Strategi Emotional Appeal..

Kadang berada pada pijakan yang berbeda, membuat sebuah hubungan persahabatan sedikit bersitegang (dengan gaya bercanda..!). Adu argumen untuk menjagokan pijakan yang mereka pilih atau sebuah sindiran kerap kali terlontar dari masing-masing kubu. Bahkan debat kusir goblok layaknya Orang Awam, bisa jadi menu alternatif mereka untuk sekedar pembuktian kualitas. Seperti peristiwa yang aku alami kemarin sore dikampus dengan salah seorang sahabatku sehabis pulang kuliah.
Adalah sebuah stand diklat yang membuat kami melakukan hal bodoh ini hingga emosi kami (sedikit) terpancing. Sebelumnya, layak diketahui, kami adalah mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi dengan beda konsentrasi. Sahabatku yang memiliki minat terhadap konsentrasi Public Relations sedikit memberikan sindiran padaku yang sedari awal hanya memiliki satu tujuan menjadi seseorang dengan gelar mahasiswa; Jurnalistik. Kebetulan stand diklat tersebut adalah Stand Diklat Jurnalistik yang diadakan oleh sebuah jurusan di salah satu fakultas Universitas yang kami tempati.
“Diklat apa sich..? Dasar Jurnalis kere..!”, sindirnya ketika kami melewati stand tersebut bersama teman-teman lainnya.
“Haah..? Elu Humas kere..!”, dengan mudah sindirannya membuat aku terpancing untuk membalas, sehingga terjadilah perdebatan berbeda suku ini antara Jurnalis kere dan PR (piar,red) kere.
“Ini bukti bahwa PR itu kere. Mana pernah PR ngadain diklat..?!”.
“Ini juga bukti bahwa Jurnalistik gampang dipelajari. Hanya dengan kita mengikuti diklat yang 2-3 hari saja sudah bisa kita kuasai..!?”.
“Iya ya..?!”, salah seorang temenku tersentak dan seakan secara tidak sengaja menanggapi.
“Kalau PR nggak ngadain diklat atau semacamnya, artinya PR bisa dikuasai lebih mudah dari Jurnalistik donk. 2-3 jam misalnya..!”.
“Bener juga ya..?!”, tanggapan spontan temenku lagi.
“Bahkan Jurnalistik bisa dipelajari dimana saja. Banyak situs Jurnalistik yang ada internet. Dan kamu bisa temui, disana isinya orang-orang biasa dan luamayan kere-lah..!”.
“Justru itu sebuah bukti bahwa Jurnalistik populer dan bisa dipelajari dengan banyak media untuk diakses. Disitu kelebihannya Bung..!?”.
“Iya tuch..?!”, sekali lagi temenku ikut nimbrung.
“Pasti kamu tau kan bahwa dalam Jurnalistik ada yang namanya Civil..civil..mmm.. ya Civil Jurnalisme..”, sejenak berhenti.
“Civil Jurnalisme..? Citizen Jurnalisme kali..!!”, temenku membenarkan.
“Ya, maksudku Citizen Jurnalisme. Itu menandakan orang-orang biasa semacammu itu bisa mempelajarinya. Artinya Jurnalistik bisa dipelajari siapa saja kawan..!”.
“Mang napa..? Jurnalistik bisa dipelajari siapa saja tanpa membedakan status sosial Man (men,red). Bahkan untuk orang menyedihkan semacammu..!”.
“Aku pulang dulu ya..!”, salam perpisahan salah satu teman kami menghentikan perdebatan yang aku pikir lumayan lebih keren dari debat keroyokan yang diperagakan salah satu reality show di TV. Dan percakapan yang hangat dan akrab kembali mewarnai perjalanan pulang kami sampai akhirnya berpisah didepan gerbang kampus.

Sekilas, jika mengambil pernyataan dari Claude E. Shannon dan Warren Weaver yang memberikan 5 unsur pada berlangsungnya proses komunikasi, tujuan dari proses komunikasi antar personal yang terjadi diatas adalah sebuah pengakuan akan pijakan siapa diantara keduanya yang lebih keren. Artinya perdebatan keduanya hanya memberikan sebuah efek pada keyakinan keduanya akan pijakan masing-masing. Namun secara tersirat, keduanya memberikan sebuah pesan yang tersembunyi dan persuasif, yaitu tepatnya Emotional Appeal. Penyampaian pesan macam ini bertujuan untuk menggugah emosional khalayak. Khalayak..? Siapa..?
Tujuannya adalah teman-teman lainnya yang pulang bareng kami. Termasuk disitu adalah salah seorang temenku yang secara tidak sadar telah ikut mendengarkan perdebatan kami. Dan artinya komunikasi yang kami susun secara Emotional Appeal ini sedikit berhasil menggugah dirinya untuk berkomentar. Kebetulan teman kami yang satu ini lagi kebingungan memilih konsentrasi mana yang harus Ia pijak (He hee..).
So, secara tidak langsung tulisan ini juga merupakan bagian dari komunikasi yang kami susun secara Emotional Appeal tadi. Ya moga aja Ia membaca dan memberikan respon yang aku (bukan kami lagi dunk..!?) harapkan.......
Selengkapnya...

Keabstrakan budaya Indonesia..

Kemarin malam, malam Jum’at (nggak pake Kliwon..!), aku terdampar pada sebuah kebingungan antara menghadiri acara diskusi bersama kawan-kawan organisasiku yang sudah aku jadwal, menemui temanku yang tadi siang sempat menghubungi aku namun tidak aku angkat karena lagi kkuliah atau pergi ketempat seniorku (yang agak sibuk dan kebetulan malam itu Dia lagi nganggur..) untuk meminta bantuan mendiskusikan materi yang aku tidak mengerti. Belum habis kebingunganku, kamarku kedatangan tamu yang sedikit juga butuh tempat curhat. Waduhh..!
Namun saat itu juga, dua sahabat sekaligus anggota organisasi yang kami bernaung (kepanasan kali..) didalamnya datang menjemput aku untuk ikut hadir dalam acara diskusi. Fiuuhh..! Saat ini aku harus menentukan win-win solution (makanan apaan itu..?) yang pas untuk aku ambil.
Dengan banyak pertimbangan sana-sini, akhirnya aku memutuskan untuk ikut menghadiri diskusi bersama teman-temanku.
Sekitar lima belas menit kedatangan kami di markas, diskusipun dimulai. Dengan kondisi diskusi yang berantakan karena tidak adanya pemateri dan moderator yang sebelumnya ditunjuk, diskusipun dimulai dengan tema dan pemateri dadakan. Malam itu tema yang kami angkat adalah “Kebudayaan” yang diusulkan salah seorang kawan untuk lebih dispesifikkan lagi menjadi “Peranan Pemuda dalam Mempertahankan Budaya Indonesia”.
Diskusipun dimulai..

Diskusi dibuka dengan sebuah pertanyaan yang sangat dasar namun sangat intim. Telah disampaikan sebelumnya bahwa budaya kita tengah tercampur dan terasuki oleh budaya-budaya barat. Maka “Sebelum kita membahas lebih jauh tentang campur tangan dunia barat akan kebudayan kita, ada satu hal yang harus terlebih dahulu kita jawab..! Kebudayaan orisinil negeri ini yang mana..? Seperti apa..? Dan apa..?”. Aku pikir pertanyaan ini (lumayan) mengejutkan dan (lumayan) penting sebelum kita membahas lebih lanjut tentang kebudayaan kere Indonesia.
Seperti mendapatkan tamparan yang perih, pertanyaan ini menghantam dan memicu pikiran kami. Berbagai kesimpulan dan jawaban dilontarkan. “Rasanya budaya Indonesia tidaka kita ketahui secara pengetahuan dan cenderung abstrak. Dalam buku yang berjudul Lifestyle Ectasy, budaya Indonesia sudah bersinggungan sejak lama. Diceritakan bahwa budaya Indonesia telah terintervensi oleh budaya negeri lain yang jauh sebelumnya telah berkembang dan juga telah memberikan pengaruh budaya pada peradaban nageri-negeri lain yaitu, India.
Ironisnya, pribumi kita masih belum sadar dari mana budaya (Indonesia) ini ada..? Justru dengan menghilangnya tingkat kesadaran ini, Indonesia juga telah sukses memberikan pemahaman pada kita bahwa budayanya kini telah berbaur dengan kepentingan-kepentingan lain. Sehingga banyak kalangan menilai bahwa ‘ya..inilah budaya kita’. Budaya yang mana..?
Dalam diskusi ini, sebelumnya kami juga menyepakati bahwa budaya Indonesia berbeda dengan budaya daerah. Artinya budaya Indonesia adalah budaya bangsa secara general dan memiliki ciri akan kebangsaannya. Sedangkan budaya daerah merupakan budaya yang ada pada tiap wilayah Indonesia dengan khas yang dimiliki hanya oleh budaya wilayah itu sendiri.
Dilanjutkan dalam diskusi dengan pencahayaan yang sedikit merusak mata tersebut yang menyadarkan kita bahwa kecenderungan yang selama ini terjadi yaitu adanya sikap apatisme kita terhadap budaya yang kita miliki sendiri. Dan kami rasa, sikap seperti ini juga yang merupakan salah satu faktor terkikisnya budaya Indonesia. Budaya yang sampai saat ini masih banyak peminat serta penikmatnya dan mendatangkan simpatisan akan peristiwa terkikisnya budaya ini dari segala penjuru dunia.
Oleh karenanya “Aku sepakat akan pemikiran semacam itu dan aku tambahkan juga faktor yang pada dasarnya memberikan dampak pada keabstrakan budaya kita yaitu pemerintah dan media massa”. Intervensi keduanya tidak hanya berhenti pada zaman Orde Baru saja. Namun, hingga saat ini keduanya tampak telah memberikan efek yang jika dipresentasekan hampir mencapai 92%. Pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya, mengatur serta (sedikit) memberikan perintah pada media yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap ‘alur budaya’ yang diinginkannya.
Karena “Sebenarnya budaya Indonesia ini merupakan sebuah jendela yang seharusnya kita sangat bangga ketika membukanya.” Namun kemudian muncul budaya-budaya asing yang menawarkan akan ‘keberagaman’ budaya. Setelah sekian lama budaya-budaya asing itu sukses masuk tanpa filter, budaya Indonesia menggugat, mencuat dengan keras dan sangat frontal dan menghancurkan dikit demi sedikit image pemuda bangsa ini. Hingga muncul pembelaan diri bahwa bangsa kita adalah bangsa flexible akan budaya asing lain yang masuk kedalam kebudayaan kita. Lho kok..?!?
Lalu muncul pertanyaan ”Jika demikian, apakah kita akan antipati terhadap setiap budaya asing yang masuk..?”. Jelas hal itu menuntut kita untuk memiliki sikap dan filter yang jelas untuk budaya asing yang masuk. Dan hal semacam itu telah dibuktikan oleh kebudayaan Bali yang masih eksis ditengah keadaan yang sepertinya tidak memungkinkan kebudayaannya bertahan.
Diskusi ini alkhirnya diakhiri dengan solusi menggantung yang harus dijawab masing-masing solusi. Melalui tulisan ini juga, aku berharap akan tercipta banyak solusi dengan meneruskan diskusi. “Peranan apa yang harus kita miliki dalam mempertahankan budaya Indonesia..?”.

(diskusi bebas ForBas, 19 Maret 2009, 20.00-21.45 WIB)
Selengkapnya...

Plagiarisme: Penyakit Akademik Indonesia

Sebelum ini, mungkin kita diijinkan atau bahkan didorong untuk menggunakan karya orang lain tanpa memberikan pengakuan terhadap karya orang itu. Namun, dalam kebudayaan akademik, ada tradisi untuk menghormati hak pemilikan terhadap gagasan; yaitu bahwa gagasan dianggap sebagai properti intelektual. Karena itu, memberikan pengakuan terhadap gagasan orang lain yang diambil sebagai rujukan oleh mahasiswa adalah sangat penting. Sering kali kita menggunakan kata-kata dari penulis lain, oleh karenanya kita harus menghargai penulis itu dengan cara menyebutkan karya yang perkataannya sudah diambil (baik dengan teknik pengutipan formal maupun informal). Bahkan, setiap kali kita menggunakan hanya ide dari penulis lain, atau melakukan parafrase terhadap gagasan penulis lain, kita harus menghargai penulis tersebut. Jika tidak, maka kita dapat dikatakan telah melakukan kejahatan akademik yang serius yang selama ini kampus kita menyebutnya dengan ’kejahatan intelektual’ yaitu plagiarisme. Plagiarisme atau yang sering kita dengar dengan plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.
Plagiariasme dan berbagai bentuk kecurangan akademik lainnya dilarang di banyak institusi karena alasan sederhana bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan tidak boleh dirusak, dan bagi banyak ilmuwan kebenaran inilah yang membuat seluruh pekerjaan ilmuwan menjadi berharga.
Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hampir setiap hari kita menyaksikan plagiarisme, plagiat dan plagiator, baik yang sengaja maupun yang tidak. Para ‘pakar’ dalam berbagai bidang tidak jarang melontarkan pendapat yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain sebelumnya untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang tertentu. Pada umumnya mereka ‘malas’ menjelaskan bahwa analisis atau pendapat itu berasal dari orang lain dan mereka hanya sekedar mengulangi atau meminjam pendapat tersebut. Demikian juga seorang pejabat yang membuka suatu pertemuan ilmiah, bisa mengambil secara tak sengaja pendapat orang lain. Hal itu dapat terjadi, misalnya, apabila konsep sambutan tersebut dibuat oleh orang lain (staf yang dia tunjuk untuk itu), yang barangkali kurang paham akan tatakrama pengutipan pendapat orang lain. Dalam keseharian para peneliti di lingkungannya, plagiarisme bisa terjadi di antara sesama mereka, misalnya melalui diskusi yang bisa melahirkan gagasan-gagasan asli dari seseorang tetapi gagasan-gagasan itu kemudian menjadi ‘milik bersama’ atau milik seseorang yang sebenarnya tidak berhak.
Nah, ironisnya mahasiswa sendiri sebagai civitas akademika, sering terlibat dengan perbuatan ‘kurang baik’ ini. Bahkan, institusi kita pernah ‘diasingkan’ oleh media karena perbuatan tidak terpuji tersebut selama kurang lebih dua tahun karena seorang mahasiswa kita menjiplak salah satu karya orang lain dan mempublikasikannya sebagai karyanya. Dan itu sudah cukup memberikan kita suatu pendangan bahwa dalam dunia pendidikan sangat membenci pelaku plagiarisme.
Sayangnya masih banyak mahasiswa kita yang belum tahu dan terkadang bersikap acuh tak acuh terhadap persoalan ini. Persoalan yang sampai saat ini masih banyak diperbincangkan dalam cakupan yang lebih luas. Persoalan yang sudah menimbulkan banyak polemik antara Negara kita dengan Negara lainnya. Terlebih, persoalan ini sudah mempermalukan UMM dikalangan media cetak dan mencemarkan nama baik institusi. Atau masih adakah alasan untuk kita tidak mengerti tentang plagiarisme ini? Karena alasan itulah pembahasan ini diadakan.
Plagiarisme di Indonesia
Plagiarisme ternyata sudah bermula ketika negeri ini dalam masa penemuan jati diri, tepatnya ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan Wage Rudolf Supratman, ternyata merupakan karya jiplakan (contekan). Tudingan tersebut datang dari budayawan dan seniman senior Indonesia bernama Remy Sylado saat menjelaskan hasil Festival Film Indonesia (FFI) 2006 yang kontroversial di Jakarta 4 Januari 2007. Menurut Remy yang bernama asli Yapi Tambayong ini, lagu Indonesia Raya merupakan jiplakan dari sebuah lagu yang diciptakan tahun 1600-an berjudul Leka Leka Pinda Pinda. Bahakan Remy juga mengungkapkan selain Indonesia Raya, lagu kebangsaan lainnya, Ibu Pertiwi juga merupakan karya jiplakan dari sebuah lagu rohani Kristen (lagu gereja) bertajuk "What A Friend We Have In Jesus”.
Yang sangat mengejutkan adalah Pancasila, yang diakui Bung Karno sebagai hasil karyanya dengan memerah nilai-nilai yang hidup di Nusantara, ternyata juga hasil jiplakan dari asas Zionisme dan asas Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Karya contekan lain yang diakui Bung Karno sebagai karya otentiknya adalah teks Proklamasi yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagaimana bisa dilihat, dokumen sejarah asli teks Proklamasi berupa tulisan tangan Bung Karno, terlihat banyak coretan. Karena sesungguhnya naskah itu merupakan jiplakan dari naskah proklamasi Negara Islam yang dibuat SM Kertosoewirjo. Satu hal lagi, lambang Negara RI bendera merah putih merupakan adaptasi dari Belanda, Negara yang menjajah kita kurang lebih selama 350 tahun.
Analisa Teori Difusionisme
Sebelumnya, mari kita menjelajahi dari awal tentang teori difusionalisme. Gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan ketika cara berpikir mengenai evolusi kebudayaan berkuasa, para sarjana menguraikan gejala persamaan itu disebabkan karena tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan diberbagai tempat dimuka bumi. Sebaliknya ada juga uraian-uraian lain yang mulai tampak dikalangan Ilmu Antropologi, terutama waktu cara berpikir mengenai evolusi kebudayaan mulai kehilangan pengaruh, yaitu kira-kira pada akhir abad ke-19 (Hendra : 2002). Dari situ kita tahu bahwa gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan diberbagai tempat didunia disebabkan karena persebaran atau difusi unsur- unsur itu ketempat tadi.
Sejarah persebaran unsur-unsur kebudayaan manusia anggapan dasar para sarjana tadi dapat diringkas sebagai berikut: Kebudayaan manusia itu pada pangkalnya satu, dan disatu tempat yang tertentu, yaitu pada waktu mahluk manusia baru saja muncul didunia ini. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecah kedalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan lingkuangn dan waktu. Dalam proses memecah itu bangsa-bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan baru tadi tidak tetap tinggal terpisah. Sepanjang masa, dimuka bumi ini senantiasa terjadi gerak perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan serta pengaruh mempengaruhi. Tugas terpenting ilmu etnologi menurut para sarjana tadi ialah antara lain untuk mencari kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa itu, proses pengaruh-mempengaruhi, serta persebaran kebudayaan manusia dalam jangka waktu beratus- ratus ribu tahun yang lalu mulai saat terjadinya manusai hingga sekarang (Panji : 2008).
Dalam teori ini ada dua aliran utama, yaitu aliran Inggris dan aliran Jerman dan Australia. Orang-orang Inggris yang beraliran difusi seperti G. Elliot Smith, William J. Perry dan W.H.R. Rivers beranggapan bahwa pada hakikatnya manusia tidak cenderung menciptakan hal-hal baru dan lebih suka meminjam saja penemuan-penemuan dari kebudayaan orang lain daripada mencipta unsur budaya sendiri (Ihromi 1999 : 58).
Kaitannya dengan plagiarisme bahwa masyarakat yang dalam hal ini adalah mahasiswa sebagai objek cenderung melakukan meniru atau bahkan menjiplak karya orang lain yang sudah ada.
Penyebab Plagiarisme
Dalam aktivitasnya sebagai civitas akedimika yang terkait dengan institusi, mahasiswa memiliki banyak aturan yang harus dipenuhi, salah satunya peraturan dengan dosen. Ketika diawal kita telah diberitahukan bahwasanya perjanjian dengan dosen tidak bisa diganggu. Dan dalam perjanjian tersebut disebutkannya tugas yang memiliki presentase lumayan bagus untuk memperoleh IPK tinggi. Disini bisa kita golongkan bahwa salah satu penyebab utama plagiarisme selain malas adalah keterbatasan pengetahuan mengenai seberapa banyak batas kutipan yang diperbolehkan.
Ketika keadaan itu terjadi, sepertinya meniru atau bahkan menjiplak menjadi alternatif yang sangat efektif. Selain itu penyebab implisit dari pelaku plagiarisme adalah sikap mental mereka yang ingin memperoleh sesuatu dengan mudah dan tidak biasa menghargai karya orang lain.
Cara Menghindari Plagiarisme
Lembaga pendidikan atau institusi kemungkinan memberikan panduan untuk membantu pelajar yang dalam hal ini adalah mahasiswa menghindari plagiarisme dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Untuk tugas akademik tertentu, seperti skripsi, tesis atau disertasi, mahasiswa biasanya diharuskan membuat pernyataan secara formal bahwa karya tulis yang dikumpulkannya adalah murni hasil karyanya sendiri dan bukan hasil plagiarisme. Ini adalah salah satu instrumen yang bisa dipergunakan untuk mencegah terjadinya tindakan plagiat.
Namun, ada pengetahuan atau teknik-teknik tertentu yang dapat dikuasai mahasiswa agar terhindar dari tuduhan melakukan plagiarisme. Pengetahuan atau teknik ini antara lain berkaitan dengan tata cara mengutip dan melakukan parafrase. Pengetahuan dan teknik lain yang harus dikuasai mahasiswa seperti referensi di bahas dalam bagian lain buku ini.
Pesan paling penting dalam bagian ini adalah bahwa memberikan pengakuan kepada sumber yang dikutip dan kemampuan untuk mengutip secara akurat sumber tersebut adalah sangat penting.
a. Mengutip (cantumkan sumbernya dengan benar) dan
b. Melakukan parafrase.
Ada bahasan khusus mengenai tata cara mengutip dan melakukan parafrase ini.
Penutup
Saat ini ketika kita dihadapkan kenyataan bahwa plagiarisme sudah merambah budaya para kaum civitas akedemika yang merupakan salah satu agent of change, tiada lagi yang bisa diharapkan. Oleh karenanya, kesadaran yang tinggi bahwa budaya jelek ini harus dihentikan adalah salah satu cara kita untuk meningkatkan kualitas karya bangsa.
Lebih banyak lagi yang ingin disampaikan penulis, namun keterbatasan waktu serta pengetahuan menjadi alasan artikel ini disudahi sampai disini. Akhirnya tiada gading yang tak retak, masukan dan kritikan yang membangun diharapkan penulis dari pembaca agar bahan bacaan ini lebih baik.




Daftar Pustaka
Ihromi T.O., Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta, PT Gramedia : 1999.
Koenjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta, PT Rineka Cipta : 1996.
Thalib, Muhammad, Doktrin Zionisme dan Idiologi Pancasila: menguak tabir pemikiran politik founding fathers Republik Indonesia, Jogajakarta, Windah Press : 1999.
http//www.wikipedia.com/D:\DOCUMENT\Kid Nitip\Doc\20 Desember '08\Plagiarisme.htm Selengkapnya...

Bingkisan Pesta Politik 2009..

Tahun 2008 telah lewat. Kurang lebih, sudah tiga bulan kita berada di tahun 2009. Tahun dengan agresifitas masyarakat akan politik. Tahun dengan animo politisi yang sangat gencar. Di tahun ini juga Negara kita melakukan Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilu demokratis ini yang kedua kalinya terjadi di bumi Indonesia yang saat ini menjadi agenda utama media-media baik cetak maupun elektronik. Beberapa stasiun televisi berlomba-lomba menghadirkan informasi sebanyak dan seaktual mungkin. Mulai dari acara talk show, debat kandidat, dialog, atau polling sms.
Fenomena ini merupakan gambaran dari peran penting media dalam suatu pemilihan umum (election) seperti dikemukakan oleh Oskamp & Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu.
Media yang dalam hal ini adalah televisi sudah sangat gencar mengiklankan partai-partai politik ke masyarakat luas. Dimulai oleh gebrakan Prabowo S. dengan partai Gerindra, dilanjutkan dengan partai sang Presiden Demokrat, kemudian iklan politik paling kontroversial atas nama PKS dan sekarang makin banyak partai yang mengeluarkan tajinya dengan kampanye di televisi.
Banyak anggapan dari kalangan politisi bahwa media massa adalah jalan yang paling efektif untuk dan dalam menyampaikan kampanye. Lebih dikhususkan lagi adalah media elektronik Televisi. Dalam suatu kesempatan, Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Ganjar Pranowo mengungkapkan bahwa media massa bisa mengangkat dan menjatuhkan dan dapat diakatakan bahwa media massa seperti melakukan silent revolution. Menurutnya lagi terkait dengan iklan parpol di televisi ada parpol baru yang tiba-tiba sangat besar hasil surveynya karena mengkapitalisasi media. Mungkin argumen itu ditujukan pada partai Gerindra yang begitu gencar berkampanye melalui televisi sejak awal.
Kaitannya dengan teori politik yang penulis anut dikatakan dalam teorinya, William Robson menyebutkan bahwa politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Jelas ini adalah salah satu tujuan dari partai politik yang dalam hal ini lebih tertuju pada perebutan kekuasaan.
Mari kemudian kita bahas lebih lanjut tentang peranannya dalam perkembangan politik yang saat ini tengah disibukkan dengan Pemilu 2009. Disini penulis akan menjelaskan tentang relevansi media serta teorinya dalam komunikasi massa: jarum hipodermik.
Akhir-akhir ini kita banyak melihat spanduk-spanduk dengan slogan-slogan yang sarat kepentingan. Baliho besar dengan gambar seorang tokoh politik tersebar dimana-mana. Berserakan dan cenderung berantakan. Hal ini tidak ada kaitannya dengan produk sabun atau kecap yang memakai jasa mereka. Tidak ada hubungannya juga dengan perempat final Liga Champions Eropa yang telah usai dan hanya memberikan mimpi buruk bagi tim-tim Italia. Tapi fenomena ini merupakan suatu persuasi para politisi menghadapi Pemilu 2009.
Ya, bahkan kini kita telah banyak menjumpainya di media elektronik yang paling banyak kita konsumsi, televisi. Pada jam-jam tertentu, iklan semacam itu bermunculan silih berganti. Ini tidak hanya dilakukan oleh politikus yang akan bertarung dalam pemilu. Yang belum mencalonkan pun memasang iklan. Bahkan, mungkin paling banyak.
Di dalam iklan televisi, mereka muncul dengan wajah yang ramah dan kata-kata manis. Mereka mengenakan pakaian rapi lengkap dengan peci. Tampaknya mereka ingin dipersepsi sebagai orang yang bijak, religius, dan berakhlak mulia. Mereka umumnya juga menegaskan diri sebagai tokoh patriotis, ahli menangani masalah, dan yang paling penting, peduli kepada rakyat miskin. Kepedulian itu, misalnya, mereka perlihatkan dengan mengajak rakyat ikut memberantas kemiskinan. Bahkan adapula yang mencontohkan untuk mendukung program pembelian produk Indonesia dengan membelinya di pasar tradisional.
Iklan semacam ini hanya akan membuat masyarakat mensejajarkannya dengan iklan produk biasa. Dengan bahasa lain, iklan politik itu sejajar dengan iklan kecap yang selalu mengklaim nomor satu. Iklan politik dan iklan kecap sama-sama sedang memasarkan produk agar dikenal dan kemudian dijadikan pilihan. Sebagian pengamat tidak yakin iklan politik seperti yang banyak beredar itu akan memengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu. Namun, dari sudut politikus, iklan semacam ini penting untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat lengkap dengan citra yang dibentuknya. Karena itu, mereka tidak ragu mengeluarkan uang berjumlah besar.
Kita sudah banyak mendengar dan cukup sering menjumpai slogan “Ombak Besar pun Dia Berani” atau “Hidup adalah Perbuatan” di mana-mana. Dan hal ini akan kita jumpai sampai bulan mendatang tepatnya 5 April 2009, sampai masa kampanye habis.
Dalam komunikasi politik, media dan aktor politik adalah suatu hubungan yang mutualisme. Dimana dalam hal ini kedua belah pihak sama-sama menerima keuntungan. Di masa pemilu ini, media diuntungkan dengan adanya pemasangan iklan politik yang tentunya mempunyai tarif yang tidak sedikit. Apalagi dengan munculnya iklan politik yang mempunyai waktu durasi penayangan yang cukup lama dan ditayangkan pada jam prime time yang tentunya memiliki tarif yang sangat istimewa.
Oleh karenanya, untuk mendanai proyek pencitraan pada iklan televisi, seorang politikus bisa mengeluarkan uang miliaran rupiah. Makin kurang terkenal di mata publik, makin besar uang yang harus dikeluarkan.
Secara bahasa komunikasi massa adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik).
Jika kaitannya dengan politik pada Pemilu 2009 ini, ada satu definisi yang sangat tepat tentang komunkasi massa: Komunikasi massa adalah suatu proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara (DeFleur dan Denis, 1985).
Pentingnya peran media sebagai sarana komunikasi politik yang efektif kini kian terlihat. Kita sebagai khalayak tentu menjadi mengerti dengan sendirinya bahwa dunia politik saat ini sangat membutuhkan dukungan dari media. Karena dengan adanya media, dapat mempermudah para aktor politik untuk menyampaikan pesan pada khalayak yang lebih luas dan dengan cara yang lebih mudah dari pada harus mendatangi langsung ke daerah-daerah. Selain itu, kampanye lewat media dianggap penting karena masyarakat kita saat ini lebih sering atau aktif untuk mengkonsumsi media, sehingga opini dalam masyarakat dapat dengan mudah untuk dibentuk dan dipengaruhi. Hal ini sesuai dengan Hypodermic Needle Theory yang artinya, pesan yang disampaikan oleh media akan langsung mengenai sasarannya yakni para khalayak. Sehingga kita tidak dapat menghindar dari terpaan doktrin yang dilakukan oleh media. Teori ini menganggap bahwa kita sebagai khalayak dapat dengan mudah dipengaruhi dan dibentuk sesuai dengan apa yang diingkan oleh media tersebut (Nurudin,2007 : 165).
Dalam teori komunikasi massa jarum hipodermik, pesan dalam sebuah iklan yang dikirim atau ditonton oleh pemirsa akan langsung mengenai sasaran seperti sebuah peluru yang ditembakan kepada seseorang, bila telah mengenai sasarannya maka akan langsung mendapatkan efeknya, oleh karena itu iklan melalui televisi akan sangat efektif, keinginan para pengiklan akan langsung mengenai sasaran. Bila pun terdapat warga masyarakat yang cukup kritis, tetapi bisa dipastikan hanya segelintir orang dan itu pun tidak termasuk pengguna produk yang diiklankan.
Bila iklan ditempatkan dalam konteks globalisasi, akan muncul apa yang dinamakan budaya komunikasi global. Dengan demikian, posisi iklan dalam media televisi pun merupakan salah satu media dalam komunikasi global yang menembus sekat kultural dan batas negara. Dengan demikian akan menghilangkan unsur komunikasi dari suatu bangsa yang tradisional. Bila hal ini tidak kita antisipasi secara kritis, maka “cultural imperialisme” yang melekat pada kehadiran arus informasi dunia yang timpang, akan cepat menyebar, sesuai dengan karakteristiknya yang tak terbatas. Dalam hal ini, iklan dan televisi ibarat dua sisi mata uang yang selalu bersamaan masuk pada ruang privasi warga negara, menawarkan beraneka bentuk hiburan dan gaya hidup iklan yang begitu seolah menyenangkan. Sehingga tak diragukan lagi bahwa iklan yang ditayangkan melalui media televisi akan lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan pada media lainnya.
Tahun 2009 menjadi sangat menentukan bagi kita, kehidupan sosialnya, negara dan pemerintahannya. Ini tidak lain karena di tahun ini kita akan mengadakan perhelatan yang sangat prestisius. Bukan karena agenda konser tour beberapa band luar negeri. Bukan juga karena akan ada banyak pendatang yang ingin menikmati keindahan Nusantara. Tetapi Pemilu 2009. Suatu perhelatan paling penting bagi Indonesia dan bangsa. Dan disini terlihat jelas pemanfaatan media yang dalam hal ini adalah televisi oleh para politisi itu.
Peran media televisi dalam komunikasi politik tentu sangat banyak. Dan dalam tulisan ini dikaji empat peran penting televisi dalam melakukan komunikasi politik. Seperti, televisi sebagai alat komunikasi politik, televisi menjadi sarana untuk melakukan persuasi, memberikan informasi politik pada khalayak, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat menilai apa yang disampaikan dari televisi.
Televisi sebagai komunikasi politik. Dimana para aktor politik membeli dan menggunakan tempat atau spot pada waktu tertentu untuk menyampaikan pesan pada khalayak luas. Tujuannya dari iklan politik itu sendiri adalah sebagai sarana untuk menyampaikan pesan dari aktor politik tersebut kepada khalayak dan untuk mendapatkan simpati tentunya.
Kedua adalah televisi dalam hal ini melakukan komunikasi secara persuasi dengan tujuan agar apa yang disampaikan dapat mempengaruhi khalayak. Televisi memiliki peran penting akan keberhasilan dari aktor politik yang melakukan kampanye.
Disini penulis memperkenalkan teori William Robson yang menyatakan bahwa politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Serta teori Jarum Hipodermik dalam Komunikasi Massa yang menyebutkan bahwa pesan dalam sebuah iklan yang dikirim atau ditonton oleh pemirsa akan langsung mengenai sasaran seperti sebuah peluru yang ditembakan kepada seseorang, bila telah mengenai sasarannya maka akan langsung mendapatkan efeknya.
Tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan tulisan ini. Masukan serta kritik yang membangun diharapkan penulis untuk membuat tulisan ini lebih mendekati sempurna.



DAFTAR PUSTAKA

Partando, Pius A dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola, 1994.
Samantho, Ahmad Y. Jurnalistik Islami : Panduan Praktis Bagi Para Aktivis Muslim. Jakarta : Harakah, 2002.
Wahyuni, Hermin Indah. Televisi dan Intervensi Negara : Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi Yogyakarta: Media Pressindo, 2000.
http://www.wikipedia.com/html. akses tanggal 29 Desember 2009
http://artgie’s weblog.com/html. Last update: November 17 2008, akses tanggal 2 Januari 2008 Selengkapnya...

Bingkisan Tuhan (I)..

Assalamu’alaikum..
Kemarin dan hari ini aku merasakan ada sesuatu yang berbeda didiriku. Pagi dengan hangat fajarnya, siang memberikan panas, sore yang ramai dan malam glamour seakan ringan untuk aku lewati tanpa beban tidak seperti biasanya..
Mungkin apa yang aku rasakan ini akibat apa yang aku lakukan pada rambutku empat hari lalu, Selasa 10 Maret kemaren. Emang diapain..? Nggak diapa-apain sech, cuma dimodif doank..Baru kali itu aku memberanikan diri untuk potong rambut selain pada Pria Terhormat dikeluargaku, Ayahku.
Sebelumnya, aku merasa emang sudah waktunya rambut yang membuat cewek tergila-gila ini untuk dipotong, untuk kemudian membuat mereka lebih tergila-gila lagi. Tapi tiap kali keinginan itu muncul, ada emosi yang menahan hajat mulia itu dalam diriku. Berhari-hari aku lewati dengan perasaan was-was akan rambut penuh pesona ini. Berhari-hari itu pula ada perang emosi dalam diri ini. Bawaannya selalu minder dan malu..
Adalah Reuni kecil”an dan dadakan teman-teman seangkatan SMA-ku di Kota Lama pada tiga hari penuh sebelumnya yang membuat keberanian dari diri seorang pecundang ini muncul dan membuncah keluar, hingga akhirnya membuat pandanganku berubah akan keadaan busuk yang aku jalani saat ini..
Ya, dunia dengan kondisi kumuh yang disesaki kepalsuan ini membuat aku kadang memiliki semacam kepribadian ganda. Di satu sisi, aku bisa adaptasi dengan makhluk macam apapun disekelilingku. Namun disisi lain, perasaan minder datang menyerang dengan buasnya kedalam diriku. Kadang aku juga bisa rame hidup bersama orang-orang penuh canda dan tawa. Namun, kadang aku terdiam disebuah sudut ruang yang bahkan terlalu familiar dengan keberadaanku. Fiuhh..
Kini, rambut baru dengan sejuta warna dunia ini seakan membawaku kealam yang belum pernah atau mungkin tanpa diasadari aku pernah singgah lama.
Berjalan enteng tanpa membayangkan pertimbanggan negatif. Tersenyum penuh dengan gaya. Berbicara seakan dipersilakan untukku. Terlebih, aku merasa dunia memperhatikanku. Terimakasihku untuk semua itu..




Hati adalah gudang kekayaan dimana
misteri Allah tersimpan;

Carilah manfaat kedua dunia melalui hati
karena memang di situlah intinya.

(Lahiji)
Selengkapnya...