Malam ini aku tak mendengar suaramu. Suara yang biasanya menggema di telingaku. Suara yang walaupun tak lagi lembut tapi selalu aku rindukan. Suara yang aku ingkari keberadaannya karena khianat yang dulu sempat aku terima. Suara yang dulu selalu mengalun lembut tanpa perintah dan paksaan. Suara yang saat ini semakin ingin aku hindari untuk bertatap karena keengganan aktifitas para anjing liar mengerumuni pertemuan kasih sayang.
Aku hanya mendendam keharibaan bunyi”an yang perlahan masuk melalui celah jendela kamarku. Bunyi tiupan malu angin malam. Bunyi kicauan burung wallet di belakang rumah. Bunyi musik yang dimainkan adikku dari hapenya. Bunyi desiran ombak yang tambah kencang saat jam di laptop ini menunjukkan angka 23.56. Aku tak ingin bergegas menutup pintu kamar yang mempersilakan sebagian angin malam tadi masuk dan meneyelimuti gelas di sampingku kemudian menghilangkan panas yang bersemayam pada kopi di dalamnya.
Membuka kurasan buku yang tergeletak di samping tempatku duduk adalah aktifitas tak menyenangkan untuk saat ini. Tapi keengganan untuk menyapamu kedua kalinya melalui pesan singkat membuatku terpaksa melakukannya. Buku ini baru aku baca empat lembar saja. Empat lembar yang penuh coretan pensil dan stabillo di setiap lini penting menurutku.
Sejenak suara sruput kopi yang aku buat menyadarkan kembali kerinduanku akan suaramu. Suara yang kali ini terngiang di sekitar rerumputan samping rumahku. Aku tak berani keluar. Atau lebih tepatnya malas lebih jelas mendengarkannya. Karena hal itu akan membuat Kau menerima signal yang aku berikan dan membangunkanmu dari tidur. Terpikir olehku bahwa hidup ini terlalu tak senonoh untuk dihias. Akupun tak ingin Kau juga ikut andil dalam melukis luka pada deretan nada Tuhan. Cukup aku merindumu dengan suara lainnya.
Selengkapnya...
Malam Senyap Tak Sunyi
Langganan:
Postingan (Atom)