Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Aku pernah mengenal sosok lembut itu. Tak begitu dekat. Hanya beberapa pertemuan. Tanpa banyak kata. Tanpa kalimat menguntai banyak dari mulutku. Bahkan setiap tatapan mata aku alihkan saat kita bicara. Tak hanya padanya memang, tapi aku tak menyangka aku menemuinya dengan cara ini. Cara elok yang aku benci.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Entah kenapa matahari tak bersinar dengan purna. Padahal saat itu matahari sangat mempesona menampakkan wajahnya di depan mataku. Senyumnya perlahan namun dengan jelas mengungkap begitu artistik cipataan-Mu. Bahkan senyum manis itu berulang-ulang muncul tanpa mau hilang. Untuk mengusirnya aku harus memenjara kesadaranku dalam tidur.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Aku tak tau pasti kapan pertama kali kita bertemu. Yang aku ingat Kau langsung tersenyum padaku. Kau langsung menyapa sebelum aku menyodorkan tangan untuk menyalamimu. Bahkan Kau menyunggingkan senyum sebelum aku memperkenalkan namaku. Aku tau perempuan anggun sepertimu sangat mudah untuk ramah. Aku pernah mengenal beberapa diantaranya. Aku juga pernah kenal sangat dekat dengan tujuh diantaranya. Kamu mungkin tau kapan kita bertemu untuk pertama kalinya.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Bagaimana jika Kau memberiku satu lembar kertas yang berisi tulisan tanganmu. Kau mungkin sangat tidak ingin itu terjadi setelah mendengar tentangku yang tak begitu ramah dan terkesan perfeksionis pada setiap diksi. Tapi saat ini harusnya Kau tak usah takut saat namamu muncul dengan menenteng apresiasi dari orang lain. Aku juga sempat bertaruh untuk memilikinya. Tapi Kau datang merenggut dengan begitu cerdas. Aku terpesona.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Ini yang aku benci. Aku begitu terkesima dengan cerita itu. Aku benar-benar sedang merasakan musim semi yang tak mau berlalu. Kau yang menghadirkan itu. Sudah lama sejak Fahri Asiza melakukan itu padaku dulu. Kau tau, aku membencimu. Aku ingin sekali membunuhmu bersama sore hari ini..
Selengkapnya...
Menepikan Sore..
Just Me, My Self and Holmes III
Dini hari ini begitu nyaman melihat sosok sahabat dari Indonesia Timur yang sedang leluasa bercerita mengenai kisah asmaranya padaku. Sesaat aku tak begitu mempedulikannya karena saat Ia menggambarkan nuansa romantisnya yang penuh kelembutan, aku sedang berkutat dengan dunia blending sarat akan gambling yang aku sebut dengan skripsi. Sambil menatap layar notebook dan mencabik-cabik keyboardnya dengan tujuh jariku, aku membiarkan pendengaranku dimanjakan oleh perjuangan kisah kasihnya. Walaupun hanya sekitar 21 menit karena Ia terkantuk dan tidur, aku kira itu sangat menghibur.
Perlahan aku kembali mengingat kisah-kisah yang pernah terjadi padaku selama empat tahun belakangan ini. Sesekali aku tersenyum kecil saat nuansa–nuansa itu hampir aku rindukan. Tapi aku tak kunjung merangkul kisah itu kembali karena ada aktifitas yang jauh lebih penting saat ini bagiku. Kehadiran kisah itu sama halnya kebekuan malam tadi yang mengajakku bercengkrama dengan kekalahan Arsenal.
Jauh di sudut raga ini, ada ruang yang haus akan keinginan untuk mengisi kisah-kisah lainnya. Hanya saja, kekhawatiran untuk kembali lalai dalam ‘kewajiban’ muncul. Holmes pernah berkata ‘cinta itu adalah emosi, dan aku menghormati emosi itu lebih dari siapapun.. Tapi aku tidak akan mencampuradukkannya dengan akal sehat’. Dari semua nasihat yang pernah aku dengar tentang cinta, pernyataan ini adalah yang paling bijak bagiku. Karena keputusan untuk ‘memisahkan’ adalah yang terbaik.
Saat manusia disengat oleh getar asmara, ada baiknya kembali menganalisa dengan rasio berpikir yang didampingi kesadaran. Karena suatu waktu, sengatan itu akan membutakan akan realita yang sedang manusia hadapi. Kemudian, langkah memisahkan dan tidak mencampuradukkannya adalah jalan terbaik. Analoginya, Kau harus melihat ke kanan disaat Kau harus melihat ke kiri. Sebuah pertentangan aktifitas yang mustahil untuk dilakukan. Aku rasa itulah yang terjadi padaku selama ini.
Sahabat dari tanah Papua ini adalah satu dari beberapa sahabat lainnya yang sedang dilanda asmara dan digelayuti rindu di sekitarku. Aku tau manusia memiliki jalan dan cara berbeda untuk menghadapi aktifitas paradoksal ini. Hanya saja, secara sadar terkadang manusia terlalu berani mengambil resiko yang berlebihan untuk berbuat lebih jauh dari kemampuannya demi mengalirnya kesenangan psikologis dan membuka belenggu ketidakinginan. Bersiaplah..!!
Selengkapnya...