Time IV; Antiklimaks yang Menakjubkan

Malam ini seperti menjadi antiklimaks bagiku. Sangat mengesankan walaupun dengan mudahnya menampar sakit dan mengusir kegembiraanku sebelumnya. Menepikan kesenangan yang sebelumnya aku dapatkan. Bahkan senyum yang selalu mengembang di bibirku tersebut tak hanya berlangsung sehari, tapi tiga hari tiga malam. Namun, jatuh berguguran pasrah seketika saat mala mini sudah menunjukkan jam 00.42.
Sore ini aku harus kembali mengendarai motor Beat biru milik Ketua LPM BEM FISIP dengannya di belakangku. Mendera debu yang sesekali menempel di wajah yang tak aku tutupi sepenuhnya dengan kaca helm. Tapi aku rasa, hal kecil seperti ini tak menjadi soal jika melihat apa yang akan aku dapatkan nantinya. Apalagi ini adalah kali ketiga mengendarai motor dengan orientasi sama bersama perempuan alay ini.
Di perjalanan, tawa karena humor yang kami lontarkan menjadi item yang tak terpisahkan. Mulai menertawai diri sendiri hingga menyinggung kondisi busuk bangsa ini dibalut dengan humor. Sesekali kami hanya terdiam karena melihat muka serius nan sok ganas polisi lalu lintas. Kami hanya perlu melewatinya untuk kemudian tertawa lagi dan lagi.
Perjalanan kami akhirnya terhenti di gedung tua di depan stasiun kereta api Malang. Bangunan yang sudah tiga kali aku kunjungi. Seperti biasa, keanggunan yang terpancar dari gedung ini hanya sekilas. Tetapi selalu memancarkan kehangatan yang mempesona saat berada di dalam dan berbicara dengan penghuninya. Gedung ini adalah Kantor Redaksi Harian Malang Post. Satu diantara dua harian terbesar di Malang.
Tujuan kami ke kantor ini adalah menemui Abdul Halim, redaktur Malang Post yang akan kami pinang menjadi pemateri di acara Upgrading LPM. Setelah ngobrol sekitar setengah jam dengan beliau kami seakan memiliki keyakinan untuk tetap pada jalur ini, journalist way. Banyak kisah yang Halim ceritakan. Banyak kasus yang dia paparkan. Setiap detik obrolan kami memburu huruf untuk kami rangkai menjadi kalimat kehidupan seorang journalist. Bahwa journalist tak harus memiliki bakat tertentu. Kau hanya butuh keuletan dan kesungguhan akan motivasimu yang terlanjur membuncah. That’s it..? Yes maybe..
Beberapa manit kemudian kami berdua hanya tertawa kecil dengan semua yang kita obrolin. Tak ada yang lucu, hanya kami merasa mengembangkan senyum menjadi tawa mendengar apa yang kita obrolin tadi. Obrolan yang kami harap mengantarkan motivasi kami tetap terjaga. Obrolan yang memberikan beberapa suntikan trik untuk menjadi dan menjalani proses ke-journalist-an. Obrolan yang semakin memberikan zat adiktif tanpa banyak pikir lagi. Obrolan yang kami harap dapat terulang walaupun tak dengan orang yang sama.
Dalam perjalanan, obrolan tadi kami singgung sebelum akhirnya menepikan motor di parkiran Rumah Makan Nasi Goreng Gandrung. Ini pertama kalinya makan di sini. Ternyata si Iis juga. Jadilah kita dua orang alay yang gak tau apa-apa tentang rumah makan ini. Kami hanya duduk sekenanya tanpa memperhatikan apa-apa. Aku hanya diam dan sesekali melirik Iis yang sedari tadi ketawa tanpa alasan yang jelas. Sampai kami menghabiskan nasi goreng kami, Iis masih berada dalam keadaan tawa yang tak berhenti-henti. Baru aku tau saat dia menceritakan semua kejadian lucu yang dia lihat di rumah makan ini. Hahahahahaa.. Aku pun ikut tertawa mendengarnya di perjalanan. Perempuan satu itu emang selalu dapat melihat celah untuk dijadikan bahan lelucon. Hmmm..
Jam menunjukkan angka 23.28 saat aku menyelesaikan rapat dengan Tim Dragon Ball, tim pengonsep acara Seminar Nasional yang diadakan BEM FISIP UMM akhir Mei nanti. Aku dan Alfian langsung menuju tempat janjian kami bersua dengan salah seorang senior HMI sekaligus kakak kelas saat SMA dulu. Saat ini dia bekerja di Jakarta dan pulang sebulan sekali ke Malang. Kali ini kami ditakdirkan bersua setelah di 6 kali kesempatan sebelumnya kami selalu aku tak bisa.
Namanya Iip. Bekerja di sebuah perusahaan jasa yang mengutamakan kemampuan menulis dan kewartawanan. Aku dan Alfian langsung dengan erat menjabat tangannya saat kami bertatap wajah. Tak disangka dapat bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Walaupun hanya di emperan samping Bank BRI perempatan Galunggung, tapi kami dapat menikmati setiap detik pertemuan ini dengan menyeruput masing” minuman yang kami pesan. Baru di sinilah aku merasakan sekali anti klimaks.
Awalnya setelah menghubungi tiga journalist sebelumnya, pers yang aku pahami adalah pers idealist. Pers yang menjungjung tinggi nilai” objektifitas. Namun, apa yang dia katakan pada kehidupan nyata tak bisa seperti itu. Apalagi jika orientasimu mengarah pada ke kehidupan. Dia tak sendirian. Dia bersama seorang temannya, yang juga berprofesi sama sepertinya. Teman yang juga memiliki kemampuan serta pengalaman kewartawanan yang baik walaupun pemula.
Jam 1 dini hari tepat aku pulang bersama Alfian. Pertandingan La Liga sarat akan makna dan momentum akan dilangsungkan setengah jam. Pertandingan yang mempertemukan Real Madrid dan Barcelona yang biasa disebut el clasico. Di perjalanan, aku sedikit merenung dengan apa yang baru saja aku terima dari pertemua tadi. Banyak hal yang harus aku benahi kembali. Termasuk menata niat dan tujuanku berada di dunia pers. Pertemuan ini kembali membuka ingatanku bahwa tak semua yang kita hadapi di kancah lokal ataupun regional, tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Mungkin ini yang disebut realistis. Membangun kesadaran akan kenyataan yang akan kita hadapi.
Selengkapnya...

LK II Kab. Bandung; 5 Anak Muda Alay..


Screening masih berlangsung saat aku memutuskan untuk jalan” dengan empat orang teman lainnya dari Cabang Jember, Surabaya, Lampung dan Bengkulu. Kami juga tak tau mau ke mana, tapi daripada mengganggu calon peserta lain yang masih bergelut dengan screening BTQ, Konstitusi, MKO, NDP, Wawasan Kontemporer dan Makalah ya kami memutuskan keluar dari pusgit buat jalan”.
Menyusuri jalan keluar dari belakang menuju depan kampus sungguh melelahkan, tapi sembari ngobrol dan tertawa gak jelas, lelah itupun hilang. Sambil berguyon, kami akhirnya sepakat menuju alun” Kota Bandung. Entah seperti apa, kami hanya ingin jalan”. Bus kota pun terlihat dari jarak 20 meter kita berdiri. Naik dan langsung tidur di bus karena perjalanan yang ditempuh bisa mencapai 50 menit.
Aku tak benar” tidur. Aku memperhatikan jalan dan bangunan yang kita lewati. Setelah melewati Terminal Cicaheum, bus yang kita tumpangi belok ke kiri. Banyak pusat perbelanjaan yang kita lewati. Karena ini Bandung, tempat shopping sangat banyak dan menggiurkan. Selang 10 menit kemudian, aku melihat Stadion Sepak Bola milik Persib Bandung. Kemegahannya terpampang jelas. Tak jauh dari situ, aku temui Gedung Partai Nasional Demokrat Jawa Barat. Dengan desain kuno, bangunan tersebut terlihat elegan. Melihat orang” lalu lalang keluar masuk gedung, aku jadi tau Nasdem sedang sibuk.
Lima puluh dua menit berlalu saat Kondektur meneriakkan Alun” Kota. Kami berlima pun turun dari bus. Satu hal pertama yang kita lakukan adalah berfoto dengan latar Masjid Besar Kota Bandung (entah apa namanya, Q lupa). Karena duit yang tak banyak (lebih tepatnya gak punya duit), kami pun memutuskan jalan” saja melihat” dagangan orang di sekitar alun” dan masjid sebelum kami menemukan jalan keluar dari alun” dan menemui jalan raya. Di seberangnya, terdapat mall tak besar namun sangat tepat untuk belanja pakaian. Semua pakaian di sini beragam, hanya saja tak bisa dibeli atau lebih tepatnya kami tak punya duit buat beli.
Akhirnya kami memilih kembali duduk di alun” dan menghilangkan haus dengan membeli dua bungkus es degan tak jauh dari tempat kita duduk. Setelah merasa letih dan tak menghasilkan apa”, akhirnya pulang ke Pusgit adalah jalan yang kita pilih. Di perjalanan pulang, kejadian konyol dilakukan Farid (Jember), Atoy (Bengkulu) dan Malik (Surabaya). Saat itu bus dalam keadaan sesak. Sehingga, penumpang di dalamnya berdesakan dan sesekali berebutan untuk tempat duduk.
Setelah sampai di Terminal Cicaheum, mereka bertiga bangkit dari tempat duduk yang susah payah mereka dapatkan sebelumnya.
“Kenapa berdiri Kang”, Tanya kondektur pada tiga cecunguk tersebut yang sudah berdiri di dekat pintu belakang bus.
“Kan udah deket Pak”, jawab Farid dan Malik sekenanya.
“Cibiru kan..?! UIN..?!”, tanya kondektur lagi dengan masam.
“Iya Pak”, terlihat wajah mereka yang heran dan terkejut. Hahahaha.. Aku hanya dapat tertawa dalam hati melihat wajah mereka.
“Ya masih jauh Kang. Sekitar 30 menit lagi”, jawab kondektur disambut wajah kecewa mereka yang culun.
“Hahahahahaa..”, spontan aku dan Wendy (Lampung) tertawa terbahak”.
Namun yang dikatakan Pak Kondektur benar adanya, sekitar 30 menit berselang kita benar” sampai di depan kampus UIN Sunan Gunung Djati. Hahahahaa.. Hingga kita menempuh jalan menuju Pusgit pun, aku melihat wajah kecewa mereka yang terpaksa berdiri karena salah perhitungan dan sok tau. Setidaknya itu menjadi pelajaran agar tak lagi sok tau di kota yang baru disinggahi. Namun tak apalah, setibanya di Pusgit, kita langsung istirahat dan melupakan sejenak tentang kekonyolan siang hari. Setidaknya kita belajar bahwa kebersamaan dalam HMI lebih dari sekedar saudara.
Selengkapnya...

LK II Kab. Bandung; Perjalanan Berangkat..


Pak, ini di mana..?” ujarku dengan nafas terburu-buru sambil menyodorkan tiket kereta yang aku pegang pada petugas kereta di samping gerbong.
“Oh ini Mas, masuk dan cari kursi 7E”, jawabnya mengembalikannya tiketku.
“Terimaksih Pak”.
“Lebih baik langsung naik sekarang Mas, bentar lagi keretanya mau berangkat”.
“Oh iya Pak, Saya beli air mineral dulu”.
“Cepet ya Mas”, intruksinya aku sambut dengan anggukan sekenanya.

Hmm.. Akhirnya aku duduk dan memulai perjalanan ini. Perjalanan yang tak aku sangka benar” aku lakukan. Perjalanan untuk melanjutkan prosesku berorganisasi. Perjalanan sebagai bentuk penghormatan pada Anhar sebagai Ketua Umum pada ambisinya yang menginginkan semua presidium melakukan jenjang pelatihan tahap selanjutnya. Perjalanan yang juga untuk mengejar orang” pendahuluku melakukan pelatihan serupa. Perjalanan yang kali ini harus aku lalui sendirian.
Sebenarnya perjalanan aku jalani ogah”an. Aku sangat tak nyaman dengan kondisi ini karena tiga hal. Pertama, dana yang aku punya melakukan perjalanan ini sangat minim. Kedua, aku punya stigma negatif pada perjalanan ini karena kisah pelatihan serupa yang dilakukan Rumput LiaRKu (entah apa aku masih boleh meng-klaim dia). Dan ketiga, karena aku harus meninggalkan Aniez, seorang teman seperjuangan yang baru saja mengantarkan aku sampai stasiun sore ini, padahal kesempatan ini harusnya miliknya juga. Tapi, aku harus melakukan ini demi Anhar dan Komisariatku.
Tempat duduk 7E berada di samping jendela. Pas banget karena aku sangat ingin menikmati perjalanan ini dengan melihat semua kota yang aku lihat. Malang-Bandung sangat jauh, bisa dipastikan kota yang akan aku lihat sangat banyak. Sambil pamit pada teman” melalui sms, aku mendengar suara pemberitahuan bahwa kereta akan berangkat. Beberapa detik kemudian kereta MALABAR ini pun beranjak menyisakan debu dan hiruk-pikuk Kota Malang. Aku tenggak air mineral yang baru saja aku beli dan berharap perjalanan ini berjalan lancar.
Ingin sekali memejamkan mata dan istirahat, tapi perutku berbunyi tanda lapar. Aku harus makan sesuatu, tapi hanya permen yang aku temui di saku kiri celanaku. Sambil mengunyah permen tersebut, aku mulai menyandarkan diri di kursi dan mematikan hape untuk menghemat baterai.
Aku tidak ingat betul kota apalagi nama stasiun yang aku lewati saat aku sadari aku sudah di Kota Djogja. Kota indah yang seharusnya aku kagumi. Jam di pergelangan tangan penumpang di depanku menunjukkan angka satu dengan suasana gelap gulita. Hmm.. Sudah dini hari ternyata. Aku bergegas istirahat lagi setelah memastikan dua tas yang aku bawa dalam kondisi baik” saja.
Kereta masih bising seperti biasa saat aku terbangun karena cahaya fajar yang masuk di celah” jendela tempatku duduk. Sekilas, beberapa orang di gerbong ini tampak bergerak meregangkan badan dengan mengangkat tangan ke atas tanda abis istirahat. Perjalanan ini mulai menujukkan pemandangan eksotisnya. Hutan dan perbukitan serta sawah” aku lalui untuk dipandangi. Tak luput aliran sungai juga aku lintasi. Aku mulai gusar saat beberapa orang yang sebelumnya aku pastikan turun di Bandung mulai turun satu per satu di stasiun yang kita lewati. Lalu di mana aku turun..?!
Aku mencoba menggerakkan pantat yang sudah 16 jam menempel di kursi tak empuk ini. Aku berpikir 145 Ribu bukan angka yang kecil untuk membayar kereta ini jika aku tersesat dan kesasar. Karena kegusaranku itu, aku memberanikan diri untuk bertanya pada penumpang yang duduk di depanku.
“Kang (sok kenal dengan menyebut Kang, panggilan khas Sunda pada laki”), tujuannya ke mana..?”, tanyaku memulai percakapan.
“Bandung”, jawabnya melempar senyum.
“Ouu.. Nama stasiun yang Akang tuju apa..?”, tanyaku bego’.
“Stasiun Bandung. Mau ke mana..?”, tanyanya balik tetap dengan senyum yang mengembang diantara dua pipinya.
“Cipadung Bang. Cipadung Permai”, aku sebutkan tempat Sekret HMI Cabang Kab. Bandung.
“Hmm.. Gak tau tuh Mas. Coba ntar ditanya ke petugas di stasiun aja Mas”.
“Oo.. OKe Kang. Makasih”, sambutku sambil menempatkan tas di bahu saat aku lihat plang Bandung tanda aku sudah sampai di Stasiun Bandung.
Setelah cuci muka dan sedikit menyegarkan badan, aku beranjak ke tepi jalan raya tempat menunggu bus seperti yang disarankan petugas toilet tadi saat aku cuci muka. Sambil menunggu, aku aktifkan kembali hapeku. Seketika 16 sms masuk dan telpon masuk dari Rumput LiaRKu. Setelah ngobrol beberapa menit, bus menuju Terminal Cicaheum datang. Segera aku menutup telpon dan berburu dengan calon penumpang lain menaiki bus. Sekitar 20 menit kemudian, aku sampai di terminal Cicaheum dan meneruskan perjalanan dengan angkot menuju Cileunyi, tempat kampus UIN Sunan Gunung Djati berada. Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di depan kampus UIN SGD dengan wajah kusut menunggu jemputan dari panitia pelatihan Intermediate. Cukup jauh tempatnya ditempuh dengan motor karena berada di belakang kampus.
Tak berapa lama, aku sudah memiliki 8 orang teman baru dari berbagai daerah. Bagus lah. Istirahat sejenak, sebelum kemudian melengkapi administrasi untuk syarat pelatihan. Sebelum memejamkan mata, masih teringat jelas kebimbanganku untuk mengikuti pelatihan ini dengan pertimbangan 3 hal tadi dia atas. Perihal nomor tiga yang paling aku sesalkan. Tapi dengan bagitu aku tau bahwa Muhammad SAW tentu tak main” saat bersabda bahwa di balik semua kenyataan yang tak nyaman selalu ada hikmah yang dapat kita ambil. Setidaknya, aku tau ada tujuan lain Tuhan mengikutsertakan aku tanpa Aniez.
Selengkapnya...