Liburan..

1 Juni, 2015
‘Kriiiinggg kriiiinggg’, chat personal whatsapp dari androidku berbunyi. Sudah lama sekali tak mendengar bunyi ini. Sudah sejak saat itu. Saat yang memupus semua langkah dalam rentang dan memudarkan cahaya dalam remang. Jika bukan karena seorang teman yang memintanya, aplikasi ini selalu aku silent.
‘Bro’ ‘Ku di Security’, aku membacanya masih dengan setrika di tangan kanan dan kaos di tangan tetangga, maksudku tangan kiri. Aku langsung bergegas ambil charger baterai kamera dan memakai sandal dan keluar kos menuju kantor menemui Nugraha, teman yang mengirim chat barusan. Aku harus melewati pegunungan yang nanjak, persimpangan Pak Jo yang lalu lintasnya padat dan penuh dengan preman, lalu tibalah di kantor. Jauh banget perjalanan ini, sekitar 72 detik.
‘Ayok ke kosku Mas. Mau kopi atau coklat? Sudah saya siapkan’, aku langsung mencercanya dengan pertanyaan dan berharap segera menjawab agar dia bisa santai” sejenak di kosku menunggu pk. 22.00 WIB tiba.
‘Oh OKe Kid, ayok. Kopi aja’, jawabnya yang langsung meraih tas dan jaketnya siap untuk pergi ke kosku. Selang 2 detik, sebuah sepeda motor datang menghampiri tempat kami berada dan memotong percakapan maha serius kami.
‘Mas Kid, chargeeerrr’, suara seorang perempuan alay membuyarkan acara santai kami seketika. Ternyata Firaoriginal, maksudku Firaorish, setidaknya itu nama yang tertera di ig-nya, gak tau dah nama aslinya. Terpaksa kami hentikan langkah menuju kos dan menetap lebih lama di Security.
‘Nih’, aku menyodorkan charger yang aku pinjem setelah dia memarkir sepeda motor di samping Security. Akhirnya aku duduk lagi di kursi dari ubin yang ada di tempat ini. Kami bertiga berbincang sebentar, lalu aku menarik diri untuk kembali packing.
‘Kid, kopinya mana..?’, Nugraha mengingatkan. Oh iya lupa, aku kembali masuk ke kantor dan naik ke ruangan New Media untuk mengambil kopi Bali, oleh” dari Dodi pekan lalu. Dengan muka cengengesan, aku ambil kopi di slorokan meja ODP yang sedang ditempati Laras bekerja. Aku lupa kalau lagi pake celana pendek. Beruntung, malam itu tidak ada SPV, Manager atau tamu. Serampangan banget dah.
Sejurus kemudian, aku menuju pantry dan membuat 2 kopi buatku dan Nugraha serta racun buat Fira. Tapi aku urungkan karena dia Ketua Panitia piknik kali ini. Saat aku kembali ke Security, sudah ada Listy, Bumil alay yang juga Sekretaris, Bendahara, Sie. Konsumsi, Sie. Kemanan, Sie. Kebersihan, Sie. Keadilan Munajat, Sie. Labil Ekonomi, Sie. Pitung dan Sie. Buta Dari Goa Hantu. Pokoknya dia yang ngurus semua keperluan semua perjalanan ini dah, kecuali dorong mobil kalo mogok.
Aku kembali ke kamar untuk menyelesaikan packing. 21 menit kemudian aku kembali ke tempat Security SS, ternyata di sana sudah datang Adit dan Meta, Ayu serta Heru bojone Listy. Disusul bergantian Yosan dan Indah serta Marcus kemudian. Setelah bersabar sekitar setengah jam, dua mobil yang kami tunggu pun datang. Anak” tereak kesetanan kayak kesetanan. Lah, apaan sih. Mboh apaan.
Dalam hati, sebenernya aku kegirangan. Aku juga tadi sempat muntah, tanda kalau sangat antusias. Sudah lama sekali aku tidak melakukan perjalanan dalam rangka berlibur dengan banyak orang, atau tepatnya teman selingkungan. Maksudku, bener” belibur. Bukan berada di suatu tempat rame”, tertawa bareng, saling mengumbar lelucon tapi dalam suasana kerja. Kali ini benar” liburan, liburan yang sebenarnya. Aku, mereka dan semua orang di dua mobil ini benar” sedang hijrah, melakukan perjalanan untuk melepaskan semua hormon endorphin dan menularinya pada yang lain.
Mobil yang aku naiki adalah mobil sewa, berisi sopir dari tempat rental, Yosan di sampingnya, aku, Nugraha dan Fira di deret tengah serta sepasang sejoli Indah dan Marcus di kursi belakang. Sedangkan satunya, mobil milik Heru, yang berada di samping sopir, Listy dan Ayu di tengah dan Meta serta bonekanya di belakang. Oh sori, maksudku Adit, pacarnya, yang sudah mengabdikan dirinya di SS berabad-abad lalu.
Kami berangkat dengan nekat. Tempat liburan ini masih baru hits, tanpa ada yang tau di sekitar sini. Kami hanya tau dari cerita dan saran teman, lalu portal” berita yang mengulas banyak tempat” wisata di Jawa Timur dan Indonesia. Hampir semua motif kami sama, ingin liburan bersama dan menepikan penat yang muncul setiap hari dari kerja. Beberapa diantara kami biasanya melakukan hal tersebut tiap hari dengan nongkrong bersama teman di lingkungannya. Tapi rasanya beda dengan teman kerja. Kami memiliki persoalan di tempat dan lingkungan yang sama, di situasi yang hampir sama dan cuaca yang sama. Mungkin, pembungannya akan lebih baik hasilnya karena dilakukan dengan orang” yang sama. Dan perjalanan ini pun dimulai.
Setelah berkelana kota muter” agak jauh dari rute biasanya, akhirnya kami sampai di Suramadu, jembatan tol yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura. Pembicaraan di mobil kami didominasi Yosan, Nugraha dan aku. Pembicaraan gak jelas, hanya untuk mengusir kekakuan. Atau mungkin aku, karena duduk harus bersebelahan dengan perempuan. Sementara Indah, sudah nyenyak tidur dengan Marcus di belakang. Saat malam, jembatan ini jadi bangunan dengan cahaya paling megah yang aku temui di Surabaya. Ya terlepas dari kabar buruk saat pembangunnanya dan stigma negatif tentang pencurian yang memanfaatkan akses jembatan ini. Beberapa kali aku lewati jembatan ini saat Subuh atau dini hari bareng temen, dulu. Menurut kami, cahaya yang ditampilkan benar” bagus, dan menimbulkan kesan nyaman saat berada dalam lintasan melewatinya. Jika beruntung, Kau bisa lihat bulan yang ada di sisi kiri dari Surabaya. Apalagi jika bulannya sedang purnama, bulet dan terang. Refleksinya benar” bagus.
Lepas Suramadu, uji nyali sesungguhnya berada. Tengah malam dan kami berada di jalanan yang minim cahaya untuk mendekat ke pengkolan Tangkel, pengkolan ramai cahaya yang akan membuatmu memilih Bangkalan di simpang kiri atau Sampang-Pamekasan-Sumenep di simpang kanan sebagai destinasi. Apalagi, seperti yang aku bilang, di sepanjang jalan ini kerap jadi tempat perampokan. Jalannya lurus saja sebenarnya. Tapi kesan negatif muncul karena kurangnya cahaya, kanan kiri hanya cemara, maksudku rerumputan lahan kosong dan konstruk negative banyak orang tentang suku Madura. Hahahaa, itu hanya mitos. Aku suku asli Madura, dan aku lucu, imut, baik, murah senyum dan ketawa kalau digelitikin meski kadang nyebelin. OKe ralat, iya, sering nyebelin. Tapi ngangenin, nah loh.
Gak hanya di Suramadu, angin di sepanjang trek lurus ini juga kencang. Aku membuka jendela mobil sedikit. Aroma tanah yang khas. Katanya, tidak semua orang bisa mencium bau tanah khas Madura ini. Paling, ya yang orang Madura aja yang tau. Mungkin, karena banyak orang Madura adalah perantau. Saat pulang, kembali ke Madura, tanah itu tercium seperti wajah kekasih yang dirindukan. Tapi, sayangnya, aroma itu tidak bisa ditularkan. Hingga mobil ini belok ke kanan, aku juga tak bisa menjelaskan hal itu pada teman” yang bertanya. Aku hanya tatap membiarkan kaca terbuka sedikit dan menutupnya kembali setelah lama melintas ke arah Tanah Merah.
2 Juni 2015
Aku adalah manusia pellor; nempel, molor. Yoi, asal nempel atau bersandar di suatu tempat, aku bisa dengan mudah mengantuk dan tidur. Sial, kali ini tidak. Padahal saat berangkat aku juga mengantuk. Bahkan, tubuhku kadang tak peduli siapapun yang duduk di sampingku, perempuan sekalipun. Malah hal itu bisa jadi pemicu. Berada di satu tempat sama perempuan, seringkali menghindari obrolan dan memilih tidur. Itu namanya insting. Tapi malam ini, meski nafsu tidur sekalipun, aku tak bisa melakukannya. Sialan.
Hingga akhirnya sampai di Kalianget, melewati perjalanan cepat 3 jam sekalipun, aku tetap tak bisa tidur. Bergantian aku ngobrol dengan Nugraha, Fira dan Yosan. Sesekali kami ngajak ngobrol Mas Sopir yang ternyata satu almamater Fira di UNAIR. Sempat kami jodohkan, tapi karena ini masih tengah malam, kami tunda perjodohan mereka.
Perjalanan Surabaya-Sumenep kami sangat cepat; 3 jam. Ya tengah malem sih. Biasanya 4 jam, itupun sampai Prenduan. Nah ini sampai ujung Sumenep, kita tempuh hanya 3 jam saja. Sesampainya di Kalianget, kami parkir mobil di depan Indomaret, seberang masjid pelabuhan Kalianget. Beberapa kali kami dihampiri beberapa orang, mungkin calo travel, yang ingin membantu kami ke tempat wisata yang kami tuju. Karena diantara kami hanya aku yang bisa mengerti bahasa Madura, jadilah aku yang ngobrol dengan orang” ini. Sesekali aku menjauh dari teman” dan kembali mengkonfirmasi. Hingga akhirnya kami menemukan lelucon Sutija, Sukirman dan Supriman. Haddeehh..
Sekitar 45 menit menjelang Subuh, hampir 1,5 jam kami nongkrong, seorang pria dengan nama Budi datang menghampiri kami. Ternyata, ini adalah pemilik travel wisata yang kami pakai. Setelah sempat berbincang sebentar dengan Listy, Budi mengantar kami masuk ke pelabuhan Kalianget. Kedua mobil kami masuk ke kapal tongkang yang biasa dipakai untuk menyebrang ke Pulau Talango, sebuah pulau, sekaligus kecamatan di selatan Sumenep, yang ditempuh dengan hanya 7 menit saja. Finally, laut (lagi).
Aku keluar dari mobil, berencana menikmati angin malam perairan pendek yang memisahkan Talango dan Sumenep ini. Awalnya, kirain cuma aku, tapi ternyata semuanya pada keluar mobil. Termasuk Indah dan Marcus serta Adit dan Sopo Jarwo, maksudku Meta. Aku keluar ke tepi kapal. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada refleksi bulan purna di laut. Subuh itu, bulan terlihat besar dan kuning keemasan, hampir tenggelam dan menyentuh laut.
Sekilas, aku bertanya dalam diam. Kenapa senja lebih fanatik, jika malam memiliki cahaya dari banyak bintang dan bulan tunggal..? Apa karena gelap terlalu banyak menyimpulkan takut..? Membebani keberanian hingga tumpul..? Entahlah. Subuh itu, aku hanya berusaha mendengar percik ombak dari kejauhan, di samping Yosan dan Fira yang sedang bergantian berfoto dengan background bulan ini. Rasanya ingin menyendiri, membiarkan mereka tertawa, sama” mengungkap keheningan laut, seperti Ayu, Listy dan Heru yang naik ke bagian atas kapal. Kapal ini terlalu kecil dan penuh, tak ada tempat untuk sendiri.
‘Kid, sini aja’, Nugraha yang duduk di ruang kosong tepi kapal memanggil.
‘Oh, bisa didudukin ternyata’, aku menghampirinya dan duduk bersebrangan.
‘Nih’, Nugraha melempar kotak rokok padaku. ‘Hmm.. Enggak, Mas’, jawabku mengembalikan rokok itu padanya.
‘Kenapa..?’, Nugraha lansung bertanya dengan heran. ‘Tidak di depan perempuan’, aku menunjuk Indah dan Fira serta Ayu dan Listy yang baru turun dari bagian atas kapal. Lalu pandangan kami kembali pada pendar cahaya bulan yang seolah mengapung di laut. Beginikah indah bulan saat Subuh, di laut, yang selama ini Bapak ceritakan padaku. Beliau beberapa kali menggumam tentang bulan ini, apalagi saat purnama, padaku dan siapapun yang saat itu bersamanya di teras rumah. Tidak untuk didengarkan. Beliau hanya menggumam tanpa berharap ada yang serius membalasnya. Sekelabat. Hanya bercerita sambil lalu. Rasanya seperti bukti bahwa semua orang memiliki kisah dalam harinya yang ingin disampaikan, tapi tak tau ke mana harus bercerita.
‘Ayo masuk mobil’, suara Yosan membuyarkan masa” hening ini. Semuanya sekilas langsung masuk ke mobil, karena kapal sudah berlabuh di Talango. Kami turun dan memarkir mobil di tepi pelabuhan dekat dengan gapura selamat datang di Talango. Kami menunggu Budi, pemilik travel tadi dari pulau Kalianget. Budi masih menunggu pemakai jasa travel lainnya. Kami berbincang di bawah gapura. Sedianya, ada pasar sembako begitu masuk melintasi gapura. Tapi belum terlihat persiapan apa” di sana. Mungkin pasarnya pagi atau sore. Subuh itu hanya ada becak yang berjejer seolah menunggu calon penumpang dari pelabuhan. Kami hanya berdiri mengitari salah satu penyangga gapura dan ngobrol di atasnya.
Canda dan sesekali diselingi tawa yang keras memecah sunyi pelabuhan. Diam” aku melangkahkan kaki mundur, menjauh ke penyangga gapura satunya. Selain berurusan dengan perempuan, aku juga sangat menghindari keramaian. Jika ada kesempatan, aku seringkali menyendiri dari riuh derap dan bising suara. Sesekali aku lihat smartphone yang aku letakkan di jaket dan melihat info” yang seliweran. Aku taruh lagi, dan melihat laut dari jarak segini. Tak cukup bingar, hingga aku bisa mendengar obrolan teman” lainnya dan teriakan petugas pelabuhan.
Aku langkahkan kaki ke mobil saat adzan berkumandang dua menit kemudian. Aku ambil sarung, sedangkan teman” lainnya sudah berangkat duluan ke masjid tak jauh dari gapura. Pas, usai tunaikan shalat, Budi dan pemakai jasa travel satunya datang dari seberang dan siap mengantar kami ke kediamannya, mungkin. Di perjalanan, Fira tetiba mengeluarkan popcorn, enak sekali. Katanya sih, dia dapet saat liputan. Enak, rasanya gak umum. Satu bungkus lumayan besar itu digilir bergantian mampir di lidah Yosan, Nugraha, Fira, aku serta Indah dan Marcus. Sopir kami tawarin, tapi dia memilih Fira, maksudku memilih untuk fokus nyetir, kasarnya sih nolak.
Sepanjang perjalanan, kami hanya melihat pohon cemara di kiri dan kanan. Kampret, nyanyi lagi. Sepanjang perjalanan, lahan kosong yang sering kami jumpai. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya cukup jauh dan berjeda beberapa hektar lahan. Tapi jalannya lumayan bagus dan tampak terawat. Beberapa kali ada medan di Sumatera, maksud saya ada medan bebatuan, tapi pendek saja. Tidak cukup mengganggu acara ngunyah popcorn kami. Satu”nya hal yang mengganggu mungkin adalah, Yosan tetiba goyang duyung, dumang, dunia akhirat dan duh semacamnya dah. Yosan menggerak”an badan bagian bawahnya. Dia ngusek” ke kursi tempat dia duduk. Kami yang di deret tengah, langsung curiga kalau ini anak sedang sakit perut dan kebelet beol.
Sampai sekitar tujuh menit perjalanan, situasi di dalam mobil masih kondusif. Harum dan tak ada satu Kecoa pun terbang. Tapi semuanya berubah saat negara api menyerang, maksudku, saat Yosan membuat pengakuan. ‘Saya kebelet Rek. Mau ngentut ae yo opo..?’, langsung kami nyalakan korek, nurunin Yosan dan kami bakar dia hidup”. Tapi gak jadi. Kami hanya mencegahnya, mengecam, mengutuknya, memurtadkannya dan meruqyahnya. Gak jadi lagi. Kami pilih cari cara paling santun. Kami hanya memisuhinya dan memintanya untuk buka jendela mobil. Udah, gitu aja.
Selang beberapa menit, mobil kami pun sampai di tempat tujuan. Kami berhenti di depan dua rumah yang tak jauh dari bibir pantai Talango bagian belakang. Kami langsung turun, mempersiapkan diri untuk menyebrang ke destinasi wisata yang kami tuju. Satu per satu kami ambil tas di bagasi belakang dan menempatkan diri sesuai arahan Budi untuk ganti pakaian. Aku dan Nugraha berjalan di lorong kecil yang memisahkan kedua rumah, hingga akhirnya kami tepat berada di belakang rumah ini. Di belakang, ada halaman atau orang Madura biasa menyebutnya pekarangan luas. Ini adalah lingkungan tempat tinggal khas Madura. Sebuah pekarangan, dengan tiga sampai lima bangunan atau rumah mengitarinya. Biasanya, rumah atau gedung” tersebut milik keluarga sendiri dan ditempati saudara”nya. Kalau sudah punya pekarangan luas ini, berarti keluarga tersebut keluarga besar dengan beberapa keluarga kecil yang menempati masing” rumah.
Kami berdua menuju bangunan paling belakang, di sana ada kamar mandi dan ternyata kami sudah didahului 3 perempuan alay; Fira, Ayu dan Meta. Kami masuk setelah tiga perempuan tadi bergantian ganti baju. Lumayan lama, sekitar enam hari. Setelah itu kami semua berkumpul di rumah utama untuk mengambil peralatan yang dibutuhkan saat di lokasi wisata. Gilak ya, sampai di sini masih disembunyiin saja mau ke mana kami. Tetiba Yosan dan Fira ngajak selfie dulu. Yaahh, ini mah semua mau. Gua mah ngikut di belakang sebagai formalitas. Paling belakang, kalo bisa cuma bisa keliatan dikit aja. Setelah selfie berkali” dengan hape sangang juta Yosan, kami pun berangkat ke bibir pantai belakang rumah. Di sana kami sudah ditunggu seorang pria paruh baya yang duduk di atas perahu.
Satu per satu dari kami berjalan menuju perahu tersebut. Tas dan barang bawaan kami lainnya ditentang di atas kepala menghindari air laut. Yosan masih ketagihan foto”. Dari arah belakang, dia mengabadikan kami yang berjalan ke arah perahu dengan pemandangan laut luas di belakangnya. Jarak dari dasar laut yang kami pijak dengan perahu agak tinggi. Jadi saat kami naik, kami seolah memanjat. Ada yang mendaratkan lutut terlebih dahulu, ada juga yang langsung memanjatnya dengan telapak kaki duluan. Naaahhh, Adit. Ini tentang Adit. Hmm..Adit ini adalah makhluk bertulang belakang yang sangat sehat, untuk tidak mengatakan gembrot. Jadi kebayang kan gimana tu makhluk naik perahu. Sebenarnya, kami semua mau ketawa. Tapi kami simpan biar dia gak ngambek. Belum puas kami nahan tawa, eh si Fira malah lebih parah. Akhirnya, tawa kami mengembang perlahan. Ketawa biasa aja sih, pelan. Kalau yang ini kami gak berani. Perempuan soalnya. Matek dah kalau dingambekin. Akhirnya kami para laki naik duluan, buat membantu dengan menarik para perempuan ke perahu.
Perjalanan laut pun dimulai. Sampai sini, sebenarnya aku agak buta dengan kesiapan temen”ku. Siapa yang sakit, siapa yang mabok laut atau siapa yang lagi mens. Pas di perahu kecil ini, aku baru tau semuanya. Meta tiba” pusing. Kata Adit, dia emang mabok laut. Lalu Fira yang juga sedang tidak fit karena siklus bulanan. Beruntunglah, Adit, Listy dan Yosan bisa mengalihkan Meta dari pusingnya. Sementara Fira santae” aja.
Aku lihat jam tangan, jarum jam panjang masih mengarah ke angka 7. Jadi sinar matahari masih sehat kami nikmati, bagus buat kulit. Kami pun membuka baju. Ah tidak, gak jadi. Kami hanya membiarkan kulit yang tak tertutupi kaos atau baju, terkena matahari dengan langsung. Dari buritan, aku duduk paling ujung dengan tas dan bawaan yang sengaja ditempatkan di situ. Duduk di depanku sedikit, ada bapak paruh baya tadi, pemilik sekaligus yang mengemudikan perahu ini. Kemudian secara berurutan ada Nugraha, Fira, Yosan, Meta dan Adit, Ayu, Listy dan Heru serta Marcus. Di depannya lagi, ada rombongan lainnya. Sementara Indah, dia naik ke tiang yang terletak di haluan, buat motret. Ya motret pemandangan laut lepas ini, motret kami dan motret dirinya dengan bibir dimonyong”in.
Menurut bapak ini, perjalanan kami akan memakan waktu sekitar 50-60 menit. Kami menghemat waktu sekitar 120 menit dari rute dari Kalianget. Lumayan juga beda waktu tempuhnya. Kami pun melakukan aktifitas sekenanya. Aku, Yosan dan Nugraha menjulurkan kaki ke air laut dan merasakan deras hamparannya. Sementara Meta sudah mulai istirahat dan di sampingnya, Adit ngunyah semua isi plastik minimarket. Beeuuhhh. Listy dan Heru ngobrol layaknya sedang honeymoon, Fira merenung dengan tatapan kosong seakan bunuh diri. Ayu ngobrol bergantian dengan kami, Marcus juga beberapa kali ngobrol dengan Indah, lalu meringkuk istirahat.
Setelah sekitar 30 menit, aku melihat sebuah penampakan pulau dari kejauhan. Pulau kecil. Aku kira kami sudah sampai, tapi kata bapaknya, masih jauh. Pulau tersebut hanya keliatan, buka sudah dekat, apalagi sampai. Yup, kami menuju sebuah pulau yang belakangan sedang hits dan diperbincangkan di banyak media sosial; Gili Labak. Sebuah pulau yang masuk Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep. Pulaunya kecil, berjarak 3 jam dari Kalianget di arah selatan, atau 1 jam dari Talango. Saat itu juga, dari arah kanan, kami melihat samar” sebuah pulau, lebih besar dan lebar; Gili Genting. Tapi tujuan kami ke Gili Labak. Entah apa yang akan kami lakukan di sana. Tapi di tubuh kami sedang melekat peralatan snorkeling.
Pandangan Gili Labak semakin dekat, saat beberapa diantara kami berubah posisi. Fira dan Nugraha di tepi perahu maenan aer, Adit dan Meta merangsek agak ke tengah, Listy dan Indah ke depan sambil berdiri, meninggalkan Heru dan Marcus di tempatnya, Ayu balik badan ke depan dan Yosan, oh iya Yosan ke mana..? Oh iya dia mengubah posisi nungging. Hmm, maksudku agak ke tengah. Pandangan kami tertuju pada pulau di depan, Gili Labak. Aku buru” ambil tas kamera Fira dan mengeluarkannya. Sebenernya mau motret, tapi takut jelek. Aku berikan pada Fira, biar sekalian bagus. Sayang banget kalo hasilnya jelek. ‘Dugg..’, suara langkah kaki si bapak berlari ke arah mesin dan mematikannya. Kami kaget, sepertinya ada hal gawat.
‘Maap ya Dek. Ada tali, hampir kesangkut. Bisa” kelilit ke mesin dan mogok. Maap ya, lupa kalau jalur ini ada talinya. Maap ya..’, katanya pada kami seketika.
‘Kaget kami Pak. Gapapa Pak, gak usah minta maaf segitunya. Mari Pak kami bantu’, Yosan mendekati si bapak, mengusap keringat di kepalanya, mengecup lalu memeluknya. Oh, enggak ternyata. Yosan bilang gitu sambil duduk di tempat.
‘Gak usah Dek. Ini tinggal benerin arah dann..’, si bapak melakukan kuda” menyalakan mesin dan kembali jalan.
Dari tempat kami saat ini, kami melihat sekitar 2 kapal mendekati pulau dari sisi kanan. Sementara di pantainya, wisatawan bejibun dengan rompi orange, ber-snorkling. Kami tercengang. Kami menoleh bergantian, saling pandang. Serasa sudah tak sabar menginjak pasir putihnya, melintasi lembut percik ombaknya, mengayunkan tangan berenang ke tengah laut dan melihat banyak terumbu karang di bawahnya.
Sekilas aku mengingat masa kecilku. Dulu, saat masih SD. Dua kali ayah pernah mengajakku ke atas perahunya dan mengitari laut di belakang rumah kami. Sekali bersama sepupu”ku saat ada kegiatan Rokat Tase’, sekali hanya berdua untuk tes mesin. Sampai sekarang, aku tak pernah lagi punya kesempatan seperti se-asyik itu. Aku katakana pada Ayah ‘Pak, airnya jernih banget. Tiap hari Bapak liat pemandangan seperti ini..? Wah, bagus”,
‘Iya, Kamu suka..?’, tanya Ayah.
‘Iya Pak. Tapi gak bisa renang. Ajarin Pak’,
‘Buat apa..?’
‘Biar bisa jadi nelayan hebat seperti Bapak. Biar bisa lihat pemadangan seperti ini tiap hari. Biar bisa lihat ikan terbang itu tiap hari’, aku menunjuk gerombolan ikan terbang tepat di samping perahu kami.
‘Belajar lah sendiri. Mim, dengarkan baik”. Bapak tak melarangmu jadi apapun. Tapi Bapak punya keinginan lebih untukmu, untuk masa depanmu, untuk kehidupanmu nanti. Berada di sini panas, mataharinya terik dan sangat melelahkan. Kadang Kau harus pulang kecewa saat tak ada seekor ikan pun nyangkut di jalamu. Tapi melihatmu, Bapak cukup terhibur. Semua yang Bapak lakukan, untuk masa depan yang belum kita tau, untukmu. Menjadi nelayan bukan tidak baik. Tapi, Bapak berharap Kamu bisa lebih baik dari Bapak. Suatu saat nanti, level kita akan berbeda. Saat sama” jadi pria, Bapak berharap kita akan punya status beda, jalan beda dan pemikiran yang beda. Mungkin Kau dengan cita”mu, dan Bapak masih akan melihat pemandangan di sini. Hahahahaha. Maaf Mim, Bapak terlalu banyak bicara. Pasti Kamu belum ngerti’, Bapak melihat ke arahku. Mengernyitkan dahi dan bertanya. ‘Kamu mengerti..?’,
‘Ngerti kok Pak. Saya sudah tidak sabar ‘suatu saat nanti’ yang Bapak maksud’, kataku padanya.
‘Hmmm, sudah sore. Kita pulang ya. Lihat itu, senjanya bagus, kan?’, Bapak memutar kemudi dan haluan perahu. Kita pulang. Dan aku, ternyata kembali melihat pemandangan saat itu, di tempat berbeda dan bersama orang” berbeda.
***

Begitu mendekat pantai, beberapa diantara kami melompat dan langsung meninggalkan kapal. Aku, Nugraha dan Adit turun belakangan, membantu teman” lainnya turun. Sementara Yosan, Heru dan Marcus menyambut dari bawah. Wooohhhooooo.. Kami sudah sampai. Heemmmmmm, aroma ini. Aroma ini. Aroma ini. Hemmmmm. Emang aroma apaan sih. Mboh. Aromanya enak. Kami tak langsung jalan”. Kami masih cari tempat menaroh tas dan sedikit bersantai bergantian buang air kecil dan keperluan semacamnya. Satu hal yang sama, kami LAPAR.
Sejenak kami menggerakkan badan untuk pemanasan. Bapak Kapal menawari kami duduk dan istirahat di warung, pas di lokasi depan kapal berhenti. Kebetulan warung tempat kami singgah adalah warung milik istri Bapak Kapal. Listy, Firah dan Indah langsung mampir ke warung untuk memeriksa apa saja yang bisa kami pesan dan makan. Adit langsung tanpa diminta juga nunut mereka dan memesan makan. Dasar sapi. Kami hanya menunggu giliran dipanggil Listy untuk makanan atau cemilan yang bisa kami konsumsi. Tapi sebagian dari kami sudah punya keinginan menyentuh air laut yang membuncah. Tanpa komando, setelah mie dan semua makanan habis, kami berjalan bareng kayak geng motor yang cuma pake kolor.
Aku berjalan di paling pinggir, sengaja, ingin langsung merasakan tanah dan bibir pantai Gili Labak yang katanya lembut. Kami berjalan agak jauh, memutar. Pulau ini sudah penuh dengan wisatawan. Maklum, sekarang tanggal merah. Banyak orang dari lokal maupun non lokal Sumenep datang. Bahkan, bersama kami, ada Marcus. Dia jadi pusat perhatian banyak orang di sini. Kami sesekali ngisengin dia, tapi dianya terlalu sabar. Jadinya susah dibuat marah. Langkah kami berhenti tepat saat Listy dan Ayu meminta berhenti di tempat yang kosong, atau tepatnya agak kosong. Yep, kami menancapkan tombak yang mengartikan kalau tanah ini adalah teritorial kami. Siapapun yang masuk atau melintas, darahnya halal kami minum. Kebanyakan nonton Sparta.
Hahahahahaa, have fun banget dah hari ini. Aku bahkan sampe lupa kalau kameraku ketinggalan di mobil dan hanya kamera Firah yang dibawa nyebrang ke Gili Labak. Itupun kami tinggal di warung. Ngeekk.. Jadilah kami fakir foto dan hanya mengandalkan hape Indah. Kami sih tenang, soalnya Indah sudah siap banget kayaknya. Dia juga bawa pelindung air untuk hapenya. Jadi kami tinggal pose, dia motret. Paling yang gak tenang si Firah. Dia juru foto, meskipun kadang”, ujung”nya aku juga yang diminta roling buat jadi juru foto. Hadehhh.
Tapi pertama, Indah ketagihan motret under water, sedangkan Nugraha kecanduan under wear. Adit malah nyanyi underground sendirian sambil guling”. Ini apaan sih, apaan coba. Mboh. Indah ingin nyoba foto under water. Dan kampretnya, dia memilihku buat jadi model. Aku diminta nyelem, dan dia motret. Sialnya, selalu gak berhasil. Jadi, aku sudah 40 menit nyelem, keasinan, mata perih, mulut minum garem, bibir pecah”, kurap, panu, kutu air, pas mendongak, diteriakin dikasi kabar buruk: ‘Kid, yang tadi gak berhasil. Coba lagi ya’, gitu terus sampe Surabaya jadi kota hujan.
Setelah aku, gantian Nugraha, Yosan dan lainnya nyoba foto under water ini. Tapi gak ada yang berhasil, padahal kami sudah melakukan segala pose terbaik. Kampretnya, si Adit baru sekali nyoba, langsung bisa dipotret. Beeehhhhhh…ni bocah harus dibedil. Gajah Zimbabwe Lu dasar. Kami agak sinisin Adit. Kami bawa dia agak jauh dari keramaian, kami bakar dan tulangnya kami berikan ke anjing laut buat sesembahan.
Kami akhirnya beranjak dari titik pertama ini. Kami berjalan agak jauh lagi, memutari pulau berharap ada spot kosong. Sudah agak jauh, ternyata sama saja. Tidak ada yang bener” kosong, ada aja wisatawan di sini. Tapi mereka hanya lalu lalang, tidak menetap buat renang. Setelah berbincang sebentar, kami putuskan memilih titik ini. Kali ini tidak hanya ‘agak’, tapi beneran kosong. Mungkin di titik ini, sama sekali tidak ada pohon; panas binggo. Hal itu juga mungkin yang bikin gak didatengin wisatawan lainnya.
Setelah snorkeling dan foto” gak jelas, kami merasa sudah semakin dekat waktu Satpol PP memanggil. Maksud kami, siang sudah semakin terik. Panasnya udah ampun”an. Kulit terasa terbakar, tergoreng, teraniaya, terendam dalam lautan rindu. Ini apaan sih, apaan coba. Mboh kah. Dikatakan puas sih belum, tapi panas ini memaksa kami kembali ke warung. Selain itu juga, kami memiliki perasaan yang sama: rindu pada makanan. Lhaarrr.
Tidak seperti saat mencari spot pantai yang kosong, saat kembali ke warung, langkah kami benar” lebih cepat. Laper men. Sesampainya di sana, Listy langsung konfirmasi ke Ibu warung dan mengurus administrasinya. Ini warung apa BPJS sih..? Piring demi piring makanan mampir di tangan kami, kecuali Adit. Azab yang mampir ke arahnya. Tapi kami sudah menangkalnya dengan kekuatan bulan. Ciuukk, cerita ini semakin kabur. Maklum, yang nulis lagi risau berat.
Penyakit setelah makan tiba, ngantuk dan malas gerak. Aku dan Nugraha sempat tidur beberapa saat. Secangkir kopi yang aku dan dia minum setelah makan tadi gak cukup buat menjaga mata tetap terjaga. Kami masih disibukkan soal perut, Indah dan Marcus masih makan. Sementara lainnya kekenyangan dan memilih diam di tempat duduknya masing”. Sementara Listy dan Yosan lalu diikuti Indah, jalan” mengitari pulau kecil ini.
Setelah makanan di perut mulai turun, kami menaikkan perut Adit. Oh maap. Kami kembali ke kapal dan pulang menyebrangi perjalanan 1 jam. Agak berbeda saat berangkat, perjalanan kembali ini lebih panas. Kami memilih tidur”an di sini, di atas laut, di bawah terik matahari siang. Yosan, aku dan Nugaraha duduk bersebelahan di satu papan. Kami tidur saling sandar. Di depan kami duduk, ada Firah, Adit dan Meta serta Ayu. Mereka juga tidur”an. Capek lah. Indah-Marcus dan Listy-Heru ada di belakang kami. Saat aku toleh, posisi mereka malah lebih yahud dari posisi tidur kami. Asem. Orang yang paling gak tenang tidurnya, si Adit. Dari mau tidur, saat tidur sampai bangun tidur, kresek Indomaret terus yang diraba. Seett daahh..
Perjalanan yang menyenangkan. Atau mungkin hanya sugesti kami yang membuatnya seperti ini. Kami sudah terlalu lelah dengan rutinitas yang monoton, butuh hiburan, butuh suasana baru dan tempat baru untuk bercanda dan saat hal itu terwujud, semua terbayar dengan tawa yang mengembang.
Kami pulang sore itu juga usai mandi, shalat dan berkemas. Karena dalam kedaaan lelah, perjalanan pulang pun juga lebih santai dan tenang. Atau tidur.  Kami hanya bangun saat buang air kecil di SPBU entah di mana dan makan. Di mobil sampai Surabaya, kami hanya berpindah” posisi tidur saja. Kami semacam mengisi energy untuk hari kerja besok. Perjalanan ini juga semacam membuktikan pepatah Arab Kuno bahwa liburan adalah perpindahan dari kegiatan satu, ke kegiatan lainnya. Trims, Doloorr..
Selengkapnya...

Alasan Pulang..

Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki keinginan yang sungguh.
Aku menyebutnya dengan niat. Keinginan dengan kesungguhan yang kuat. Keinginan yang tak akan goyah hanya dengan godaan sesaat. Mungkin ini juga yang membuatku belum berhasil pulang. Aku tak memilikinya. Aku masih terjebak di persimpangan. Di sini, di tempatku duduk sekarang, saat aku pejamkan mata, aku melihat banyak jalan di depanku. Aku melihatnya seolah aku berdiri untuk memilihnya. Satu diantaranya. Ingin sekali menuntaskan semuanya, tapi tak mungkin secara bersamaan. Dan juga, tak mungkin cukup dengan tenaga pas"an. Sore ini juga, aku ingat apa yang selalu Ibu katakan padaku, 'Hadapi, Nak. Jangan Kau hindari. Jalani, jangan Kau lewati'.

Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki waktu yang cukup.
Kadang aku menyebutnya dengan apologi. Karena bisa saja kita luangkan waktu untuk pulang. Menepikan semua rutinitas tanpa ragu dan menemui yang Kau rindukan, di sana. Tapi kadang hal ini benar adanya. Kau butuh waktu kosong dalam praksis kegiatanmu. Hingga akhirnya Kau memilih, atau tepatnya menunggu semua rutinitasmu berakhir, lalu punya waktu untuk pulang. Seringkali aku berada dalam pusaran ini. Memilih dan menunggu pekan berakhir, baru bisa bertemu orang" yang aku pilih untuk mengadu temu.

Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki kesempatan yang tak bisa datang kedua kalinya.
Poin ini aku sebut sebagai keberuntungan. Seperti yang aku miliki pekan lalu. Pekan dengan semua kehebohan karena hajat yang mungkin, tak datang kedua kalinya. Karena kesempatan ini juga, aku pulang dan bertemu semua raga yang sudah lama aku rindukan. Hanya saja, ada konsekuensi yang harus dibayar. Waktu bertemunya, mungkin hanya sebentar. Beberapa puluh jam, atau hanya beberapa puluh menit. Tapi waktu yang sedikit itu, akan terasa sangat berharga. Seperti tidur nyenyak hanya dengan 14 menit di siang hari.
Malam itu, aku menemukan ibuku di tengah riuh gedung tempat Kakakku menikah. Aku menyebutnya dengan dilema. Aku berada di tempat yang tidak aku sukai, sekaligus situasi yang sangat membahagiakan. Jika ada yang sangat aku hindari di dunia ini, hal itu adalah; keramaian dan berurusan dengan perempuan. Tapi tidak untuk malam ini. Mungkin hanya untuk malam ini. Aku tak peduli keramaian ini dan semua perempuan yang nampak di pandanganku. Aku menyusuri sesaknya tempat karena dipenuhi orang" ini untuk bertemu ibu. Aku mendatangi beliau dan memindahkan semua kue serta minuman yang memenuhi kursi di sebelah beliau. Ibu kaget saat aku ambil tangannya, menciumnya dan memandangi semua kerut di wajahnya. Beliau masih cantik seperti biasa, dalam kesederhanaannya. Alhamdulillah.
'Nak, di nikahan Kakakmu, Kamu pake sepatu kets dan jeans..?! Ayo dong Mim', Ibu mulai ngomel. Seperti biasa, aku adalah sasaran omelan beliau dengan tingkah yang masih semau gue.
'Bu, ayolah. Jangan paksa saya', aku rangkulkan tangan ke belakang kursi tempat Ibu duduk. Ibu tau aku pasti keluarkan alasan yang tak bisa dimengerti olehnya. Ibu hanya tersenyum ke arahku. Ibu selalu tau, karena hal lain yang aku hindari adalah, memakai pantofel. Aku tidak memiliki pengalaman buruk dengan pantofel, aku hanya tidak suka dan merasa tidak nyaman dengan pantofel, kemeja, jas, sisiran dan semua hal yang rapi. Karenanya, malam itu, aku hanya kenakan batik sekenanya dan jeans, tentu dengan Converse kesayangan.

Tapi kadang, pulang tidak dimulai dengan sebuah alasan. Aku menyebutnya dengan intuisi.
Selengkapnya...