kataku menahan tawa. 'eh, aku jadi inget rumah', kataku tiba".
'hah..? karena ketemu sama Ullya..?',
'bukan, karena ada yang manggil Hamim. itu kan cuma orang rumah yang manggil nama itu',
'oia sih. abisnya gak biasa manggil Mas Kid. kan..? gak enak. canggung',
'hahaa iya gapapa. sambil dimakan, mencair udah',
'ya Mas Hamim sambil cerita dong, ke mana aja tadi', Ullya memasukkan sendok pertama es krimnya ke mulut. aku tidak bertanya rasa es krim apa yang dibeli Ullya. sepertinya enak. hmm, bukan. rasanya semua varian di Tempo Gelato ini enak. kata Ullya, Tempo Gelato ada dua di Jogja, di Prawirotaman dan di Jalan Kaliurang ini. kita memilih di sini karena dekat dengan kos Ullya. bangunannya besar dengan kesan tua dari luar. di dalam pun demikian. banyak ornamen dan perabotan yang memberikan kesan itu. bangunannya dua lantai. kami di lantai pertama. kalau malam minggu atau weekend, kata Ullya, bisa rame sampe atas. tapi mereka yang makan es krim di sini biasanya tidak lama. duduk, begitu es nya habis, ya pulang. bukan es yang menemani mereka ngobrol. tapi ngobrol adalah teman buat menghabiskan es. kami? sebaliknya dong.

malam di Jogja ya sama saja seperti biasa, dingin. apalagi kawasan Jakal. jadinya, sejak keluar kos tadi, aku tidak membiarkan jaketku lepas. sedangkan pagi tadi, ya panas, agak adem kalo lagi kebetulan ada di bawah bayang bangunan yang menutupi matahari. jalan kaki keliling Malioboro dan mampir ke Shopping juga jadi aktivitas yang melelahkan, karena cuaca tadi, bikin gerah dan keringetan. apalagi buku yang ingin aku beli gak ada, blas di semua toko. saya sudah naik turun bangunan tiga lantai itu, gak ada. akhirnya aku kembali ke penginapan, perlahan, sambil liat" aksesoris yang mungkin saja menarik buat dibeli. beberapa pesan masuk, termasuk dari Ullya, memintaku agar pakai masker karena erupsi freatik Merapi, barusan. aku iyakan, sepertinya abunya belum sampe ke Jogja Kota.

pagi masih panjang, dan aku melintas ke Stasiun Tugu buat menukar tiket kereta. bertemu dengan banyak orang yang lalu lalang menyebrang dengan tertib. aneh rasanya melihatnya. sangat menyenangkan bisa melihat kebiasaan seperti ini, tertib dan sabar buat antre. aku percaya kalo banyak hal yang dilakukan di jalanan seringkali menular, baik atau buruk. seperti saat kita melihat pelanggaran marka atau rambu lalu lintas, akan banyak yang ikut"an melanggarnya. melihat yang begini, antre nyebrang dengan tertib ini, juga demikian. wisatawan seperti aku ini, ya juga ikut antre nyebrang.

setelah shalat Jumat, aku gak langsung balik ke penginapan. duduk di pedestrian Malioboro, tapi nyari yang teduh. siang men. membeli secangkir kopi sampai habis, lalu kembali ke kamar buat persiapan ke kegiatan inti, tujuan utama aku ke Jogja; ArtJog. karena juga ada Deedee di Jogja, aku mengabarinya, siapa tau rencana dia ke ArtJog berbarengan waktunya. sambil kaget, dia menjawab 'pagi tadi'. dan akhirnya aku berangkat, tepat pukul dua. aku daftar curatorial tour yang diselenggarakan jam tiga sore nanti. karenanya, kudu dateng sebelumnya biar gak ketinggalan. sebenarnya gak terlalu butuh tournya, karena di ArtJog, semua karya seni sudah bisa dinikmati dengan penjelasan di samping karyanya. tapi buat pengalaman begimana sih tour di ArtJog, aku daftar.

tour berlangsung satu jam-an, dengan puluhan peserta. jadi Jogja National Museum yang berupa lorong-lorong itu penuh. perbedaan mendasar peserta tour dan enggak hanya pada majalah yang dikasi saat masuk. tetep bayar, 50ribu, dikasi buku pegangan jadwal kegiatan-kegiatan di Jogja selama Mei-Juli 2018 dan satu majalah apalah. karena aku bawa kamera di tas dan males nenteng-nentengnya, majalah itu aku taroh di depan ruang panitia, berharap diambil sama mereka. pengunjung yang gak daftar tour sebenarnya juga bisa ikut. karena ya gak ada yang melarang. kami berhenti di hampir semua karya seni, mendengarkan penjelasan konsep masing" karya oleh Ignatia Nilu sebagai salah seorang kurator ArtJog 2018. perempuan yang rambutnya sekarang keriting itu menjelaskan dengan lugas, penjelasannya sangat menarik buat didengarkan.

karena kebutuhan dokumentasi, aku seringkali keluar dari rombongan dan menjelajah sendiri satu dua ruangan. kadang aku tertahan di satu karya seni sampai bermenit-menit sebelum rombongan datang memenuhi ruangan itu. mereka semua gila, keren-keren kerja seninya. aku yang tiap kali ngobrol tentang tulisan masih mempertanyakan dari mana datangnya ide, mereka malah idenya di luar nalar. kepikiran dari mana ya. menakjubkan. karenanya, aku sangat mengagumi orang-orang kreatif dan menghormati mereka. aku selalu berpihak pada kreatifitas, jadi kalo ada orang yang mengancam proses kreatif orang lain, aku gak bisa menahan amarah.

hampir semua karya seni di ArtJog 2018 aku suka. dari yang paling sederhana tapi idenya menakjubkan, sampai yang sangat sulit aku cerna. aku harus membaca berkali-kali penjelasannya sampai aku paham latar ide dan maksudnya. mereka menerjemahkan 'enlightenment' yang menjadi tema dengan persepsi masing-masing. aku sangat menikmati semua enjawantah itu. mulai Aura karya Tantin di sebelah kiri begitu masuk, Hutan Dilipat yang memanjang di lorong setelahnya, Handiwirman dengan toleranintoleransi yang memakai ruangan spesial, karena harus bergantian masuk ke ruangan tempat karyanya dipajang berupa bentuk anyaman dari karet. di ruang seberangnya, ada lukisan-lukisan Human Study karya Ronald Ventura, Kevin Zhang dengan Free to Soar yang menampilkan Kite (layang layang), foto bentukan unik dari ratusan pusar karya Mella Jaarsma bertajuk Blinds & Blinds, sampai di Healing Garden milik Hiromi Tango. samar", aku merasa ada yang mengikuti. setiap kali aku berhenti untuk memotret, ada yang seolah memungut sepi dengan berada di sampingku.

kemudian aku naik ke lantai dua dan tiga bergantian. aku segera menemui karya sederhana menakjubkan Syagini Ratna Wulan '389-696-104-554' yang mendeskripsikan Persepsi dan Kesadaran dengan warna, kumpulan ingatan Davy Linggar ft. Tulus sang penyanyi, permainan cahaya dengan pipa bertajuk Reflex oleh Setu Legi & Sulistyanto, Fajar Abadi dengan Everlost yang menggugat makanan ringan di negara berkembang seperti Indonesia, dan Bandu Darmawan yang dengan menarik menggambarkan Pernyataan Tidak Tertulis. aku kembali turun ke lantai satu untuk keluar, meninggalkan rombongan yang masih tertahan di lantai tiga. bersamaku, seorang perempuan dengan pakaian hitam terusan tanpa lengan, bucket hat warna peach, totebag putih bergambar wajah sepertinya musisi perempuan, kamera di tangan kanan dan hape di tangan kiri, dua kalung hijau dan merah melingkar di lehernya, dan tato di belakang bawah tengkuknya, menuruni anak tangga bersamaan. saat aku berhenti untuk kembali memotret di ujung tangga, dia berhenti. lalu aku berjalan, diapun begitu. sampai akhirnya aku menoleh ke arahnya, melihat wajahnya dua detik mungkin, dan membuang muka. dia membalas tatapanku dan tersenyum. hmm, aku takut dengan perasaan beginian, dan segera kembali menuruni tangga.

aku menuju pintu keluar, tapi terganggu oleh God of War karya Ichwan Noor yang tak bisa aku hindari. mendekati pintu keluar pun, mata dan minatku dimanja oleh konstruksi patung dari bongkahan banyak biji keyboard bertajuk Satu oleh Awan Simatupang. aku memutarinya, sampai akhirnya pandanganku kembali tertuju pada perempuan bucket hat yang juga berada di ruangan ini. karena keduanya kalinya tatapan kita bertemu, aku tidak segera membuang muka. aku melihatnya, dia juga membalas melihatku. dia tersenyum, aku juga, atau begitu menurutku. entah ini aku terlihat seperti sedang tersenyum atau tidak. lalu aku beranjak keluar dan membeli merchandise ArtJog 2018 yang masya Allah mahal.

di menuju garbang Jogja National Museum, aku pura" menerima telpon. karena di depan, ada dua orang kameramen dengan satu reporter yang sedang menunggu pengunjung untuk diwawancarai. kalau dari seragamnya, sepertinya dari TV. sialan, cuma aku yang lagi lewat menit itu. jadi saat mereka berusaha memanggilku, aku semakin mengencangkan pembicaraan dan gesturku seperti sedang serius menelpon. aku melangkahkah kaki dengan cepat, lalu menjumpai gerbang Jogja National Museum di depan.

aku memencet hape untuk pesan ojek online saat pandanganku kembali bertemu dengan perempun bucket hat, di tempat duduk bundar dari semen, dia berdiri saat melihatku berjalan ke arah gerbang. aku tersenyum ke arahnya, atau begitu menurutku. dia membalas senyumku dan kemudian kita saling melempar pandangan dan tawa. tawa, karena aku dan dia tersenyum sampai gigi terlihat lalu mengeluarkan bunyi. kita berdua sama" berada di gerbang. dari cara dia melihat hape, sepertinya dia sedang menunggu dijemput. pacarnya mungkin, atau orang tuanya. tidak sampai semenit kemudian, ojek online datang. menyebut namanya, tapi samar sehingga aku tidak mendengar, lalu dia menganggukkan kepala tempat wajah manisnya berada, ke arahku masih dengan senyum, lalu menaiki motor itu dan berlalu. sedangkan aku, mematung dan mengutuk, sialan, apa yang barusan aku lewatkan.

aku melihat ada penjual es cendol biji hitam di seberang, di depan mushalla. aku berjalan ke sana dan memesannya satu. menghabiskannya sesaat sebelum namaku disebut oleh salah seorang driver ojek online di depan gerbang JNM. aku menghampiri, menaikinya dan juga beranjak dari JNM. aku memintanya berhenti di depan Malioboro Mall, masuk dan segera mencari Gramedia. masuk, ngubek" komputer pencarian dan mengetik Aruna dan Lidahnya. layar memunculkan angka-angka dan aku segera mencarinya. nihil. aku kesulitan menemukannya. empat belas menit kemudian aku menghampiri kasir dan meminta tolong ke salah satu petugas membantu mencari. kasir lalu memanggil satu petugas perempuan membantuku. 'gak usah, Mas. duduk aja di sini, biar saya yang nyari', katanya saat aku mau beranjak dari kursi. gak sampai dua menit, dia kembali datang membawa buku di tangannya. 'nih, Mas', dia menyodorkan Aruna dan Lidahnya padaku. aku cium bukunya, aromanya harum, lalu mengeluarkan dompet dari saku celana dan membayar. mungkin si Ibu kasir udah eneg liat aku melakukan hal" tadi.

aku pulang, ke arah penginapan dengan riang dan hati gembira. petang masih bersela, adzan Maghrib belum hadir di telinga, aku berjalan melintas pedestrian Malioboro sambil tertawa. entah kenapa, tapi aku sangat senang bisa mendapatkan Aruna dan Lidahnya, pada akhirnya. aku baru tau novel Laksmi Pamuntjak ini, setelah Parali Film mengabarkan rencana mau bikin filmnya. aku gak hanya kaget, tapi sangat antusias saat Edwin yang ditunjuk jadi sutradaranya. lebih excited lagi saat castnya dipenuhi bintang idola; Dian Sastro, Nicholas Saputra, Oka Antara dan Hannah Al Rasyid. wah, bakal keren banget dah ni film. yang wah lagi, kenapa aku tertarik baca novelnya ya..?! aneh. satu"nya novel tebal yang pernah aku baca dan tamatkan adalah Ayat-Ayat Cinta, dulu sekali saat masih SMA. setelahnya, aku hanya punya novel" tebal, tanpa dibaca. karena juga tidak beli sendiri, hampir semuanya dikasi temen, sebagian lainnya hadiah dari penerbit. keanehan lainnya buatku, aku suka bikin fiksi, tapi hanya sekali menamatkan novel.

aku berjalan, lalu duduk. berjalan lagi, lalu duduk di kursi" itu. memandangi langit yang hampir gelap. mengantarkan matahari terbenam bersama pendarnya. saat lampu-lampu mulai menyala, aku kembali ke penginapan. shalat dan beberes, lalu kembali keluar menemui Ullya.

'selalu ada orang kayak Kamu, Mas. dari sepuluh orang, ya ada satu lah yang gak tau cara bersikap pada perempuan. dan biasanya orang kayak gini kalo udah kenal perempuan, suka ngeselin', kata Ullya.
'justru itu keahlian saya', kataku dengan mengangkat alis.
'he'em gapapa. selama bukan saya yang dibikin kesel', katanya lagi, juga dengan mengangkat alis. 'oia, besok ke mana..? kalo belum ada, Ullya punya tempat bagus buat didatangin',
'oia boleh. besok saya free. kan ke sini buat ArtJog aja. hari ini udah, besok free',
'OKee ya, besok jam sembilan di Malioboro',

perbincangan kami lalu megarah pada persoalan menikah, asmara dan semua chapter selanjutnya dari usia yang sedang kami injak sekarang. karena aku lebih tua, Ullya dengan leluasa mengejekku. tapi karena Risa, sepupunya yang seumuran, sebentar lagi nikah, aku juga punya alasan buat mengejeknya. aku tidak tau kapan terakhir kali aku bisa becanda begitu lepas, setidaknya dua pekan terakhir ini. aku tertawa dengan berat, tertahan dengan sangat dan saat sadar, semuanya sudah terlambat. hampir saja aku lupa, bahwa hidup terus berjalan. dunia tidak akan menunggu, itulah nasib.

sebelas Mei 2018
Selengkapnya...

Menyudahi Ketidakjelasan..

hidup yang aku jalani kadang terasa aneh, bagiku. saat sendiri, tiba" semua rindu datang menghampiri. di kamar, di jalanan dan semua tempat favorit yang sering aku kunjungi jadi terasa asing. semua musik dan teriakan Chester Bennington yang masuk telinga seakan sulit menyelamatkan meski bising. tiba" semuanya berjalan pelan. mengalun lambat seolah ingin dijemput. membuai rendah untuk dibalut. terlihat babak belur dan segera diobati untuk kembali melaju. untuk mendatangi kembali tempat-tempat yang membuat gairah hidupku berlanjut.

siang ini semua warung kopi favoritku tiba" tidak menyenangkan. Kedai 27 Dukuh Kupang masih tutup, sudah dua kali aku datangi selama tiga hari ini dan masih tutup. lainnya ramai orang" dan pasti gaduh. tidak cocok buat membaca. menulis saja mungkin bisa aku lakukan, tapi tidak untuk membaca. moodku tiba" tidak ramah. aku akhirnya memilih kembali ke kamar dengan dua bungkus kopi hitam racikan Om Raffi, pemilik warung kopi langganan yang siang tadi ramai. aku buka satu, kutuang ke gelas, dan segera membuka laptop untuk menulis sebuah review film. sampai akhirnya satu jam terlewat, menutup laptop dan pergi mandi dengan hal" gak jelas.

aku bergegas ke kantor, memenuhi ajakan berbuah janji yang pagi tadi dibuat dengan Dhafin. beli buku di Gramed yang sedang diskon dengan debit BNI, berlaku hanya hari ini. mengesalkan. ini masih awal bulan memang, tapi aku tidak suka pergi ke Gramed. aku seringkali tidak ikhlas beli buku di sana. mungkin karena aku sudah terbiasa ke Togamas yang selalu menyediakan diskon 15% untuk semua bukunya. jadi saat di Gramed tadi, aku tiba" muak dengan toko buku ini. aku muak saat aku menemukan buku bagus dan tau mau beli buku apa. tapi akhirnya terpaksa beli, tiga buku. bedebah. keliatan kan betapa gak ikhlasnya transaksi ini aku lakukan.

lalu aku menuju ke kantor dengan terburu-buru. ada ledakan diduga bom di Pogar Bangil. grup WhatsApp redaksi dari tadi hectic dan aku telat datang. aku masih di meja redaksi saat menulis ini. membagi fokus dengan banyak kejadian. ledakan di Bangil, kebakaran bus di tol dan semua kemacetan di jalanan. samar", aku melihat beberapa pesan di hape dan terus melanjutkan menulis. samar" juga, di kepalaku, mengalun suara" Chester dan musik Linkin Park. hahahaa, mungkin ini yang aku rindukan. problem solved. satu.

kedua, ternyata aku sangat merindukan aktivitas ini. berbagi fokus menulis dan berbagi cerita. OKee, sementara ini, sudah ada tiga list tulisan yang menjadi deadline. dua review film (bisa jadi tiga), dua cerita perjalanan di Jogja, dan satu tugas essai Singapore yang diminta Direksi. but, satu ini dulu lah untuk menyudahi kerinduan.
Selengkapnya...

Hari Pertama; Pengalaman Bersama transJogja..

'Mas Hamim..?', dari belakang, seorang memegang dan menarik pundakku. seolah dia ingin aku menoleh dan melihat wajahku. aku membalikkan wajah empat puluh lima derajat dan samar" menemukan wajah Ullya. aku menoleh dan menganggukan kepala. Ullya, diikuti seorang perempuan di belakangnya lalu berjalan mengitariku dan duduk tepat di depanku.

'gak lama kan nunggunya..? lumayan rame ternyata Mas di sini. maap ya', kata Ullya membuka percakapan. 'capek ya..? gak ngomong apa" gitu', Ullya menjejal pertanyaan yang seharusnya aku jawab segera.

'enggak. eh, pesen dulu deh', kataku agak bingung karena aku juga belum pesan apa". kami bertemu di SevenSky Rooftop di atas Lippo Mall. tempatnya rame, banyak tenant makanan mirip bazaar dan anak" muda beraktivitas. ada yang maen skateboard sampe ada yang foto" dengan banyak fasilitas narsis yang disediain. memang bagus kalo sore ke sini, foto"nya bisa sangat instagramable. tapi kami di sini sudah malem, petang pun gak sudah lewat.

'kenalin dulu nih Mas, temen Ullya',
'Vidia, Mas', suara perempuan di samping Ullya terdengar dengan uluran tangan ke arahku.
'eh iya, Hamim', aku selalu membenci perkenalan dengan perempuan. karena mereka semua selalu membuatku malu, kikuk dan gak berkutik. hal ini juga yang membuat semua orang berpikir aneh, termasuk Ullya. sudahlah, gak usah dibahas.

'jadi, ini hasil seharian di Jogja..?', Ullya menggerakkan tangannya membentuk lingkaran di udara dengan wajahku sebagai objek.
'hah..? iya. begini. keliatan begimana emang..?',
'ruwet. capek banget ya Mas..? maap ya gak bisa nemenin sejak di Jogja',
'halah, gapapa. kan Ullya punya kegiatan. malah maunya saya gak mau ngubungin Ullya, takut ngerepotin',
'gak boleh gitu dong. jadi, sekarang cerita. ngapain ke Jogja dan ke mana aja hari ini..? eh, berapa hari jadinya..?', Ullya tidak bener" ingin tau, dia hanya kita bertiga punya obrolan. karena baginya, aku tamu dan keluarga yang kudu dibuat nyaman.

kedatanganku ke Jogja kali ini tidak hanya karena ArtJog. aku memang butuh liburan, menjauh dari Surabaya dan semua persoalan yang mengitarinya. atau tepatnya, mengitariku. tidak hanya suntuk, tapi juga ingin menghilankan jumud, resah, sedih, marah, dan semua hal yang ditimbulkan karena cerita" di tulisan sebelum ini. tapi tentu ArtJog adalah magnet yang gak bisa aku singkirkan sebagai tujuan.

aku ingin sendiri saja di sini. tiga hari, sendiri. tapi karena komitmen untuk lebih ramah pada sekitar, aku milih kulo nuwun. sayangnya, temen"ku yang S2 di Jogja sudah pada lulus dan angkat kaki. semua. sedangkan Ullya, jadi satu"nya kerabat yang memilih berdomisili di Jogja yang aku kenal. inginnya kulo nuwun aja, ternyata Ullya pengen nemenin jalan", karena dia juga butuh hiburan. hmm, keberadaanku ternyata bisa jadi batu loncatan juga.

seperti kebiasaan ke Jogja sebelum"nya, berangkat malam dengan bus, nyampe pagi dan menghabiskan hari sampai petang di Jogja. prinsipku keras soal ini, soal liburan. aku tak ingin memotong jatah liburan di perjalanan dan tidur. jadi kalo udah di kota orang, atau udah nyampe destinasi, aku pantang tidur. nguap berkali" gak jadi soal, asal gak melewatkan setiap menit liburan. aku akan memilih menanggung kantuk dan lelah, daripada menghilangkan setiap detik yang sudah aku perjuangkan untuk sampai di sini.

begitu sampai di Janti pagi tadi, aku langsung menuju ke Malioboro buat nyari penginapan, menaroh tas dan kembali jalan. ojek mengantarkanku ke kawasan Sosrowijayan, surganya motel di kawasan Malioboro. tempat yang strategis bagiku. dekat dengan banyak tempat yang aku butuhkan, kecuali wisata" alam. diantar oleh guide, atau anggaplah seperti itu, nemu motelnya, deal, lalu mandi dan segera membuat kemungkinan" ke mana aku harus pergi.

aku tidak begitu peduli dengan penginapan. bagiku, penginapan hanya untuk merebahkan badan dan tidur. jadi gak usah mahal, kalau bisa nyari yang sangat murah. aku dapet seharga lapan puluh ribu, kamar mandi luar dan kipas angin. kalo nyari lagi, mungkin dapet yang lebih murah. tapi sekali lagi, aku tidak ingin motong waktu liburanku.

saat keluar penginapan, langkah" kakiku langsung memacu otak mikir ke mana tempat pertama yang harus aku datangi. keluar gang, cuaca panas dan orang" menyambutku. ada yang nawarin makan, becak dan guide. aku tidak peduli dengan warung makan dan semua dagangan di Malioboro. jalan terus sampai tak ada lagi orang" yang menawarkan ini itu. pedestrian Malioboro sisi kanan sedang diperbaiki, dipercantik seperti sisi kiri yang sudah nyaman buat jalan" turis.

saat aku keluarkan kamera, ada transJogja lewat. hmmm, sepertinya aku belum pernah naik. hahaha, satu ide muncul. aku keluarkan hape dan mencari rute transJogja. ternyata transJogja yang lewat di Maioboro ini tujuan akhirnya di Prambanan. kesempatan, aku juga belum pernah ke Prambanan. satu usapan lagi, ternyata lokasi Prambanan berdekatan dengan Ratu Boko. ckck, ulam pun tiba. Prambanan terlalu mainstream dan Ratu Boko juga belum pernah aku jajaki. beberapa ketukan berikutnya, aku sudah mendapatkan semua info cara menuju ke sana pakai transJogja termasuk semua ongkosnya.

ternyata duit masuk Prambanan dan Ratu Boko sama, empat puluh ribu. naik sejak akhir tahun lalu yang sebelumnya dua lima ribu. ada tapinya. Ratu Boko ini dikenal sangat favorit untuk pengejar sunset. jadi, di atas jam tiga sore, duit masuknya naik jadi seratus ribu. pengunjung gak kalah ide. taktiknya, mereka datang sebelum jam tiga sore, dan bertahan di dalam sampe petang. mantab, aku juga niru cara ini.

transJogja yang aku tunggu datang. sebelumnya aku sudah bayar tiga ribu pakai duit cash, karena aku gak punya kartu"an. transJogja nyaman, kurangnya hanya tempat yang terbatas, dikit, gak besar. jadi kalo ada anak kecil, perempuan atau orang cacat, kita kudu berdiri. saat aku masuk, masih ada kursi kosong yang bisa aku tempati. beberapa halte berikutnya, ternyata rame penumpang anak" dan perempuan. aku berdiri bersama banyak pria lainnya. lumayan lama, hampir sampe dua hal terakhir baru sepi lagi. perjalanan dari Malioboro sampe halte Prambanan, kurang lebih empat puluh lima menit.

sampe di halte Prambanan, aku naik ojek. menurut panduan, itu satu"nya cara. bisa pilih, ojek online atau ojek pangkalan. karena lebih murah, aku milih ojek online. tapi kalo soal ribet, ojek online menang. karena di Prambanan adalah zona merah, kawasan yang dilarang pickup penumpang, jadi kudu jalan lagi ke tempat yang agak jauh dari halte. aku melakukannya setelah deal dengan drivernya. dan melaju pelan ke Ratu Boko dengan nyaman. aku selalu membiasakan ngobrol dengan driver ojek online, kali ini juga. selalu menarik ngobrol dengan mereka. tapi gak usah aku bicarakan di sini, terlalu panjang dan menarik. beneran, saking menariknya, si driver ini pakai rute yang lebih panjang nganterinnya. jalanan berliku mirip Pujon dari Batu. ternyata ini pintu belakang Ratu Boko.

satpam langsung menghampiriku setelah turun dari motor. bertanya dengan ramah dan menunjukkan loket yang bisa aku samperin. harusnya loket pintu belakang untuk turis mancanegara, tapi karena mataku yang sipit seperti Chinese, aku diperbolehkan beli situ. dulu sekali saat SD, aku sering dibilang China. dulu sih putih banget ni kulit, turunan dari Bapak dan ibunya Bapak. tapi setelah negara Nikaragua menyerang, sisa sipitnya aja, putihnya udah diambil ekstrak manggis buat iklan. empat puluh ribu, lalu aku mendapatkan selembar tiket masuk.

wisata ini punya dua kawasan. satu di depan, berupa restoran dan titik kumpul. satu lagi jalan akses menuju dan Ratu Boko-nya. setelah menunjukan tiket dan distempel, kita akan menemui guide. kalau make, bayar. karena aku suka efek kejutan, aku gak make. aku hanya make highless kalo lagi mau mangkal aja.

jalannya paving dan rindang, panjangnya sekitar 200m. di sepanjang jalan juga, ada tempat duduk berupa kursi" panjang seperti di pedestrian Malioboro dan juga gazebo dari kayu. di samping kanan dari tempat masuk ada taman atau rumput" yang bisa diduduki. ada air mancurnya juga dan jalan menuju masjid Alhidayah. alhamdulillah. di sisi kanan juga ada jalan menuju kamar mandi dan toilet. beberapa keluarga lagi duduk" di jalur rumput itu. dan hampir semua kursi dan gazebo terisi. di sepanjang jalan itu juga ada yang tiba" nawarin es degan, nawarin buat foto, buat ijazah, prewed sampe administrasi nikah. OKee, fokus ke cerita.

aku hanya ingin jalan" ke sini, pengen tau aja Ratu Boko. jadinya, gak begitu niat ingin tau tentang sejarah dan pengetahuan lainnya tentang candi yang juga disebut kraton ini. hari ini Kamis dan masih hari aktif. tapi di belakangku, ada banyak rombongan sepertinya dari perusahaan-perusahaan, karena pakai baju yang sama dan tua-tua. juga, ada beberapa kelompok anak sekolahan, kalau dilihat dari bajunya, SMP dan SMA. mereka berlarian di belakangku. beberapa diantaranya melewatiku dengan sapa, sebagian lainnya menabrakku mungkin tanpa sengaja. lalu meminta maaf dan meminta buat motret mereka. haha, lagu lama.

aku masih belum tahu sebenarnya apa tujuanku ke sini selain jalan-jalan. motretpun dari tadi hanya sekali dua kali. kamera yang aku kalungin, tidak banyak merekam moment. saat sampai di gerbang utamanya, aku berhenti dan diam. mematung dan berpikir, abis ini ke mana lagi ya. Ratu Boko terlalu luas buat diputerin. terlalu banyak batu dan sudut yang tersedia. luas dan panjang. sedangkan aku, sudah merasa puas melihat". aku membaca hampir semua petunjuk di papan" yang memberi pengetahuan tentang Ratu Boko, dua detik kemudian, menguap begitu saja. memori otakku terbatas, mereka kadang memfilter sendiri mana yang harus diinget dan mana yang enggak.

langit semakin menguning saat aku memutuskan kembali. hampir semua rombongan yang aku temui, ada satu-dua orang yang membawa kamera. bahkan kelompok yang berjumlah lebih kecil dan sejoli yang membawa tripod lengkap dengan lensa tele. kalau yang ini, sepertinya memang niat motret senja di Ratu Boko. sebagian lainnya masih bertahan di gerbang utama dan foto-foto. ada juga satu kelompok turis asing yang sedang berbincang bernaung di salah satu sudut gerbang. dari ciri dan bicaranya, sepertinya dari China. salah satunya memperhatikanku berjalan, memicingkan mata seolah punya, dan ingin mengakuiku anak. yang lainnya mengkerutkan dahi seolah ingin nagih uang mie ayam yang kemarin belum aku bayar. aku buru" lewat dan berlalu.

inget belum shalat ashar, aku mampir ke masjid AlHidayah tadi. masjidnya kecil dan ada bagian yang sedang diperbaiki. di komplek masjid, ada warungnya, berjualan minum dan makanan ringan terutama mie. aku mampir dan memesan dua gelas es teh, haus banget. ibunya agak kaget saat bertanya meyakinkan 'dua, Mas..? dua gelas..?', 'iya, Bu. duaaaaaaa. sarimie isi dua', Ayu Ting Ting muncul dari dalam warung.

masjidnya kecil, tapi bersih dan nyaman buat shalat. disediain mukena dan sarung juga di dalam. tempat wudhu'nya terpisah dari bangunan masjid dan disediain sendal ke sana. setelahnya, aku keluarkan sarung dari tas dan maling. bukan lah. aku selalu bawa sarung ke mana", buat nyolong. bukan lagi. buat persiapan aja. banyak teman menganggap jins bolong" yang aku pakai buat gaya"an. padahal emang jinsku bolong" semua di lutut. makanya aku bawa sarung ke mana". tas apapun yang aku pake, ada sarung di dalamnya. jaga" tempat ibadah yang aku singgahi gak ada sarungnya. tapi beruntungnya, selalu ada sarung di tempat" itu.

keluar dari masjid, aku pulang tanpa banyak printilan dan penyesalan. padahal sebentar lagi kan senja terlihat dan Ratu Boko jadi wisata seksi buat foto". saat aku keluar masjid, ada pertunjukan musik dengan angklung di jalan menuju gerbang utama. pelakunya banyak dan memakai pakaian adat Jawa. langit makin redup dan senja mulai turun. aku, berlalu dengan hape di tangan. membaca pesan dari Ullya yang memintaku menemuinya di Lippo Mall segera setelah petang. aku iyakan dan kembali memencet hape. pesan ojek online dengan sedikit insiden dan balik ke halte transJogja Prambanan.

kawasan Prambanan juga sedang ramai, banyak mobil dan bus balik dari arah Prambanan. halte transJogja juga ramai calon penumpang. saat aku masuk transJogja, bersamaku, banyak yang berdiri tidak kebagian tempat duduk yang diisi perempuan dan anak". dari dalam, cahaya langit mulai pudar dan gelap. di setiap halte yang kita kunjungi, juga ramai ditunggu. karena kapasitas, mereka harus tertahan dan menunggu moda selanjutnya. keluar dari halte Adi Sucipto, jalanan Jogja mulai terang. lampu" penerangan mulai dinyalakan. masih dari dalam, matahari terbenam dengan purna. tidak ada lagi kuning dan semburat jingga.

empat puluh menit berlalu dan halte yang aku tuju disebut berkali". pertanda aku harus mendekati pintu transJogja untuk siap" ditendang dan diusir karena sudah ikut menyesaki Jogja. dari halte, ada jarak sekitar 100m ke Lippo Mall. kalau di Surabaya, Lippo Mall seperti transmart. kecil dan langsung disambut dengan food court di lantai dasar. aku, langsung mencari cleaning service nanya mushalla. ternyata agak tersembunyi, tapi pastinya terletak di parkiran. karena waktu Maghrib yang sebentar, mushalla rame. benar" rame. setelahnya, aku menuju SevenSky Rooftop di lantai paling atas.

sudah lama banget gak ngobrol dengan Ullya. baik lewat lisan maupun teks. dua tahun. jadi agak lambat memulainya, karena aku, dan juga Ullya, harus mengira" di mana obrolan bisa kita mulai. setelah mengalir, tak ada tawa yang lewat dari kalimat" kami. dan bersyukur ada Vidia, ternyata dia lucu dan penghasil tawa. tapi karena ada jam malam buat Vidia, kami harus pulang. Ullya masih memintaku pindah buat ngobrol" lagi setelah mengantar Vidia. tapi atas pertimbangan masih ada besok dan lusa, kita sepakat buat menuntaskan pertemuan hari ini. aku kembali memencet hape dan memesan ojek online.

di penginapan, aku tidak benar" istirahat. karena seperti yang aku bilang, pantang bagiku merebahkan badan saat berlibur. aku ke penginapan hanya buat shalat dan menaruh tas. lalu kembali keluyuran ke Malioboro, duduk", mengeluarkan buku catatan dan memesan secangkir kopi di Koling dekat Malioboro Mall sampai dini hari. aku bukan memaksakan diri, tapi ini caraku berlibur dan menghibur diri. bagiku saat berlibur; tak ada pedoman di sini, aku harus menulisnya sendiri.

sepuluh Mei, 2018
Selengkapnya...

Aku Marah, Juga Sedih..

aku tidak hanya marah, aku juga gusar dan risau. padahal Sancaka Pagi baru berjalan setengah jam dan grup WhatsApp redaksi mulai ramai karena ada ledakan bom bunuh diri di gereja Ngagel Surabaya. biadab, bangsat, jancok, aku tidak berhenti misuh, tapi dalam hati. aku kehabisan kata pisuhan dan rasanya tidak bisa bernafas dengan benar. aku berdiri, pria yang duduk di sampingku melihatku dan tanpa diminta, dia memberiku jalan.

aku memukul-mukul buku yang aku pegang dengan sangat geram. aku berjalan menuju lorong di gerbong tiga. membuka pintu dan bersandar di pintu toilet. grup WA tambah rame, dua ledakan serupa terjadi di dua gereja lainnya. sialan, satunya di dekat tempatku tinggal, GKI jalan Diponegoro. aku menarik nafas dalam, sangat dalam. di kepalaku sedang mendaftar nama" yang harus aku hubungin. Sinal dan Kak Hakim baik" saja. saat mau ngubungin temen" Comanraiden, ternyata di grup mereka rema dewe dan semua aman.

aku masih berdiri di depan toilet saat temenku di redaksi mulai mengupdate jumlah korban meninggal. satu, dua, tiga dan tidak berhenti. yang terluka lebih banyak. aku masih memantau lewat grup WA dan semuanya sedang hectic. pikiranku masih melayang ke lainnya. shit, shit, shit, Ibu. aku langsung menelpon Ibu.

'Assalamu'alaikum. ada apa, Nak..?',
'Ibu di mana..? Bapak dan Zein..?',
'di rumah. Bapakmu lagi nerima telpon. Zein main. kenapa..?',
'alhamdulillah. gapapa, Buk. gapapa',
'Kamu tuh jangan sering" panik. sering mikir ini itu. Kamu tuh mikir kesehatanmu',
aku terdiam, tidak fokus. 'hah. gimana, Bu? oh iya, pasti', aku menjawab sekenanya. 'yaudah Bu. Assalamu'alaikum',

akhirnya aku masuk ke toilet. menaruh 'Aruna dan Lidahnya' yang sedari tadi aku pegang di dekat jendela toilet dan mencuci muka. aku tak berhenti merutuk. sialan, kenapa mereka macem" dengan Surabaya. kenapa memilih Surabaya. kenapa sekarang, berselang tiga hari setelah kejadian di Mako Brimob Jakarta. aku tidak ingin berspekulasi, tapi aku tak berhenti misuh.

aku kembali ke tempat dudukku dengan muka yang masih murung. setidaknya itu yang dikatakan penumpang sebelahku. 'kenapa murung, Mas? maaf jika kami mengganggu', tanyanya. mengganggu, kenapa mengganggu. aku masih belum fokus. oh iya. mungkin yang dimaksud mengganggu karena anaknya dari tadi teriak-teriak. pria ini melakukan perjalanan dengan istri dan satu anaknya. anak dan istrinya ada di 14C dan D. sementara dirinya bersamaku di 14B.

'oh enggak, Mas. gapapa',
'maaf, tapi Mas pucat',
hah, iya kah..? sebelum menjawab, saya kembali menarik nafas dan memutar banyak kata untuk aku keluarkan. 'gapapa, Mas. mungkin karena belum sarapan', aku menjawab ngaco.
'ini, Mas', dia menyodorkan sebungkus Sari Roti.
'oh, makasih Mas. saya baru saja mau makan roti yang saya bawa. ini', saya mengambil roti dari tas. pembicaraan kami berhenti, karena dia harus menenangkan anaknya dan aku kembali melihat hape memantau situasi biadab ini.

aku tak hanya marah, tapi juga geram. beberapa grup WA dan sesekali japri, menginfokan kabar keliru, kabar tak jelas dan berdasarkan katanya katanya. aku geram, ingin misuh pada mereka-mereka yang menambah kepanikan dan menyebarkannya menimbun keresahan.

aku tak hanya marah, tapi juga sedih. aku sedih, dalam arti sebenarnya. sialan, aku sedih. aku sedih, seperti sedang kehilangan.
Selengkapnya...

Lebih Peduli..

aku seringkali memilih tidak tau banyak hal. diantaranya, aku memang tidak peduli. mungkin itu juga yang membuatku seolah sinis pada banyak perkara. terlihat tak acuh dan tak menghiraukan banyak sapa. itu juga yang membuatku lebih banyak diam di tengah ramainya suasana. itu juga yang membuatku sering lupa bertanya kabar" yang ingin aku dengar, bahkan keluarga. bukan pada Bapak-Ibu, tapi pada lainnya. Ibu yang sering menegur. memintaku untuk menelpon sodara"ku dan kerabat lainnya. bukan karena kesombongan yang merenggut simpati itu, tapi memang aku belum biasa melakukannya. karena aku selalu berpikir, mereka selalu baik" saja. sodara"ku orang hebat, mereka selalu menemukan jalan di tengah gelapnya nasib.

seminggu sebelum ini, Ibu menelpon. mengabarkan kalau akan menjenguk Nurul di pondoknya bersama orang tua lain. Bapak tidak menyertai, tapi Zein ikut. juga mengabarkan kalau ada satu seat lagi di mobil, seolah menyiratkan ajakan padaku. agar aku ngobrol dengan Nurul yang sebentar lagi kelas tiga es em aa. juga, memotivasi Nurul yang sekarang terdepak sebagai pemeran utama di video" milik pondoknya, di semua film pendek dan clip kreatif pondoknya. bersamaan itu, Ibu yang mendapat kabar dari ustadz asramanya, bilang, kalau sejak terdepak, nilai akademik Nurul ikutan turun. Nurul belum bercerita banyak pada Ibu saat beberapa kali suara keduanya bertemu di telpon. karenanya, Ibu ingin mengajak kakaknya. entah aku atau Sinal. tapi hanya aku yang bisa. di hari yang sama, Sinal tidak libur.

kebetulan, aku juga sudah lama tidak bersua Nurul. pun ngobrol. tapi saat Ibu mengabarkan perihal ini, aku sedang lelah yang teramat. kegiatan yang diadakan kantorku benar" menguras tidak hanya energi secara harfiah, tapi juga pikiran. benar" melelahkan. meski begitu, aku tidak berpikir dua kali untuk berkata iya. memutar otak bentar, ngobrol dengan Laras dan Pram, dan ketemu solusinya. semiggu berlalu dan Jumat dini hari yang agung tiba. sebenarnya saat itu aku sedang bersedih atas tersingkirnya Arsenal di semifinal UEL. bukan karena kekalahannya, tapi karena permainan tim yang buruk malam itu. juga, karena era Wenger harus berakhir dengan begini.

sementara dini hari yang beku mulai menyesakkan karena Arsenal, hatiku kembali hangat saat Ibu nelpon. menyampaikan kalau dirinya sudah berangkat dan sekira satu jam lagi sampai di tempat pertemuan yang dijanjikan. begitu aktivitas Subuh selesai, aku menyusuri jalanan Surabaya yang asing di penglihatan. titik pertemuan di depan RS Adi Husada Kapasari. duh, ini di mana. 'Kapasari ya, bukan yang Undaan', Ibu berkali" mengingatkan. aku hanya mengiyakan, menenangkan Ibu agar tak lagi nelpon khawatir. atas bantuan Jarvis, Friday dan Zordon, nyampe juga di titik transaksi. iya transaksi. karena Sinal turun dari mobil dan diganti aku. Sinal juga kebingungan. 'Kak, ini saya pulangnya ke mana..?'. 'cari, berhenti, minggir, liat maps dan pelajari'. tidak sampai dua puluh menit, Sinal mengabarkan lewat WhatsApp kalau dirinya sudah nyampe kos. gud.

aku sendirian di kursi belakang saat Zein diam" melihatku berkali". entah karena dia merindukanku, ingin duduk bersamaku, atau hanya ingin pinjam hape buat maenan. sedangkan satu kursi di belakang, di sampingku, harus dihilangkan, karena memuat banyak barang buat Nurul dan teman"nya yang juga ikut dijenguk. suasana mobil agak ramai. karena emak" ngobrol dan aku gak ngerti apa yang kudu aku jawab saat sesekali pertanyaan mampir menyebut namaku. 'hahaha, iya', begitu terus jawabanku sampai akhirnya aku tertidur. lalu kembali bangun.

pagi itu, fajar di jalan Tol Surabaya-Malang begitu mempesona. aku sempat mengabadikannya di IG Story sebelum akhirnya tertidur lagi. bangun-bangun, perjalanan sudah tinggal separoh. kami sudah sampai di exit Tol Gempan. lalu lintas yang lancar dan suasana pagi yang nyaman, membuat semua tidur emak" di mobil tidak nyenyak. mereka ketiduran, lalu dipaksa bangun untuk melihat suguhan indahnya pagi, hingga akhirnya kami sampai di AnNur setelah beberapa insiden.

Jumat biasanya dipilih banyak wali santri untuk menyambangi anak"nya. membuat semua lapangan dan parkiran penuh serta gedung" dipakai buat pertemuan. kami tidak hanya memenuhi sepetak, tapi separuh satu bangunan kelas alam. kami hanya empat wali santri, tapi santri/wati yang kami sambangi ada sebelas. karena wali santri lainnya tidak bisa ikut dan memilih mengirim paket jajan, makanan daaann, ini yang aku kecewakan, hape. mereka sukses jadi generasi merunduk saat hape di tangan. beruntung Nurul tidak banyak keperluan dengan hapenya, jadi saat aku atau Ibu meminta hapenya untuk ditaroh, Nurul manut dan ngobrol dengan kami. esensi untuk sambang jadi hilang. padahal dulu saat aku di pesantren, sambang berarti kebahagiaan tak terkira. karena momen bertemu keluarga, tidak terjadi setiap hari. aku sesekali ngomel, tapi entahlah. aku memilih ngobrol dengan Nurul dan Zein yang diliat Ibu sambil tiduran. meminta Nurul agar selalu memanfaatkan hapenya dengan baik, melihat dan menggunakan sisi positifnya.

sebelumnya, aku dan Zein menjemput Nurul di asramanya. 'Rul, ini ya kakakmu yang itu..? wah iya ya ternyata', teman" Nurul bertanya dalam Bahasa Arab, sambil melihatku lama sampai akhirnya kami meninggalkan asramanya dan pergi ke kelas alam tempat semua emak" dan anaknya yang kecanduan hape berada. entah apa yang pernah diceritakan Nurul pada teman"nya. sepertinya mereka mengenal dan tau beberapa informasi tentangku.

'soal nilai, aku tidak begitu peduli nilaimu bagus atau tidak. selama Kamu punya passion dan keinginan, aku dan sodara"mu akan mendukung', aku membuka percakapan di perjalanan menuju titik sambang. Nurul masih diam.
'tapi di kelas tiga nanti, Kamu harus belajar banyak. biar masuk kampus bagus sesuai ilmu yang ingin Kamu pelajari', aku meneruskan obrolan.
'hahaha iya, Kak. dari awal saya kira Kakak gak begitu peduli ke saya. karena sejauh ini Kakak lebih membela Kak Sinal dan mendukung buat kerja sesuai keinginannya', aku mulai terhenyak.
'oh ya..?', aku bertanya heran.
'sejak SMP, saya suka teater dan tampil di banyak acara dan lomba. sampai akhirnya saya selalu jadi pilihan pertama di teater sejak SMP. saya cerita itu ke Ibu, tapi tidak pernah dapat respon apa" dari Kakak. karena saya yakin Ibu pasti cerita kan', keluhnya. aku diam, menata semua kata yang akan aku keluarkan.
'Kak Sinal sudah hidup bersama Kakak, dan bisa ngasi banyak hal ke Bapak-Ibu. saya belum. pikirku, saat tampil di film" pendek punya pondok, itu membanggakan kalian. membanggakanmu, karena pasti akan tersiar lewat YouTube', Nurul meneruskan curhatnya lalu diam. perjalanan menuju kelas alam masih jauh ternyata.
'hahahaa. Kamu harus meluruskan niat. bukan saya yang harus Kamu banggakan. Kamu tidak perlu membuktikan apa”. sejauh ini, Kamu paling hebat secara akademik. di rumah, di atas kulkas, lemari di kamar Bapak, berisi semua pialamu. saya dan Kak Sinal dulu gak pernah begitu. Kamu suka teater dan akting, harus berdasarkan keinginanmu. Kak Sinal bekerja dan memilih hidup di Surabaya sekarang karena keinginannya. Kamu, suka teater dan tampil di banyak acara, juga harus karena keinginanmu. Kamu tidak perlu meragukan pepatah tua kalau punya kemauan, pasti ada jalan', sialan, apa yang aku katakan barusan sangat emosional. aku pelan" mengatakannya.
'soal film pendek, saya sudah tidak lagi terpilih di video" itu. mungkin karena ini', Nurul menunjuk jerawat di beberapa titik wajahnya.
'Kakak pasti udah tau kan kalau nilai akademikku turun. aku sudah memperbaikinya. nih', Nurul menunjukkan kertas rekap nilai ujiannya. hasilnya bagus. rata" sembilan puluh.
'bagus. teruskan semangat ini sampe setahun ke depan. di UN dan di ujian masuk kuliah. soal video, Kamu gak usah khawatir. lagian Kamu masih terpilih di pementasan teater, kan..?', kataku membesarkan hatinya. Nurul meresponnya dengan anggukan.
ada harga yang harus dibayar agar kita menjadi seperti sekarang. Kamu fokus pada akademikmu, dan beginilah nilaimu sekarang. dulu, fokusmu terpisah dan sebagian nilaimu turun. ada harga yang harus dibayar untuk yang kita lakukan’, aku menata kalimat ini untuk menenangkannya. Nurul melihatku, bernafas dalam lalu bersuara.
‘apa harga yang sudah Kakak bayar akhir” ini..?’,
‘saya..? hmmm apa ya. saya baru aja putus cinta’,
‘iya..?! apa yang hilang..?’
‘semangat’,
‘semangat hidup..?’,
‘semangat nulis’,
‘bagaimana mengatasinya..?’,
‘saya mencari alasan lainnya’,
‘sudah nemu..?’,
‘sudah’,
‘cinta yang baru..?’,
‘bukan’,
‘apa..?’,
‘kalian. kalian semangat nulisku sekarang’,
‘hmm, kalau nanti ada cinta yang lain..?’,
‘entahlah. bisa jadi’,

bangunan kelas alam sudah dekat. jalannya menanjak dan Zein berlari ke atas, berteriak menyebut namaku dan Nurul. haahahaa, aku lupa kalau daritadi ada Zein di antara kita. mungkin sejak tadi dia mengumpat karena tidak dilibatkan dalam percakapan.

aku dan Nurul duduk di samping Ibu. aku memberi kode pada Ibu bahwa semuanya sudah clear, Nurul sudah bicara dan mencurahkan kesahnya. Ibu tersenyum dan segera membuka tas yang berisi nasi dan lauk yang dibawa dari rumah. bagiku, disambangi Ibu berarti piknik. dan masakan Ibu, adalah makanan paling enak tak hanya di lidah, tapi juga jiwa. halah.

di perjalanan pulang, aku mulai berpikir untuk sering" melihat hape. memilih tau banyak hal dan lebih peduli. mengontak semua yang aku kenal dan menyapa mereka lebih lantang. sepagian ini, aku lega bisa mendengar kabar semua sodara"ku. dan siang ini, aku ingin memperbaiki hubungan dengan teman yang pernah marah hingga memblokir kontakku.
Selengkapnya...