Kehangatan yang Emosional..

belakangan, pulang selalu jadi hal emosional bagiku. aneh, tapi itu selalu terjadi. bahkan sejak aku merencanakannya. sehari sampai dua jam mau berangkat, aku beberapa kali muntah, tanda kalau akau sedang excited pada sesuatu. kadang ini terjadi saat aku berencana bertemu denganmu, muntah" di atas sepeda motor dan bingung cari air minum setelahnya. sepagian ini juga demikian. aku menyadari itu lalu membeli sebotol air mineral untuk persiapan.

aku harus menemui Ibu yang sedang menemani Sinal periksa di RSUD, di klinik THT. sakit tenggorokan Sinal sudah parah, tidak bisa makan dan minum dengan mudah. sebelumnya sudah ke Klinik Khusus THT, tapi hasilnya nihil. Ibu beberapa kali menelponku, mencurahkan perasaannya tentang sakit yang Sinal rasakan. mungkin tidak semua, karena samar" ada isak yang Ibu tahan, aku merasakan dari suaranya yang sedikit parau.

seperti biasa, Ibu, siapapun, akan punya perhatian berlebihan pada anaknya. Sinal, sama seperti saya, tidak peduli pada sakit" begini. karena tidak ingin membuat orang" di sekitarnya khawatir, apalagi Ibu. tapi justru begini jadinya. setiap kali Ibu menelpon membicarakan ini, aku berusaha meyakinkan Ibu bahwa Sinal baik" saja, dan ini bisa dilalui. tapi karena kekhawatiran Ibu semakin menjadi dan hanya aku yang dicurhati, aku merasa harus ke sana berbicara langsung pada Ibu.

kekhawatiran Ibu yang berlebihan sudah terlihat sejak pertama kali tatapan kita bertemu di ruangan depan RSUD. Ibu senang, juga sedih. senyumnya merekah melihatku, tapi matanya sayu lelah. aku mengambil tangannya dan segera mencium telapaknya. kita lalu menuju ruang tunggu di depan banyak pintu klinik. Sinal masih terlihat kurus sejak terakhir bertemu sepekan lalu. jelas karena asupan makannya kurang, karena susan nelan dan minum.

kekhawatiran Ibu yang berlebihan masih terlihat saat menemani Sinal masuk ke klinik THT dan bertanya banyak hal ke dokter, juga saat antre laboratorium, dan antre ambil obat. aku tidak bisa ngapa"in, ini urusan Ibu dengan hatinya yang sedang gelisah. aku hanya memegang tangan kanannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku masih memegang The Murder of Roger Ackroyd untuk aku baca.

malam hari di rumah, baru Ibu bisa mencurahkan hatinya yang dalam padaku, di depan Sinal juga dan Bapak. suaranya lebih parau dari biasanya, aku mendekatinya, bersandar di sampingnya dengan tangan kanan memeluk pundaknya. aku memberi kode pada Sinal agar memeluknya. Sinal bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Ibu yang duduk berselonjor.

Ibu, seperti perempuanya lain, punya sense yang peka dan berlebihan pada hal yang sangat Ia cintai. pada anak"nya, Ibu ingin yang terbaik. tidak ingin ada yang terluka dan sakit. sekecil apapun. karenanya, sikap yang sangat berlebihan ini sangat menggangu. tapi baginya, ini sangat mengganggu pikirannya. karena dia sudah menghadapi pertarungan batin, di hatinya, ada pertempuran yang tidak semua orang lihat.

masih dalam situasi awkard, Bapak tertawa, melontarkan sindiran pada Ibu, mengejeknya dan membully. senyum Ibu langsung pecah. sialan, begini amat ya suami istri. tahu bagaimana bersikap saat salah satunya sedih dan tepat sasaran. sebelum Bapak bersuara, bahkan aku dan Sinal bicara banyak, juga melucu, tapi tidak mempan. Ibu tetap nangis dengan memohon padaku agar menasihati Sinal agar tidak beraktivitas berat yang membuatnya tambah sakit. tapi begitu Bapak yang duduknya dua meter dari Ibu berseloroh, Ibu langsung tertawa dan balas mengejek Bapak. yaelah. suasana konyol yang sangat aku rindukan. suasana hangat berempat, karena Zein sedang pergi ngaji di TPQ.

ada di rumah selalu emosional begini, dengan atau tanpa kejadian yang seperti ini. bukan, bukan yang seperti itu. tapi yang sederhana saja. melihat cara Ibu mengerjakan banyak hal di dapur, membantunya dan berusaha mengambil alih beberapa pekerjaan kecil yang dilakukannya. atau melihat cara Bapak melengkapi pekerjaan Ibu selesai melaut, berbicara bersama teman"nya yang datang bertamu sore dan malam hari hingga akhirnya kita berkumpul di ruang tengah membicarakan hal" gak penting sampai yang menguras emosi. kadang Zein menengahi dengan keluguannya, kadang nyebelinnya. tapi Zein seringkali jadi alasan kami tetap senang dan tertawa begini.

pulang selalu jadi emosional sekarang, belakangan ini. ironisnya, itu terjadi setelah nenek tiada. kesempatan bertemu keluarga besar ini selalu menyenangkan. menjadi sangat berarti. irosnisnya setelah nenek tak lagi di dunia. kehilangan memang selalu merubah banyak hal. tidak ada yang sama setelahnya. dan semua kesadaran tentang penting dan berarti itu, datang setelah semuanya berlalu. kita akan lebih mudah memaknai setelah kehilangan menemui. dan karena mati adalah kepastian, menjadikan setiap pertemuan berarti adalah keharusan.

sabtu, empat belas Juli 2018
Selengkapnya...

Hanya untuk Memastikan..

aku tau namamu bukan Salma. ingatanku masih kuat dan ini baru saja terjadi belum satu windu. jadi jangan meremehkan dan membuatku menundukkan muka. aku hanya bingung dan merasa malu. sudah banyak menit yang aku lalui tanpa membicarakanmu, dengan hati sendiri sekalipun. aku menahan semua kegilaan di kepala, berpura" mendengar dengan memejamkan mata. padahal Kamu masih mengisi semua jiwa dan raga. tiba" bergelora dari seutas senyum sampai sekali ucapan sapa.

aku tau namamu bukan Siska, bukan Dara, Rina apalagi Raisa. namamu sangat mudah diucapkan dan diingat. aku sering menyebutnya dalam doa. jadi jangan membuatku bingung karena kita sudah tak lagi bertemu dengan banyak tatapan muka. meskipun nanti bertemu, itu pasti menyedihkan. pasti mengusik rindu" yang sudah lama kita coba, dengan upaya yang berat, untuk diasingkan. lalu kita berpura-pura baik" saja. memenjara semua sapa dan keluhan di hati. diam" mengutuk pertemuan" itu, juga diam" mematung tidak ingin pergi.

aku tau namamu, aku hafal dan sangat lekat di kapala. atau di hati. atau di telinga kananku. juga di kedua tanganku. atau, pergilah ke mana saja ingin Kau singgahi seluruh anggota badanku, pasti akan Kau temui Kamu, atau setidaknya namamu. bertengger dengan pongah. menantang untuk ditemui dan ditatap dengan gagah. namamu sangat mudah ditemui di semua ragaku. jadi jangan membuatku bingung dengan semua huruf lain yang Kau lempar di sembarang lantai tempatku menyapu. aku tak akan menghindar, Kau pun juga menginginkan demikian. sampai akhirnya ada reruntuhan atap yang membuat semua langkah berjauhan. langkahmu, jalanmu, dan semua garis hidup yang sengaja atau tidak kita hadapi.

aku tau namamu, kurang dari lima huruf dengan dua konsonan yang mirip denganku.
Selengkapnya...

Hari Kedua; ArtJog 2018..

'halo, Mas. nunggu lama pasti ya..? duh, maap ya. maap terus nih dari kemarin', Ullya memegang pundakku dari belakang dan segera menghadirkan raganya di depanku. kaki meja yang aku tempati tiba" berdecit berkali-kali karena Ullya menggesernya juga berulang kali.

'Mas, maap ya. duh, jadi malu nih tuan rumah', kata Ullya masih dengan menggeser kaki meja untuk menyesuaikan tatanan kursi yang dia duduki.

'iya gapapa. nafas dulu lah, biar enak', kataku juga terengah-engah melihatnya.

'hahahaa. iya nih baru selesai tugasnya. tapi kan kita janjiannya pas petang, nah ini udah jam tujuh aja. yaudah kalo gitu kita lama ya di sini', pandangan Ullya lurus menuju ke arahku, dengan rasa bersalah dan memelas.

'eh iya gapapa kali. santai. Ullya pesen dulu dah',
'bentar, katanya nafas dulu. bentar ya', Ullya menanggalkan tas kecil yang melingkari tubuhnya. menaruhnya di atas meja dan kembali memandangiku, dan juga es krimku.
'mau..?'
'enggak. itu rasa apa aja..?',
'greentea, duren dan cappucino. mix yang aneh kan..?',
'bentar ya, Ullya pesen dulu', Ullya berlalu dari meja, ke kasir untuk membayar dan mengambil pesanan. sekitar tujuh menit kemudian, Ullya sudah kembali lagi ke meja dangan cup small.

'sambil nunggu Ullya tadi, saya sempet mikir gini. kan yang medium empat puluh ribu dapet tiga rasa. yang small dua puluh ribu dua rasa. nah, harusnya beli dua small dan kita dapet empat rasa', kataku dengan suara yang pelan.
'hmmm, bener juga. pinter, kok gak dari dulu ngasi taunya. ntar kalo ke sini lagi Ullya coba begitu',
'ya kan baru kali ini saya ke sini. barusan kepikiran',
'hmm, kebanyakan mikir. oh ya, gimana ArtJog..? seru..?',
'seru seru aja. oia, sendirian nih Ullya..?',
'iya, Mas. pada gak bisa. si Sipit Vidia juga lagi ada acara. hmm, Mas',
'oo gitu. hmm iya apa..?',
'kenapa sih jarang post fotomu di medsos..? hampir gak ada lho',
'kenapa emang..?',
'kemarin tuh pas nyari" Kamu di SevenSky, Ullya tuh ditanya Vidia. begimana perawakannya. nah, Ullya itu gak inget wajah Mas', mendengar ini aku langsung tertawa terbahak. kaget, juga lucu.
'eh jangan ketawa Mas. beneran. jadi Ullya itu nginget" di medsos, Mas Hamim nih kok lupa ya wajahnya. lama banget lho kita gak ketemu. Mas juga gak pernah posting apa" di medsos. tipe misterius', Ullya cerita lagi dan aku tertawa lagi.
'wah, Ullya jahat juga ya', kataku menahan tawa. 'eh, aku jadi inget rumah', kataku tiba".
'hah..? karena ketemu sama Ullya..?',
'bukan, karena ada yang manggil Hamim. itu kan cuma orang rumah yang manggil nama itu',
'oia sih. abisnya gak biasa manggil Mas Kid. kan..? gak enak. canggung',
'hahaa iya gapapa. sambil dimakan, mencair udah',
'ya Mas Hamim sambil cerita dong, ke mana aja tadi', Ullya memasukkan sendok pertama es krimnya ke mulut. aku tidak bertanya rasa es krim apa yang dibeli Ullya. sepertinya enak. hmm, bukan. rasanya semua varian di Tempo Gelato ini enak. kata Ullya, Tempo Gelato ada dua di Jogja, di Prawirotaman dan di Jalan Kaliurang ini. kita memilih di sini karena dekat dengan kos Ullya. bangunannya besar dengan kesan tua dari luar. di dalam pun demikian. banyak ornamen dan perabotan yang memberikan kesan itu. bangunannya dua lantai. kami di lantai pertama. kalau malam minggu atau weekend, kata Ullya, bisa rame sampe atas. tapi mereka yang makan es krim di sini biasanya tidak lama. duduk, begitu es nya habis, ya pulang. bukan es yang menemani mereka ngobrol. tapi ngobrol adalah teman buat menghabiskan es. kami? sebaliknya dong.

malam di Jogja ya sama saja seperti biasa, dingin. apalagi kawasan Jakal. jadinya, sejak keluar kos tadi, aku tidak membiarkan jaketku lepas. sedangkan pagi tadi, ya panas, agak adem kalo lagi kebetulan ada di bawah bayang bangunan yang menutupi matahari. jalan kaki keliling Malioboro dan mampir ke Shopping juga jadi aktivitas yang melelahkan, karena cuaca tadi, bikin gerah dan keringetan. apalagi buku yang ingin aku beli gak ada, blas di semua toko. saya sudah naik turun bangunan tiga lantai itu, gak ada. akhirnya aku kembali ke penginapan, perlahan, sambil liat" aksesoris yang mungkin saja menarik buat dibeli. beberapa pesan masuk, termasuk dari Ullya, memintaku agar pakai masker karena erupsi freatik Merapi, barusan. aku iyakan, sepertinya abunya belum sampe ke Jogja Kota.

pagi masih panjang, dan aku melintas ke Stasiun Tugu buat menukar tiket kereta. bertemu dengan banyak orang yang lalu lalang menyebrang dengan tertib. aneh rasanya melihatnya. sangat menyenangkan bisa melihat kebiasaan seperti ini, tertib dan sabar buat antre. aku percaya kalo banyak hal yang dilakukan di jalanan seringkali menular, baik atau buruk. seperti saat kita melihat pelanggaran marka atau rambu lalu lintas, akan banyak yang ikut"an melanggarnya. melihat yang begini, antre nyebrang dengan tertib ini, juga demikian. wisatawan seperti aku ini, ya juga ikut antre nyebrang.

setelah shalat Jumat, aku gak langsung balik ke penginapan. duduk di pedestrian Malioboro, tapi nyari yang teduh. siang men. membeli secangkir kopi sampai habis, lalu kembali ke kamar buat persiapan ke kegiatan inti, tujuan utama aku ke Jogja; ArtJog. karena juga ada Deedee di Jogja, aku mengabarinya, siapa tau rencana dia ke ArtJog berbarengan waktunya. sambil kaget, dia menjawab 'pagi tadi'. dan akhirnya aku berangkat, tepat pukul dua. aku daftar curatorial tour yang diselenggarakan jam tiga sore nanti. karenanya, kudu dateng sebelumnya biar gak ketinggalan. sebenarnya gak terlalu butuh tournya, karena di ArtJog, semua karya seni sudah bisa dinikmati dengan penjelasan di samping karyanya. tapi buat pengalaman begimana sih tour di ArtJog, aku daftar.

tour berlangsung satu jam-an, dengan puluhan peserta. jadi Jogja National Museum yang berupa lorong-lorong itu penuh. perbedaan mendasar peserta tour dan enggak hanya pada majalah yang dikasi saat masuk. tetep bayar, 50ribu, dikasi buku pegangan jadwal kegiatan-kegiatan di Jogja selama Mei-Juli 2018 dan satu majalah apalah. karena aku bawa kamera di tas dan males nenteng-nentengnya, majalah itu aku taroh di depan ruang panitia, berharap diambil sama mereka. pengunjung yang gak daftar tour sebenarnya juga bisa ikut. karena ya gak ada yang melarang. kami berhenti di hampir semua karya seni, mendengarkan penjelasan konsep masing" karya oleh Ignatia Nilu sebagai salah seorang kurator ArtJog 2018. perempuan yang rambutnya sekarang keriting itu menjelaskan dengan lugas, penjelasannya sangat menarik buat didengarkan.

karena kebutuhan dokumentasi, aku seringkali keluar dari rombongan dan menjelajah sendiri satu dua ruangan. kadang aku tertahan di satu karya seni sampai bermenit-menit sebelum rombongan datang memenuhi ruangan itu. mereka semua gila, keren-keren kerja seninya. aku yang tiap kali ngobrol tentang tulisan masih mempertanyakan dari mana datangnya ide, mereka malah idenya di luar nalar. kepikiran dari mana ya. menakjubkan. karenanya, aku sangat mengagumi orang-orang kreatif dan menghormati mereka. aku selalu berpihak pada kreatifitas, jadi kalo ada orang yang mengancam proses kreatif orang lain, aku gak bisa menahan amarah.

hampir semua karya seni di ArtJog 2018 aku suka. dari yang paling sederhana tapi idenya menakjubkan, sampai yang sangat sulit aku cerna. aku harus membaca berkali-kali penjelasannya sampai aku paham latar ide dan maksudnya. mereka menerjemahkan 'enlightenment' yang menjadi tema dengan persepsi masing-masing. aku sangat menikmati semua enjawantah itu. mulai Aura karya Tantin di sebelah kiri begitu masuk, Hutan Dilipat yang memanjang di lorong setelahnya, Handiwirman dengan toleranintoleransi yang memakai ruangan spesial, karena harus bergantian masuk ke ruangan tempat karyanya dipajang berupa bentuk anyaman dari karet. di ruang seberangnya, ada lukisan-lukisan Human Study karya Ronald Ventura, Kevin Zhang dengan Free to Soar yang menampilkan Kite (layang layang), foto bentukan unik dari ratusan pusar karya Mella Jaarsma bertajuk Blinds & Blinds, sampai di Healing Garden milik Hiromi Tango. samar", aku merasa ada yang mengikuti. setiap kali aku berhenti untuk memotret, ada yang seolah memungut sepi dengan berada di sampingku.

kemudian aku naik ke lantai dua dan tiga bergantian. aku segera menemui karya sederhana menakjubkan Syagini Ratna Wulan '389-696-104-554' yang mendeskripsikan Persepsi dan Kesadaran dengan warna, kumpulan ingatan Davy Linggar ft. Tulus sang penyanyi, permainan cahaya dengan pipa bertajuk Reflex oleh Setu Legi & Sulistyanto, Fajar Abadi dengan Everlost yang menggugat makanan ringan di negara berkembang seperti Indonesia, dan Bandu Darmawan yang dengan menarik menggambarkan Pernyataan Tidak Tertulis. aku kembali turun ke lantai satu untuk keluar, meninggalkan rombongan yang masih tertahan di lantai tiga. bersamaku, seorang perempuan dengan pakaian hitam terusan tanpa lengan, bucket hat warna peach, totebag putih bergambar wajah sepertinya musisi perempuan, kamera di tangan kanan dan hape di tangan kiri, dua kalung hijau dan merah melingkar di lehernya, dan tato di belakang bawah tengkuknya, menuruni anak tangga bersamaan. saat aku berhenti untuk kembali memotret di ujung tangga, dia berhenti. lalu aku berjalan, diapun begitu. sampai akhirnya aku menoleh ke arahnya, melihat wajahnya dua detik mungkin, dan membuang muka. dia membalas tatapanku dan tersenyum. hmm, aku takut dengan perasaan beginian, dan segera kembali menuruni tangga.

aku menuju pintu keluar, tapi terganggu oleh God of War karya Ichwan Noor yang tak bisa aku hindari. mendekati pintu keluar pun, mata dan minatku dimanja oleh konstruksi patung dari bongkahan banyak biji keyboard bertajuk Satu oleh Awan Simatupang. aku memutarinya, sampai akhirnya pandanganku kembali tertuju pada perempuan bucket hat yang juga berada di ruangan ini. karena keduanya kalinya tatapan kita bertemu, aku tidak segera membuang muka. aku melihatnya, dia juga membalas melihatku. dia tersenyum, aku juga, atau begitu menurutku. entah ini aku terlihat seperti sedang tersenyum atau tidak. lalu aku beranjak keluar dan membeli merchandise ArtJog 2018 yang masya Allah mahal.

di menuju garbang Jogja National Museum, aku pura" menerima telpon. karena di depan, ada dua orang kameramen dengan satu reporter yang sedang menunggu pengunjung untuk diwawancarai. kalau dari seragamnya, sepertinya dari TV. sialan, cuma aku yang lagi lewat menit itu. jadi saat mereka berusaha memanggilku, aku semakin mengencangkan pembicaraan dan gesturku seperti sedang serius menelpon. aku melangkahkah kaki dengan cepat, lalu menjumpai gerbang Jogja National Museum di depan.

aku memencet hape untuk pesan ojek online saat pandanganku kembali bertemu dengan perempun bucket hat, di tempat duduk bundar dari semen, dia berdiri saat melihatku berjalan ke arah gerbang. aku tersenyum ke arahnya, atau begitu menurutku. dia membalas senyumku dan kemudian kita saling melempar pandangan dan tawa. tawa, karena aku dan dia tersenyum sampai gigi terlihat lalu mengeluarkan bunyi. kita berdua sama" berada di gerbang. dari cara dia melihat hape, sepertinya dia sedang menunggu dijemput. pacarnya mungkin, atau orang tuanya. tidak sampai semenit kemudian, ojek online datang. menyebut namanya, tapi samar sehingga aku tidak mendengar, lalu dia menganggukkan kepala tempat wajah manisnya berada, ke arahku masih dengan senyum, lalu menaiki motor itu dan berlalu. sedangkan aku, mematung dan mengutuk, sialan, apa yang barusan aku lewatkan.

aku melihat ada penjual es cendol biji hitam di seberang, di depan mushalla. aku berjalan ke sana dan memesannya satu. menghabiskannya sesaat sebelum namaku disebut oleh salah seorang driver ojek online di depan gerbang JNM. aku menghampiri, menaikinya dan juga beranjak dari JNM. aku memintanya berhenti di depan Malioboro Mall, masuk dan segera mencari Gramedia. masuk, ngubek" komputer pencarian dan mengetik Aruna dan Lidahnya. layar memunculkan angka-angka dan aku segera mencarinya. nihil. aku kesulitan menemukannya. empat belas menit kemudian aku menghampiri kasir dan meminta tolong ke salah satu petugas membantu mencari. kasir lalu memanggil satu petugas perempuan membantuku. 'gak usah, Mas. duduk aja di sini, biar saya yang nyari', katanya saat aku mau beranjak dari kursi. gak sampai dua menit, dia kembali datang membawa buku di tangannya. 'nih, Mas', dia menyodorkan Aruna dan Lidahnya padaku. aku cium bukunya, aromanya harum, lalu mengeluarkan dompet dari saku celana dan membayar. mungkin si Ibu kasir udah eneg liat aku melakukan hal" tadi.

aku pulang, ke arah penginapan dengan riang dan hati gembira. petang masih bersela, adzan Maghrib belum hadir di telinga, aku berjalan melintas pedestrian Malioboro sambil tertawa. entah kenapa, tapi aku sangat senang bisa mendapatkan Aruna dan Lidahnya, pada akhirnya. aku baru tau novel Laksmi Pamuntjak ini, setelah Parali Film mengabarkan rencana mau bikin filmnya. aku gak hanya kaget, tapi sangat antusias saat Edwin yang ditunjuk jadi sutradaranya. lebih excited lagi saat castnya dipenuhi bintang idola; Dian Sastro, Nicholas Saputra, Oka Antara dan Hannah Al Rasyid. wah, bakal keren banget dah ni film. yang wah lagi, kenapa aku tertarik baca novelnya ya..?! aneh. satu"nya novel tebal yang pernah aku baca dan tamatkan adalah Ayat-Ayat Cinta, dulu sekali saat masih SMA. setelahnya, aku hanya punya novel" tebal, tanpa dibaca. karena juga tidak beli sendiri, hampir semuanya dikasi temen, sebagian lainnya hadiah dari penerbit. keanehan lainnya buatku, aku suka bikin fiksi, tapi hanya sekali menamatkan novel.

aku berjalan, lalu duduk. berjalan lagi, lalu duduk di kursi" itu. memandangi langit yang hampir gelap. mengantarkan matahari terbenam bersama pendarnya. saat lampu-lampu mulai menyala, aku kembali ke penginapan. shalat dan beberes, lalu kembali keluar menemui Ullya.

'selalu ada orang kayak Kamu, Mas. dari sepuluh orang, ya ada satu lah yang gak tau cara bersikap pada perempuan. dan biasanya orang kayak gini kalo udah kenal perempuan, suka ngeselin', kata Ullya.
'justru itu keahlian saya', kataku dengan mengangkat alis.
'he'em gapapa. selama bukan saya yang dibikin kesel', katanya lagi, juga dengan mengangkat alis. 'oia, besok ke mana..? kalo belum ada, Ullya punya tempat bagus buat didatangin',
'oia boleh. besok saya free. kan ke sini buat ArtJog aja. hari ini udah, besok free',
'OKee ya, besok jam sembilan di Malioboro',

perbincangan kami lalu megarah pada persoalan menikah, asmara dan semua chapter selanjutnya dari usia yang sedang kami injak sekarang. karena aku lebih tua, Ullya dengan leluasa mengejekku. tapi karena Risa, sepupunya yang seumuran, sebentar lagi nikah, aku juga punya alasan buat mengejeknya. aku tidak tau kapan terakhir kali aku bisa becanda begitu lepas, setidaknya dua pekan terakhir ini. aku tertawa dengan berat, tertahan dengan sangat dan saat sadar, semuanya sudah terlambat. hampir saja aku lupa, bahwa hidup terus berjalan. dunia tidak akan menunggu, itulah nasib.

sebelas Mei 2018
Selengkapnya...

Menyudahi Ketidakjelasan..

hidup yang aku jalani kadang terasa aneh, bagiku. saat sendiri, tiba" semua rindu datang menghampiri. di kamar, di jalanan dan semua tempat favorit yang sering aku kunjungi jadi terasa asing. semua musik dan teriakan Chester Bennington yang masuk telinga seakan sulit menyelamatkan meski bising. tiba" semuanya berjalan pelan. mengalun lambat seolah ingin dijemput. membuai rendah untuk dibalut. terlihat babak belur dan segera diobati untuk kembali melaju. untuk mendatangi kembali tempat-tempat yang membuat gairah hidupku berlanjut.

siang ini semua warung kopi favoritku tiba" tidak menyenangkan. Kedai 27 Dukuh Kupang masih tutup, sudah dua kali aku datangi selama tiga hari ini dan masih tutup. lainnya ramai orang" dan pasti gaduh. tidak cocok buat membaca. menulis saja mungkin bisa aku lakukan, tapi tidak untuk membaca. moodku tiba" tidak ramah. aku akhirnya memilih kembali ke kamar dengan dua bungkus kopi hitam racikan Om Raffi, pemilik warung kopi langganan yang siang tadi ramai. aku buka satu, kutuang ke gelas, dan segera membuka laptop untuk menulis sebuah review film. sampai akhirnya satu jam terlewat, menutup laptop dan pergi mandi dengan hal" gak jelas.

aku bergegas ke kantor, memenuhi ajakan berbuah janji yang pagi tadi dibuat dengan Dhafin. beli buku di Gramed yang sedang diskon dengan debit BNI, berlaku hanya hari ini. mengesalkan. ini masih awal bulan memang, tapi aku tidak suka pergi ke Gramed. aku seringkali tidak ikhlas beli buku di sana. mungkin karena aku sudah terbiasa ke Togamas yang selalu menyediakan diskon 15% untuk semua bukunya. jadi saat di Gramed tadi, aku tiba" muak dengan toko buku ini. aku muak saat aku menemukan buku bagus dan tau mau beli buku apa. tapi akhirnya terpaksa beli, tiga buku. bedebah. keliatan kan betapa gak ikhlasnya transaksi ini aku lakukan.

lalu aku menuju ke kantor dengan terburu-buru. ada ledakan diduga bom di Pogar Bangil. grup WhatsApp redaksi dari tadi hectic dan aku telat datang. aku masih di meja redaksi saat menulis ini. membagi fokus dengan banyak kejadian. ledakan di Bangil, kebakaran bus di tol dan semua kemacetan di jalanan. samar", aku melihat beberapa pesan di hape dan terus melanjutkan menulis. samar" juga, di kepalaku, mengalun suara" Chester dan musik Linkin Park. hahahaa, mungkin ini yang aku rindukan. problem solved. satu.

kedua, ternyata aku sangat merindukan aktivitas ini. berbagi fokus menulis dan berbagi cerita. OKee, sementara ini, sudah ada tiga list tulisan yang menjadi deadline. dua review film (bisa jadi tiga), dua cerita perjalanan di Jogja, dan satu tugas essai Singapore yang diminta Direksi. but, satu ini dulu lah untuk menyudahi kerinduan.
Selengkapnya...