Meluruhkan Kebencian Petang..

aku memejamkan kedua mata, perlahan. juga merendahkan pendengaran, perlahan. entah kenapa petang ini terasa berat. di kepalaku berdiam sekujur benci dengan hawa panas. hembusan nafasku juga tak dingin. aku merasakan hangat udara yang menyentuh rimbun rambut hidung di dalam dan kulit di luarnya. aku marah, entah pada siapa. juga tak tau karena apa dan harus aku apakan. aku ingin begini sementara, memejamkan kedua mata dan menutup kemungkinan suara masuk ke pendengaran.

di luar sana, sepertinya ada suara yang memanggilku. keras dan berulang. aku bukan sengaja mengabaikan. aku hanya merendahkan sensifitas volume itu sampai di telingaku. sesekali aku buka mata untuk melihat tulisan ini. sejak tadi aku hanya mengandalkan intuisi dan penglihatan yang sudah aku hafal untuk keyboard. aku biarkan semua bebunyian itu mengalun merambat. aku masih berusaha menenangkan raga yang gemetar. menekan hati yang sedari tadi merah dan berkelakar.

sesekali aku rentangkan tangan dan diam. seolah tak terjadi apa". tak peduli seisi ruangan melihat dan mengumpat. menganggap aneh dan nyeleneh. aku turunkan tangan dan kembali menempatkannya di atas keyboard. masih dengan mata terpejam, aku meneruskan tulisan ini. mengutarakan semua kekesalan hari ini. kesehatan yang belum utuh, dan energi yang belum penuh. ditambah dengan cuaca yang gak karuan, dan rindu yang aku tangguhkan. cukup di situ, jangan ditanya pada siapa dan apa. bisa jadi ini hanya sisa" kebingungan yang aku simpan untuk datangnya hujan. baik rinainya yang sedikit dan lebat, atau yang rintik dan deras.

kali ini menundukkan kepala, merengganggkan leher dan mendiamkan lama. aku buka mata dan mencari headphone di atas CPU. menjamah dan mengenakannya. aku putar satu lagu dan membiarkannya hingar di pendengaran. but darling, just kiss me slow. your heart is all I own. and in your eyes you're holding mine. seperti liriknya, aku juga ingin berdansa di kegalapan bersamamu di pelukku. bertelanjang kaki dan mendengarkan lagu favorit kita bersama. bukan untuk melepas rindu, tapi menepikan jumud yang ingin kuenyahkan. penat ini seolah lama berpihak di ragaku, bergelantungan tanpa tau kapan harus tanggal.

sepuluh menit berselang, sepertinya aku harus benar" membuka mata dan berhenti menulis ini. menutup notepad dan membuka notepad satunya untuk merangkum dan menulis berita. perlahan, aku tingkatkan frekuensi pendengaran dan mengecilkan volume di headphone. suara" di ruangan mulai aku dengar dengan purna. mereka yang memanggil namaku dan mengumpat karena diamku. petang yang melelahkan. tapi aku berhasil meluruhkannya, mengalir keluar dari sekujur tubuh lewat kaki" dan jemarinya. melucutinya, menjadikannya asap tak berbekas dari kepala dan ubun". sekejap dalam pejam, dalam masa singkat itu, aku melihatmu mengenakan gaun itu, menemaniku berdansa dan menjadikan petang sempurna.
Selengkapnya...

Sampai Jumpa, Sensei..


aku kenal banyak orang, tapi tidak punya banyak teman. sedikit. aku termasuk orang yang sulit ketemu orang baru, apalagi berteman dengannya. bukan selektif atau perfeksionis, tapi aku pemalu parah. introvert yang lebih suka menyendiri di kamar atau ngopi di tempat sepi di tengah keramaian kota. jadi saat aku berteman, pasti sangat akrab atau aku yang sok akrab. dan hari ini, satu teman kerjaku berkurang satu, pergi meninggalkan kantor dengan semua persoalannya.

orang ini namanya Taufik, jurnalis senior yang jauh lebih dulu berada di dunia ini daripada aku yang baru tahu betapa hebatnya Tilman Brothers dan Led Zeppelin. sebelum sekantor, pengalamannya sangat seru dan banyak. baru kenal dan sekantor, aku sudah mendengar banyak cerita tentangnya dari beberapa teman di Malang. saat itu juga, aku langsung menunjuk dia sebagai mentorku secara diam". sampai saat ini, dia tak tahu. sampai tadi kita berjabat tangan dan berpelukan, aku tidak ngomong tentang ini, bahwa sesekali aku memaksa dia bicara banyak hanya untuk aku curi ilmunya. sampai tadi dia mengucapkan 'sampai jumpa', aku baru mengakuinya di sini.

aku paling suka berdebat dengannya. sangat berbobot dan cara berdebatnya sangat substansial. bahkan dengan emosipun, dia banyak mengajariku. sialan, kenapa pada akhirnya aku harus jauh dengan orang seperti ini. sangat tenang dan selalu menguasai apa yang sedang dibicarakan. dia tidak akan bicara jika tidak tahu persoalannya.

hal paling tidak disangka darinya adalah sikapnya yang sangat egaliter. dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas dan dalam, dia bisa saja sombong. memilih pada siapa dia akan ngobrol dan bicara banyak, seperti beberapa jurnalis" di luar sana yang sok dan angkuh karena merasa tahu segalanya. tapi dia, justru lebih banyak ngobrol dengan kami" anak muda, baru dan bau kencur. bahkan dia tidak segan bertanya tentang semua hal kekinian yang bukan dari dunianya. sikapnya yang down to earth memudahkan dia belajar dari mana saja, dari siapa saja, tanpa ada barrier. shit, layak banget jadi panutan.

beberapa kali dia bicara rahasia yang sebelumnya tidak pernah dia bicarakan pada orang lain. hanya padaku. tentu dengan menyumpal mulutku dengan bilang 'ini rahasia, urusan pribadiku. aku cuma cerita sama Kamu, dan Kamu harus menyimpannya'. lalu cerita" yang sangat pribadi dia utarakan dengan sangat dalam dan panjang. bersama dua cangkir kopi, dia bercerita perihal paling personal dan penting. akan kisruh kalau sampe bocor. aku heran, kenapa dia memilihku untuk obrolan semacam itu. dan tidak sekali. padahal, aku ini siapa..?!

darinya, aku belajar banyak, banget. teman seperti ini adalah teman yang tidak boleh hilang, minimal dari kontak hapemu. bagiku, dia adalah teman yang baik, sangat baik. bersamanya, berteman tidak hanya terasa nyaman, tapi juga memaksa aku berkembang. berteman dengannya, selalu mengarah pada kebaikan. dan berteman dengannya, membuat aku ketagihan menggenggam banyak pengetahuan lainnya. suatu saat, untuk melebihinya. sampai jumpa, Sensei.
Selengkapnya...

(Bukan) Rutinitas Membosakan..

hai Din, again. saya baru dapat kabar kalau sore tadi Kamu sudah boleh pulang ya. selamat ya. baik" tuh dijaga kesehatannya. tidak hanya fisik, tapi juga spikologis. akhir" ini, banyak hal yang bisa bikin kita stres dengan mudah. penyebabnya bisa sangat banyak. seringkali ada di sekitar kita, mengelilingi tanpa kita tau. tiba" persoalan itu muncul dan boom membuat kita senewen. sebelum itu tiba, Kamu harus memprediksi tanda"nya. tapi jika terlanjur datang, hadapi dengan tenang dan berceritalah. agar bebanmu berkurang, dan kali aja ada solusi.

saya, hari ini lebih banyak diam di kamar. baca buku, ngopi, main game dan berakhir tidur siang. lalu ngantor dengan rutinitas. sounds boring..? banget. belakangan ini saya mencari kegiatan" baru, agar terhindar dari rutinitas yang merenggut kreatifitas itu. jadi mari pindah, tidak usah bercerita tentang hari ini. hmmm, Sabtu kemarin lumayan seru.

meski libur, saya masih di Surabaya. banyak janji yang harus saya tepati. termasuk malamnya, nonton bareng pertandingan Arsenal bareng salah satu teman yang dulu satu kantor. sehari sebelum itu, tiba" banyak sekali yang menghubungi untuk bertemu. sayangnya, beberapa harus saya tepis. ajakan buat nonton Thor, ngopi di kota sebelah, dan berlibur di kota lain. yang terakhir sangat berat buat ditolak sebenarnya. karena liburan sangat saya butuhkan. dan sebagian besar pertemuan Sabtu itu justru berisi diskusi yang membuat saya tambah stres dan ngebet berlibur.

sejak keluar kos pagi itu, kehidupan saya berada di luar dengan obrolan" melibatkan pikiran dan argumen. hal paling saya hindari di hari libur, tapi terpaksa. syukurnya, kondisi itu hanya sampai petang. setelahnya, berisi obrolan santai dan aktifitas nonton yang menyenangkan.

eh Din, kayaknya begitu saja ceritanya. hahaha, lagi kurang mood nulis. hahaha. oia Din, jangan balik lagi ke rumah sakit, semoga sehat terus. aamiin..
Selengkapnya...

Istirahat Din, Berikan Jeda..

hai Din, sepertinya sore punya banyak cerita buruk bagiku. setelah kemarin kehilangan rekan kerja, hari ini saya harus terjebak di ruangan memusingkan dengan penuh keegoisan. saya tidak tau bagaimana cara meredamnya. semalaman saya mencoba tenang dengan lagu" dan secangkir kopi. tapi tak berhasil. kepenatan itu hampir punah saat aku ingat janjiku mengisi blog buat Kau baca dan menulisnya sekarang. tapi samar" payah itu tidak sepenuhnya pergi, sebagian masih tersisa, tapi berangsur turun ke pundak.

saya masih belum mengerti, kenapa ada orang yang membawa keresahan dan menularkannya ke orang lain. saya muak dengan orang ini. mencoba tenang pun percuma, karena dia membangun aura ketidaknyamanan di mana". bahkan di wajahnya yang penuh dusta. bangsat. hahahaa, maaf Din, kadang kata" itu muncul di blogku. cuthat yang berlebihan ya..?!

oia Din, Ahad kemarin, satu lagi cerita hidup seseorang terhenti. Bibiku meninggal karena tumor. sepupu Ibu, sempat dirawat berhari" di Adi Husada Surabaya. malam itu Ibu menelponku sambil berbisik, dan saya mendengarkan dengan seksama, menjauh dari keramaian. paginya, saya dan Sinal pulang. saya baru saja berduka Din, tapi dua hari ini, sore jadi tidak ramah buatku.

malam sudah larut, Din. di luar sana, jalanan ada yang basah karena hujan pukul delapan malam tadi. di Malang juga hujan, kan..?! sepertinya itu Din. sepertinya saya butuh berlibur, jeda sebelum kembali mengerutkan dahi di tempat kerja, beradu argumen dengan bedebah yang tak tau diri. padahal saya ingin sekali berdamai dengan banyak hal, agar saya mulai nyaman mengerjakan semuanya, melakukannya dengan penuh kesenangan hingga kembali produktif. saya butuh ngobrol dengan beberapa nama, teman" yang sudah lama tak jumpa, agar saya tak gampang naik pitam dan memaki di mana".

iya Din, sepertinya saya melewatkan itu. saya butuh ngobrol dan bercanda dengan orang" yang lama tak kutemui secara fisik. banyak diantara mereka berada di ratusan kilometer jauhnya. jadi, sementara ini menihilkan fisik jadi pilihan. lagian, saya ada beberapa tugas yang belum terjamah. pagi nanti sampai siang harus saya kerjakan, sore juga, dan malam memenuhi janji. rasanya saya butuh pola makan seperti dulu, makan banyak dalam satu hari.

hmmm, saya harus istirahat Din. sudah setengah satu dan saya belum ngantuk, ini bahaya. sampai jumpa besok.
Selengkapnya...

Ceritalah Din, Sebelum Kehilangan Teman Bercerita..

halo Dina. maaf aku menyebut namamu, karena saya tau Kamu baca tulisan ini. pagi tadi kakakmu menelpon dan memintaku mengisi blog lagi, buat adiknya yang sering baca" banyak blog, buat adiknya yang juga suka menulis di blog, buat adiknya yang sekarang lagi sakit dan dirawat di RS Syaiful Anwar. semoga cepat sembuh ya.

kata kakakmu, Kamu sudah sampe kelar baca semua isi blog ini ya..? heran. saya mungkin gak kaget kalau ada teman lamaku yang begini, tapi kalau ada teman yg baru kukenal dan membaca semua isi blog ini, itu gila. saya senang dan berterimakasih, tapi tetap saja saya kaget ada orang seperti itu buat blog geje macam ini. makasih, Din.

maaf baru bisa nulis malam ini, Din. Kamu pasti pernah membaca di salah satu tulisan blog ini, bahwa tidak semua pagi menghadirkan cerita. pagiku seperti biasa, berisi ngopi bersama teman, sambil main game, sambil diskusi buku dan ngobrolin peluang" bisnis. siangnya meneruskan aktivitas pagi dan makan siang lalu istirahat bentar. sore, baru ada kisah dan bisa aku bagikan di sini.

sore ini agak ruwet. salah seorang teman kerja resign per satu November mendatang. saya sudah tau ini akan terjadi, tapi saya tetap kaget karena tidak menyangka akan secepat ini. saya cukup kaget karena dia cukup dekat dengan saya dan beberapa kali berdiskusi. tentu saja tidak biasa, saya sangat suka pemikiran, ide dan gagasan-nya, karena pengalamannya di dunia jurnalistik sangat bagus dan kemampuannya sangat mumpuni. dia memberikan banyak inspirasi pada saya. dan dia, juga adalah alasan saya masih bertahan di tempat kerja ini.

halo Din, masih menyimak kan..? itu cerita sore saya. dan sepertinya tidak hanya saya yang merasakan, hampir semua teman kerja di divisi saya dekat dengan orang ini. begitu dia bercerita bahwa surat resign-nya sudah diserahkan ke HRD, semuanya bengong dan kesal. dia mendahului, itu membuatku sangat kesal. hahahaa, hmmm. saya akan sangat merindukan semua pembicaraan kita.

saat memulai tulisan ini, saya belum merasakan kehilangan apapun. perasaan itu baru ada saat kita makan malam. kita semua bercerita banyak hal yang sangat memungkinkan bisa dikenang. lalu dugaan-dugaan kehilangan itu muncul. saya akan sangat kehilangan teman buat dipercaya berbagi rahasia tentang beberapa kebusukan hidup. kehilangan itu semakin terasa saat tahu ada beberapa hal yang tak bisa saya lakukan dan dia dengan mudah berbuat. dia mengajari kami cara berteman dengan saling melengkapi, membantu dan mudah mengulurkan tangan.

Din, ternyata seperti ini rasanya akan kehilangan teman dalam satu lingkungan. saya sudah merasakan berkali" berpisah dengan teman, tapi pertemuan selalu berhasil kita buat di beberapa kesempatan. dengan orang ini, sepertinya sulit. dan saya bisa memprediksinya dari sekarang, saya merasa kehilangan. mungkin Kamu berpikir saya orang kolot, konvensional dan berlebihan. bisa saja dengan kemudahan teknologi, silaturahmi itu masih bisa terjalin setiap waktu. tapi bagiku Din, pertemuan adalah pertemuan. tidak bisa diwakili dengan teks dan layar. sebut saja saya naif, tapi saya sangat menghormati keintiman komunikasi dengan tatap muka.

maaf Din kalau ngelantur. ya begini ini isi blogku. curhat dan perjalanan sehari" saya. tidak ada hal baik dan berbobot di blog ini. semuanya remeh temeh dan subjektif. semuanya kata saya dan opini saya. dari pandangan saya dan kesimpulan saya. dan dari dulu, saya menyimpulkan bahwa teman adalah keluarga yang kita pilih, Din. saya mendengar dari kakakmu kalau Kamu cukup populer di sekolah, anak sketsa dan teater kan..? jaringannya bisa sangat luas tuh, dan pasti temenmu banyak. dijaga Din, karena seringkali silaturahmi menyelamatkan cerita" hidup kita.

oia, semoga cepet sembuh dan keluar dari rumah sakit. kalau udah, Kamu harus segera ke beskop nonton Thor, lucu dan seru. udah dulu ya, besok saya cerita lagi.
Selengkapnya...

Pekan" Pertemuan..

tiga pekan ini sangat menyenangkan. bertemu dengan banyak orang yang sudah lama hilang dari pandangan. sayangnya, beberapa pertemuan harus dimulai karena kesedihan. kehilangan, kerinduan dan yang berujung pada nyeri tak tertahankan. itu aku. ho'oh, setelah pulang dari rumah Kak Reza buat qurban, aku sakit tiga hari dan masih terasa sampai sekarang. dasar kambing, sudah dua kali begini karenamu.

sepekan lalu, aku bertemu teman SD yang pulang kampung, tiga orang sekaligus. dua diantaranya bertamu ke rumah, satunya bertemu di pasar malam. padaku, mereka bercerita tentang alasan" mereka pulang. habis masa kerja, kangen rumah dan ada juga yang pulang karena permintaan ayahnya yang sedang sakit. aku, dan juga mereka yang kutemui terpisah, bercerita banyak hal. rasanya, kami tak bisa menyembunyikan betapa rindunya dengan obrolan ini. beberapa kali, ujung obrolan kami hanya tarikan nafas. menandakan persoalan" yang sedang kami hadapi sekarang bukan lagi soal siapa yang akan jadi pemimpin upacara Senen besok. bukan lagi soal giliran siapa memberi contekan ulangan dan siapa yang bertugas menyediakan bola di lapangan sore nanti.

masih di obrolan yang sama, di lobi rumahku dengan dua cangkir kopi, kami juga bernostalgia tentang si ini yang sekarang kerja di sana, dan si itu yang sekarang ada di sini untuk persiapan pernikahan. saling bertukar kabar dan bercerita tentang semua yang bisa kita ingat saat sekolah-enam-tahun dulu.

satunya, pulang karena diminta ayahnya yang sedang sakit, dan mengaku rindu dengan cucunya yang baru saja lahir. saat itu juga, Ibuku nyamber 'sepertinya bukan itu', kata Ibu pada temanku. 'anakmu baru berumur empat bulan dan belum pernah ke sini, mana mungkin kangen cucu. paling dia kangen kamu, Nak'. lalu Ibu bercerita bahwa dia juga seringkali mengalami hal yang sama jika anak"nya melewatkan dua hari tanpa kabar. hmmm, Ibu. semacam protes pada anaknya yang ada di depannya.

sepekan lalu juga, aku bertemu dengan banyak teman PS3. salah seorang dari kami baru saja kehilangan ayahnya, sore sebelum pertemuan itu berlangsung. obrolan kami langsung hangat, di lobi depan rumahnya. dia juga bercerita banyak hal, tentang kemajuan anaknya yang kini sudah bisa jalan dan tentang rencana" selanjutnya. seolah dia tidak ingin mencampur kehilangan yang dia rasakan pada pertemuan yang sudah lama belum terjadi ini. kami menemaninya bercanda, tertawa dan mengingat kisah lucu yang bisa dia ceritakan.

pertemuan-pertemuan juga berlanjut sekembaliku di Surabaya. menyambut teman" Malang yang sudah lama hilang dari pandangan, yang berkesempatan singgah di Kota Pahlawan. duduk berenam plus satu, di dua meja kotak memanjang dengan lampu-lampu terang. tak hanya tawa, sepanjang malam kami bercerita tentang cara hidup kami yang tak lagi sama. sampai akhirnya lobi hotel yang kami tempati tak lagi menerima tamu untuk berkunjung dan mendengar suara-suara.

aku sangat senang. pertemuan" itu dan semua tawa di dalamnya sangat membantuku meredam emosi yang sangat melelahkan belakangan ini. belum lagi harus menahan rindu yang entah sampai kapan aku bela. sempat aku bertanya. sebenarnya, masihkah kita di pihak yang sama..? di satu rindu yang sama..? katakan iya atau tidak, atau biarkan kita sama" beranjak.
Selengkapnya...

Merindukan Masa Itu..

belakangan, tiba" aku merindukan masa kecil. saat semuanya masih ada dan menyenangkan. orang" dan semua permainan. satu terakhir ini, aku mendatangi banyak upacara kematian orang" terdekat dan aku kenal baik. termasuk Ummi', nenek yang satu rumah denganku sejak aku lahir. karenanya, aneh rasanya tidak ada Ummi' di rumah dan setiap pertemuan keluarga. karena juga, seringkali Ummi' adalah alasan" aku bertemu dengan semua keluarga besarku. dan aku merindukan masa" itu.

aku juga merindukan semua permainan menyenangkan semasa kecil dulu. berlarian mengejar layangan di tempat yang sudah kita prediksi. berebut bersama dengan anak" kampung lain dan membagi benang atau layangannya setelah bertengkar mulut bahkan fisik. melatih fokus bermain kelereng dan karet. 'nyeltek' kelereng dan memasukannya ke lubang kecil di tanah lapang. memicingkan mata untuk menembak susunan batu dan kaleng dengan buntalan karet yang menyerupai ketapel. aku merindukan kemenangan" itu, lalu membagi tawa dengan lainnya yang bersedih karena bahannya habis setelah kalah.

aku juga merindukan semua prahara masa kecil dulu. menjelang petang misalnya, harus berlarian diomelin Ibu dan Ummi' agar pulang ngaji dan tiba di langgar sebelum adzan Maghrib berkumandang. tepat sebelum adzan, jika tidak, tidak hanya mereka berdua yang murka, tapi Kyai dan Bapak juga akan ikut marah. mengambil pecut atau lidi, dan mengancam tidak boleh main sepak bola lagi setelah sekolah madrasah usai. suatu saat, aku juga pernah mengambil uang Ibu dan Ummi' tanpa bilang, beli bola kasti untuk bermain besoknya di sekolah pas jam istirahat. setelah bola kasti terbeli, baru bilang dan disambut nasihat panjang tanpa jeda sebelum makan malam dimulai. sekarang semuanya lebih nyaman, lembut dan aku mulai merindukan omelan" itu.

masa kecilku sangat akrab dengan era 90-an dan tumbuh bersama semua budaya pop 2000-an. semua tayangan kartun, musik" dan bandnya, film"nya, buku"nya sampai semua atlit olahraganya sangat layak diikuti kiprahnya. hebat, tidak picisan dan sangat mudah dikagumi. lalu semuanya memudar dan menjadi kenangan. semuanya sekarang hanya tersimpan di ingatan, tempat paling purna menyimpan kesenangan belakangan ini.

belakangan ini juga, tiba" aku merindukanmu. menatap matamu dari dekat, memperhatikan bagaimana caramu tertawa dan memandangiku malu tersipu setelahnya. tersenyum genit agar aku berhenti menatapmu, diikuti cubitan kecil di punggung tangan kanan yang memegang tangan kirimu sebelumnya. saling sandar, lalu bercerita tentang sepanjang waktu yang sudah kita lewati di lain tempat. membenci kejadian" dan orang" yang tidak Kau sukai, merutuknya, berharap aku membelamu tapi tidak aku lakukan. lalu manyun dan ngambek, berharap aku rayu dan menggodamu hingga membuat simpul senyum yang tak bisa Kau tahan. aku juga merindukan masa" itu.

aku hanya bisa merindukan semua hal" di atas, yang sudah aku tulis sebelum ini dan sudah Kau baca. di ujung tulisan ini, kusiapkan seperangkat list lagu dan segelas kopi untuk Kau beri pertanyaan.
Selengkapnya...

Hai, Orang Asing..

hai, aku kembali lagi. aku ingin mengembalikan banyak hal. rasa" itu, rindu" itu dan semua yang menggantung diantara mataku dan pandanganmu. aku ingin mengajakmu berjalan, berdua, entah ke mana. mungkin menelusuri banyak bayang" malam karena lampu" kota. biarkan kaki" kita menyapu debu jalanan, biarkan lelah menemukan mereka kemudian, sementara aku berbicara banyak hal padamu. bercerita tentang hari" yang sudah usang dengan kisah" kecil tanpamu. sela aku, jika Kau juga ingin bercerita tentang hari"mu, yang sangat menyenangkan tanpaku.

hai, aku datang lagi. kali ini aku datang sekali saja lalu bangun lagi. tapi aku akan membuat lama pertemuan ini. aku ingin mengajakmu duduk. bercerita dengan secangkir teh di antara siku tangan kiriku dan wajahmu yang menempel di meja. aku ingin bercerita tentang penantianku pada mendung yang aku rindukan. jeda musim ini begitu lama, katanya karena anomali cuaca. akan banyak kalimat yang aku sampaikan. sela aku, jika Kau juga ingin bercerita tentang penantianmu pada hari tanpa hujan.

hai, kita bertemu lagi. seringkali tanpa sengaja. Kau datang tanpa permisi dalam mimpi. mengajakku berdansa saat aku masih tertegun dengan kehadiranmu di malamku. Kau ambil tanganku dan memintaku berdiri. memberi gerakan untuk aku tiru lalu menari. padahal aku ingin kita berdiri saja, di sana, di luar ruangan setelah jendela. aku ingin kita saling cerita, tentang semua hal yang memisahkan kita selama ini. juga tentang kemungkinan" kita tak terpisahkan lalu bersama. aku ingin kita berebut bicara, saling menerka apa yang akan diceritakan bergantian.

hai Kamu. sudah lama sekali terakhir Kau datang dan mengunjungiku dalam mimpi. membuatku lupa bagaimana rupa dan wajahmu. aku hanya ingat genggamanmu dan suara tawamu. menuntunku mereka-reka melihat bibirmu terkatup tersenyum dalam pejam. aku melakukannya berkali-kali, tapi yang aku temui hanya sunyi. tak ada suara, semuanya hening dan sepi. lalu Kau muncul lagi, mengajakku bercerita dan berdansa. seolah Kau sangat mengenalku dan juga rindu.
Selengkapnya...

Mengetik Surat..

aku sedang bergairah menulis sepucuk surat untukmu. sebelum aku duduk mengetik ini, aku bersila menulis ini. berusaha mengungkap beberapa kalimat yang sudah lama ingin aku buang, aku tuang, aku limpahkan ke depanmu. biarkan berkeliaran diantara nafasmu yang sudah berbaur dengan udara lainnya. biarkan juga menguap. tapi aku urungkan, kertas yang aku tindih terlalu bersih. putih tanpa segores tinta. bolpen yang aku pegang, hanya berputar membentuk garis", melingkar, lalu menyatu sendiri. tidak terbaca, tidak ada kata, apalagi makna. aku sudah bersila menulis ini, tapi gagal terbaca.

padahal aku sedang bergairah menulis sepucuk surat untukmu. karena Kau sangat menggangguku. bahkan dalam perjalanan terlelahku, aku masih mencium harummu; ruang tipis yang tidak bisa aku sentuh. aku berusaha meraih, mengumpulkannya, seperti kepulan asap setelah percik api muncul. tapi tidak berhasil. aku hanya menemukan uap udara dari nafasku yang kedinginan, mengeluh karena harus beradaptasi dengan suhu Malang kembali. aku diamkan, sampai ada yang menyapaku, biar otakku terkecoh, biarkan dia pikir itu adalah sapa darimu. gangguan yang fatal.

aku masih berusaha menulis sepucuk surat untukmu. menahan dingin malam yang tak lagi sanggup dilawan dengan satu setel jaket. aku biarkan kepalaku merayu tangan, menemani mulut yang sedari tadi meracau banyak kata. tidak selalu tersambung dengan purna. mulutku hanya menyebut banyak kiasan, padahal dadaku sesak dengan rindu. bebunyian gitar di sebelah tak cukup memberiku jeda, pikiranku masih berjalan dengan namamu. hanya mereka berdua. tanpa bayangan, juga tanpa raga. mereka berjalan pelan, sesekali bercanda saling menatap. sementara indera lainnya, merekayasa cerita agar mereka tetap berjalan bersama, di jalan itu.

aku putuskan untuk tak menulis sepucuk surat untukmu. aku tak lagi bersila. aku beranjak, duduk lalu mengetik surat ini untukmu.
Selengkapnya...

Rindu Kopi Begini..

aku tidak punya banyak tempat untuk memenjara rindu. kadang, dia keluar sendiri tanpa aku ingin. bercengkrama dengan banyak benda yang dia pikir berasal dari satu peraduan. dia hanya tidak tau dari mana dia diciptakan, dari mana dia dihembuskan lalu hidup bersemayam di ingatan. bukan malam ini yang aku ingin bicarakan, tapi kemarin sore. saat kopiku bukan berasal dari bubuk kopi yang aku giling sendiri. di rumah, aktivitas itu sudah lama tidak terjadi. seringkali kopiku, berasal dari bungkus yang digunting, bukan biji yang digiling.

sore masih sangat muda, bahkan kumandang adzan Ashar baru dua puluh satu menit berlalu. aku memainkan gelas berisi kopi susu dan krim. aku menghirup aromanya. sudah lama sekali aku tidak minum kopi susu sachet. aku bukan membencinya, aku hanya jarang punya kesempatan bertemu dengannya. kopi sachet juga dari petani. di luar sana, ada orang" alay yang terlalu sentimen dengan kopi dari pabrik, alasannya bisa beragam. satu diantaranya dianggap tidak pro petani kopi, hahaha alasan picik dan sempit. memang dari mana asal kopinya jika bukan dari petani. atau, biar dianggap lebih 'ngopi', atau ngopinya lebih 'tulen', lebih ini dan itu. atau terakhir, kopi sachet itu cerminan pemilik modal. ah, itu juga alasan.

aku bukan merindukan kopinya, tapi orang" yang duduk bersamaku. di rumah, Bapak yang minum kopi begini, kopi susu sachet. kami duduk berdua, bertiga dengan temanku atau teman Bapak atau berempat bahkan lebih. tapi aku, tetap dengan kopi yang aku bawa dari Surabaya, biasanya. dengan kopi susu sachet begini juga, biasanya aku bersama temen" PKI. duduk bersila melingkar dengan banyak obrolan. atau mengitari meja di warung kopi depan kampus, tetap dengan banyak obrolan. mereka yang sudah lama tidak aku jumpai. ternyata sudah lama sekali aku tidak minum kopi susu sachet begini.

sore ini, aku kembali memikirkan rindu" itu. aku kumpulkan bersamaan dengan gelas yang aku goyang"kan daritadi. aku sendiri. Bapak masih melaut, dan teman" PKI masih di rumahnya masing". sore ini aku pejamkan mata, membayangkan obrolan apa yang biasanya kita utarakan dengan kopi begini. beberapa diantaranya aku rekam, aku ingat dan aku penjara. lainnya, aku tuangkan bersama suara seruput kopi ini. nikmat sekali. rasanya, aku juga harus bertukar rindu" begini denganmu, jika memungkinkan.
Selengkapnya...

Tidak Menunda Malam Terakhir..

tidak satu atau dua kali bakat menundaku membuahkan penyesalan, tentunya buatku sendiri. Agustus sudah berjalan tiga hari dan aku baru masuk Togamas Diponegoro. aku sengaja menunda masuk, karena dua hari berturut" toko yang setahun lalu pindah ini sesak, penuh sama pengunjung. padahal musim libur sekolah sudah berakhir dan harusnya sudah bukan waktunya lagi masuk ke toko buku buat nyari diskonan buku tulis. tapi yang aku lihat sebaliknya.

selama dua hari. dua hari aku lalu lalang menunggu Togamas sepi, ya setidaknya tidak sepenuh ini. aku berhenti di depan toko, berdiam tujuh menit di hari pertama, dan empat belas menit di hari kedua. lalu aku geber lagi motor dan pulang. hari ketiga aku datang lagi, menjelang petang. aku masuk dan merasa aneh. semua rak-nya berubah. tatanannya juga. sekarang sudut favoritku sudah dikuasai buku" sekolah SMA. aku hafal jalan menuju rak itu. semua buku" yang terencana untuk dibeli ada di sudutnya, terpojok bersama toilet karyawan dan rek komik; rak sastra dan fiksi. tapi sekarang susunannya memusingkan, dengan banyak angka algoritma dan kimia anak SMA.

aku mengelilingi toko sekali, aku sudah menemukan dua rak favoritku, tapi aku singgah dulu di rak alat tulis. penaku hilang, untuk kesekian kalinya. aku harus beli satu, setidaknya membuatku tidak malu lagi jika harus meeting dan meminjam pena dua menit sebelumnya ke teman kantor. aku membeli satu, lalu bergegas menuju rak sastra dan fiksi, tempat semua aroma kata berpusat.

sialan, ternyata tidak hanya rak nya yang pindah, tapi semua tatanannya ganti. aku tidak lagi menemukan buku" Sapardi di kolom keempat, dan buku" Seno di sampingnya. aku menemukan mereka naik satu kolom dan harus berbagi tempat dengan banyak buku lain. tapi itu tidak seberapa. saat aku lihat buku" Seno, penyesalan mulai hinggap di kepalaku. Sepotong Senja Untuk Pacarku miliknya, sekarang udah ganti cover, sialan. sialan. ternyata buku yang dulunya terbungkus ilustrasi surat pos merah muda ini masuk ke cetakan ketiga. dan aku menundanya sangat lama untuk membeli. sialan. daya beliku langsung memudar, aku ingin pergi saja dari Togamas. saat mau pergi, Ibu nelpon, dan menyelamatkan niatku.

dua menit Ibu nelpon, aku berbicara padanya sambil tetap berdiri di depan rak sastra dan fiksi. setelah pembicaraan berkahir, aku menemukan pelampiasan. tidak satu, tapi empat buku sekaligus untuk dibeli. hanya saja, niat saya sebelum masuk, danaku aku cukupkan untuk satu buku saja. keempatnya buku langka. satu buku aku sembunyikan, dua buku lainnya masih tersisa enam eksemplar dan aku biarkan. serta buku lagi yang hanya tersisa satu; Malam Terakhir, kumpulan cerpen Leila S. Chudori. sudah lama aku tidak baca cerpen, lama sekali. meskipun bukan alasanku memboyong buku tanpa sampul ini. tapi karena Leila. Leila adalah penulis majalah yang sempat jadi favoritku.

petang baru saja turun, dan aku sudah kegirangan di Togamas.
Selengkapnya...

Menemani Kopi yang Hampir Habis..

aku tidak pernah punya alasan yang cukup buat bertemu denganmu. paling mentok juga karena rindu. selain itu, aku tidak punya banyak kata yang bisa diucapkan saat memandang wajahmu. kecuali, Kau mengizinkanku mengabaikan pandangan. atau, kita bertemu di warnet. Kamu di bilik satu, aku di bilik dua. jadi, kita ngobrol dengan dinding di tengah. jangan serius, aku becanda. akhir" ini sulit melihatmu tertawa, siapa tau becanda gini Kamu nyengir. ya meskipun tidak mungkin juga terlihat olehku. tapi kalau tidak lucu, lain aku harus banyak berdoa, agar Tuhan mempertemukan kita tidak sengaja.

malam sudah selarut ini, kopiku hampir habis. aku juga belum bisa tidur. kirain kenapa, ternyata pengap. ditambah dua cangkir kopi sebelumnya, dan Arsenal yang kalah lawan Sevilla. beberapa kali hujan datang malam sampai pagi menjelang, aku kira Surabaya akan sejuk. ternyata masih panas, di dalam kamarku pengap. dan aku, sudah sengaja tidak menyalakan kipas. lalu terbangun dua kali dalam tiga puluh menit terakhir. dan lagi, belum bisa tidurku juga karena merindukanmu. nyari" rekayasa agar bisa ketemu Kamu. meski agak mustahil.

aku kembali melihat kopi di cangkirku. sepertinya, dua seruput lagi akan benar" habis. aku belum bisa ngantuk lagi. karenanya, aku tidak rela jika kopi ini akan habis beberapa menit ke depan. aku masih membutuhkannya menemaniku mengingatmu yang mulai kabur. memejamkan mata dan masuk ke labirin ingatan. mencari tanggal terakhir aku bertemu denganmu, di mana dan pakai baju apa. aku memastikan hari itu adalah saat Kau menoleh ke arahku, bukan aku ada di belakangmu. memastikan kita sengaja berhadapan, bukan di jalan berpapasan. agak susah, tapi berhasil.

sekarang kopiku benar" habis, dan sekarang sudah pukul setengah satu. aku tidak punya alasan lagi buat tidak ngantuk. di kelasku pagi ini, ada banyak orang galak yang emosinya tidak teratur. sebaiknya aku istirahat yang cukup agar bisa menerima semua ocehannya. juga, agar bisa segera menemuimu. jika tidak siang ini, setidaknya di tiga jam ke depan.
Selengkapnya...

Tidak Lagi Menunda"..

aku seringkali menunda" banyak hal. menunda mengerjakan skripsi yang berakibat menunda harapan Ibu dan Bapak. menunda merivisinya sampai membuat dosen"ku marah dan enggan menyapa. menunda mengatakan banyak hal padamu, sampai Kau juga mengabaikan banyak hal padaku. dan menunda menulis; hal paling ingin aku sudahi. aku sudah melewatkan banyak momen karena kebiasaan menunda ini. melewatkan banyak timing untuk review" film bagus yang sudah aku tonton. seperti malam ini, aku menunda menulis review film Dunkirk dan malah membuat tulisan ini 21 menit setelah nonton episode kedua game of thrones session ke tujuh. aku banyak menunda, dan aku banyak melewatkan momen.

saat pulang kemarin, seorang mantan menegurku karena gelagat menunda" ini. dengan sok tau, dia bilang begini:
'saya masih sangat suka baca blog-mu, semua tulisan"mu. tapi aneh, saya kecewa, blog itu udah lama gak keisi. sepertinya, sang tuan tidak sedang bahagia. butuh kekasih yang membuatnya tertawa dan senyum" sendiri. seperti apa? biar saya carikan. biar semua orang yang menunggu blog-mu senang. sebutkan kriteriamu? pasti sudah bukan seperti saya, karena terakhir, pacarmu cantik sekali dan manis. saya punya banyak teman yang seperti itu, sapa tau ada yang cocok', dia mengatakan ini di depan rumah, saat dia lewat tanpa sengaja. dia menghentikan motornya dan bertamu setelah melihat saya di rumah. tidak lama, tapi cukup membuat banyak orang lain yang lewat salah paham. dia cuma mengatakan itu, dia salaman dengan Ibu yang kebetulan keluar, lalu pergi. biadab.

aku tidak perlu banyak alasan buat menulis. aku hanya butuh motivasi, inspirasi, lalu satu tulisan sengaja atau tidak, akan aku tulis dengan senang hati. iya, karena aku butuh mood buat menulis. ini yang mungkin banyak orang tidak tau. mereka menegur dengan teks dan verbal tentang blog, tapi mereka tidak tau banyak bahwa hal terakhir yang aku butuhkan adalah mood. aku tidak senang dibicarakan, disapa dengan sanjungan apalagi secara langsung lewat obrolan. aku diam" menyesali tulisanku di blog yang mendapat pujian, ingin aku hapus tapi eman. lalu aku memilih untuk tidak menulis lagi sampai orang" lupa dengan blog-ku. aneh kan..? hal ini tidak aku katakan sebagai jawaban pada mantanku itu. tapi dia sudah cukup membaca tulisan ini sebagai pernyataanku.

malam ini pun, aku sedang tidak dalam situasi terbaik buat menulis ini dan mengisi blog. tapi aku terjebak di kantor setelah Festival Kopi di Cak Durasim, Dunkirk dan Game of Thrones. aku membuka chat setelahnya. seseorang mengirimiku update baru blog-nya dan aku membacanya lewat PC. aku membuka youtube mendengarkan dua lagu Linkin Park, lalu aku mulai membuka notepad dan menulis ini. aku juga tidak tau kenapa aku harus menulis ini. tadi hanya sekilas kepikiran mengisi blog dan kembali menjadikannya rutinitas. aku hanya ingin berlatih saja, untuk tidak lagi menunda". karena, seseorang pernah bilang padaku, menunda berarti menumpuk masalah.
Selengkapnya...

Setelah Kau Pergi Mi'..

hai Mi'.. aku sudah melihat banyak ironi selama hidup, yang paling menyakitkan adalah hari ini. di depanku saat ini, berkumpul kedua orangtuaku, semua sodara kandung dan sepupuku, bibi dan pamanku, semua anak dan cucumu, Mi'. mimpi dan keinginanmu, yang hanya bisa terjadi setiap Iedul fitri dan dulu sekali saat aku kecil. tapi ironisnya, momen ini terjadi saat yang punya mimpi sudah tiada, pergi dan tidak kembali. hai Mi' bagaimana kabarmu di sana..? di tempat lama sebelum Kamu lahir dan diciptakan. tempat yang nantinya Kau siapkan kita berkumpul lagi.

semuanya sekarang jadi mudah Mi'. mengumpulkan niat potong rambut pun jadi sangat mudah. aku tidak perlu lagi bertengkar dengan semua penyesalan dan gengsi yang mengakar di helai rambutku. aku sudah potong rambut berkali" setelah Kau tiada. iya Mi', setelah Kamu tiada. benar" tiada, tidak meninggalkan raga. berkumpul pun dengan keluarga besar ini sekarang jadi lebih mudah. ironisnya jutsru karena Kamu. karena Kamu yang sudah tiada ini, membuat kami lebih mudah berkumpul dan membuat lingkar hangat pertemuan. sayangnya, kami tidak tau bagaimana raut wajahmu saat melihat kami di sini, di Bumi. aku juga tidak tau bagaimana senyummu tersungging saat tau aku potong rambut, hal yang selalu Kau inginkan saat aku pulang ke rumah. katamu dan Ibu, aku lebih mirip orang gila daripada mahasiswa, daripada jurnalis atau semacamnya. bahkan Kau tidak ingin mengakuiku sebagai ustadz dan ketua persatuan santri karena rambut panjang ini. Kau lebih ingin aku rapi seperti Kak Aziz, Kak Hakim dan Kak Reza. biar adik"ku gak ikut"an. sekarang Mi', sekarang alasan"mu lebih mudah aku terima. dan aku, sekarang lebih mudah mengumpulkan niat untuk potong rambut.

ironi lainnya, penyesalan itu begitu dekat dengan kehilangan. aku, menyesal, saat kehilangan. lalu karena menyesal, aku menunda kehilangan, yang walaupun aku tau itu sia". saat aku potong rambut misalnya, ingin sekali aku lakukan agar Kau tersenyum saat aku pulang ke rumah. tapi itu sia", karena aku sudah kehilangan kesempatan itu, potensi melihat senyummu, yang sudah terkubur bersama ragamu. tapi aku, sekarang, tak pernah lagi menyesal potong rambut. bagaimanapun, niatku potong rambut hanya untuk melihat senyummu, meskipun sudah tidak mungkin lagi terjadi.

hari ini, sudah 100 hari Kau pergi. kami di sini mengirim tidak hanya Al-Fatihah, tapi 114 surat di dalam Al-Quran. iya Mi', kami khatmil Qur'an. aku dan Sinal pulang dengan sangat cepat meski terlambat. Sinal semalem masih harus kerja sampai malem. kata Ibu, hari ini juga bertepatan haul Kakek. Ibu cerita, sebelum Kau tiada, Kamu pengen sekali mengajak semua undangan buka bersama di haul Kakek, karena terjadi di bulan puasa. tapi ternyata, alasan buka bersama itu tidak hanya haul Kakek, tapi juga karena Kamu. hahahaha, jangan bilang aku terlalu sentimentil Mi'. hanya ini yang bisa aku tulis untuk kenangan. hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mempertajam ingatan. dan menyulamnya dalam sajak kerinduan.

hari ini juga, sebulan yang lalu, aku ulang tahun Mi'.



16 Juni 2017
Selengkapnya...

Kepergianmu, Mi'..

Hai Mi’. Hmmm, rasanya masih belum percaya Kau sudah tiada. Semuanya sudah terasa tenang. Semua sudah dengan lapang dada menerima. Bukan perkara ikhlas, ini hanya soal mengenang. Aku yakin, aku bukanlah yang paling menderita dan sedih dengan kepergianmu. Ada. Ada yang jauh lebih sedih dan terpukul dengan kejadian ini. Tapi Kau tidak boleh mengingkari bahwa aku sangat kehilanganmu. Rumah sudah tidak lagi sama. Pulang, sudah berganti irama. Aku yakin semua juga merasa demikian. Rumah adalah Kamu. Kamu adalah pulang. dan kami terjebak untuk menerjamahkannya setelah Kau tiada. Kami harus menata ulang apa arti pulang. Mendefinisikan lagi, apa arti rumah. Dari sana, aku yakin Kau masih bisa melihat Kami tertawa. Lepas. Tapi semua mengalir tanpa tujuan. Karena sebelumnya, Kamu yang selalu ingin melihat kami tertawa. Sebelumnya, Kamu adalah alasan kami bahagia.

Aku tidak yakin dengan apa yang aku tulis ini. Saat ini aku berada di kamar, mengasingkan diri setelah tau kalau hari ini adalah lewat sebulan Kau tiada. Duduk di depan laptop dan menggerakkan jemari tanpa tau perasaan apa yang hinggap. Sedih tentu saja. Duka yang sangat dalam. Lapang, untuk tidak lagi melihatmu kesakitan. Rindu yang pasti tak hanya aku yang merasa. Semuanya bermula dari saat Kau mulai sakit”an. Saat Kau tak lagi nyaman berjalan seperti biasa. Kau terlihat lemah dan sengat rapuh. Tapi tidak dengan jiwamu. Hatimu yang selalu besar dan kuat, merangkul kami cucu”mu setiap kali pulang dan mengetuk kamarmu. Setelah semua itu, tentu saja yang ada hanya kesedihan melihatmu terbaring dan tak bicara.

Senin malam seperti sekarang, Kau dilarikan ke rumah sakit. Kami senang akhirnya Kau mau diajak dan dirawat di rumah sakit. Tapi Kau sudah tak sadarkan diri sejak di dalam ambulance, jauh sebelum tiba di UGD. Mendengar itu, aku dan Sinal gemetar. Mungkin juga yang lain. Bukan. Bukan sedih, tapi itu bentuk ketakutan. Takut kalau malam itu adalah waktumu. Takut kalau malam itu adalah akhir dari usiamu. Kamu terbaring lemah di sudut ruang itu. Kami bergantian menjaga, keluar masuk ruangan buat memastikan Kau masih membuka mata. Kami menyapamu dengan air mata. Kami ingin sekali Kau bicara. Bergantian, kami yang ada di situ heboh membuatmu tetap terjaga.

Kami yang takut, memaksa semua petugas rumah sakit dan dispendukcapil membantu memuluskan perawatanmu. Kak Reza mengatur pertemuan dengan Kepala Dispendukcapil dan memuluskan administrasi rumah sakit yang kemudian diteruskan oleh Kak Aziz dengan semua peluhnya. Kami sudah bukan lagi Aziz, Azizah, Reza, Hamim, Zainal malam itu. Bukan lagi Yuhai, Yumik, Arifin, Mordifi, Nafsiah saat itu. Kami adalah bajingan yang siap melakukan apa saja demi perawatanmu, agar Kau sehat kembali. Kami panik, kami takut. Kami ingin segera melihatmu kembali tersenyum, dengan sadar. Bahkan di luar sana, ada tangis yang pecah. Zainal memeluk Ibu, karena takut. Dia takut karena belum sempat memelukmu lagi. Dia takut melihatmu begini, tergolek dalam kekosongan.

Pas. Selang 24 jam setelah Kau tiba di rumah sakit dan mendapat kamar, Kau pergi. Kau tinggalkan kami semua. Semua. Di 24 jam itu, kami cucu”mu sudah bukan lagi orang yang punya profesi Bankir, Guru, Dosen, pekerja media dan pramusaji. Kami adalah cucu”mu. Setengah dari cucu”mu, ditambah Zein. Kami kembali mengingat siapa Kamu dan bagaiman Kamu menemani Kami sampai besar. Dalam doa, namamu selalu kami sebut. Dalam doa, namamu mungkin bukan yang pertama disebut, tapi selalu jadi yang terbanyak. Dalam doa, selalu ada tangis yang menyertai. Kami takut, bukan sedih. Kami takut jika nantinya amal kami memberatkan langkahmu ke surga. Kami takut kebadungan, kenakalan, kekurangajaran kami menjadi sandunganmu masuk ke surga. Kami takut. Kami belum sepenuhnya membahagiakanmu, ta’at padamu, mencintaimu seperti Kau mencintai kami. Kami takut belum menjadi shalih dan shalihah untukmu.

Setelah itu, tidak ada tangis yang berhenti pecah Mi’. Bahkan untuk berhari” setelahnya. Bukan tidak ikhlas. Bukan. Ikhlas itu persoalan hati. Tapi air mata ini adalah cara kami meluapkan kehilangan. Malam itu juga, rumah ramai dengan banyak orang, sebelum Kau jenazahmu tiba di rumah. Banyak sekali orang yang ingin mengantar kepergianmu. Tapi semuanya harus menunggu sampai besok pagi. Tiga cucumu lagi yang masih sekolah dan kuliah diminta pulang. Iya Mi’. Lilid, Nurul dan Iin pulang malam itu juga. Entah bagaimana perasaan mereka. Lama tidak melihatmu, lalu mendengar kabar duka ini. Aku hanya tau kepedihan Mbak Siti. Malam itu, aku bergegas masuk ke kamarnya setelah Ibu memintaku menenangkannya. Mbak sendirian, tiduran dengan tatapan kosong. Aku tau tatapan itu. Aku pernah melihat di raut wajah orang lain sebelumnya. Aku mencari tangannya, aku gapai dan menggenggamnya erat. Dia sangat kehilangan, Mi’. Kehilanganmu. Tentu saja, karena dia yang paling dekat denganmu. Sialan, malam itu tidak ada momen yang tidak membuatku menangis.

Subuh setelahnya, aku terbangun juga dengan haru. Nurul dan Iin bergantian merangkul Ibu sambil menangis. Menyesal karena belum berbakti padamu. Dalam suara yang terisak, Nurul bercerita pada Ibu. Dan aku mendengarnya Mi’. Dia bilang kalau sebelum berangkat ke pondok di edisi terakhir, dia pernah menolak permintaanmu dengan suara yang agak tinggi. Dia menyesal Mi’. Menyesal karena belum minta maaf. Dia menangis sejadi”nya. Subuh itu, suara tangis kembali pecah tidak hanya dari Nurul. Tapi juga Iin, cucu yang sangat Kau sayangi sebelum Zein akhirnya lahir. Nurul memaksa Ibu, meminta agar dia diperbolehkan memikul salah satu segi kerandamu menuju tempat peristirahatan terakhirmu.

Sampai pagi menjelang, kami tidak berhenti mengucap banyak ayat di samping jenazahmu, masih dalam haru. Orang yang hadir sangat banyak Mi’. Mereka memenuhi halaman dan tiga rumah tetangga lainnya. Kamu hebat Mi’. Banyak orang yang kehilanganmu. Kebaikanmu selama hidup, membuat semua orang berebut ingin melayani dan mengurus hingga Kau benar” dikebumikan. Aku Mi’. Aku yang mencuci keranda sebelum Kau dimandikan. Aku tidak melewatkan satu senti pun debu menempel. Hmmm, baru kali itu aku sangat antusias melakukan sesuatu. Aku rasa, pagi itu aku menggunakan hati terlalu serius. Aku benar” senang mencuci keranda itu. Aku ingin sekali kendaraan terakhir yang akan Kau naiki ini bersih. Sayangnya, cucumu tidak lengkap pagi itu. Lilid belum datang dan Kak Hakim masih berlayar di laut Pasific. Lilid masih di kereta dari Jogja. Dia bercerita kalau dia langsung menemukan tiket go-show, tinggal satu. Apa itu juga rencanamu Mi’..? Kamu minta pada Tuhan ya, agar dia bisa cepat pulang..? Hmmm, tapi bagaimana dengan Kak Hakim Mi’..? Padahal dia udah bilang ke Kamu kan di awal bulan, kalau dia akan tiba di Indonesia 23 Maret. Dua minggu lagi dari hari itu Mi’, tapi Kau meninggalkannya terlalu cepat. Dia tidak berhenti menelponku sejak saat Kau dilarikan ke rumah sakit.

Hai Mi’, aku atau mungkin juga ini diakui oleh Kak Hakim, Kak Reza, Zainal, Lilid, Nurul dan Iin, akhir” ini kami jauh darimu. Kami jarang bertemu denganmu. Sangat. Tapi jangan Kau ragukan rasa sayang kami padamu. Kamu tidak pernah absen di hati kami. Pergi itu soal sudut pandang Mi’. Nanti kita akan bertemu lagi.
Selengkapnya...

Diperuntukkan..

Kak Reza mendekatiku dan langsung bertanya 'Selain karena film, baru kali ini saya lihat Kamu nangis',
'Hah..? Kelihatan ya..?',
'Iya tadi Nazril melihatmu mengeluarkan air mata saat meluk kaki Nenek. Nazril berbisik ke saya dan saya lihat',
'Hahahahaa', tawaku sambil menahan kembali air mata keluar.

hari ini cucu Nenek berdatangan. Nenek tergolek sakit. lemah terbaring di kasur sejak lima hari lalu. aku yang bangsat ini baru bisa datang kemarin pagi karena libur. Kak Reza juga baru bisa datang di hari yang sama. sedangkan Mbak Siti dan Kak Aziz sudah berhari" menjaga Nenek bersama Ibu dan Budhe.

kemarin pagi, aku datang dan bergegas masuk ke kamar Nenek. mengambil tangannya dan menciumnya. aku melihat ke mata itu sambil terus menggenggam tangannya. tak ingin aku lepas. aku juga tidak ingin bertanya tentang sakitnya dan pertanyaan gak penting lainnya. aku ingin seperti ini sampai Nenek berkata sepatah kata padaku. Nenek hanya melihatku dengan pandangan sayu. aku melekatkan pandanganku membalas. mata itu, menyimpan banyak sakit yang tak terkata. kedipnya pelan masih dengan mulut tertutup tanpa suara.

kemarin siang, aku masih di kamar Nenek dengan Mbak Siti dan Ibu. sementara Budhe di ruang tengah menemui tamu yang menjenguk. sesekali aku memijat tangannya. mengelusnya sampai dia tertidur sebentar. lalu bangun lagi seperti mimpi buruk baru saja mampir di pejamnya. aku melihat cara Ibu dan Mbak Siti membantu Nenek makan dan minum. aku tidak lagi sedih, tapi tersedu" dalam hati. aku dekatkan telapak tangannya yang hangat ke wajah kananku. sampai Nenek membalikkan tubuhnya dan tidur. sampai kamar ini tenang dan sunyi. sampai akhirnya aku juga tertidur.

kemarin sore, aku kembali ke kamar Nenek untuk menemaninya bersama Mbak Siti dan Kak Aziz. bangsat. kenapa saat" seperti ini malah membuatku terharu. aku tidak lagi ingin beranjak dari kamar ini. tiba" waktu hinggap dengan banyak kenangan. muncul dan menghampiriku tanpa aku mau. saat Nenek menemaniku tidur saat kecil di kamarnya, karena Ibu tidur sama adikku yang masih bayi. menceritakan tentang Makkah dan gagahnya kota Madinah. cerita kalau makanan di Arab Saudi itu enak. dan memintaku harus besar sebelum naik haji nanti. karena harus berdesak"an dengan Muslim bangsa lain dan banyak yang meninggal saat lempar jumrah. Nenek juga cerita tentang semua ikan laut yang pernah dijualnya dan bagaimana Kakek mendapatkannya dulu. Nenek bercerita banyak, tapi aku mengingatnya baru sekarang. aku takut.

kemarin petang, Kak Aziz pulang dan Kak Reza datang. dia juga langsung menuju kamar Nenek dengan banyak barang dan buah bawaan di tangan kanan-kirinya. memeluk Nenek dan mencium tangannya. lalu dia mencoba berbincang dengan Nenek tapi hasilnya nihil. Nenek tidak bisa diajak bicara. kami akhirnya ke masjid, menunaikan shalat Maghrib. aku bergegas pulang ke rumah meninggalkan Kak Reza. di lobi rumah, tiba" sepi. aku langsung ke kamar Nenek dan menemui mereka semua di sana. Nenek meracau gak karuan. di dalam kamar Nenek, juga ada Mbak Nazril, Kakak Ipar. Nenek berisik. suaranya meracau terengah". aku sontak kaget. Mbak Siti mengelus dada Nenek, Ibu memegang tangannya, aku tersungkur lemas dan memegangi kaki Nenek. cukup lama Nenek seperti itu. brengsek, tiba" air mata keluar dari sarangnya. turun cukup panjang, keluar dari sudut gelap mataku. kami semua memenuhi kamar termasuk Kak Aziz yang kembali datang dan Bapak yang sudah pulang melaut. tidak, tidak. aku tidak ingin. belum saatnya. setengah jam berlalu. setengah jam lalu Nenek tenang. kami berusaha menenangkan diri masing" dan berpura menguatkan diri bahwa semua sedang baik" saja. kami keluar dari kamar dengan senyum palsu setelah Nenek tertidur. kami melanjutkan beraktivitas. masak bubur buat Nenek, masak nasi dan lauk buat makan malam serta menemui tamu yang sengaja kami terlantarkan sesaat tadi.

kemarin malam, suasana makan malam di rumah jadi meriah. semua tawa hampir terdengar merdu dan menyenangkan. di rumah ini, tidak ada yang bisa menampik Tenggiri Panggang buatan Ibu. semuanya suka dan tergiur. tamu" kami yang berkunjung dan menjenguk Nenek juga ikut merasakan nikmatnya. apalagi, Ibu menyiapkan tiga sambal berbeda sekaligus. sayang, Nenek gak bisa ikutan. Nenek terbaring dan tidur setelah makan bubur tadi. hingga malam semakin larut, Kak Reza pulang kembali ke rumah, ke Kota. sementara Mok Nap, Ibu Kak Reza, menetap dan berencana menginap beberapa hari ke depan. tidak lama, aku menerima kabar duka dari Malang. hapeku berbunyi, seorang teman nelpon kalau Inal meninggal karena sakitnya yang parah. Inal, sahabatku semasa kuliah. Inal, sangat disayangkan. Inal, selamat jalan. Inal, aku hanya bisa berdoa dengan sedih yang sangat mendalam.

tadi pagi, aku baru sadar kalau dini hari Arsenal main dan sekarang sudah Subuh. aku melewatkannya. kondisi Nenek dan kabar duka dari Malang belum membuatku menjadi diriku sendiri seharian kemarin. aku tidak peduli ke banyak hal. sampai akhirnya aku kembali melihat Nenek terbaring, masih di kasurnya. aku menganggukan kepala memberi isyarat agar Mbak Siti istirahat dan tidur. dari matanya aku tau kalau Mbak Siti semalaman belum tidur, menemani Nenek di kamar. Zein mengikutiku ke kamar Nenek dan menyanggupi permintaanku buat memijat kaki Nenek. padahal sebelum ini, keduanya adalah rival di rumah. keduanya selalu bertengkar karena beda keinginan. hahahahaa. aku berada di kamar Nenek sampai akhirnya tertidur di sampingnya.

tadi siang, aku pamit kembali ke Surabaya. Nenek hanya mengangguk dan mengedipkan mata seolah memberi restu. aku meninggalkan kamarnya dengan perasaan campur aduk. aku tidak ingin beranjak dari rumah. aku ingin di sini sampai Nenek sembuh. pikiran itu mengangguku sampai akhirnya gas sepeda motor aku tarik. di perjalanan, semua jadi tidak mudah. pikiranku masih terfokus ke Nenek. seharian kemarin menjadikanku berpikir banyak. satu diantaranya, aku tidak ingin lagi bertengkar, aku tidak ingin berdebat dan terlibat perseteruan di kantor. aku tidak ingin membuang energi percuma. ada hal lain yang sekarang lebih penting. ada hal lain yang membutuhkan energiku. aku tidak ingin banyak membuka mulut dan berbusa hanya untuk semua kebodohan. ada hal lain yang tidak ingin aku lewatkan. aku hanya tau; ke mana Tuhan membawa kita, ke sanalah Ia menyediakan kekuatan untuk menopang kita.
Selengkapnya...

Semakin Hebat..

belakangan, rinduku padamu semakin hebat. sama kuatnya dengan angin di Surabaya dua pekan terakhir. sama lebatnya dengan hujan yang turun sebulan terakhir. sejauh itu, aku pernah bertemu dan melakukan percakapan denganmu, menjelang sore, hari pertama bulan ini. singkat, sayangnya membekas dengan sangat. dan Kamu, diantara kotak jendela yang memisahkan tempat kita berdiri, tersenyum gak jelas ke mana diarahkan. Kau melihat ke kanan tapi senyummu menusukku dengan tajam. apa Kau tidak tau bahwa aku sangat menyukai senyum itu..? dan pada senyummu, berdiam rindu. padahal...

selama ini aku hadir dengan ketukan-ketukan. nada yang tak akan Kau lihat kecuali dengan sentuhan-sentuhan. di dalamnya berisi pesan. berupa teks dan animasi yang memuat kerinduan. aku tak mengharap pelukan. atau sebuah genggaman dari tanganmu tak berkesudahan. itu terlalu mesra, dan aku hanya bajingan tanpa aturan. aku hanya ingin agak lama bersamamu dalam satu episode pertemuan. bukan papasan. aku tidak peduli jika itu adalah perbincangan panjang yang menjemukan. atau duduk melamun dan saling diam bertatapan. selama itu bersamamu dan di dekatmu, sudah cukup menuntaskan kebekuan. tapi...

aku sudah tidak lagi tau kabar cuaca di hatimu. masih mendung atau kelabu. masih merah atau biru. sudah terisi dua atau masih satu. entah dia atau namaku. meskipun aku tidak lagi peduli siapa yang sudah membuat tawa di hari"mu. aku sudah cukup rela jika nantinya bukan padaku senyum itu mengarah dan beradu. sudah cukup bagiku jika aku melihatmu. dari dekat atau jauh. meskipun...

seringkali mendung datang menutup hari. menebar ketakutan dalam bayang. melukai senja sampai petang berhari-hari. dan menceritakannya pada malam yang hingar dengan kesenangan. aku tidak ragu, hanya sedang gelisah kalau" Kau pergi tanpa bilang. aku hanya ingin menyiapkan ruang. tempat yang tak akan Kau lihat hanya dengan satu mata. satu rupa. tanpa tanda-tanda. di sana berisi kata-kata. rusuh dan kumuh. tempat bernaung para hujatan dan benci. menampung semua bedebah dan makian keji. sesekali aku akan mampir, untuk menghujat dan memaki, jika aku sudah tak bisa lagi menahan rindu, nantinya. karenanya...

aku berdoa, semoga hari" ke depan cuaca cerah. tidak ada lagi cemas karena mendung. lari karena hujan. dan panik karena genangan. juga agar Kamu baik" saja. dan mau terima kenyataan kalau aku pernah menatapmu lama dengan sengaja. di satu meja, terpisah hanya oleh udara. membuatmu malu. membuat selingkar rona. menjadikanmu canggung dan akhirnya balik membuatku malu berantakan. itu hanya cerita. itu dulu. jauh sebelum semua bebatuan yang kita pijak melebar, menjadikannya jarak dan membuat kebekuan. tapi harusnya diulangi. waktunya tepat. karena rindu ini datang semakin hebat..
Selengkapnya...

Satu Kalimat..

aku lelah, capek dan merasa ngantuk. harusnya Kau kirim satu kalimat sayang, agar mereka pergi dari dalam tubuhku. agar rinduku yang terlanjur berdiam lama dan menumpuk, bisa keluar dan melawan mereka yang memenjerakanku. aku diam duduk di meja redaksi, tanpa tau di mana gelap menyembunyikan terang dari pandangan. aku menggerakkan semua jemari, seolah tidak peduli semua resah yang sedari tadi hinggap. memburuku, seakan mengajak berlari keluar lintasan, tempatmu mengaliri rindu.

sekali lagi, harusnya Kau kirim satu kalimat sayang untukku. bukan untuk mengantarku tidur dan lelap. bukan juga agar cerita kita bergema seperti roman dan mengalun romantis. apalagi untuk menemani senja yang sudah lama tak aku lihat itu. bukan. tapi agar aku bisa berdiri dari tempat duduk ini, dan membuatkanmu satu teh hangat, sementara aku membuat secangkir kopi, tentu untuk aku minum sendiri. agar aku bisa menggerakkan bibir, buat bicara padamu, tentang.......apa ya. banyak hal lah. tentang semua pertemuan kita yang sudah lama sekali terjadi. atau juga aku hanya akan mendengarkanmu, bercerita tentang hatimu yang sekarang sudah terisi.

aku ingin menulis hal lain sebenarnya. masih tentangmu. banyak hal. tapi aku ingin menyicilnya, karena menulis tentangmu selalu memberi energi lain yang aku sendiri tak tau namanya. tentang wajahmu yang belum pernah puas aku pandangi. tentang benang hitam diantara kaki-kaki kita yang saling membelakangi. atau aku hanya akan mendengarkanmu, bercerita tentang suaramu yang sekarang tak hanya meluruhkanku. tentang masa kosong, awal Kau mulai menjauh, meludahi garis dan memberikan jarak antara kita. aku lelah, aku ingin diam. aku hanya ingin duduk di dekatmu, mendengar semua ceritamu. tak peduli jika Kau sudah memilih lainnya.

aku lelah, aku ingin tiduran. menyandarkan kepala di atas meja dan memandangi lama wajahmu. dari dagu sampai ujung jilbabmu. mungkin pandanganku akan berhenti agak lama di matamu, yang judes. jahat dan tajam. lalu berubah teduh dan mengantarkanku terpejam. tapi aku pastikan bisa mendengar suaramu. karena aku tak tidur, hanya sengaja memejamkan mata sebentar. lalu aku kembali hadir di ruang rindu yang kita ciptakan. karenanya, sebaiknya segera Kau hadirkan satu kalimat sayang untukku. agar aku bisa memperpanjang semangat menulis lagi tentangmu..
Selengkapnya...

Pertemuan..

apa yang sudah aku pikirkan. menemui seseorang yang harusnya tak aku temui. mengiyakan permintaan untuk satu percakapan panjang. dan duduk berseberangan dalam satu meja ber jam-jam. mantan kekasih yang dulu hilang, datang. memintaku mengosongkan pagi dan menemuinya. aku bukan luluh pada serak suara dan isak-nya yang mulai terdengar saat menghubungiku mendadak. tapi aku ingin menjadi seorang teman yang baik, yang mau menemuinya, seperti yang dia sampaikan sebagai permohonan.

'aku akan menikah',
'lalu..?',
'Kau ingin mengatakan sesuatu..?',
'oh, selamat. itu kabar yang bagus',
'bagaimana jika pernikahan ini hanya untuk pengalihan. dari Kamu yang sudah masuk terlalu dalam di hidupku',
'harusnya itu tidak terjadi. karena sudah tidak ada apa" diantara kita. iya kan..?',

pembicaraan ini terlalu serius dan tanpa basa-basi. aku berharap hujan segera mengguyur tempat ini. aku tak ingin percakapan ini memburu kami ke masa itu. kami terdiam agak lama.

'sebenarnya, kenapa kita di sini..?',
'sampai orang itu melamarku, aku masih menunggu ada kabar dari Kamu. aku memang bodoh. aku sadar itu tidak akan terjadi, tapi aku tetap melakukannya. dan di sinilah aku sekarang. mengaku, agar aku lega. agar tidak ada lagi beban. aku tidak ingin merasa bersalah pada orang itu. aku ingin baik" saja sampai pernikahan itu terjadi', dia menarik nafas dalam". membuang pandangan dan meneguk teh hangat di depannya. aku tidak hanya kaget, aku tercengang.

kami terdiam lama. aku membiarkan angin yang tidak lagi sepoi ini menyapu semua inderaku. aku melihat dia gemetar kedinginan, tanpa jaket. sesekali tatapan kami bertemu dan membuangnya ke bawah.

'aku kira kalau kita bertemu sudah tidak akan canggung. hmmm, kapan pernikahanmu..?',
'pertengahan tahun. setelah lebaran. apa Kau pengen aku undang..?', aku tertawa. diikuti juga tawanya. aku mengangguk.
'tapi ada syaratnya. Kau harus datang dengan..', kalimatnya berhenti. menggantung. '..Kau sudah menikah..?', aku tersenyum. 'tunangan..?', senyumku semakin lebar. 'pacar..? jangan bilang pacar pun gak punya..', aku menatap matanya dan menghembuskan nafas.
'bohong. ah, aku gak percaya',
'percaya saja. aku gak ada alasan buat bohong ke Kamu',

kami kembali diam. sepertinya aku melakukan kesalahan. raut mukanya kembali serius, alisnya bertemu, seperti sedang berpikir runyam.

'kalau gitu, kenapa tak ada kabar..? aku menunggu',
'tapi aku tidak. sudahlah. rasanya, percakapan sebelum ini cukup menyenangkan',

percakapan ini seperti roller coster, memberi rotasi emosi yang tidak aku inginkan. mungkin juga dia. aku melihatnya, dia menoleh lalu juga melihatku. pandangan kita beradu agak lama. dan tawa kami pecah.

'eh beneran. aku tanya, siapa pacarmu..? boleh aku tau..?',
'gak punya. masih gak percaya..?', lalu percakapan kami berlangsung lama. tentang masa kosong tanpa kabar itu. tentang bagaimana dia bertemu dengan pria yang akan menikahinya ini. tentang alasan"ku yang belum ingin menikah.

'aku selalu kagum dengan caramu berpikir. tapi alasanmu tadi, lebay',
'santai lah. nanti aku juga akan menikah. entah kapan', angin tiba" kencang berhembus. aku masih berharap hujan, agar kami punya alasan untuk menyudahi pertemuan ini. aku tau, diapun berharap memiliki alasan buat menyudahi percakapan ini.

'seperti yang aku bilang tadi, aku cuma mau memberi tau itu. kabar baik seperti yang Kamu katakan. semoga tidak ada lagi alasan buat satu pertemuan lagi denganmu. aku senang melihatmu. sangat. bisa melihatmu lagi seperti hadiah ulang tahun bagiku. tapi cukup satu kali ini saja',
'sepertinya begitu',
'Kid..', dia berdiri dan menjulurkan tangannya. samar" aku melihat jarum jam di tangan kanannya sudah menunjukkan angka 11. waktu yang tepat buat mengakhiri pertemuan ini. '..terimakasih kesediaanmu menemuiku', lanjutnya. aku juga menjulurkan tangan dan menjabat tangannya.
'terimakasih juga sudah mengisi hari Mingguku sebelum kerja',
'kalau gitu, assalamu'alaikum', dia melepaskan jabatan tangannya.
'wa'alaikumussalam', dia membalikkan badan dan pergi. aku kembali duduk dan menghabiskan kopiku. sampai akhirnya adzan Dzuhur berkumandang, aku juga pergi.
Selengkapnya...

Rupa Kebahagiaan Malam Itu..

malam itu hujan baru saja reda. jalanan Surabaya masih basah dan sedikit licin. aku melaju kencang tanpa tau akan ke mana jalur selanjutnya. aku melewati gerimis yang masih turun dengan bayangan tentang jalan yang pernah aku tempuh, tidak sering. aku mengingat" rute yang baru saja aku buka dari google maps. aku harus sampai di Rumah Sakit Al-Irsyad segera. sesegera mungkin.

di kepalaku, malam itu harus jadi momen yang tak boleh dilewatkan. di kepalaku, aku mereka-reka waktu yang sedang aku tempuh. jika harus telat, tidak boleh lebih dari garis waktu emosi yang sedang kakakku rasakan. aku hanya khawatir, pengetahuanku tentang jalan-jalan di Surabaya membuat rencana itu lewat. hujan mulai turun semakin kencang saat aku tiba dan memarkir motor depan rumah sakit. aku segera masuk dan memencet beberapa nomor di hapeku. aku sudah tidak bisa mengandalkan receptionist. orangnya hanya satu dan sedang menangani orang lain.

'tuuuttt.. tuuuuttt', suara itu mendominasi pendengaranku selama 10 menit dan tak ada jawaban. di ruang tengah itu, aku memutar mataku ke semua sudut yang memungkinkanku menemui kakakku dan kakak ipar berada.

'Mim', dari belakang tiba" suara itu muncul dan mendekat. aku dan Zainal juga mendekat. Itu suara Reza, kakakku. ada yang aneh. senyumnya sangat lebar dan raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan. dia menyingkirkan tanganku yang aku julurkan untuk bersalaman. dia menarik bahuku dan memelukku. lama dan masih dengan senyumnya, tampak dari hembusan nafasnya dan hampir tertawa.

'Alhamdulillah, ponakanmu perempuan. perempuan. perempuan', dia berbisik ke telingaku. dia melepaskan pelukannya dan bergantian melakukan hal yang sama pada Zainal.
'Alhamdulillah, di mana dia sekarang..?. sudah bisa ditemui..?',
'belum. kalian kehujanan..?',
'enggak. bagaimana dengan kakak ipar..? baik..? normal atau caesar..?',
'baik. oh iya, bentar, saya harus mengurus kamar inap untuk Nazril', suaranya terengah seperti sedang diburu kebahagiaan yang ingin menyerbu semua indera dan tiap organ raganya.
'oh OKe, saya temani. kau belum jawab, normal atau caesar..?',
'caesar, tapi semuanya baik" saja',
'ada siapa saja di sana..?',
'ada Ibu, Lilid dan Ibu Mertua. bentar ya', semua kalimat, dia ucapkan dengan penuh senyum dan tawa.

aku belum pernah memiliki anak. aku belum pernah tau bagaimana rasanya memiliki anak. tapi malam ini, kakakku memberi tauku hal itu. semuanya sangat jelas tampak dari wajahnya. aku tidak berhenti tersenyum melihat raut mukanya yang bahagia. aku seperti sedang terhipnotis, larut dalam kebahagian yang dia rasakan. ada gemuruh yang sedang berdengung di dadaku. seolah ingin muncul lewat mulut untuk aku teriakkan.

ternyata begitu. karena kesederhanaannya, bahagia bisa hadir dalam banyak bentuk. sama seperti saat aku diam" melihatmu. mata dan pandanganmu yang tajam dan meneduhkan. malam ini, bahagia itu datang dengan kehadiran satu lagi anggota keluarga ke sini, ke dunia yang harusnya damai ini. aku tidak bisa menyembunyikan bahagia itu saat kami masuk melewati lorong-lorong rumah sakit dan melihat bayi itu. kami dipisah kaca. bukan, aslinya, kami ada di luar ruangan tempat si bayi berada. sebagian keluarga kakak ipar juga datang, bercakap dan melihat si bayi dengan penuh rasa senang.

setelah semua obrolan dengan keluarga kakak ipar berakhir. diam" sambil berbisik aku bertanya padanya tentang nama bayinya.
'jangan bilang Kamu kaget dan hanya menyiapkan satu nama buat laki"',
'sudah ada. aku sudah punya nama. aku sudah siapkan dua nama sejak awal. hahahahaa..', lalu dia menggerakkan bibirnya, tanpa suara, menyebut satu nama. sepertinya nama ini masih dia rahasiakan, bahkan dari Mok Nap, bibiku, ibunya.

kebahagiaan itu juga yang membuat waktu terasa cepat. malam cepat berlalu dan semakin gelap. hujan yang turun lagi, sudah kembali reda. diantaranya, ada rasa kantuk yang tidak bisa aku bendung. ternyata sudah dini hari.

baru malam itu aku hadir saat kerabat atau temanku melahirkan. sesaat nanti, aku berharap juga bisa datang di momen serupa, momen saat istri Kak Aziz melahirkan anak keduanya..
Selengkapnya...

How You Remind Me..

Mati. Ternyata Kamu berencana pergi dan segera meninggalkan kota ini. Segera memperlebar jarak dan mentetapkan radius. Segera menjauh dan menghilang dari pandanganku. Padahal sekarang saja aku sudah kesulitan menemukanmu. Terakhir kali melihatmu dua hari lalu, saat pagi, berpapasan tanpa sengaja, tanpa senyummu yang diam" aku inginkan.

Keresahan ini sama saja seperti aku akan kehilangan kalimat pertama untuk menuliskan rinduku. Bagaimana jika keresahan ini melebar ke mana". Saat aku tidak bisa lagi sembunyi" menunggu senyummu merekah. Saat aku tidak bisa lagi mendengar suara tawamu, meski dari kejauhan, tapi tidak lebih dari 14meter. Dan aku masih berharap Kau akan melihatku dengan caramu dulu, yang tajam dan meneduhkan, suatu hari nanti, meski juga tanpa sengaja.

Dua hari ini, setelah aku tau Kau akan segera pergi dan meninggalkan kota ini, aku menyusuri jalanan Surabaya yang basah dengan keresahan. Aku membawanya jauh sampai ke bagian timur kota. Bahkan How You Remind Me milik Avril tak lagi sanggup menyudahi resah yang aku sembunyikan bersama rinai hujan setiap malam, saat aku menyebrangi Wonokitri Besar dan Ir Soekarno, bolak balik.

Lagu yang berhasil dinyanyikan dengan irama syahdu oleh Avril ini mengingatkanku, tentang sebuah episode yang pernah dan sudah terjadi. Sudah dan lambat laun hilang meninggalkan kita. Episode itu berupa pertanyaan yang terangkum dalam lima kata 'Are we having fun yet?'. Lima kata yang juga diulang lima kali dalam lagu ini. Lima kata yang merangkum banyak istilah setelah informasi itu datang, dalam lima huruf; resah, sendu, waktu dan tentu saja rindu. Tapi, aku hanya tau diri..
Selengkapnya...

Hampir Merutuk Hujan..

Aku hampir saja merutuk pada hujan, kalau saja dia turun tadi. Tadi, sebelum petang menjemput. Saat aku baru sadar kalau langit sudah sangat gelap di bagian barat, tengah dan selatan Surabaya. Karena aku belum shalat Ashar. Karena aku bajingan. Meninggalkan shalat tepat waktu dan memilih masuk beskop saat adzan Ashar hanya tinggal 10 menit lagi, tadi. Aku masuk beskop dan melihat Istirahatlah Kata-Kata.

Perubahan angin dan mendung itu sudah terasa sejak aku berangkat ke Tunjungan Plaza sore tadi. Aku berharap hujan turun saat aku sudah masuk TP dan reda saat aku keluar beskop. Hahahaha, harapan konyol yang dibuat-buat. Tapi jalanan masih kering sampai aku kembali ke parkiran dan membawa sepeda motor keluar dari TP. Aku ngebut dan merutuk pada hujan, kalau saja dia turun tadi.

Dingin yang hadir menunggangi mendung masih terasa saat aku sampai di Pakis, bahkan sampai aku menyelesaikan tulisan ini di kamar. Sepertinya hujan tidak akan datang sendirian malam ini. Seperti sepekan sebelumnya. Hujan mengajak petir, kilat, badai dan banjir setelahnya. Jalanan tidak lagi ramah dan kesehatan yang utuh tidak lagi didapat dengan mudah.

Samar, di balik pintu kamar, aku mendengar gluduk bersahutan. Semoga Kamu juga baik saja..
Selengkapnya...

Alasan Merindukanmu..

Aku menyukai senyummu, tapi bukan itu alasanku merindukanmu. Aku seringkali mengambil jarak buat melihat senyum itu. Beberapa meter bahkan hanya centimeter. Berapapun jaraknya, asal Kamu tidak melihatku, asal Kamu tidak mengetahui keberadaanku, aku akan diam” menikmati senyum itu. Tidak banyak kebetulan yang aku dapatkan saat senyum itu merekah, tapi memiliki satu masa saja sudah sangat aku syukuri. Hmmm, jangan bertanya bagaimana caraku menemukan senyum” itu. Aku juga tidak tau kapan dan di mana Kau akan tersenyum. Aku hanya tau kalau senyum” itu seringkali ada saat tidak ada aku. Tapi suatu saat, aku ingin jadi penyebab senyum”mu tersungging. Entah kapan. Karena aku menyukai senyummu, meski bukan itu alasanku merindukanmu.

Aku menyukai suara tawamu, tapi bukan itu alasanku merindukanmu. Tawamu kadang aneh, kadang aku juga melihatnya terpaksa. Aku merasa ada kekosongan dalam tawa itu. Tapi suaranya begitu khas. Suaramu. Tipis dan menggelegar. Seperti bercak rindu yang aku miliki untukmu. Keberadaannya tipis tapi bulat dan tebal, seperti tekadku mendekat ke arahmu agar mendengar suara tawa itu. Tidak ada keraguan dalam tawamu. Sama halnya dengan suara yang mengiringinya; lewat dengan keras. Tapi beda dengan senyum”mu, suara tawamu bisa aku prediksi. Sehingga banyak masa yang bisa aku siapkan untuk meluruskan pandanganku, membuka semua indra pendengaran dan samar” menyelinap diantara pipimu yang memerah. Aku selalu akan menyiapkan itu. Karena aku menyukai suara tawamu, meski bukan itu alasanku merindukanmu.

Aku menyukai caramu yang dulu melihatku, tapi bukan itu alasanku merindukanmu. Dulu, hanya dua cara Kau melihatku; tajam dan teduh. Seringkali pandangan kita beradu dalam ketimpangan, Kau memicingkan mata seolah ingin berkelahi dan aku memutar mata ke sekitar wajahmu. Sering juga Kau memandangiku dengan mata yang lebar dan senyum yang terselip diantaranya; meneduhkan. Saat itu, saat dua pandangan itu Kau munculkan, saat itu juga pandanganku bisa aku alihkan dari cangkir kopi yang aku pegang. Belakangan, aku berharap pandangan kita bertemu dalam kondisi itu. Karena aku menyukai caramu yang dulu melihatku, meski bukan itu alasanku merindukanmu.

Aku merindukanmu, karena aku menyukaimu. Tapi, aku tau diri..
Selengkapnya...

Episode Kesedihan..

Tidak mudah menjalani hidup setelah kehilangan. Menjaga irama langkah tetap teratur, memberikan jeda pada tiap tarikan nafas dan membiarkan mata tertutup saat malam. Semua tidak akan biasa setelahnya. Kehilangan sosok pasangan hidup, teman berbagi, teman hidup, teman segalanya dalam obrolan, teman yang selalu ada saat kerasnya hidup sesekali hinggap. Teman, yang juga juga jadi ladang pahala di dunia untuk bekal di akhirat. Kehilangan, akan selalu berarti kehilangan.

Senin pagi di pekan terakhir 2016, Mbak Restu muncul dari balik tangga ruang redaksi New Media. Sepertinya dia naik dengan susah payah. Tangan kirinya bertumpu kuat di kayu pegangan tangga. Dia memakai baju hijau terusan, dengan jilbab lebar panjang hitam. Dia baru saja kehilangan Mas Taufan, suaminya, sepuluh hari sebelumnya. Setelah semua kesedihan itu, dia memaksa masuk kerja dan beraktifitas lagi.

Kehilangan itu tambah terasa saat sapa pertamanya memenuhi ruangan New Media. 'Assalamu'alaikum', dia jatuhkan tas yang dia bawa ke sofa ruangan dan melanjutkan langkah kakinya ke arah meja kerjanya. Pelan. Sambil menyapaku, Dwi, Tito dan Bruriy secara bergantian. Wajahnya sendu, seolah lelah bersemayam dalam dirinya di beberapa masa. Dia duduk. Pelan. Membersihkan debu yang terlanjur mampir di mejanya setelah lama dia absen. Dia hidupkan komputer tanpa bicara sedikitpun. Aku masih di mejaku, tepat di samping kiri mejanya. Aku diam. Aku tak berani bicara. Aku hanya melihatnya dengan senyum, siap" jika dia melihat ke arahku.

Selanjutnya, episode kesedihan pagi itu bergeser pada ingatan yang tak bisa dia buang. Pada semua memory kehidupannya yang dia jalani berdua beberapa tahun belakangan. Isak tangisnya mulai menderu. Perlahan. Tanpa banyak bicara dia ambil tisu yang hanya tersisa beberapa lembar di atas mejanya. Dan kemudian habis. Semuanya dia pakai untuk mengusap air matanya. Aku merasa jadi pecundang pagi itu. Aku tak tau harus melakukan apa. Aku berharap dia memanggilku agar aku bisa mendekat dan menenangkannya, meskipun tak tau bagaimana caranya.

Dwi bergegas turun ke bawah. Lalu Dwi kembali menaiki tangga dengan seplastik tisu di tangannya. Dia ambil beberapa lembar untuk mengusap air mata Mbak Restu yang sudah deras menetes, turun diantara sembab matanya. Dua detik selanjutnya, ruangan ini sudah ramai dengan suara tangisnya. Kami mendekatinya secara refleks. Dwi berdiri tepat di sampingnya. Eddy di sebelah kanan. Sementara aku, terus berusaha mendengarkan keluh kesahnya. Mbak Restu meracau dengan suara yang parau. Aku tidak tau apa yang dia bicarakan. Bahkan aku tak mendengar dengan jelas permintaannya saat menunjuk jarinya padaku.

Semua larut dalam kesedihan ini. Aku ingin sekali memegang pundaknya, memenggam tangannya dan berharap memberi keteduhan. Memberi ekpresi wajah yang bisa menenangkan. Memeluknya lalu membiarkan dia menangis sejadi-jadinya. Kadang, seseorang hanya ingin didengarkan untuk mengurangi bebannya. Bukan untuk dinasehati pesan klise. Tapi aku hanyalah aku, seorang teman yang jauh dikenalnya setelah dia memilih Mas Taufan sebagai pasangan hidup. Dwi hanyalah Dwi dan semuanya hanyalah teman kantor. Sementara orang yang berusaha kami tenangkan, adalah perempuan yang baru saja kehilangan satu orang untuk segalanya dalam hidupnya.

Mbak Restu memutuskan pulang setelah sekitar dua puluh menit duduk di meja itu dan mencurahkan semua kesedihannya. Baru tiga tahun belakangan aku kenal Mbak Restu dan semua interaksi itu berada di kantor. Tapi aku merasa ada ikatan lain selain hubungan kerja. Mungkin juga karena kultur komunikasi yang dibangun Suara Surabaya. Kami semua merasa seperti saudara. Dan aku, kami, baru saja mengalami sedih yang mendalam karena kehilangan yang dialami Mbak Restu.
Selengkapnya...