Selamat Jalan, Pak Kiyai..

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raaji'un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Selamat jalan KH. Makhtum, terimakasih atas semuanya.

'Assalamu'alaikum Tadz. Kiyai Makhtum baru saja wafat di RS Darmo. Belum tau kapan kembali ke pondok dan dikebumikan. Kalau berkenan ke pondok, hubungi saya ya'
'Tadz, kalau sudah gak sibuk, tolong bales'
'Tadz, infonya Kiyai Makhtum Insya Allah nyampe pondok jam 8 malam dan dikebumikan besok pagi. Nungguin anaknya yang di Madinah dan Jogja'
'Tadz, kami sudah dalam perjalanan kembali ke pondok'

Empat pesan datang berangsur dan menyesaki inbox hapeku sejak siang dan sore kemarin. Aku bukan tidak membacanya, tapi aku bingung menjawabnya. Saat membaca, kesedihan langsung membawaku berjalan memutari waktu. Lama dan pelan.
Entah kenapa, aku mengingat hampir semua ekspresi almarhum di pertemuan kita. Almarhum tidak pernah secara langsung mengajar di kelasku, 6 tahun di Al-Amien. Kesempatanku bertemu beliau hanya saat Kuliah Subuh yang pengisi utamanya selalu tiga serangkai anak" Djauhari atau saat acara Kuliah Umum Kemasyarakat, bekal menjelang liburan. Aku tak pernah tau rasanya belajar pada beliau di kelas, dengan jarak yang hanya terpisah meja dan lantai. Tidak pernah. Tapi aku bisa membayangkannya. Sama rasanya saat duduk bersila mendengar suara dari kedua kakaknya, yang lebih dulu tiada. Seolah ada rasa intimidasi keilmuan yang dalam. Ragaku bergetar seolah sedang jatuh cinta. dan aku, tak pernah melewatkan setiap pertemuan dengan ketiganya tanpa pena dan kertas.
Siang itu, untuk sesaat, aku mengalami de javu yang, tidak, aku ingin lama memasuki de javu. Aku tidak konsentrasi dengan yang aku kerjakan di meja redaksi. Beberapa kali atasan memanggil tanpa jawaban, hingga akhirnya berujung instruksi dengan teriakan. Aku tak bisa menahan sedih ini. Meskipun di depan dua perempuan siang itu di ruangan. Aku hanyut dalam sedih. Anehnya, aku merasa sangat kehilangan. Padahal sudah lama aku tidak pernah bertemu almarhum. Terakhir, enam tahun lalu di RSI Sumenep, saat beliau tergolek sakit. Padahal, almarhum bukan pengajar di Tahfidz, lembaga tempatku berada. Apa karena beliau adalah penyandang terakhir dari Djauhari, tepat di belakang namanya. Tidak, aku tidak mengerti. Aku hanya sedih, sangat. dan kehilangan.
Sampai di kamar pun, aku ingin sekali menangis. Aku tak berhenti berdoa, memohon ampunan untuknya padaNya. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Ada sesak yang bergemuruh di dada, ingin aku ungkapkan, tapi tak ada air mata. Sudah aku coba membangun suasana sedih. Surat Yaasin yang aku baca bahkan hanya mengantarkanku pada mata yang sembab tanpa genangan air di pelupuknya. Bagaimana lagi aku mengungkap kesedihan ini. Satu"nya air mata pada almarhum yang aku rasakan, keluar saat tulisan ini dibuat. Saat pagi, saat aku baru memasuki kantor 10 menit, saat almarhum sudah dikebumikan.
Bersama beberapa teman, aku sudah berencana menjenguk beliau ke RS Darmo. Sore atau petang, di sela" kerja. Tapi kabar duka itu benar" menyesalkan. Aku tidak berhenti menyalahkan diri, menunda rencana menjenguk beliau yang sudah 2-3 hari dirawat di Surabaya. Hal paling mengecewakan lainnya adalah aku tidak mengikuti shalat janazah di Al-Amien pagi ini. AKu hanya bisa shalat ghaib di kos, di kamar, dengan kondisi yang sangat sial, kondisi air mata tertahan tanpa tau kenapa.
Kemarin, di kamar, aku mengingat semua yang bisa aku ingat tentang beliau. Anak Djauhari paling cerdas, pintar dan jenius. Kedua kakaknya pun mengakui hal itu. Banyak yang bilang kalau almarhum punya ilmu ladunni, sejak masih nyantri pada Kiyai Imam Zarkasyi di Gontor sampai S2 di Madinah sana. Semasa hidup, mendengar beliau memberi ceramah, sama hanya aku mendengar Yudi Latif bicara. To the point, sangat berbobot, berkelas dan bermanfaat tak hanya secara pengetahuan, tapi menyentuh sisi kehidupan yang harus dijalani sebagai seorang santri. Selama memimpin majalah sekolah dua periode, cita"ku adalah mendapat tulisan beliau di rubrik Kolom, tapi tak pernah berhasil. Sudahlah, aku tak sanggup lagi meneruskan tulisan ini.
Selengkapnya...

Reason..

Sampai hari ini pun aku belum cerita ke Kiki, konsultasi tentang sakitku yang sudah 3 pekan ini bersarang. Kiki bukan satu"nya temenku yang dokter, tapi dia selalu menjelaskan keluhanku dengan sangat detil dan, dengan solusinya. Tapi Kiki paling bawel kalau aku gak nurut, apalagi mengacuhkan. Tiap sakit dan mau konsultasi, itu alasan pertama yang membuatku enggan menghubunginya.
Seringkali, saat Kiki memberi jawaban, sakitku selalu berbarengan dengan pancaroba. Dan selalu berlangsung lama. Satu hari kolaps di tempat tidur, lalu bisa berhari" setelahnya beraktifitas dengan minim stamina, lemas dan sakit di bagian kepala. Terjadi berkali" dan aku jadi pasien tetapnya. Sebenarnya, tadi pagi dokter muda ini bertanya tentang JTF 2015 via teks. Tapi aku terjebak dengan kamera di tangan, lupa cerita. Cerita pun, paling dibuka dengan omelan. Apalagi kalau dia tau kalau kali ini sakitku juga karena mengabaikan cuaca. Bahkan, empat hari terakhir, tidak ada siang yang aku lewatkan tanpa hujan"an. Tapi siang ini, hujan"annya terasa spesial. Gak pake telor.

Malam ini, aku memutar komposisi Reason milik Eva Celia berkali-kali. Tanpa henti. Hanya lagu itu. Sial, enak banget. Sudah sejak pertama kali dilaunching, aku sudah jatuh cinta dengan lagu ini. Tapi baru kali ini aku sempat mendengarnya dengan tenang, di tempat sepi tanpa ada orang lain, ditemani secangkir kopi di samping keyboard dan menemani hingga tulisan ini berakhir. Baru kali ada kompsosisi dari musisi perempuan yang menemaniku menulis. Menulis sekali lagi, tentangmu. Tidak, kali ini tentang senyummu. Ya, hanya senyummu.
Aku tak mengira malam ini akan panjang bagiku. Kenyataan seharian ini belum istiarahat, mata digunakan maksimal dan besok pagi harus sudah kembali ke kantor, harusnya sudah cukup jadi alasan buat kembali ke kamar dan tidur. Tapi aku malah menambahkan gula ke setiap minuman yang aku teguk untuk menahan reduksi semangat. Aku masih tak menyangka bisa melihatmu tersenyum dengan sengaja. Sayangnya, senyum itu berada tepat di depanku. Situasi yang membuatku semakin meneruskan niatku kabur dari kursi petang itu. Aku berkali" memintamu pindah duduk di sampingku, tapi negatif. Kau memilih tetap di kursimu dan aku masih dengan grogi yang aku sembunyikan di tempatku duduk, di depanmu, karena senyum itu.
Reason masih terdengar jelas di ruang dengarku. Mengalun ladid, seolah Eva juga berkomunikasi dengan gesturnya padaku. Seperti yang aku lihat malam itu. Sesekali sebuah senyum tersungging tanpa sengaja dan sialnya, aku juga melihat tanpa sengaja. Jadilah kondisi yang harusnya tidak sama" tau, aku melanggarnya. Kau tidak tau aku melihat senyum itu, tapi aku tau Kau sedang tersenyum. Sehingga beberapa kali aku sengaja diam dan berhenti bicara, agar Kau juga diam dan tersenyum saat tak melihatku. Tak semua berhasil, tapi beberapa kali aku menangkap momen itu dengan mata, kamera sempurna ciptaan Tuhan. Oh shit, ternyata kamera hapeku juga membingkainya.
Bagaimana jika pembahasan ini aku akhiri saja..? Biarkan aku menikmatinya sendiri dan mendeskripsikannya diam". Sudah lama aku tidak berkisah lagi di sini. Penyakit 'invisible' ku belum sembuh. Memulainya kembali pun butuh waktu lama dan satu pelecut sempurna agar jemari juga ikut menepikan rasa malas itu. dan pelecut malam ini adalah sneyum itu, senyummu.


I could be all that I am, right now I know I'm on my way to it I want to be
Even if I ever feel lost inside, you are the reason I find my way again
Reason_ Eva Celia
Selengkapnya...

Beranjak atau Bicara..

Malam yang berat. Dua hari yang sama. Berada di kamar dengan kaos terbungkus jaket. Berkeringat hebat, satu kondisi favorit saat sakit. Tidak, aku hanya ingin menyebutnya dengan kondisi lemah. Kurang berdaya. Kondisi sengaja mematikan kipas angin dan menutup jendela. Kondisi sedang bermusuhan dengan angin, apapun medianya. Kondisi yang pernah aku rasa saat aku candu memikirkanmu.
Aku tidak ingin pagiku bermula begini. Kacau. Beranjak seadanya saat Subuh, dengan tangan gemetar seperti mengidap parkinson. Tampil sembrono di hadapan Tuhan, sedangkan aku menyimpan banyak keluh yang harus dibicarakan padaNya. Beberapa teman datang ke kamar bergantian. Entah kenapa mereka jadi sok tau, jadi memperhatikan setiap gerak yang ingin aku lakukan. Jadi penyayang. Jadi pengasuh tiba". Jadi sok bijak dengan bilang aku sakit dan harus segera dirawat. Hal mengherankan lainnya, dari mana mereka menyimpulkan..? dan jika benar, dari mana mereka tau..?
Padahal Jumat ku baik" saja, meskipun semua orang di NewMedia berkata wajahku pucat, awut"an dan tidak segar. Aku tidak mengabaikan, aku hanya balik bertanya 'Memangnya, di hari lainnya aku bagaimana..?'. Aku berbohong, hal yang sama sering dilakukan Ibu dan Bapak saat sedang sakit. Malamnya, aku berada di kondisi yang sama seperti malam ini.
Hari ini pun aku ingin berpura". Aku mulai bisa melakukannya. Seperti semua orang di sekelilingku. Berpura tertawa untuk menarik perhatian. Berpura pintar untuk menjilat. Berpura tersenyum untuk menyembunyikan kebencian. Berpura bicara untuk menghindari tanya. Berpura" bukan munafik. Hanya candu yang terbiasa. hingga akhirnya berakhir pada kekosongan. Aku biasa melakukannya. Berpura tidak terjadi apa", sampai kemudian emosiku hilang bersamanya.
Saat seperti ini, pikiranku sering meracau. Berkata apapun tak sesuai hati. Berteriak pada bolpen yang seringkali aku pegang. Berbisik pada setiap buku, menanggapi salah satu isinya. Blur, adalah buku yang sering aku ajak ngobrol. Bill Kovach dan Tom Rosentiel, penulisnya, tak pernah tau aku sering mengolok"nya. Aku mengajakanya agar sering ke Indonesia, agar tau bagaimana distorsi informasi masih sering tersaji sebagai berita. Hanya di sini, di negeri antah berantah, katamu.
Saat seperti ini, aku memang tak lagi waras. Tapi berhasil membuat hidupku lebih tenang, membuat bayangmu selalu ada dan menentramkan malamku. Aku takkan tenang, saat sehatku datang. Sehat itu melelahkan, harus mendengar dan melihat seperti biasa. Meskipun tak semua ingin Kau dengar dan lihat. Malah, Kamu yang ingin sekali aku pandang, harus terhalang oleh banyak siluet bayang.
Saat seperti ini, aku ingin berjalan ke luar. Menyusuri malam, sendiri. Berhenti berharap pada manusia lainnya. Mungkin sebentar, mungkin juga lama.
Selengkapnya...

Kembali Pulang; Ironi Siang Itu..

25 Desember 2015
Hujan masih deras mengguyur siang itu. Di kepalaku, berkecamuk banyak diksi untuk aku deskripsikan, untuk aku ceritakan padamu. Tentang hujan yang Kau hindari, tentang tawaku yang tak mungkin Kau lihat, tentang tanya yang tak mungkin Kau jawab iya 'maukah Kau hujan"an bersamaku..?' dan tentang semua bunyi merdu rinai tak beraturan ini. Siang itu aku gila, senyum dan tawa bergantian berebut satu tempat di bibir.
Dari tempatku berdiri, aku melihat petir menyambar di sana-sini. Disusul suara gemuruh guntur yang selalu membuat Ibu khawatir. Setiap kali suara geledek itu datang, Zein adalah objek pertama yang Ibu lihat setelah beristighfar. Dari tempatku berdiri, aku menyembunyikan kecemasanku pada Bapak yang tak kunjung nampak di seberang laut. Bapak bukan orang sakti yang bisa menangkal petir, Bapak juga bukan teman laut, badai dan ombak. Tapi, durasi yang dia jalani selama 20an tahun ini, jadi jaminan buatku menghilangkan cemas. Anak sialan, malah yang aku cemaskan adalah kemungkinan" jawabanmu tentang pertanyaanku.
Dari tempatku berdiri, aku sudah tau jawaban yang akan Kau sampaikan. Kau alergi hujan dan aku manusia gurun norak yang sudah lama merindukan hujan. Salah satu bahagia bagiku, sebenarnya cukup dengan membuatmu tertawa. Tapi sifat dasar manusia-ku datang, tidak puas, ingin lebih dan egois. Aku ingin melihatmu tertawa karena aku tertawa, karena aku hujan"an atau karena kita berdua hujan"an. Aku gelengkan kepala. Jika sampai ajakan itu terlontar dari mulutku, aku tidak akan memaafkan diriku. Karenanya, aku simpan pertanyaan sia" itu.
Dari tempatku berdiri, jarak pandang sangat terbatas pada dua perahu yang sudah bersandar di pantai depanku, objek terdekat. Aku masih berdiri tanpa tau kapan aku beranjak pulang. Sesekali aku menghela nafas panjang, tanda kalau aku terlalu lama berpikir. Bagaimana tidak, aku berhadapan dengan teka teki dunia bernama hati. Apalagi hati yang satu ini tertanam pada fisik seorang perempuan. Tambah rumitlah urusan. Jika ada stetoskop khusus untuk mendengar percakapan antara hati dan isi kepalamu, aku adalah orang pertama yang membelinya. Tapi jangankan mendengar organ tersembunyimu, melihat ragamu saja aku enggan, penyakit bertemu perempuan.
Dari tempatku berdiri, aku merasa samar" aliran air hujan sudah masuk sampai ke semua organ intimku. Sesekali aku mendekapkan tangan, ironi yang lazim aku lakukan. Hujan"an, berusaha menghangatkan tubuh. Mencintai hujan, tapi menempatkan payung saat keluar kantor untuk makan. Merindukanmu, tapi tak ingin bertemu. Tak ingin menyapa. Tak ingin terlihat olehmu. Alasanku banyak, tapi semuanya masuk akal, menurutku. Mungkin suatu saat, aku harus ke dukun. Konsultasi tentang penyakit 'alergi perempuan' ku.
Dari tempatku berdiri, aku masih bertanya satu hal yang belum Kau jawab. Apakah Kau juga merindukanku..?!
Selengkapnya...

Kembali Pulang..

5 Desember 2015
Doaku terkabul. Hujan turun deras saat aku pulang ke rumah. Jarang terjadi, karena tanah Madura yang panas seringkali hanya dikepung gerimis, meski berulang kali. Tapi tidak siang ini. Sejak pagi, mendung membungkam cahaya matahari, menepikannya entah ke mana. Sebelum hujan turun, gelegar guntur dan kilat petir jelas didengar dan nampak terlihat. Mengerikan. Tidak bagiku.
Siang itu, Ibu meminta Zein, adik bungsuku yang masih kelas 1 SD mematikan TV dan mencopot semua kabel yang terhubung. Zein yang juga takut setiap kali petir terlihat, menuruti permintaan Ibu dan bersembunyi di samping pintu kamarku. Dia mendekat dan memelukku saat petir kembali datang dengan cahaya memanjang dan bercabang, terlihat di sela2 pintu rumah yang tak tertutup purna. Dari arah dapur, Ibu berdiri memandangi langit melalui jendela.
'Deras ya, siapa yang bantu Bapakmu..?', gumam Ibu. Aku bergegas ganti celana pendek, kaos dan membuka pintu.
'Biar saya aja Bu', aku tersenyum ke arah Ibu. Ibu menghela nafas. Mungkin Ibu tau kalau sebenarnya aku ingin hujan"an.
'Hati" ya. Buruan, jangan sampe Zein liat, ntar dia ikut', Ibu mengatakan itu dengan mimik seolah ingin mengusirku. Aku berjalan santai menikmati derasnya hujan ke pantai, sekitar 21 meter di belakang rumah. Hahahahaha, sambil jalan, aku mengingat kapan terakhir aku melakukan ini, hujan"an tanpa peduli kesehatan. Hujan semakin deras saat aku berhasil mengingatnya. Sesampainya di lencak yang ada di pantai, aku memicingkan mata dari balik kacamata yang aku kenakan. Aku budi, buta dikit, dengan kondisi cuaca seperti ini, mengandalkan kacamata saja tak cukup.
Kekhawatiran Ibu bukan tanpa sebab. Saat hujan deras seperti ini, laut bisa sangat mematikan. Gelombangnya sangat labil, ditambah angin kencang yang berhembus seolah ingin menikam semua usahamu untuk selamat. Aku berdiri mematung, baju dan celana pendek yang aku kenakan sudah basah kuyup sejak awal keluar rumah. Satu persatu aku melihat perahu datang dari arah utara, berlabuh. Tapi tidak ada tanda" parahu itu milik Bapak. Sebelas. Iya, sebelas kapal. Aku menghitungnya.
'Kak', aku masih memicingkan mata dengan kecamata masih basah. AKu tak bisa mengelapnya. Percuma kurasa. Sesekali menundukkan kepala dan berpikir. Bodoh, terlalu berlebihan. Bapak sudah melakukan profesi ini sejak aku balita, sudah sekitar 20an tahun. Hujan dan angin kencang seperti ini saja tak akan memadamkan usahanya pulang ke rumah. Bapak sudah melewati banyak badai yang mungkin dia sembunyikan dari kami.
'Kak, masih lama', aku menoleh ke depan, ke arah suara yang aku dengar barusan.
'Eh Rul, apanya..?', tanyaku padanya saat dia ambil tanganku menyalami. Khoirul adalah teman sepermainan Zainal, adik keduaku. Dia sangat dekat dengan keluarga kami. Dia juga yang seringkali membantu Bapak mengangkut semua hasil ikan yang didapat Bapak, ke rumah.
'Bapak masih lama datang. Mungkin setengah jam dari sekarang. Pulanglah, biar aku yang menunggunya, seperti biasa. Saat Kakak selesai mandi, paling Bapak udah datang', pintanya padaku. Dia mendorongku untuk pulang. Dia mendorong dalam arti yang sebenarnya, secara fisik. Kami berdua masih hujan"an. AKu melihat ke arahnya, dia menggerakkan kepala dan bibirnya seolah ingin aku pergi dari tempat ini. Kebetulan hujan sudah mulai melambat turun dari sebelumnya.
'OKe, minta tolong ya Rul', kataku padanya.
'Jangan khawatir, ini sudah aku lakukan sejak kalian semua gak ada di rumah', maksud Khoirul adalah kami bertiga; Saya, Zainal dan Nurul yang satu persatu meninggalkan Seppolo dan melanjutkan studi. Aku meninggalkan pantai dengan jalan mundur, sambil tetap mengarahkan pandanganku berharap Bapak datang sebelum aku pulang.
AKu ingin bertahan lebih lama di sana, tapi hujan sudah mereda. Aku harus memenuhi janji dengan seorang teman datang ke tempat usaha barunya berupa warung kopi dan angkringan. Baru dibuka 2 pekan. Dia ingin aku berkunjung dan melakukan review serta riset kecil"an untuk pengembangan. Tentu bukan secara hitung"an ekonomi bisnis, hanya menelaah minum dan makanan yang dia sajikan serta beberapa analisa psikologi konsumen. Haduuuhh, ada" aja ni anak. Aku ini siapa coba.
'Belum thonduk ya Mim..?', tanya Ibu saat melihat sosokku di depan rumah.
'Belum Bu, Khoirul yang mau jemput',
'Ooh, dia udah di sana. Yaudah mandi sana', kata Ibu yakin. Aku melihat wajah Ibu. Aku tersenyum, lalu tertawa dalam hati. Aku lupa, keluarga besar ini sejak dulu dibangun oleh banyak kepala dan tangan. Dibangun oleh banyak kesedihan yang terbagi tanpa diminta dan dengan rangkulan hangat banyak dekap tanpa menawarkan. Semuanya berlandaskan kepercayaan. dan perlahan terwarisi dengan sendirinya, tanpa diajari pada generasi selanjutnya, karena semuanya terlihat nyata dengan sikap. Perlahan juga, menular pada orang lain di sekitar kami. Khoirul misalnya.
Berada di luar sana, mungkin sudah membuatku terlalu naif. Setiap hari, sesekali aku menulis kasus" yang tidak mengenakkan, seringkali melibatkan pengkhianatan. Intrik, politik, kebohongan, dusta, prasangka dan under estimate sering jadi dasar berita yang aku tulis tiap harinya, atau kadang sering aku dengar. Aku lupa, hari ini aku berlibur. Aku harus menempatkan diriku pada situasi di tanah yang aku injak. Kebetulan, libur kali ini adalah pulang ke rumah. dan dalam rumah ini, ada keluarga yang sudah mengajariku banyak hal, sebelum aku duduk di kursi kecil sekolah TK dulu.
Selengkapnya...

Tanyakan Pertanyaan Itu, Bu..

Bu, berlebihankah jika aku akan pulang hanya untuk melihatmu..? Obrolan kita petang tadi benar" membuatku gusar. Bahkan saat tulisan ini dibuat, aku tak berhenti bertanya, apa yang ada di benak Ibu tentangku..? Ibu hanya menanyakan kabarku, hal yang aku takutkan.
Dulu, saat di pesantren dan selama kuliah, Ibu menanyakan dua hal sebelum kabarku. Hafalan Qur'an dan shalat-ku. Sampai dua setengah tahun terakhir ini pun, Ibu masih melakukan hal yang sama. Tapi tidak untuk sebulan belakangan. Ibu hanya menanyakan kabarku, kesehatan dan aktifitas malam yang aku lakukan. Bu, beginikah kita..? Kau menyembunyikan sesuatu dariku dan aku harus bertanya" sampai sebulan ini.
Dulu, Ibu selalu bergumam lirih bahkan sedih saat aku mengelak dari semua pertanyaan tentang ibadahku. Apa karena itu, Ibu kini tak menanyakan hal itu lagi..? Bu, jangan bikin aku gusar. Apakah Ibu sudah tak lagi percaya pada kebutuhanku pada Tuhan..? Atau, Ibu mentorelir semua yang aku lakukan di sini, dengan semua kegiatan kampret ini..? Ibu tidak ingin aku terganggu dengan pertanyaan" itu..? Bu, jika bukan Ibu, siapa lagi yang mengingatkan hubungan vertikalku pada Tuhan..? dan Ibu, tidak menjawab saat aku bertanya pertanyaan ini beberapa hari lalu.
Bu, aku kira tidak berlebihan jika besok aku pulang hanya untuk menemui Ibu. Meminta jawaban tentang kegusaran ini. Memandangimu lama, sekuat leherku menengadah dari tempatku mencium tanganmu ke wajah teduhmu. Bu, pekan ini hujan masih diperkirakan turun deras di Jawa Timur. Masih bisa kan aku hujan"an sementara Ibu tersenyum seolah melihat pria kesetanan menemukan mainannya..? Jangan lagi Ibu tunjukan wajah cemberut dan berakhir dengan omelan karena takut aku sakit. Aku sudah lama latihan untuk mempersiapkan datangnya hujan kali ini. Sama seperti setiap hari aku mempersiapkan diri melihat dia karena terlalu gugup.
Bu, mungkin besok tak aku temukan jawaban dari pertanyaanku. Tak apa. Aku hanya ingin Ibu tau, soal aktiftasku pada Tuhan, aku masih yang dulu. Mungkin pertanyaanmu sudah berkurang di setiap kali komunikasi kita, tapi tidak ada yang berkurang, antara cintaku padamu, atau doaku untukmu dan semua langkah ini, tentu untuk melihat senyummu mengembang ikhlas..
Selengkapnya...

Semalam, Hujan

Sepagian ini aku menyembunyikan sesuatu. Tapi tak bisa lagi aku teduhkan. Aku baru saja mengalami malam yang aku harapkan. Semalam, hujan, untuk pertama kalinya turun di Pakis dan sekitarnya. Sudah dua kali hujan turun sebelumnya di Surabaya, tapi tidak di selatan. Aku benar” merasakan sengatan tawa dalam hati yang tak bisa diungkap. Mungkin tepatnya tak bisa kaluar, malu, karena ada perempuan di belakang tempatku duduk. Aku membiarkan rintiknya mengguyur pakaianku, hingga masuk membasahi sebagian tubuh dan ubun” kepalaku.
Semalam, hujan datang tak bilang. Dia hanya memberi tanda melalui mendung yang kali ini tinggal lebih lama di langit. Sudah dua kali langit Surabaya mendung, tapi aku hanya mendengar cerita bahwa di daerah ini sedang hujan, dan daerah lainnya deras. Tidak dengan Pakis. Mungkin aku terlalu serius merespon, terlena dengan hape yang tak kunjung aku ketahui cara memperbaikinya. Jadinya, tak ada persiapan merayakannya. Menyambut hujan yang sudah lama dirindukan.
Semalam, aroma khas tanah yang diguyur hujan menyengat di penciumanku dan hidung Laras. Kami tak menduga rintik hujan yang turun dengan ragu, datang bersama milyaran lainnya. Aku mempercepat laju kendaraan dan sesekali berbisik sendiri. Aku bahkan tak mendengar dengan jelas apa yang sedang Laras ceritakan padaku tentang kisah asmaranya bersama Shandy. Aku hanya menyimaknya secara perlahan dia tertawa dan sesekali memanggil namaku, entah buat apa. Ternyata hujan semakin deras turun, dan semakin lemah pendengaranku pada suara Laras. Meskipun antara telingaku dan mulutnya hanya berjarak 7cm. Aku semakin meracau tak jelas, hingga Laras mendengar apa yang sedang aku bisikkan.
‘Kalau gitu, kenapa Kamu percepat..?!’, tanya Laras padaku.
‘Hah..?!’, aku bingung, kenapa dia bertanya begitu.
‘Daritadi Kamu bilang ‘aku ingin ngerasain hujan’. Yaudah pelan” aja’,
‘Hah..? Aku bilang gitu..?’,
‘Iya, daritadi’,
‘Kamu gapapa..? Hujan lho. Basah..’,
‘Gapapa. Justru Kamu gmana..? Blum pulang seharian di kantor, malah hujan”an pas keluar’,
‘Hahahahaa, gak ada yang lebih aku harapkan dari ini, Yas’, aku memelankan laju roda dan melewati rute terlama sampai ke kantor. Sial, hujan semakin deras. Hal yang aku bingungkan. Harusnya aku sedang sendirian. Aku tak ingin orang lain hujan”an karena mengiyakan kegilaanku. Aku percepat, lalu berhenti di outlet cemilan yang Laras inginkan sebelum sampai kantor. Aku bertahan di luar, menyapa hujan. Hahahaha, alay. Aku benar” tak bisa menahan rindu ini. Aku bahkan beberapa kali muntah, kondisi saat aku sangat senang dan antusias.
Semalam, aku bertanya pada hujan. Kenapa Kau datang begitu lama..? Aku, dan banyak orang lain menginginkanmu turun, sejak lama. Aku tau, mungkin Kau datang menyapa pada yang lebih membutuhkan. Kau datang dengan cepat di Sumatera dan Kalimantan, jauh sebelum November dimulai. Lalu perlahan Kau bergerak, ke Jawa dan sekitarnya, pulau busuk, munafik dan yang dipenuhi manusia berdosa sepertiku.
Semalam, aku hanya tak berhenti tersenyum seolah kesurupan. Seolah aku mendengar apa yang ingin Kau katakan. Kami turun, itulah cara kami menang dan mati. Membuat manusia senang seakan kami adalah berkah bagi mereka, kami merasa menang. Mengaliri sawah” kalian dan menghentikan kekeringan di beberapa tempatmu. Tapi dengan cara yang sama, kami mati. Membuat manusia resah seakan kami adalah bencana. Mendiami beberapa tempat rendahmu terlalu banyak hingga kalian tak lagi bisa menampung kami. Dan, saat musimnya tiba, kami datang tak hanya sekali. Masihkah Kau mengharapkan kami datang, manusia..? Dahiku mengernyit mencari jawaban paling baik. Tidak, bisa jadi iya dan akan tidak lagi pada suatu waktu.
Semalam, pendengaranku terganggu. Aku semakin tak mendengar jelas panggilan Laras yang sudah mendapat cemilan yang dia inginkan, untuk kembali ke kantor. Hujan masih deras mengguyur. Aku ragu hujan bertahan lama, seperti raguku apa bajuku akan kering cepat..? Atau aku harus membiarkan baju dan celanaku basah seperti ini masuk ke ruang New Media, ruang dengan dua AC dingin yang hanya akan meneruskan potensi penyakit masuk. Aku ragu aku peduli. Karena aku sudah tau konsekuensinya.
Karena semalam, pagiku tak lagi datar. Karena semalam, aku kembali akur dengan netbook tuaku. Karena semalam, aku jadi bertanya, apa Kau juga sedang bahagia..? Semoga iya.
Selengkapnya...

Not In Mood..

Hari ini pagiku datar. Tidak ada senyum, tanpa dahaga, tidak lapar dan terasa hambar. Tatapanku hanya mengarah pada kaca besar di samping meja redaksi yang aku tempati. Langit masih redup dan matahari tak begitu berani keluar dengan terang. Tampak jelas, cahayanya kabur karena terhalang kabut. Entah, semacam ada yang salah dengan bangunku. Padahal tak ada mimpi semalam. Tidurku nyenyak, tidak ada Kamu di dalamnya, tidak seperti hari" sebelumnya.
Hari ini aku ingin berpura" saja. Berpura tersenyum seperti biasanya. Bukan hobiku menyenangkan orang lain. Aku lebih suka bermanfaat bagi orang lain. Mungkin saja tersenyum di depan orang bisa menular. Aku ingin berpura lapar, lalu mencari camilan di bawah agar pandanganku beragam. Tapi aku tak ingin berpura haus. Dudukku yang lama di depan layar komputer akan membahayakan jika tak dibarengi dengan minum yang cukup. Sudah jadi rutinitasku mencari kardus dengan banyak gelas mineral di dalamnya, ngambil dan membawanya ke ruang New Media.
Hari ini aku hanya sedang tak semangat. Selain bernafas dan mengetik berita, aktifitasku hari ini hanya terbatas pada ngunyah, minum, sesekali meniup panas hawa kopi yang aku seruput. Jangan tanya kenapa, aku juga tak tau. Bukan juga karena kekalahan Rossi semalam. Aku tidak begitu peduli. Kalah menang, Rossi tetaplah Rossi, rider idolaku. Sama seperti merindukanmu, tak butuh alasan aku menyukai dan nge-fans Rossi sejak SD dulu. Entah dekat atau jauh secara fisik, aku juga tak tau kenapa tetap merindukanmu. Merindukan obrolan tak penting kita. Merindukan tawa lebar yang kadang tak bisa Kau tahan. Mungkin saya satu"nya pria yang merindu dengan cara seperti ini. Bodoh.
Hari ini aku hanya ingin bercerita melalui teks, untuk mengusir kebosanan. Beberapa pesan masuk hampir aku abaikan. Beberapa diantaranya ngajak nonton Spectre, beberapa yang lain bertanya kapan jam kosong hari ini. Aku membalas yang bertanya, dan merespon yang membutuhkan penjelasan. Lalu kembali menopang sikut di meja dengan tangan terkepal depan wajah. Entah apa yang aku lihat, layar komputer di depanku juga tak begitu menarik untuk dilihat. Memejamkan mata pun sulit, karena aku sudah menekan kantuk sejak semalam. Kemudian mataku beralih pada gelas" plastik kosong dan cangkir berisi kopi di depanku. Aku masih bertanya dalam hening, tempat yang sering aku singgahi saat ruang dengarku mulai penuh dengan omong kosong. 'Apa aku terlalu naif..? Berpikir bahwa ada manusia yang benar" lugu..?'.
Hari ini akhirnya aku memutuskan sesuatu. Aku ingin bepergian ke tempat lain. Tempat yang Sapardi akan ceritakan dalam novelnya 'Hujan di Bulan Juni'. Mungkin akan aku baca saat benar" tak lagi ada yang bisa aku lakukan untuk Androidku yang sedang hank. Atau aku memaksa, membacanya dan membusuk di kamar yang terakhir aku lihat sedang berantakan. Atau aku menyerah, memilih tempat bagus buat menghabiskan tiap lembar novel yang diadaptasi dari kumpulan puisi itu. Asal ada secangkir kopi, gairahku hidup. Untuk meneruskan niat membacanya atau hanya duduk mencorat coret kertas menuliskan namamu.
Selengkapnya...

Izinkan Aku, Hujan..

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang aku rindukan.
Pagi ini Surabaya lebih gelap dari biasanya. Mendung samar” mengitari langit Surabaya dan sekitarnya. Awan berwarna abu” itu tampak sedang gelisah membuat keputusan. Dilema; menghentikan kemarau berkepanjangan, atau hanya memberi harapan. Aku memandangi dengan dahi mengernyit dan tangan terkepal di depan wajah. Dari meja redaksi yang aku tempati, tampak jelas ini bukan kabut seperti yang diceritakan BMKG beberapa hari sebelumnya, yang juga terjadi di langit Bandung.
Jauh sebelum pagi ini, BMKG memberi banyak prediksi, hal yang hanya bisa dilakukan manusia atas kehendak Tuhan. Kemarau tahun ini lebih panjang dan musim penghujan akan datang terlambat. Kekeringan akan usai di akhir Oktober dan hujan turun membasahi negara kagetan ini di awal November. Aku menunggu dan tak berhenti berdoa. Di luar hubungan horizontal dengan manusia, hujan adalah hal pertama yang aku rindukan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena semua orang butuh hujan. Bukan hanya untuk mengakhiri kekeringan, tapi juga menyudahi derita korban bencana asap di sana, di Sumatera dan Kalimantan.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang tak akan aku lewatkan.
Sampai dua hari yang lalu pun, pagi di Surabaya tetap begitu. Sejuk dan agak gelap. Kemudian datang siang, mengandaskan harap dalam sekejap. Panas, bahkan suhunya pernah mencapai 41 derajat celcius. Semua mengeluh, jalanan penuh karena kota ini tak pernah menawarkan jeda secara utuh. Bahkan di luar sana, warga masih diributkan soal persiapan Pilwali 9 Desember nanti dan animo unjuk rasa yang berangsur naik tiap harinya. Aku hanya mendengar, sesekali menauliskannya untuk disebar sebagai berita.
Beberapa teman bertanya, kenapa Surabaya sepanas ini. Sebagian lainnya hanya berujar mengeluh lewat layanan pesan singkat ke hapeku. Aku tak langsung menjawab, sebagian aku biarkan begitu. Keluhan hanya keluhan, ketidakpuasan pada yang didapat. Beda cerita jika keluhan ditujukan pada apa yang orang lain dapat. Aku hanya menjawab datar, sesekali sok menenangkan bahwa cuaca ini adalah pertanda hujan akan segera tiba. Di luar hubungan vertikal dengan Tuhan, hujan adalah hal pertama yang aku butuhkan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena kata banyak orang, di Surabaya, hanya hujan yang memicu senyum dan tawa asliku. Aku juga tidak terlalu mengerti apa yang mereka maksud.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, fenomena alam yang sangat aku cintai.
Pagi di Surabaya hari ini beda. Karena semalam hujan turun untuk pertama kalinya nyaris merata di Surabaya. Gerimis, sebagian daerah malah deras sampai bau tanah tercium jelas. Aku tak berhenti tersenyum merasakannya. Mencium aroma khas tanah yang diguyur hujan. Ingin sekali beranjak dari meja redaksi malam itu. Sayangnya, di Surabaya selatan, di tempatku berada, hujan masih tertahan. Banyak yang mengeluhkannya. Bahkan tak sedikit warga yang sengaja pergi ke tempat yang hujannya deras mengguyur.
Pagi ini keluhan datang tak hanya soal hujan. Inbox hapeku penuh dengan pesan singat dan chat dari teman” di Malang. Mereka bertanya tentang keberadaanku selanjutnya setelah mengakhiri studi S1 di Malang. ‘Masihkah Malang menjadi kota yang kerap akan Kau singgahi..?’ ‘Masihkah Kau akan sering menemui kami di sini..?’ ‘Masihkah kita akan berbagi gagasan, gelas, tawa dan semua keributan bersama..?’. Kalian lebbay. Aku tinggal di Malang tak hanya satu atau dua hari. Aku merepotkan kalian tak hanya satu atau dua kali. Aku duduk dan bersila tak hanya di satu atau dua tempat di sana. Bahkan, di 2,5 tahun aku berdomisili di Surabaya pun, kalian dan Malang masih jadi penyebab tawaku muncul.
Justru, aku yang mulai khawatir. Aku takut. Aku cemas tak bisa sesering dulu menginjakkan kaki di sana. Khawatir tak banyak rintik hujan yang aku lalui bersama kalian di sana. Meskipun sakit kadang datang sebagai konsekuensi. Siapa peduli. Tapi pagi ini, aku ingin mengembalikan inspirasiku yang sudah lama mengering karena kemarau. Aku merindukan hujan. Aku menginginkannya. Aku membutuhkannya, sama seperti aku membutuhkan canda kalian untuk tertawa. Izinkan aku sejenak lebih lama berada di kota ini untuk menanti, hmmm, tidak, izinkan aku menikmati hujan pertamaku di sini. Izinkan aku datang pada kalian dengan senyum asliku setelah melalui hujan pertamaku di sini. Lalu, aku akan menceritakannya pada kalian. Seperti yang aku katakan di meja makan malam itu, ‘izinkan aku bermanfaat bagi kalian’.
Selengkapnya...

Liburan..

1 Juni, 2015
‘Kriiiinggg kriiiinggg’, chat personal whatsapp dari androidku berbunyi. Sudah lama sekali tak mendengar bunyi ini. Sudah sejak saat itu. Saat yang memupus semua langkah dalam rentang dan memudarkan cahaya dalam remang. Jika bukan karena seorang teman yang memintanya, aplikasi ini selalu aku silent.
‘Bro’ ‘Ku di Security’, aku membacanya masih dengan setrika di tangan kanan dan kaos di tangan tetangga, maksudku tangan kiri. Aku langsung bergegas ambil charger baterai kamera dan memakai sandal dan keluar kos menuju kantor menemui Nugraha, teman yang mengirim chat barusan. Aku harus melewati pegunungan yang nanjak, persimpangan Pak Jo yang lalu lintasnya padat dan penuh dengan preman, lalu tibalah di kantor. Jauh banget perjalanan ini, sekitar 72 detik.
‘Ayok ke kosku Mas. Mau kopi atau coklat? Sudah saya siapkan’, aku langsung mencercanya dengan pertanyaan dan berharap segera menjawab agar dia bisa santai” sejenak di kosku menunggu pk. 22.00 WIB tiba.
‘Oh OKe Kid, ayok. Kopi aja’, jawabnya yang langsung meraih tas dan jaketnya siap untuk pergi ke kosku. Selang 2 detik, sebuah sepeda motor datang menghampiri tempat kami berada dan memotong percakapan maha serius kami.
‘Mas Kid, chargeeerrr’, suara seorang perempuan alay membuyarkan acara santai kami seketika. Ternyata Firaoriginal, maksudku Firaorish, setidaknya itu nama yang tertera di ig-nya, gak tau dah nama aslinya. Terpaksa kami hentikan langkah menuju kos dan menetap lebih lama di Security.
‘Nih’, aku menyodorkan charger yang aku pinjem setelah dia memarkir sepeda motor di samping Security. Akhirnya aku duduk lagi di kursi dari ubin yang ada di tempat ini. Kami bertiga berbincang sebentar, lalu aku menarik diri untuk kembali packing.
‘Kid, kopinya mana..?’, Nugraha mengingatkan. Oh iya lupa, aku kembali masuk ke kantor dan naik ke ruangan New Media untuk mengambil kopi Bali, oleh” dari Dodi pekan lalu. Dengan muka cengengesan, aku ambil kopi di slorokan meja ODP yang sedang ditempati Laras bekerja. Aku lupa kalau lagi pake celana pendek. Beruntung, malam itu tidak ada SPV, Manager atau tamu. Serampangan banget dah.
Sejurus kemudian, aku menuju pantry dan membuat 2 kopi buatku dan Nugraha serta racun buat Fira. Tapi aku urungkan karena dia Ketua Panitia piknik kali ini. Saat aku kembali ke Security, sudah ada Listy, Bumil alay yang juga Sekretaris, Bendahara, Sie. Konsumsi, Sie. Kemanan, Sie. Kebersihan, Sie. Keadilan Munajat, Sie. Labil Ekonomi, Sie. Pitung dan Sie. Buta Dari Goa Hantu. Pokoknya dia yang ngurus semua keperluan semua perjalanan ini dah, kecuali dorong mobil kalo mogok.
Aku kembali ke kamar untuk menyelesaikan packing. 21 menit kemudian aku kembali ke tempat Security SS, ternyata di sana sudah datang Adit dan Meta, Ayu serta Heru bojone Listy. Disusul bergantian Yosan dan Indah serta Marcus kemudian. Setelah bersabar sekitar setengah jam, dua mobil yang kami tunggu pun datang. Anak” tereak kesetanan kayak kesetanan. Lah, apaan sih. Mboh apaan.
Dalam hati, sebenernya aku kegirangan. Aku juga tadi sempat muntah, tanda kalau sangat antusias. Sudah lama sekali aku tidak melakukan perjalanan dalam rangka berlibur dengan banyak orang, atau tepatnya teman selingkungan. Maksudku, bener” belibur. Bukan berada di suatu tempat rame”, tertawa bareng, saling mengumbar lelucon tapi dalam suasana kerja. Kali ini benar” liburan, liburan yang sebenarnya. Aku, mereka dan semua orang di dua mobil ini benar” sedang hijrah, melakukan perjalanan untuk melepaskan semua hormon endorphin dan menularinya pada yang lain.
Mobil yang aku naiki adalah mobil sewa, berisi sopir dari tempat rental, Yosan di sampingnya, aku, Nugraha dan Fira di deret tengah serta sepasang sejoli Indah dan Marcus di kursi belakang. Sedangkan satunya, mobil milik Heru, yang berada di samping sopir, Listy dan Ayu di tengah dan Meta serta bonekanya di belakang. Oh sori, maksudku Adit, pacarnya, yang sudah mengabdikan dirinya di SS berabad-abad lalu.
Kami berangkat dengan nekat. Tempat liburan ini masih baru hits, tanpa ada yang tau di sekitar sini. Kami hanya tau dari cerita dan saran teman, lalu portal” berita yang mengulas banyak tempat” wisata di Jawa Timur dan Indonesia. Hampir semua motif kami sama, ingin liburan bersama dan menepikan penat yang muncul setiap hari dari kerja. Beberapa diantara kami biasanya melakukan hal tersebut tiap hari dengan nongkrong bersama teman di lingkungannya. Tapi rasanya beda dengan teman kerja. Kami memiliki persoalan di tempat dan lingkungan yang sama, di situasi yang hampir sama dan cuaca yang sama. Mungkin, pembungannya akan lebih baik hasilnya karena dilakukan dengan orang” yang sama. Dan perjalanan ini pun dimulai.
Setelah berkelana kota muter” agak jauh dari rute biasanya, akhirnya kami sampai di Suramadu, jembatan tol yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura. Pembicaraan di mobil kami didominasi Yosan, Nugraha dan aku. Pembicaraan gak jelas, hanya untuk mengusir kekakuan. Atau mungkin aku, karena duduk harus bersebelahan dengan perempuan. Sementara Indah, sudah nyenyak tidur dengan Marcus di belakang. Saat malam, jembatan ini jadi bangunan dengan cahaya paling megah yang aku temui di Surabaya. Ya terlepas dari kabar buruk saat pembangunnanya dan stigma negatif tentang pencurian yang memanfaatkan akses jembatan ini. Beberapa kali aku lewati jembatan ini saat Subuh atau dini hari bareng temen, dulu. Menurut kami, cahaya yang ditampilkan benar” bagus, dan menimbulkan kesan nyaman saat berada dalam lintasan melewatinya. Jika beruntung, Kau bisa lihat bulan yang ada di sisi kiri dari Surabaya. Apalagi jika bulannya sedang purnama, bulet dan terang. Refleksinya benar” bagus.
Lepas Suramadu, uji nyali sesungguhnya berada. Tengah malam dan kami berada di jalanan yang minim cahaya untuk mendekat ke pengkolan Tangkel, pengkolan ramai cahaya yang akan membuatmu memilih Bangkalan di simpang kiri atau Sampang-Pamekasan-Sumenep di simpang kanan sebagai destinasi. Apalagi, seperti yang aku bilang, di sepanjang jalan ini kerap jadi tempat perampokan. Jalannya lurus saja sebenarnya. Tapi kesan negatif muncul karena kurangnya cahaya, kanan kiri hanya cemara, maksudku rerumputan lahan kosong dan konstruk negative banyak orang tentang suku Madura. Hahahaa, itu hanya mitos. Aku suku asli Madura, dan aku lucu, imut, baik, murah senyum dan ketawa kalau digelitikin meski kadang nyebelin. OKe ralat, iya, sering nyebelin. Tapi ngangenin, nah loh.
Gak hanya di Suramadu, angin di sepanjang trek lurus ini juga kencang. Aku membuka jendela mobil sedikit. Aroma tanah yang khas. Katanya, tidak semua orang bisa mencium bau tanah khas Madura ini. Paling, ya yang orang Madura aja yang tau. Mungkin, karena banyak orang Madura adalah perantau. Saat pulang, kembali ke Madura, tanah itu tercium seperti wajah kekasih yang dirindukan. Tapi, sayangnya, aroma itu tidak bisa ditularkan. Hingga mobil ini belok ke kanan, aku juga tak bisa menjelaskan hal itu pada teman” yang bertanya. Aku hanya tatap membiarkan kaca terbuka sedikit dan menutupnya kembali setelah lama melintas ke arah Tanah Merah.
2 Juni 2015
Aku adalah manusia pellor; nempel, molor. Yoi, asal nempel atau bersandar di suatu tempat, aku bisa dengan mudah mengantuk dan tidur. Sial, kali ini tidak. Padahal saat berangkat aku juga mengantuk. Bahkan, tubuhku kadang tak peduli siapapun yang duduk di sampingku, perempuan sekalipun. Malah hal itu bisa jadi pemicu. Berada di satu tempat sama perempuan, seringkali menghindari obrolan dan memilih tidur. Itu namanya insting. Tapi malam ini, meski nafsu tidur sekalipun, aku tak bisa melakukannya. Sialan.
Hingga akhirnya sampai di Kalianget, melewati perjalanan cepat 3 jam sekalipun, aku tetap tak bisa tidur. Bergantian aku ngobrol dengan Nugraha, Fira dan Yosan. Sesekali kami ngajak ngobrol Mas Sopir yang ternyata satu almamater Fira di UNAIR. Sempat kami jodohkan, tapi karena ini masih tengah malam, kami tunda perjodohan mereka.
Perjalanan Surabaya-Sumenep kami sangat cepat; 3 jam. Ya tengah malem sih. Biasanya 4 jam, itupun sampai Prenduan. Nah ini sampai ujung Sumenep, kita tempuh hanya 3 jam saja. Sesampainya di Kalianget, kami parkir mobil di depan Indomaret, seberang masjid pelabuhan Kalianget. Beberapa kali kami dihampiri beberapa orang, mungkin calo travel, yang ingin membantu kami ke tempat wisata yang kami tuju. Karena diantara kami hanya aku yang bisa mengerti bahasa Madura, jadilah aku yang ngobrol dengan orang” ini. Sesekali aku menjauh dari teman” dan kembali mengkonfirmasi. Hingga akhirnya kami menemukan lelucon Sutija, Sukirman dan Supriman. Haddeehh..
Sekitar 45 menit menjelang Subuh, hampir 1,5 jam kami nongkrong, seorang pria dengan nama Budi datang menghampiri kami. Ternyata, ini adalah pemilik travel wisata yang kami pakai. Setelah sempat berbincang sebentar dengan Listy, Budi mengantar kami masuk ke pelabuhan Kalianget. Kedua mobil kami masuk ke kapal tongkang yang biasa dipakai untuk menyebrang ke Pulau Talango, sebuah pulau, sekaligus kecamatan di selatan Sumenep, yang ditempuh dengan hanya 7 menit saja. Finally, laut (lagi).
Aku keluar dari mobil, berencana menikmati angin malam perairan pendek yang memisahkan Talango dan Sumenep ini. Awalnya, kirain cuma aku, tapi ternyata semuanya pada keluar mobil. Termasuk Indah dan Marcus serta Adit dan Sopo Jarwo, maksudku Meta. Aku keluar ke tepi kapal. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada refleksi bulan purna di laut. Subuh itu, bulan terlihat besar dan kuning keemasan, hampir tenggelam dan menyentuh laut.
Sekilas, aku bertanya dalam diam. Kenapa senja lebih fanatik, jika malam memiliki cahaya dari banyak bintang dan bulan tunggal..? Apa karena gelap terlalu banyak menyimpulkan takut..? Membebani keberanian hingga tumpul..? Entahlah. Subuh itu, aku hanya berusaha mendengar percik ombak dari kejauhan, di samping Yosan dan Fira yang sedang bergantian berfoto dengan background bulan ini. Rasanya ingin menyendiri, membiarkan mereka tertawa, sama” mengungkap keheningan laut, seperti Ayu, Listy dan Heru yang naik ke bagian atas kapal. Kapal ini terlalu kecil dan penuh, tak ada tempat untuk sendiri.
‘Kid, sini aja’, Nugraha yang duduk di ruang kosong tepi kapal memanggil.
‘Oh, bisa didudukin ternyata’, aku menghampirinya dan duduk bersebrangan.
‘Nih’, Nugraha melempar kotak rokok padaku. ‘Hmm.. Enggak, Mas’, jawabku mengembalikan rokok itu padanya.
‘Kenapa..?’, Nugraha lansung bertanya dengan heran. ‘Tidak di depan perempuan’, aku menunjuk Indah dan Fira serta Ayu dan Listy yang baru turun dari bagian atas kapal. Lalu pandangan kami kembali pada pendar cahaya bulan yang seolah mengapung di laut. Beginikah indah bulan saat Subuh, di laut, yang selama ini Bapak ceritakan padaku. Beliau beberapa kali menggumam tentang bulan ini, apalagi saat purnama, padaku dan siapapun yang saat itu bersamanya di teras rumah. Tidak untuk didengarkan. Beliau hanya menggumam tanpa berharap ada yang serius membalasnya. Sekelabat. Hanya bercerita sambil lalu. Rasanya seperti bukti bahwa semua orang memiliki kisah dalam harinya yang ingin disampaikan, tapi tak tau ke mana harus bercerita.
‘Ayo masuk mobil’, suara Yosan membuyarkan masa” hening ini. Semuanya sekilas langsung masuk ke mobil, karena kapal sudah berlabuh di Talango. Kami turun dan memarkir mobil di tepi pelabuhan dekat dengan gapura selamat datang di Talango. Kami menunggu Budi, pemilik travel tadi dari pulau Kalianget. Budi masih menunggu pemakai jasa travel lainnya. Kami berbincang di bawah gapura. Sedianya, ada pasar sembako begitu masuk melintasi gapura. Tapi belum terlihat persiapan apa” di sana. Mungkin pasarnya pagi atau sore. Subuh itu hanya ada becak yang berjejer seolah menunggu calon penumpang dari pelabuhan. Kami hanya berdiri mengitari salah satu penyangga gapura dan ngobrol di atasnya.
Canda dan sesekali diselingi tawa yang keras memecah sunyi pelabuhan. Diam” aku melangkahkan kaki mundur, menjauh ke penyangga gapura satunya. Selain berurusan dengan perempuan, aku juga sangat menghindari keramaian. Jika ada kesempatan, aku seringkali menyendiri dari riuh derap dan bising suara. Sesekali aku lihat smartphone yang aku letakkan di jaket dan melihat info” yang seliweran. Aku taruh lagi, dan melihat laut dari jarak segini. Tak cukup bingar, hingga aku bisa mendengar obrolan teman” lainnya dan teriakan petugas pelabuhan.
Aku langkahkan kaki ke mobil saat adzan berkumandang dua menit kemudian. Aku ambil sarung, sedangkan teman” lainnya sudah berangkat duluan ke masjid tak jauh dari gapura. Pas, usai tunaikan shalat, Budi dan pemakai jasa travel satunya datang dari seberang dan siap mengantar kami ke kediamannya, mungkin. Di perjalanan, Fira tetiba mengeluarkan popcorn, enak sekali. Katanya sih, dia dapet saat liputan. Enak, rasanya gak umum. Satu bungkus lumayan besar itu digilir bergantian mampir di lidah Yosan, Nugraha, Fira, aku serta Indah dan Marcus. Sopir kami tawarin, tapi dia memilih Fira, maksudku memilih untuk fokus nyetir, kasarnya sih nolak.
Sepanjang perjalanan, kami hanya melihat pohon cemara di kiri dan kanan. Kampret, nyanyi lagi. Sepanjang perjalanan, lahan kosong yang sering kami jumpai. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya cukup jauh dan berjeda beberapa hektar lahan. Tapi jalannya lumayan bagus dan tampak terawat. Beberapa kali ada medan di Sumatera, maksud saya ada medan bebatuan, tapi pendek saja. Tidak cukup mengganggu acara ngunyah popcorn kami. Satu”nya hal yang mengganggu mungkin adalah, Yosan tetiba goyang duyung, dumang, dunia akhirat dan duh semacamnya dah. Yosan menggerak”an badan bagian bawahnya. Dia ngusek” ke kursi tempat dia duduk. Kami yang di deret tengah, langsung curiga kalau ini anak sedang sakit perut dan kebelet beol.
Sampai sekitar tujuh menit perjalanan, situasi di dalam mobil masih kondusif. Harum dan tak ada satu Kecoa pun terbang. Tapi semuanya berubah saat negara api menyerang, maksudku, saat Yosan membuat pengakuan. ‘Saya kebelet Rek. Mau ngentut ae yo opo..?’, langsung kami nyalakan korek, nurunin Yosan dan kami bakar dia hidup”. Tapi gak jadi. Kami hanya mencegahnya, mengecam, mengutuknya, memurtadkannya dan meruqyahnya. Gak jadi lagi. Kami pilih cari cara paling santun. Kami hanya memisuhinya dan memintanya untuk buka jendela mobil. Udah, gitu aja.
Selang beberapa menit, mobil kami pun sampai di tempat tujuan. Kami berhenti di depan dua rumah yang tak jauh dari bibir pantai Talango bagian belakang. Kami langsung turun, mempersiapkan diri untuk menyebrang ke destinasi wisata yang kami tuju. Satu per satu kami ambil tas di bagasi belakang dan menempatkan diri sesuai arahan Budi untuk ganti pakaian. Aku dan Nugraha berjalan di lorong kecil yang memisahkan kedua rumah, hingga akhirnya kami tepat berada di belakang rumah ini. Di belakang, ada halaman atau orang Madura biasa menyebutnya pekarangan luas. Ini adalah lingkungan tempat tinggal khas Madura. Sebuah pekarangan, dengan tiga sampai lima bangunan atau rumah mengitarinya. Biasanya, rumah atau gedung” tersebut milik keluarga sendiri dan ditempati saudara”nya. Kalau sudah punya pekarangan luas ini, berarti keluarga tersebut keluarga besar dengan beberapa keluarga kecil yang menempati masing” rumah.
Kami berdua menuju bangunan paling belakang, di sana ada kamar mandi dan ternyata kami sudah didahului 3 perempuan alay; Fira, Ayu dan Meta. Kami masuk setelah tiga perempuan tadi bergantian ganti baju. Lumayan lama, sekitar enam hari. Setelah itu kami semua berkumpul di rumah utama untuk mengambil peralatan yang dibutuhkan saat di lokasi wisata. Gilak ya, sampai di sini masih disembunyiin saja mau ke mana kami. Tetiba Yosan dan Fira ngajak selfie dulu. Yaahh, ini mah semua mau. Gua mah ngikut di belakang sebagai formalitas. Paling belakang, kalo bisa cuma bisa keliatan dikit aja. Setelah selfie berkali” dengan hape sangang juta Yosan, kami pun berangkat ke bibir pantai belakang rumah. Di sana kami sudah ditunggu seorang pria paruh baya yang duduk di atas perahu.
Satu per satu dari kami berjalan menuju perahu tersebut. Tas dan barang bawaan kami lainnya ditentang di atas kepala menghindari air laut. Yosan masih ketagihan foto”. Dari arah belakang, dia mengabadikan kami yang berjalan ke arah perahu dengan pemandangan laut luas di belakangnya. Jarak dari dasar laut yang kami pijak dengan perahu agak tinggi. Jadi saat kami naik, kami seolah memanjat. Ada yang mendaratkan lutut terlebih dahulu, ada juga yang langsung memanjatnya dengan telapak kaki duluan. Naaahhh, Adit. Ini tentang Adit. Hmm..Adit ini adalah makhluk bertulang belakang yang sangat sehat, untuk tidak mengatakan gembrot. Jadi kebayang kan gimana tu makhluk naik perahu. Sebenarnya, kami semua mau ketawa. Tapi kami simpan biar dia gak ngambek. Belum puas kami nahan tawa, eh si Fira malah lebih parah. Akhirnya, tawa kami mengembang perlahan. Ketawa biasa aja sih, pelan. Kalau yang ini kami gak berani. Perempuan soalnya. Matek dah kalau dingambekin. Akhirnya kami para laki naik duluan, buat membantu dengan menarik para perempuan ke perahu.
Perjalanan laut pun dimulai. Sampai sini, sebenarnya aku agak buta dengan kesiapan temen”ku. Siapa yang sakit, siapa yang mabok laut atau siapa yang lagi mens. Pas di perahu kecil ini, aku baru tau semuanya. Meta tiba” pusing. Kata Adit, dia emang mabok laut. Lalu Fira yang juga sedang tidak fit karena siklus bulanan. Beruntunglah, Adit, Listy dan Yosan bisa mengalihkan Meta dari pusingnya. Sementara Fira santae” aja.
Aku lihat jam tangan, jarum jam panjang masih mengarah ke angka 7. Jadi sinar matahari masih sehat kami nikmati, bagus buat kulit. Kami pun membuka baju. Ah tidak, gak jadi. Kami hanya membiarkan kulit yang tak tertutupi kaos atau baju, terkena matahari dengan langsung. Dari buritan, aku duduk paling ujung dengan tas dan bawaan yang sengaja ditempatkan di situ. Duduk di depanku sedikit, ada bapak paruh baya tadi, pemilik sekaligus yang mengemudikan perahu ini. Kemudian secara berurutan ada Nugraha, Fira, Yosan, Meta dan Adit, Ayu, Listy dan Heru serta Marcus. Di depannya lagi, ada rombongan lainnya. Sementara Indah, dia naik ke tiang yang terletak di haluan, buat motret. Ya motret pemandangan laut lepas ini, motret kami dan motret dirinya dengan bibir dimonyong”in.
Menurut bapak ini, perjalanan kami akan memakan waktu sekitar 50-60 menit. Kami menghemat waktu sekitar 120 menit dari rute dari Kalianget. Lumayan juga beda waktu tempuhnya. Kami pun melakukan aktifitas sekenanya. Aku, Yosan dan Nugraha menjulurkan kaki ke air laut dan merasakan deras hamparannya. Sementara Meta sudah mulai istirahat dan di sampingnya, Adit ngunyah semua isi plastik minimarket. Beeuuhhh. Listy dan Heru ngobrol layaknya sedang honeymoon, Fira merenung dengan tatapan kosong seakan bunuh diri. Ayu ngobrol bergantian dengan kami, Marcus juga beberapa kali ngobrol dengan Indah, lalu meringkuk istirahat.
Setelah sekitar 30 menit, aku melihat sebuah penampakan pulau dari kejauhan. Pulau kecil. Aku kira kami sudah sampai, tapi kata bapaknya, masih jauh. Pulau tersebut hanya keliatan, buka sudah dekat, apalagi sampai. Yup, kami menuju sebuah pulau yang belakangan sedang hits dan diperbincangkan di banyak media sosial; Gili Labak. Sebuah pulau yang masuk Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep. Pulaunya kecil, berjarak 3 jam dari Kalianget di arah selatan, atau 1 jam dari Talango. Saat itu juga, dari arah kanan, kami melihat samar” sebuah pulau, lebih besar dan lebar; Gili Genting. Tapi tujuan kami ke Gili Labak. Entah apa yang akan kami lakukan di sana. Tapi di tubuh kami sedang melekat peralatan snorkeling.
Pandangan Gili Labak semakin dekat, saat beberapa diantara kami berubah posisi. Fira dan Nugraha di tepi perahu maenan aer, Adit dan Meta merangsek agak ke tengah, Listy dan Indah ke depan sambil berdiri, meninggalkan Heru dan Marcus di tempatnya, Ayu balik badan ke depan dan Yosan, oh iya Yosan ke mana..? Oh iya dia mengubah posisi nungging. Hmm, maksudku agak ke tengah. Pandangan kami tertuju pada pulau di depan, Gili Labak. Aku buru” ambil tas kamera Fira dan mengeluarkannya. Sebenernya mau motret, tapi takut jelek. Aku berikan pada Fira, biar sekalian bagus. Sayang banget kalo hasilnya jelek. ‘Dugg..’, suara langkah kaki si bapak berlari ke arah mesin dan mematikannya. Kami kaget, sepertinya ada hal gawat.
‘Maap ya Dek. Ada tali, hampir kesangkut. Bisa” kelilit ke mesin dan mogok. Maap ya, lupa kalau jalur ini ada talinya. Maap ya..’, katanya pada kami seketika.
‘Kaget kami Pak. Gapapa Pak, gak usah minta maaf segitunya. Mari Pak kami bantu’, Yosan mendekati si bapak, mengusap keringat di kepalanya, mengecup lalu memeluknya. Oh, enggak ternyata. Yosan bilang gitu sambil duduk di tempat.
‘Gak usah Dek. Ini tinggal benerin arah dann..’, si bapak melakukan kuda” menyalakan mesin dan kembali jalan.
Dari tempat kami saat ini, kami melihat sekitar 2 kapal mendekati pulau dari sisi kanan. Sementara di pantainya, wisatawan bejibun dengan rompi orange, ber-snorkling. Kami tercengang. Kami menoleh bergantian, saling pandang. Serasa sudah tak sabar menginjak pasir putihnya, melintasi lembut percik ombaknya, mengayunkan tangan berenang ke tengah laut dan melihat banyak terumbu karang di bawahnya.
Sekilas aku mengingat masa kecilku. Dulu, saat masih SD. Dua kali ayah pernah mengajakku ke atas perahunya dan mengitari laut di belakang rumah kami. Sekali bersama sepupu”ku saat ada kegiatan Rokat Tase’, sekali hanya berdua untuk tes mesin. Sampai sekarang, aku tak pernah lagi punya kesempatan seperti se-asyik itu. Aku katakana pada Ayah ‘Pak, airnya jernih banget. Tiap hari Bapak liat pemandangan seperti ini..? Wah, bagus”,
‘Iya, Kamu suka..?’, tanya Ayah.
‘Iya Pak. Tapi gak bisa renang. Ajarin Pak’,
‘Buat apa..?’
‘Biar bisa jadi nelayan hebat seperti Bapak. Biar bisa lihat pemadangan seperti ini tiap hari. Biar bisa lihat ikan terbang itu tiap hari’, aku menunjuk gerombolan ikan terbang tepat di samping perahu kami.
‘Belajar lah sendiri. Mim, dengarkan baik”. Bapak tak melarangmu jadi apapun. Tapi Bapak punya keinginan lebih untukmu, untuk masa depanmu, untuk kehidupanmu nanti. Berada di sini panas, mataharinya terik dan sangat melelahkan. Kadang Kau harus pulang kecewa saat tak ada seekor ikan pun nyangkut di jalamu. Tapi melihatmu, Bapak cukup terhibur. Semua yang Bapak lakukan, untuk masa depan yang belum kita tau, untukmu. Menjadi nelayan bukan tidak baik. Tapi, Bapak berharap Kamu bisa lebih baik dari Bapak. Suatu saat nanti, level kita akan berbeda. Saat sama” jadi pria, Bapak berharap kita akan punya status beda, jalan beda dan pemikiran yang beda. Mungkin Kau dengan cita”mu, dan Bapak masih akan melihat pemandangan di sini. Hahahahaha. Maaf Mim, Bapak terlalu banyak bicara. Pasti Kamu belum ngerti’, Bapak melihat ke arahku. Mengernyitkan dahi dan bertanya. ‘Kamu mengerti..?’,
‘Ngerti kok Pak. Saya sudah tidak sabar ‘suatu saat nanti’ yang Bapak maksud’, kataku padanya.
‘Hmmm, sudah sore. Kita pulang ya. Lihat itu, senjanya bagus, kan?’, Bapak memutar kemudi dan haluan perahu. Kita pulang. Dan aku, ternyata kembali melihat pemandangan saat itu, di tempat berbeda dan bersama orang” berbeda.
***

Begitu mendekat pantai, beberapa diantara kami melompat dan langsung meninggalkan kapal. Aku, Nugraha dan Adit turun belakangan, membantu teman” lainnya turun. Sementara Yosan, Heru dan Marcus menyambut dari bawah. Wooohhhooooo.. Kami sudah sampai. Heemmmmmm, aroma ini. Aroma ini. Aroma ini. Hemmmmm. Emang aroma apaan sih. Mboh. Aromanya enak. Kami tak langsung jalan”. Kami masih cari tempat menaroh tas dan sedikit bersantai bergantian buang air kecil dan keperluan semacamnya. Satu hal yang sama, kami LAPAR.
Sejenak kami menggerakkan badan untuk pemanasan. Bapak Kapal menawari kami duduk dan istirahat di warung, pas di lokasi depan kapal berhenti. Kebetulan warung tempat kami singgah adalah warung milik istri Bapak Kapal. Listy, Firah dan Indah langsung mampir ke warung untuk memeriksa apa saja yang bisa kami pesan dan makan. Adit langsung tanpa diminta juga nunut mereka dan memesan makan. Dasar sapi. Kami hanya menunggu giliran dipanggil Listy untuk makanan atau cemilan yang bisa kami konsumsi. Tapi sebagian dari kami sudah punya keinginan menyentuh air laut yang membuncah. Tanpa komando, setelah mie dan semua makanan habis, kami berjalan bareng kayak geng motor yang cuma pake kolor.
Aku berjalan di paling pinggir, sengaja, ingin langsung merasakan tanah dan bibir pantai Gili Labak yang katanya lembut. Kami berjalan agak jauh, memutar. Pulau ini sudah penuh dengan wisatawan. Maklum, sekarang tanggal merah. Banyak orang dari lokal maupun non lokal Sumenep datang. Bahkan, bersama kami, ada Marcus. Dia jadi pusat perhatian banyak orang di sini. Kami sesekali ngisengin dia, tapi dianya terlalu sabar. Jadinya susah dibuat marah. Langkah kami berhenti tepat saat Listy dan Ayu meminta berhenti di tempat yang kosong, atau tepatnya agak kosong. Yep, kami menancapkan tombak yang mengartikan kalau tanah ini adalah teritorial kami. Siapapun yang masuk atau melintas, darahnya halal kami minum. Kebanyakan nonton Sparta.
Hahahahahaa, have fun banget dah hari ini. Aku bahkan sampe lupa kalau kameraku ketinggalan di mobil dan hanya kamera Firah yang dibawa nyebrang ke Gili Labak. Itupun kami tinggal di warung. Ngeekk.. Jadilah kami fakir foto dan hanya mengandalkan hape Indah. Kami sih tenang, soalnya Indah sudah siap banget kayaknya. Dia juga bawa pelindung air untuk hapenya. Jadi kami tinggal pose, dia motret. Paling yang gak tenang si Firah. Dia juru foto, meskipun kadang”, ujung”nya aku juga yang diminta roling buat jadi juru foto. Hadehhh.
Tapi pertama, Indah ketagihan motret under water, sedangkan Nugraha kecanduan under wear. Adit malah nyanyi underground sendirian sambil guling”. Ini apaan sih, apaan coba. Mboh. Indah ingin nyoba foto under water. Dan kampretnya, dia memilihku buat jadi model. Aku diminta nyelem, dan dia motret. Sialnya, selalu gak berhasil. Jadi, aku sudah 40 menit nyelem, keasinan, mata perih, mulut minum garem, bibir pecah”, kurap, panu, kutu air, pas mendongak, diteriakin dikasi kabar buruk: ‘Kid, yang tadi gak berhasil. Coba lagi ya’, gitu terus sampe Surabaya jadi kota hujan.
Setelah aku, gantian Nugraha, Yosan dan lainnya nyoba foto under water ini. Tapi gak ada yang berhasil, padahal kami sudah melakukan segala pose terbaik. Kampretnya, si Adit baru sekali nyoba, langsung bisa dipotret. Beeehhhhhh…ni bocah harus dibedil. Gajah Zimbabwe Lu dasar. Kami agak sinisin Adit. Kami bawa dia agak jauh dari keramaian, kami bakar dan tulangnya kami berikan ke anjing laut buat sesembahan.
Kami akhirnya beranjak dari titik pertama ini. Kami berjalan agak jauh lagi, memutari pulau berharap ada spot kosong. Sudah agak jauh, ternyata sama saja. Tidak ada yang bener” kosong, ada aja wisatawan di sini. Tapi mereka hanya lalu lalang, tidak menetap buat renang. Setelah berbincang sebentar, kami putuskan memilih titik ini. Kali ini tidak hanya ‘agak’, tapi beneran kosong. Mungkin di titik ini, sama sekali tidak ada pohon; panas binggo. Hal itu juga mungkin yang bikin gak didatengin wisatawan lainnya.
Setelah snorkeling dan foto” gak jelas, kami merasa sudah semakin dekat waktu Satpol PP memanggil. Maksud kami, siang sudah semakin terik. Panasnya udah ampun”an. Kulit terasa terbakar, tergoreng, teraniaya, terendam dalam lautan rindu. Ini apaan sih, apaan coba. Mboh kah. Dikatakan puas sih belum, tapi panas ini memaksa kami kembali ke warung. Selain itu juga, kami memiliki perasaan yang sama: rindu pada makanan. Lhaarrr.
Tidak seperti saat mencari spot pantai yang kosong, saat kembali ke warung, langkah kami benar” lebih cepat. Laper men. Sesampainya di sana, Listy langsung konfirmasi ke Ibu warung dan mengurus administrasinya. Ini warung apa BPJS sih..? Piring demi piring makanan mampir di tangan kami, kecuali Adit. Azab yang mampir ke arahnya. Tapi kami sudah menangkalnya dengan kekuatan bulan. Ciuukk, cerita ini semakin kabur. Maklum, yang nulis lagi risau berat.
Penyakit setelah makan tiba, ngantuk dan malas gerak. Aku dan Nugraha sempat tidur beberapa saat. Secangkir kopi yang aku dan dia minum setelah makan tadi gak cukup buat menjaga mata tetap terjaga. Kami masih disibukkan soal perut, Indah dan Marcus masih makan. Sementara lainnya kekenyangan dan memilih diam di tempat duduknya masing”. Sementara Listy dan Yosan lalu diikuti Indah, jalan” mengitari pulau kecil ini.
Setelah makanan di perut mulai turun, kami menaikkan perut Adit. Oh maap. Kami kembali ke kapal dan pulang menyebrangi perjalanan 1 jam. Agak berbeda saat berangkat, perjalanan kembali ini lebih panas. Kami memilih tidur”an di sini, di atas laut, di bawah terik matahari siang. Yosan, aku dan Nugaraha duduk bersebelahan di satu papan. Kami tidur saling sandar. Di depan kami duduk, ada Firah, Adit dan Meta serta Ayu. Mereka juga tidur”an. Capek lah. Indah-Marcus dan Listy-Heru ada di belakang kami. Saat aku toleh, posisi mereka malah lebih yahud dari posisi tidur kami. Asem. Orang yang paling gak tenang tidurnya, si Adit. Dari mau tidur, saat tidur sampai bangun tidur, kresek Indomaret terus yang diraba. Seett daahh..
Perjalanan yang menyenangkan. Atau mungkin hanya sugesti kami yang membuatnya seperti ini. Kami sudah terlalu lelah dengan rutinitas yang monoton, butuh hiburan, butuh suasana baru dan tempat baru untuk bercanda dan saat hal itu terwujud, semua terbayar dengan tawa yang mengembang.
Kami pulang sore itu juga usai mandi, shalat dan berkemas. Karena dalam kedaaan lelah, perjalanan pulang pun juga lebih santai dan tenang. Atau tidur.  Kami hanya bangun saat buang air kecil di SPBU entah di mana dan makan. Di mobil sampai Surabaya, kami hanya berpindah” posisi tidur saja. Kami semacam mengisi energy untuk hari kerja besok. Perjalanan ini juga semacam membuktikan pepatah Arab Kuno bahwa liburan adalah perpindahan dari kegiatan satu, ke kegiatan lainnya. Trims, Doloorr..
Selengkapnya...

Alasan Pulang..

Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki keinginan yang sungguh.
Aku menyebutnya dengan niat. Keinginan dengan kesungguhan yang kuat. Keinginan yang tak akan goyah hanya dengan godaan sesaat. Mungkin ini juga yang membuatku belum berhasil pulang. Aku tak memilikinya. Aku masih terjebak di persimpangan. Di sini, di tempatku duduk sekarang, saat aku pejamkan mata, aku melihat banyak jalan di depanku. Aku melihatnya seolah aku berdiri untuk memilihnya. Satu diantaranya. Ingin sekali menuntaskan semuanya, tapi tak mungkin secara bersamaan. Dan juga, tak mungkin cukup dengan tenaga pas"an. Sore ini juga, aku ingat apa yang selalu Ibu katakan padaku, 'Hadapi, Nak. Jangan Kau hindari. Jalani, jangan Kau lewati'.

Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki waktu yang cukup.
Kadang aku menyebutnya dengan apologi. Karena bisa saja kita luangkan waktu untuk pulang. Menepikan semua rutinitas tanpa ragu dan menemui yang Kau rindukan, di sana. Tapi kadang hal ini benar adanya. Kau butuh waktu kosong dalam praksis kegiatanmu. Hingga akhirnya Kau memilih, atau tepatnya menunggu semua rutinitasmu berakhir, lalu punya waktu untuk pulang. Seringkali aku berada dalam pusaran ini. Memilih dan menunggu pekan berakhir, baru bisa bertemu orang" yang aku pilih untuk mengadu temu.

Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki kesempatan yang tak bisa datang kedua kalinya.
Poin ini aku sebut sebagai keberuntungan. Seperti yang aku miliki pekan lalu. Pekan dengan semua kehebohan karena hajat yang mungkin, tak datang kedua kalinya. Karena kesempatan ini juga, aku pulang dan bertemu semua raga yang sudah lama aku rindukan. Hanya saja, ada konsekuensi yang harus dibayar. Waktu bertemunya, mungkin hanya sebentar. Beberapa puluh jam, atau hanya beberapa puluh menit. Tapi waktu yang sedikit itu, akan terasa sangat berharga. Seperti tidur nyenyak hanya dengan 14 menit di siang hari.
Malam itu, aku menemukan ibuku di tengah riuh gedung tempat Kakakku menikah. Aku menyebutnya dengan dilema. Aku berada di tempat yang tidak aku sukai, sekaligus situasi yang sangat membahagiakan. Jika ada yang sangat aku hindari di dunia ini, hal itu adalah; keramaian dan berurusan dengan perempuan. Tapi tidak untuk malam ini. Mungkin hanya untuk malam ini. Aku tak peduli keramaian ini dan semua perempuan yang nampak di pandanganku. Aku menyusuri sesaknya tempat karena dipenuhi orang" ini untuk bertemu ibu. Aku mendatangi beliau dan memindahkan semua kue serta minuman yang memenuhi kursi di sebelah beliau. Ibu kaget saat aku ambil tangannya, menciumnya dan memandangi semua kerut di wajahnya. Beliau masih cantik seperti biasa, dalam kesederhanaannya. Alhamdulillah.
'Nak, di nikahan Kakakmu, Kamu pake sepatu kets dan jeans..?! Ayo dong Mim', Ibu mulai ngomel. Seperti biasa, aku adalah sasaran omelan beliau dengan tingkah yang masih semau gue.
'Bu, ayolah. Jangan paksa saya', aku rangkulkan tangan ke belakang kursi tempat Ibu duduk. Ibu tau aku pasti keluarkan alasan yang tak bisa dimengerti olehnya. Ibu hanya tersenyum ke arahku. Ibu selalu tau, karena hal lain yang aku hindari adalah, memakai pantofel. Aku tidak memiliki pengalaman buruk dengan pantofel, aku hanya tidak suka dan merasa tidak nyaman dengan pantofel, kemeja, jas, sisiran dan semua hal yang rapi. Karenanya, malam itu, aku hanya kenakan batik sekenanya dan jeans, tentu dengan Converse kesayangan.

Tapi kadang, pulang tidak dimulai dengan sebuah alasan. Aku menyebutnya dengan intuisi.
Selengkapnya...

Tawa Itu..

Akhirnya sampai di sini kita, di tempat duduk yang dipisahkan meja. Berhadapan, sesekali bertukar tawa. Dari sini, aku hanya lihat sorot matamu yang tajam dan caramu bicara. Mungkin ini sebab kerisauanku beberapa hari belakangan, rindu yang tidak jelas hanya ingin melihatmu secara fisik, lebih dekat, tanpa banyak bilang.
Siang sangat panas, itu juga yang jadi alasanmu menutup kepala, atau mungkin ada alasan lain. Sedangkan aku, selalu membiarkan topi Ride Rocket To Mars-ku menetap di ujung rambut serampangan. Beberapa kali aku mencuri pandang, tepat di depanku, ada Kamu yang memainkan gadget. Lalu lihat ke bawah, ada meja coklat yang memisahkan kita. Di atasnya, ada ayam bakar yang soal rasanya, kita tidak sependapat. Selanjutnya, seperti biasa, mataku mengacuhkannya, berkeliaran pada benda” di sekeliling. Hmmm. ternyata aku masih begini, takut pada kaummu.
Aku bukan canggung, aku hanya menunggu menit yang tepat untuk bicara. Berharap Kau kembali tertawa dan memastikan aku melihatnya. Bibirmu yang merah perlahan terbuka dan kembali mengatup bergantian. Proses yang disebut tertawa itu terjadi berkali”, kadang diselingi wajah sinismu karena beberapa kalimat yang aku sampaikan. Benar kata orang, bahagia itu banyak macamnya. Melihatmu seperti ini misalnya.
Sekilas, aku hanya cemburu, mungkin tawa ini tak hanya aku yang membuatnya. Mungkin ada canda lain dari raga lain yang membuatmu bicara lebih banyak dan menyunggingkan senyum lebih sering. Tapi, itu lebih baik daripada aku kehilangannya. Saat itu, ketakutanku bukan kehilanganmu, tapi melihatmu kehilangan tawamu. Sore, Perempuan..
Selengkapnya...

Petaka Rindu..

Kiranya, apa yang sebenarnya membuat manusia merindu..?
Pagi ini, di tengah kamar, duduk di kursi dengan laptop yang terbuka di atas meja, kalimat ini benar” mengusik semua organ dalam tubuh mungil ini. Aku tak hanya mengingat satu” jawaban semua orang tentang pertanyaan tersebut. Tapi aku juga mencari tau tentang semua kegelisahanku akhir” ini. Padahal, aku sudah memutuskan untuk membuang emosi semacam ini. Aku ingin mengalihkannya pada hal lain yang mungkin, menurut banyak orang, lebih utama. Tapi sekali lagi, aku terjebak untuk menduakan pengaruh dalam hidup.
Apa benar kata orang, bahwa manusia bodoh..? Selalu terlambat tau saat semuanya usai. Menyadari semuanya setelah satu momen berakhir..? Apa aku senaif itu..? Membentangkan jarak, kemudian tersadar saat semua menjauh..? Lalu menyesal di tengah keramaian kicau burung saat pagi datang..? Tidak, sebenarnya aku tidak sebodoh itu. Tidak. Aku hanya terlalu jumawa untuk menyimpan semuanya sendiri. Berharap emosi itu hilang dan meninggalkan ampas agar tak ada yang tau, termasuk sebuah nama yang sengaja, mungkin tidak sengaja, masuk terlalu jauh dalam hidupku.
Apa hanya karena jarak..? Atau karena percakapan yang sudah tak lagi hangat..? Hahahaa, mulutku tak henti bertanya. Sedangkan hati mulai khawatir, berada dalam ketakutan kalau hal itu akan benar adanya. Atau, karena aku tak lagi mendengar suara riang yang kadang hadir tanpa diminta..? Atau apa..? Atau aku harus menengadahkan kepala sendirian..? Berpura tenang dengan menarik nafas dalam” dan membuangnya saat sudah sampai di rongga dada..? Entahlah, aku hanya menebak, menerka apa jawaban sesungguhnya.
Atau, tidak hanya aku yang begini..? Diam”, Kau juga menyimpan rindu dan memilih untuk diketahui oleh dirimu, sendiri..? Jangan, aku berharap tidak. Karena rasanya sangat menyedihkan, merindu dan tak diungkap. Rasanya tak enak. Sesekali hanya sakit yang Kau rasa. Kemudian, dengan amarah yang Kau punya, seolah Kau ingin menyudahi pagi dengan menutup tirai jendela. Mungkin Kau bisa menutupi terang, tapi tidak dengan suara itu. Suara burung yang aku bilang tadi, kokok ayam dan lalu lalang kendaraan yang tak bisa Kau hentikan.
Jika seperti ini pilihannya, aku ingin bertanya, pertanyaan selanjutnya. Sampai kapan akan seperti ini..? Merasakan resah yang mengoyak dada. Berdetum keras dan tak mau pelan. Padahal, aku masih ingin menyelesaikan banyak tulisan hari ini. Aku juga ingin menyiapkan diri jika nanti teman datang mengajakku keluar kamar. Sampai kapan..? Sampai semua jawaban aku ingat satu”..? Atau sampai aku menyudahi tulisan ini..? Kalau begitu, akan aku coba. Ya, mengakhiri tulisan ini..

Hari Pertama Agustus 2015..
Selengkapnya...

Hai Pagi, Aku Butuh Hiburan..

Beginilah aku tiap pagi di meja redaksi. Mengantuk, menguap dan menghabiskan banyak air mineral gelas tanpa peduli sekitar. Jika kepala masih tertunduk, aku turun ke bawah memanaskan air, meraih bubuk kopiku di lemari atas perabotan dan menyeduh secangkir kopiku sendiri. Satu”nya aroma kehidupan yang tak disediakan di kantor ini. Meski sebenarnya, tidak juga membantu. Aku tetap mengantuk, menguap dan menjarah banyak air mineral gelas di sembarang tempat.
Tak ada pengecualian untuk pagi ini. Di bagian kiri meja tempatku menulis sekarang, disesaki secangkir kopi, empat gelas air mineral yang sudah aku minum dan terbentang peta mudik milik majalah SCG untuk mengimbangi pengetahuan yang minim tentang rute Jawa Timur. Cukup Surabaya aja aku gak hafal, untuk Jatim aku pelajari sampe mampus dah. Daripada di-ambek-in terus, kan jadi mati kutu aku-nya.
Entah kenapa pagi ini, di meja ini, aku merasa butuh sekali hiburan. Butuh sekali keluar dan menghilangkan situasi yang mulai membosankan ini. Apa mungkin, karena dari meja ini, ada jendela besar tanpa tirai yang langsung membuatku bisa melihat dengan jelas jalanan Mayjend Sungkono dan langit biru terbentang itu. Sebelumnya, ada dahan rimbun pohon mangga yang menutupi penglihatan kami ke arah sana. Tapi jelang lebaran kemarin, dahan tersebut dipangkas hingga tak hanya langit, Pak Djo ngupil aja kelihatan.
Pagi ini aku juga masih berpikir untuk tetap santai, menahan semua sakit dan lemahnya raga sejak kemarin sore. Entah, akhir” ini virus masuk bergantian menyerang badanku. Tapi demi mendengar suaramu dan menyeruput secangkir kopi malam yang candu, aku tak keberatan mamaksakan inderaku lebih lama. Asal melihat semua orang di dekatku tersenyum dan senang, kebutuhanku untuk ‘terhibur’ sudah cukup. Malam ini pun, harapan untuk terhibur masih jadi wish list pertamaku. Bertemu dengan semua sodara sejawat di pondok dulu dan tertawa terbahak”, mengangkat gelas, bersulang dan mengulanginya berkali”. Yoi, REUNI Comanraiden..!!
Pagi ini, ya, pagi ini, aku terlalu lelah untuk menceritakan pengkhianatan. Meski tak bisa mengusirnya dengan utuh, aku tetap mengacuhkannya tanpa peduli tangan yang terulur. Tapi santai saja, aku tak membenci. Karena dengan kebencian, Kau hanya akan memberikan setan berkuasa atas dirimu. Dengan kebencian, Kau akan mengungkap siapa dirimu sebenarnya. Dan aku, membenci kebencian..
Selengkapnya...

Jangan Senja, Ceritakan Padaku Tentang Luka..

Sore ini aku kembali duduk di meja ruang redaksi dengan secangkir kopi yang baru aku buat. Tepat di dekat jendela besar yang mengarahkan sinar matahari langsung padaku dan memberkas di semua sudut ruangan. Padahal, baru kemarin aku berada di jalanan luar sana saat senja hampir tenggelam, dan aku menikmatinya. Sungguh” menikmatinya. Tidak, maksudku, aku benar” menikmatinya hingga tidak ingin melewatkannya.
Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melalui senja di jalanan. Karena biasanya, aku memilih untuk mendekam di kamar dan mendengarkan semua komposisi tanpa teratur, dengan secangkir coklat panas kadang kopi dan kurasan teks di buku” yang menyesaki kasur. Jika tidak, aku berada di ruangan ini, menulis dan meracau semua info, yang katanya didedikasikan untuk publik. Tapi sebulan belakangan, aku berada di dalam gedung yang membuat senja tak terlihat.
Aku sedang tidak membicarakan senja. Bahkan aku sedang ingin membencinya. Aku hanya ingin mengajakmu membicarakan luka. Masa yang membawamu merasakan pedihnya hidup tanpa tau cara menyelesaikannya. Tapi bersama waktu, Kau akan melihat jalan untuk menghadapinya dan kadang melewatinya. Meski tidak semua bisa dengan mudah Kau lintasi, setidaknya akan ada cahaya di ujung persoalanmu untuk Kau tuju saat tetap berdiri dan yakin. Pastinya, Kau pernah mendengar janji Tuhan bahwa Dia tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuan.
Jangan Kau tanya kenapa aku ingin sekali membenci senja. Tak ada alasan khusus. Atau kenangan yang mengharuskanku meluruhkannya bersama petang. Aku hanya tidak ingin melihatnya tanpa alasan. Tapi beberapa hari ini, mataku tak bisa terhindarkan dari foto”mu bersama senja yang menguning. Cahanya berpendar merah dan membuatku terkagum, lagi. Kemudian aku mengantarmu ke tempat asing yang pernah Kau singgahi sekali, saat malam. Aku hanya bertaruh Kau akan menyukainya, meskipun aku tau Kau menyukai senja. Aku berpura duduk di sembarang tempat dan berpura tak menyadari bahwa senja datang tepat ke arah kita. Menembus sela” dedaunan pohon di depan kita dan langsung menerpa wajah kita yang lusuh karena debu jalanan.
Sesaat, semua ingatanku tentang senja berdatangan tanpa pamit. Pantas saja, seketika aku ingin sekali merasakan pahitnya kopi. Selain kehadiranmu, mungkin satu cangkir kopi adalah pereda nyeri dan membuang kenang tentang senja ini. Mendengar suaramu, aku tau tak ada tawa yang benar” Kau suguhkan. Aku hanya mendengar luka yang tersampul rapi oleh kenang masa lalu yang ingin sekali Kau sudahi.
Katanya, kita hidup untuk hari ini. Ya, hari ini saja, bukan untuk masa depan apalagi masa lalu. Kita hidup untuk hari ini, mungkin untuk mempersiapkan masa yang akan datang dengan mempelajari yang sudah pernah berlalu di ribuan detik yang sudah hilang. Masa lalu sudah pergi, tak akan kembali hadir. Tapi ingatlah, tak ada yang benar” bisa melupakan masa lalu. Tak ada yang bisa menghempaskan masa lalu dengan acuh. Karena Kau sudah pernah melewatinya, dan jadi bagian dari diri serta hidupmu. Sudahilah, persiapkan dirimu. Coz what is coming better than what is gone.
Mengajakmu membicarakan luka bukan berarti mengantarmu pada pedih yang akhir” ini tak sengaja kembali datang padamu. Tidak, aku tidak sejahat itu. Justru dengan membicarakannya, dengan intensitas yang tinggi, akan membuatmu lebih kuat dan menganggapnya sebagai masa yang pernah melintas di hidupmu. Kau akan sadari bahwa semua cerita sedih itu hanya fase manusia. Seperti fase ‘alay’ dalam kehidupan manusia.
Sudahlah, mungkin Kau jauh lebih mengerti tentang luka daripada aku. Mungkin juga, Kau lebih hebat menghadapinya. Tau bagaimana cara melewatinya dan lebih siap berdiri hari ini. Saat berbicara denganmu, aku selalu ingin katakan bahwa luka yang tak langsung membunuhmu, akan jauh membuatmu lebih kuat. Kalimat itu pernah datang padaku, dulu. Dan aku pernah merasakannya, saat memilih berdiri dan kembali berjalan. Tapi sepertinya, Kau sudah tau kalimat ini sebelumnya. Selamat sore, perempuan..
Selengkapnya...

Malam Sudah Larut..

Setelah air mata ibu April lalu, sebenarnya aku tidak ingin lagi mendengar tangis dari perempuan. Sore itu di kamar, aku bersama Zainal, menemani ibu yang sedang berbaring lelah di kasur. Awalnya, aku mengajak Zainal masuk ke kamar ibu untuk menemani beliau yang sedang beristirahat di kasur, dengan sesekali memijat raganya yang sudah mencapai batas. Dengan semua aktifitasnya seharian saat itu, aku tau beliau butuh ditemani secara fisik dan rohani.
Sore itu, tiba” beliau sesenggukan dan menitikkan air mata. Beliau menangis. Aku tak hanya panik, tapi juga reflek mendekati wajahnya. Tapi tanganku tak cukup berdaya menyentuh pipinya. Sedangkan Zainal hanya gemetaran melihatnya. Zainal menatapku tajam, berusaha memberi kode agar aku menenangkan ibu. Aku ingin sekali, tapi aku tak punya cukup kekuatan untuk menghapus air mata di pipinya. Melihatnya, aku diam duduk bersandar di lemari kamar ibu, lalu bermain mata dengan Zainal, memberi kode untuk meneruskan memijit betis dan pergelangan kaki beliau.
Sore itu, wajah Zainal terlihat keheranan kenapa aku membiarkan tangis ibu berlangsung. Aku juga bingung. Aku hanya tidak ingin menghilangkan momen kesedihan ibu dan menghentikannya tanpa tau alasan ibu menangis. Perlahan, isak tangis ibu berkurang dan mulai bicara. ‘Ibu senang. Ibu terharu. Di luar sana, banyak sekali teman ibu yang curhat bahwa anak” lelakinya tak selalu ada untuknya’, dengan suara paraunya ibu membuka obrolan. Ibu berhenti bicara sejenak. Beliau bernafas, lalu melanjutkan kembali setelah menata suaranya. ‘Tapi melihat kalian berdua berada di sini, pulang untuk ibu, memijit pundak ibu, menemani ibu ngobrol, tak ada lagi yang ibu inginkan, Nak. Ini lebih dari cukup. Ibu bersyukur sekali ada masa” seperti ini’, katanya tanpa melihat kami.
Sore itu, pandangan ibu masih menatap langit” kamar. ‘Nal, ibu tidak tau ke mana takdir akan membawamu nanti. Ibu juga tidak keberatan Kamu berada jauh di negeri orang sekalipun. Tapi, di luar hubungan dengan Tuhan, tak ada rindu yang lebih berat dari seorang ibu pada anaknya’, kata ibu dengan sedikit menunduk berusaha melihat ke arah Zainal. Ada apa ini. Kenapa ibu segetir ini berbicara pada kami.
Sore itu, Zainal menatapku. ‘Bu, dari dulu saya ingin mengatakan ini’, Zainal mulai bicara. ‘Ibu jangan pernah berharap aku seperti Kakak. Berada di posisinya susah ternyata. Aku sudah mencoba untuk dicintai banyak orang dengan berperilaku seperti Kakak, tapi saya gagal. Tapi Bu, jangan pernah ragukan cinta dan kasih saya pada ibu. Saya tidak pernah berusaha untuk itu. Itu sudah menjadi bagian dari diri saya’, bodoh, ucapan Zainal malah membuat isak tangis ibu kembali muncul.
Sore itu, aku beranjak dari tempat dudukku, menjitak kepala Zainal lalu membenamkannya ke kasur. Ibu tertawa dan merangsek duduk. ‘Ibu senang Kamu mengatakan hal itu. Mim, jangan kasar sama adikmu’, ibu memeluk Zainal, lama sekitar 30 detik. Aku hanya berdiri di samping mereka. Ibu membetangkan tangan kirinya, seolah memberi syarat agar aku mendekat untuk dipeluk. Sebenarnya, aku iri, ingin sekali berada di posisi Zainal saat itu. Tapi aku menghindar. ‘Hahahahaa, alergi Kakak ke perempuan emang keterlalun Bu. Dipeluk ibu aja gak mau. Lebay’, aku kembali menjitaknya, tapi telingaku gak berhasil lolos dari cubitan ibu. Lalu kami tertawa bersama. Sesaat, ruangan itu penuh dengan haru yang seru, tanpa ingin berlalu.
Sore itu, yang aku tau, isak tangis perempuan adalah alunan merdu dari beban yang tak bisa lagi ditahan. Beban yang sangat lama menggantung dalam jiwanya. Beban yang ingin sekali keluar untuk dilampiaskan. Beban tak terlihat yang terhalang oleh kepura”an kuatnya menanggung semua sedih. Beban yang tak seharusnya dilihat dan didengarkan oleh seorang pria. Tanpa disangka, beberapa ribu menit yang lalu, aku kembali mendengarnya. Tepat di telingaku, dan sialnya aku juga panik seperti sore itu. Aku hanya berbicara tanpa titik, untuk menghibur. Berharap tawa dan senyum tersungging lagi dari pemilik tangis itu.
Kali ini aku berbicara padamu. Katanya, manusia adalah tuhan bagi dirinya sendiri. Maha kuasa atas dirinya sendiri, termasuk menahan isak tangis, dan memilih untuk menghempaskannya dengan cara lain di waktu yang lain. Tapi mungkin tak semua bisa melakukan hal itu semaunya, kapan saja dan di mana saja. Kau hanya butuh sedikit keyakinan, atau setidaknya sugesti agar dirimu kuat dan menahannya lebih lama. Keluarlah dari kamarmu, bermainlah sejenak dan berteriaklah. Terlalu banyak yang Kau pikirkan hanya akan menambah berat kepalamu. Teriakkan apa saja. Semua kalimat yang menyimpan amarahmu. Semua frasa dalam hidupmu yang tak sempat Kau bicarakan dan terdengar oleh telinga lain. Semua kata tanpa titik yang ingin Kau lupakan dan tak ingin lagi dikenang. Teriakkan, jangan berbisik seperti sedang meeting dan mengumpulkan komplain dari atasanmu.
Malam sudah sangat larut saat aku menulis ini. Jika Kau lihat langit di luar, pasti Kau akan menyadarinya juga. Menyadari betapa mudahnya waktu berlalu, sedangkan matamu susah terpejam. Melirik sana-sini di tengah riuhnya angin malam yang benar” sudah larut. Hanya bising roda di jalanan sesekali terdengar mengganggu. Istirahatlah, segera rebahkan ragamu dan perlahan kedipkan kelopak matamu. Jangan lagi sengaja tersadar, seolah ingin menambahkan gula dalam minumanmu karena tau malam ini akan panjang.
Katanya, manusia adalah bagian dari kehidupan ini. Objek cerita yang sedang dibangun bersama cerita lain yang dibangun manusia lain. Kau bisa jadi apapun, kecuali jadi pengecut. Atau tepi ombak yang tak bisa kembali lagi karena terserap oleh tanah halus di bibir pantai. Atau keledai yang mengulangi kesalahannya berulang kali. Atau babi, yang dengan emosinya, membutakan mata hatinya hingga membentur objek lain dari cerita manusia lainnya. Ingatlah ini, sampai beberapa juta detik ke depan, hanya akan ada satu perang yang akan Kau hadapi; perang melawan diri. Bukan yang lain. Selamat malam, perempuan.
Selengkapnya...

Hanya Jika..

Jika ada hal yang paling aku tunggu, mengisi blog ini aktifitasnya. Jika ada keraguan yang ingin aku hempaskan, keinginan menulis di sini jawabannya. Bukan karena siapa, atau apa yang menyertainya. Aku hanya tidak bisa membiarkan sebuah cerita 'biasa' mengisinya. Semua tulisan ini ada, hanya jika muncul sebuah emosi yang penting untuk tidak aku lupakan. Bukan untuk dikenang, tapi untuk diwariskan. Pada duka, risau dan rindu yang pernah hinggap di diriku.. Selengkapnya...

(Ingin) Hilang..

Sebenarnya semangat menulisku sudah lama hilang sejak aku juga kehilanganmu sebagai inspirasi. Berapa kali pun aku mencoba menulis dan mengisi blog ini, pikiranku hanya membuat iramanya kacau dan membiaskan ritme di dalamnya. Entahlah, aku hanya tak menduga kejadian seperti ini ada. Sebelumnya aku pernah merasakan hal serupa, tapi tak sepanjang ini. Keluar kamar dengan mengembangkan senyum palsu dan berpura tak terjadi apa”. Selalu demikian dan tiap hari aku lakukan. Sial, aku malah menulisnya di sini.
Sebenarnya, dulu jika namamu tertuang di sini, artinya aku sedang tak sanggup lagi menahan obrolan tentangmu di luar sana. Lalu aku merindukanmu dengan caraku. Mendeskripsikan semua lentik lembut tentangmu dan memindahkan teduh matamu dalam prosa. Hahahaa, bagaimana bisa aku selemah itu. Padahal aku sangat tidak ingin berurusan dengan kaummu. Menyebalkan dan hanya menghambat gerak motorikku. Lalu aku hanya bisa terbata” dengan tubuh terbujur kaku.
Sebenarnya malam ini aku ingin segera beranjak dari kursi dan memenuhi panggilan teman yang sedari tadi berdiri di depan kamar, memaksaku kembali menyeruput kopi dengan obrolan panjang. Dia menatap apa yang sedang aku lakukan dengan sinis. Karena teman” lain yang menunggu kedatangan kami berdua sudah tidak sabar tertawa bersama. Kata mereka, akhir” ini aku adalah orang yang paling susah diajak keluar. Menurut mereka, menjelang dan selama Ramadhan, harusnya kerjaanku tidak seberat hari” biasanya. Naïf, aku malah terjebak di sini tak hanya karena meja kantor, tapi deadline tulisan lain yang setiap hari selalu ada.
Angin malam masih mengitari seisi kamarku tanpa malu. Berpura tak melihatku yang sedang duduk membisu. Bahkan senyumku tak mengembang saat temanku berkali-kali mengalihkan perhatianku dengan melucu. Aku hanya ingin menuliskan semua kesah yang tak ingin aku simpan lagi dalam syahdu. Walaupun aku tak lagi merasakan ada ritme yang biasanya dalam tulisan ini. Seperti yang aku katakan, prosa ini tertuang begitu saja, tak memiliki irama, dengan bahasa sederhana, tanpa metafora dan juga tanpa nama.
Angin malam juga tak berhenti berhembus masuk dari celah jendela kamar saat sebuah pesan masuk dari adikku. Dia hanya menjawab pertanyaan tentang kabarnya dan semua orang di rumah. Aku hanya terdiam memandangi hape dan kembali meletakkannya di atas tumpukan buku yang memenuhi kasur. Aku bahkan tak tau harus membalas apa padanya. Aku sedang bosan dan hanya ingin menulis walaupun sudah tau hasilnya akan kacau. Baiknya, aku masih memiliki keinginan untuk kembali mengisi blog ini. Aku ingin sekali tak lagi terlibat pertikaian antara hati dan pikiranku tentangmu. Tepatnya, aku seperti ingin mengumpulkan semua cerita tentangmu dan meletakkannya di suatu tempat. Tak aku buang, tapi aku simpan untuk aku ingat kembali. Meskipun, aku tak berharap mencarinya lagi.
Angin malam ternyata tak datang sendiri. Dia mengajak keresahan bersamanya pergi. Mengepung tiap sudut bawah kamar dan membuat kakiku kedinginan lagi dan lagi. Seolah, dia ingin mengingatkanku pada jawaban ayah saat aku bertanya tentang tingkat kebosanan pada rutinitas. ‘Bosan..? Tidak, ayah tidak takut bosan. Jika Kau merasa bosan, berarti batinmu kurang terhibur’, sambil tersenyum dia meninggalkan tempatku duduk dengan membelakangi. Sial, ayah selalu berhasil menyadarkanku akan sesuatu. Karenanya, aku selalu mencari kepuasan batin dengan tertawa. Sejauh ini, semua temanku gila. Jika tidak, aku yang akan menularkan kegilaan itu.
Sial, angin malam benar” tak berhenti menyesaki kamar ini. Padahal masih banyak kerisauan yang ingin aku tuliskan kali ini. Tentang penegasan bahwa aku akan mengacuhkan sekuat mungkin untuk merindumu. Tentang kotak coklat yang ingin aku benamkan bersama namamu. Tentang skema yang sangat berisiko untuk kembali mengulang luka karena menghampirimu. Hahahahaa.. Jika Tuhan memiliki alasan untuk mempertemukan kita, Tuhan juga akan memisahkan kita saat alasan itu sudah hilang. Akhirnya, aku sadar apa yang sudah aku lihat dan aku lakukan, membuatku menjadi seperti sekarang. Aku tidak bisa melepaskannya dan pulang. Trims..
Selengkapnya...

Dua Lima, Perjalanan yang Dipertaruhkan

Bagiku, perjalanan bukan hanya hitungan langkah dengan alas kaki. Menyebrangi puluhan kilometer untuk memuaskan mata lalu berbangga diri. Bagiku, perjalanan juga berarti hitungan masa untuk menemukan dan menciptakan pribadi. Lalu merenungkan semua yang sudah terlewat dan dihadapi, untuk meneguhkan hati. Karena setiap detik memiliki nilai yang harus dimaknai. Diberi kesempatan untuk kembali berdiri dan dihargai.
Perjalananku sudah memasuki babak baru. Hitungan masa yang aku punya, sudah semakin berkurang tanpa aku mau. Usia yang bertambah diam” membatasi gerak tanpa malu. Tapi selama aku memiliki tempat kembali, aku akan menemukan dan membuka pintu.
Perjalanan kali ini sudah memasuki tahap serius. Aku tidak ingin mengacuhkannya terus. Sudah lama aku menyembunyikan angin malam, berharap menawan sejuknya saat pagi datang. Kali ini, aku ingin mempertaruhkan semua mimpi yang pernah aku punya. Aku ingin memiliki resolusi. Hahahaa, resolusi. Hal yang tak pernah aku kerjakan, malah mendapatkan hal bermanfaat lainnya tanpa aku inginkan. Resolusi juga yang membuatku membuka mata untuk tak kembali tersakiti. Membuka hati untuk kembali dikecewakan. Kemudian memilih menutupnya tanpa memiliki cukup dalih.
Seperti adventure games, perjalananku penuh dengan pilihan. Menjadi baik, atau seketika jahat. Lalu bertaruh dengan pilihan tersebut hingga semua level game berhasil dilewati. Berkali-kali aku pernah melakukannya dulu. Tapi berkali-kali pula usahaku tak pernah berujung dengan ekspektasi yang aku inginkan. Wajar saja, aku percaya bahwa tidak semua usaha manusia bisa berhasil. Mungkin Tuhan memberinya kesempatan lebih baik untuk mencoba. Atau Tuhan sedang mempersiapkan hal lain yang jauh lebih keren dari keinginan semu yang didamba.
Saat itu, di tengah malam dengan awan berarak, seseorang pernah mengingatkanku bahwa niat adalah penentu jalan cerita dalam sebuah perjalanan. Aku percaya. Aku tau dan aku masih memegang teguhnya. Tapi kali ini aku ingin melibatkan beberapa nama dalam perjalananku. Tidak secara fisik, tapi manifestasi dari motivasi. Seperti kataku di awal, aku mempertaruhkan semua mimpiku untuk itu. Untuk nama2 yang aku letakkan di ujung impuls syaraf dalam nadi. Untuk nama2 yang wajahnya aku lihat tiap pagi. Untuk nama2 yang rupa serta senyumnya aku simpan dalam galeri. Untuk nama2 yang tak ingin lagi aku acuhkan, karena dengan mereka sekarang aku ingin berbagi.
Saat itu pula, angin malam datang menggodaku keluar kamar untuk secangkir kopi pahit menemani menceritakan sebagian perjalananku. Meskipun sendiri, menyeruput hitamnya menjadi hal paling nikmat saat malam hampir berlalu. Karenanya, seolah aku berada di rumah, rumah yang sesungguhnya. Karenanya, seolah ada ayah dan Kak Aziz serta Kak Hakim duduk bersila di sebelahku. Lalu disusul tawa Zein yang sedang dikejar Zainal dengan omelan yang terbentur dengan belaan Ibu. Hahahahhaaa.. Jika ada perjalanan yang ingin aku pilih, aku memilih berjalan di samping mereka, selamanya. Tapi Tuhan sudah memberiku pena lain untuk menuliskan perjalananku sendiri. Sekali lagi, aku masih ingat saat ayah berkata padaku ‘Nak, semua orang memiliki perjalanan. Jalani saja kisahmu, dan ayah juga akan mejalani kisah ayah. Beda, tapi semoga tujuan kita sama’.
Hmmm, aku tak tau apa yang pernah membuat keluargaku bangga atas perjalanan dua lima ku. Aku juga tak pernah berharap tau, apa saja yang membuat mereka bangga dengan semua masa yang aku lewati. Tahun ini, aku hanya ingin mempertaruhkan semua mimpiku. Tidak dengan mencampur emosi dan tanpa menepikan ketakutan akan mati.
Selengkapnya...

Menjadi Sendiri yang Kau Rindukan..


Tidak ada yang benar” diciptakan sendirian di kehidupan yang semakin busuk ini. Menjadi sendiri adalah pilihan semu untuk menepikan kehadiran sunyi. Terpaksa sendiri bisa jadi konsekuensi keinginan menyiksa yang tak selalu berarti. Pada akhirnya, kita salah kaprah memaknai 'jauh dari hingar bingar' menjadi kesendirian yang lebih sakit dari mati. Padahal, selalu ada alasan untuk mengembangkan senyum bersama kebodohan. Menertawakannya lebih keras di jalanan dengan teman. Menduakan kesombongan untuk menghilangkan beban. Lalu kembali bergerak untuk tau Kau masih hidup dengan kesialan.
Sore ini, di kamar ini, aku masih percaya bahwa bertambahnya usia bukanlah hal yang harus ditakutkan. Aku sudah melakukan semua keinginan yang aku manjakan selama hampir dua tahun belakangan. Aku tak perlu lagi sembunyi dari perasaan” yang membekukan. Hal” yang tak ingin aku simpan sendiri tapi akhirnya ketahuan. Hal” cengeng yang aku tepikan tanpa harus tau kapan akan muncul kemudian. Hal” yang aku rindukan saat menata senja bersamamu atau menginjak sepatu yang tak bisa Kau bersihkan. Hal” gila yang aku lakukan bersama teman” kampret di kota sebelah seminggu lalu.
Sore ini, seminggu lalu, aku masih ingat duduk di mobil penuh isak tangis yang tertahan. Sopir-nya sesekali sok asyik bertanya padaku tentang lagu apa yang harus dia nyalakan. Mengalihkan penglihatanku yang tertuju pada mata-nya yang sembab karena air yang berjatuhan. Mencoba mengganggu pendengaranku dari sengguk tangisan. Pria di sampingnya sama saja. Banyak tisu yang dia habiskan hanya untuk menyeka air mata. Sesekali dia alihkan pandangan ke luar, meskipun dia tau itu tak ada hasilnya. Si kampret di belakang juga sama saja. Tereak” rame agar kami yang di mobil tak melihat matanya yang merah bukan karena debu jalanan kota.
Entah kenapa mobil ini begitu hening sejak meninggalkan bandara Abdurahman Shaleh Malang. Padahal lagu” terputar tak hanya dengan irama sedih, tapi juga riang. Perjalanan ke kota begitu cepat untuk pulang. Padahal seisi mobil; Acung, Shandy, Dimas, Nawaf dan Ajis tak memiliki masalah dengan polisi yang mengharuskan kami berperang. Kami hanya baru saja mengantarkan seseorang. Teman paling kampret yang sudah menyelesaikan studinya dan berencana kembali ke rumahnya di Lampung, hari itu saat siang.
Nama si kampret ini adalah Soemarno, oh sori, namanya Fadhil. Udah ganti ternyata. Bagaimana kabar Ente..? Semoga selalu ada waktu untuk menghubungi teman”mu yang menemanimu selama 5 tahun ini. Ente bukan sahabat terbaik mungkin bagi meraka, tapi tetap saja Ente meninggalkan banyak jejak tawa bersama yang tak terlupakan dengan mereka. Bagiku pun, Ente hanya seorang teman yang usianya sama, tapi sok”an muda dengan panggil ‘Abang’ karena beda angkatan kuliah. Tapi tetap saja kita memiliki banyak pertemuan yang selalu diakhiri dengan genggaman tangan.
Sudah seringkali aku mengantarkan teman meninggalkan Malang untuk kembali ke habitat asalnya. Mereka yang meninggalkan seringkali adalah teman perjuangan yang tak hanya bercakap sekali dua kali. Tapi teman yang aku anggap saudara. Seseorang pernah dengan lantang berkata kita berteman lebih dari sekedar saudara. Aku sih mengiyakan, karena bagiku teman adalah keluarga yang kita pilih. Sama sepertimu, atau Acung, Shandy, Nawaf, Dimas dan Ajis mengganggapmu. Mengantarkan teman”ku ke stasiun atau bandara selalu berakhir dengan senyum dan pelukan yang menenangkan. Tapi mengantarmu kemarin, sial, begitu emosi dan sentimentil.
Bagaimana Kau menjawab pertanyaan Shandy di mobil seminggu lalu. Dia bertanya ‘Siapa yang bakal ganggu rumahku lagi, Mas Kid..?’. Kau kira gampang menjawab pertanyaan sepele ini..? Bahkan aku pun hanya tersenyum ke arahnya lalu pura” ngobrol dengan Acung. Tapi aku pun diam saat Acung bertanya ‘Lagu apa yang pas buat kita saat ini, Mas Kid..?’. Kampret kan Dhil..?!
Dimas hanya terdiam di tempat duduknya, tepat di tengah antara aku dan Nawaf. Tapi Ajis, dia berkata padaku ‘Mas Kid, ayok nyanyi. Ayok dong’, saat lagu Ebiet G Ade terputar. Hahahahaa.. Kau kira gampang menanggapi semua obrolan itu Dhil..? Bahkan tulisan ini saja baru tercipta seminggu setelahnya. Dan aku harus menghabiskan dua cangkir kopi dalam 35 menit saat tulisan ini diketik.
Aku masih ingat, aku orang terakhir yang Kau peluk saat langkah kakimu akan memasuki ruang tunggu Abdurahman Shaleh. Kau berbisik ke telingaku, ‘Jaga mereka, Mas Kid’ dan langsung membalikkan badan tanpa melihatku lagi. Kami pun langsung melakukan hal yang sama. Kami langsung memalingkan muka dan tubuh menuju parkiran. Acung merangkulku hingga sampai di pintu mobil sambil ngobrol dengan terbata”. Aku lihat matanya berkaca”, dan berpura melihat ke langit saat aku berusaha melihatnya. Hahahahaa.. Benar” manusia kampret yang bikin Acung sampe kayak gini. Padahal malam sebelumnya, Acung adalah orang paling riang di antara kita saat dia memetik gitar untuk kita, untukku, untukmu dengan memainkan nada” Sheila On 7. Rumah Shandy malam itu benar” riang tanpa sedih seperti siang itu. Shandy bahkan menuntaskan tiga ronde yang Kau pilihkan untuk kami, karena biasanya dia enggan.
Mungkin daritadi Kau kesal karena hanya cerita mereka yang aku tulis. Ke mana kesedihanku dan Nawaf..? Dulu, ayahku pernah bilang padaku bahwa pria bukan robot yang tak memiliki hati atau tembok yang tak bisa mendengar. Pria tetaplah manusia yang memiliki jiwa dan di dalamnya ada nurani. Tapi saat sedih, Kau tak harus menangis menitikkan air mata. Mungkin Nawaf sama saja. Kami bukan tak sedih, tapi kami memilih tempat untuk mengungkapkannya.
Seperti kataku di awal, tak ada yang benar” diciptakan sendirian. Kami pun di sini juga memahami itu. Rumah Shandy tetap ramai meskipun tanpa gelak tawamu. Permainan gitar Acung tetap menawan meski tanpa hadirmu. Riang senyum Ajis akan tetap merekah meski bukan karena candamu. Sayup mata Dimas akan tetap menyala meski tak melihatmu. Nawaf dan aku akan tetap menjalani rutinitas biasa meski saat kami menghubungi tak bisa langsung Kau penuhi. Kami di sini masih akan tetap sama. Hanya saja, sekarang akan agak berbeda sedikit ditambah jarak di antara kita. Tapi di jaman yang semakin kampret ini, Kau masih bisa mendengarkan suara kami dengan sangat mudah lewat semua aplikasi di iPhone-mu.
Kita tidak bisa memilih takdir kita. Tapi kita tetap melakukan kewajiban kita, besar atau kecil. Hanya jalan yang bisa Kau pilih, tidak disertai hasil. Hanya kekuatan yang bisa Kau pilih, tanpa jumlahnya. Jika Kau memilih menjadi singa, jadilah. Tapi Kau tidak bisa meminta seberapa kekuatannya. Meski begitu, singa tetaplah singa. Kau tak perlu menjelaskan seberapa tangguh dan buas seekor singa.
Semua yang ada di Malang sekarang adalah masa lalumu. Masa” kita menendang kebekuan komunikasi karena perselisihan. Masa” kaget dengan pisuhan karena tiba” ditunjuk untuk berbicara di depan teman” lainnya. Masa” menunggu dengan memaki karena jemputan untuk hang out tak kunjung datang. Masa” menguasai jalanan karena mobilmu harus masuk bengkel di saat tidak tepat. Masa” jongkok karena kekalahan main ceki dengan angka ratusan. Masa” jackpot saat oleng saja tak cukup menahan kuat aroma rum. Masa" menghabiskan menuntaskan perlawanan dingin malam dengan panasnya secangkir kopi dan hangat kebersamaan. Semua adalah masa lalu, ya, masa lalumu. Dan tidak ada yang mampu memaniskan masa lalu, kalau bukan kematian yang semakin dekat. Lalu, bermanfaatlah di sana. Seperti Kau bermanfaat bagi kami di sini.
Selengkapnya...