Hujan tidak berhenti turun sejak siang tadi. Bahkan tambah deras saat sore menjemput petang. Semua jendela yang aku pandangi, berbisik mengembun dan menghalangi pandangan. Guyurannya mereda saat aku kembali ke kamar. Ruangan tempatku membenci waktu. Membenci keadaan. Membenci malam” yang tak lagi sama.
Aku benci melewati malam seperti ini; bising di telinga, sepi dalam hati. Gemuruh namamu selalu berpacu tanpa suara. Aku tak bisa menghentikannya. Aku tak kuasa. Atau mungkin, aku tak ingin. Kondisi seperti ini membuatku semakin gila. Setiap hari, bahkan setiap detik. Sampai saat ini pun, aku masih berhutang maaf padamu. Jika pertemuan tak bisa mewakili, izinkan kata menghampiri.
Gerimis masih menyeka malam, menutupi jarak mata pada bulan yang temaram. Jika Kau sibak, mungkin ada beberapa bintang yang bertahan. Tapi tak akan purna, karena mendung juga tak kalah kuat menebal. Kau hanya harus yakin, mereka ada untuk Kau lihat. Semakin dekat. Semakin lekat, suatu saat tanpa hujan yang turun lebat.
Apa yang salah dari percakapan terakhir..? Mungkin kalimatnya terlau satir. Atau terungkap penuh dengan rasa getir. Tak akan aku bertanya pada langit yang akhir” ini mengantarkan banjir. Bahkan kamar ini terasa menghakimi semua kesalahan yang belum aku ketahui, meskipun seribu kali aku berpikir.
Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Sampai saat ini. Sampai detik ini. Sampai aku tak lagi bisa menuliskan sandi”. Aku hanya tidak ingin menyimpulkannya sendiri. Kemudian berjalan dalam kesalahan opini. Sudah berkali” aku berdiri. Lalu aku melihat ke arahmu kembali. Semua aku lakukan berulang kali. Dan tak ada jawaban yang aku temui.
Hai Kaa, apapun kesalahanku, aku mohon maaf. Kemudian hari”ku hanya merindukanmu. Dipertemukan atau tidak, itu urusan Tuhan-mu. Jika Kau menolak sapaan, mohon jangan Kau larang aku menemuimu dalam doa. Aku hanya ingin harimu bahagia, dan baik seperti biasa, seperti sedia kala. Seperti doaku yang aku panjatkan pada mereka, korban bencana alam Banjarnegara.
Hai Kaa, baik” ya di sana..
Selengkapnya...
Maaf..
Hadiah Terbaik..
Bagaimana membahasakan sore yang seru, di tengah badai haru, di dalam kubangan sendu, di dalam milyaran titik rindu. Bagaimana..? Bisakah Kau menjawab..? Aku tidak bisa menjawabnya. Aku butuh pertolongan untuk menjawab. Tapi mungkin tak akan Kau dengar pertanyaan ini.
Pagi ini aku terbangun dengan dua orang teman yang menyesaki kamar. Adam dan Mukrom datang sejak sore kemarin untuk melakukan survey di kota ini. Biasa, sampingan pengalaman untuk uang saku. Dulu aku juga sering terlibat, tapi sayang, hanya berlangsung singkat. Kedua kunyuk ini diberi waktu sampai Minggu, lalu mereka menggunakan kesempatan waktu yang dimiliki untuk menemuiku. Katanya sih kangen ngobrol. Ancrit.
Aku bergegas pulang usai meeting di kantor. Setelah ganti baju, aku menemui mereka di Circle K Indragiri. Mulai detik aku duduk di kursi meja mereka, obrolan kami tak terhenti oleh dingin Surabaya yang mulai berani merasuk. Kampret, ternyata sudah lama begini aku tak bersua dan ngobrol dengan dua orang ini.
Saling menyalahkan kemudian terjadi. Mereka menyalahkanku karena aku gak pernah ke Malang menemui mereka. Istilah sibuk, kerja mulu, serius mulu, menjadi andalan mereka untuk menyudutkanku. Aku membalasnya, kalian kampret, babi, kutu koreng, engsel pintu, ganjelan meja, tutup botol dan semua sumpah serapah nongol. Gak nyambung sih, tapi kami tertawa bersama. Sial, ini yang aku rindukan. Menyeka keruwetan di kantor dan membuka senyum yang hampir tiap hari tertahan.
Sore itu memunculkan semua kegilaan. Tertawa tanpa peduli bising jalan Indragiri dengan ratusan kendaraan yang melintas. Canda terbungkus rapi dalam kerinduan. Satu per satu dari kami menjadi objek untuk dihina, dimaki dan diolah menjadi bahan tertawa. Aku begitu menikmati kegilaan yang aku rindukan ini.
Tak ada yang menghentikan pecahnya tawa kami sore itu. Semua persoalan mulai kericuhan kasus korupsi yang baru” ini menjerat mantan Bupati Bangkalan hingga persolan negara, benua, planet, luar angkasa, semua kami bincangkan dan diubah menjadi canda. Salah seorang kemudian memperkenalkan film yang belum lama ini dia tonton dengan sangat antusias. Kebetulan kami bertiga sangat gila film. Bahkan satu diantaranya sudah pernah berguru secara langsung pada Riri Riza dan Mira Lesmana sepanjang November lalu di Makassar. Asem..!!
Sejenak, kami terlihat sangat dominan di tempat ini. Dari kejauhan, penghuni meja” lain menyaksikan kami dengan wajah kesal. Tapi ada juga meja lain yang dihuni empat perempuan dengan pakaian putih abu” melempar senyum ke arah kami. Wah, alay. Bahaya kalau mereka menghampiri meja kami. Akhirnya kami membelakangi mereka, dan kembali memenuhi ruang dengar CK dengan tawa. Tapi tiba” tawa kami terhenti.
Petang sudah menjemput sore dengan paksa saat tawa kami terhenti. Seseorang diantara kami dengan sengaja membahas persoalan asmara. Sepertinya, pembahasan satu ini sanggat berat sehingga kami menyembunyikan sementara tawa kami. Sial. Aku berusaha dikit demi sedikit mengalihkan pembahasan yang mulai ngaco ini. Untungnya, aku kompak dengan Adam, terus”an membahas persoalan asmara Mukrom yang tidak jelas bahkan abstrak. Persoalan asmaranya sama halnya dengan sosok Santa Clause yang fiktif.
Adzan Maghrib kemudian berkumandang keras seolah mengingatkan kami untuk segera beranjak dari meja ini. Aku kemudian teringat sabda Muhammad SAW suatu ketika, ‘banyak tertawa mematikan hati’. Dalam hati, terpikir apa yang membuatku sore ini sangat senang ya..? Buahahahaha.. Kemudian aku diam. Mereka lalu berterimakasih padaku.
‘Kalian gapapa..?’, tanyaku pada mereka.
‘Makasih Kid. Bukan karena becandamu yang selalu segar. Tapi terimakasih Kid waktunya’,
‘Buahahaa, Ente lebay. Yaudah kita lanjutkan di kosku’,
‘Kami serius Kid. Hadiah terbaik yang bisa Kamu berikan pada seseorang adalah waktu. Karena Kamu memberikan sesuatu yang tidak dapat diambil kembali. Dan bersyukur sekali pemberian itu datang darimu’,
Sekilas mendengarnya aku menjadi bertanya”. Apa sangat berharganya waktu bajingan kecil ini sampai kalian sangat berterimakasih..? Entahlah, dalam kasus ini, sebenarnya aku yang merasa sangat diuntungkan. Karena kalian datang tepat waktu saat aku sedang mumet. Makasih Bro. Tidak salah jika kita selalu pegang prinsip, ‘karena kita berteman lebih dari saudara’.
Selengkapnya...
Waktu..
Waktu berlalu
Waktu mengajarkan sesuatu
Waktu itu bisu
Tapi waktu seolah bicara
Waktu memupuk rasa
Lalu waktu menghadiahkan cerita
Tapi waktu menenggelamkannya
Waktu menghilangkannya tanpa suara
Akhirnya aku merasakan sejuk. Ditandai dengan semilir angin yang perlahan hilangkan kantuk. Ditemani suara dedaunan yang jatuh di jendela mengetuk-ngetuk. Kota ini, Malang, selalu berhasil menepikan sumuk. Kembali ke kota ini seakan menyegarkan ingatan yang sudah lapuk. Lalu aku menempatkannya sebagai kota penghilang suntuk.
Di depanku, di seberang tempatku duduk, masih di meja yang sama, seorang teman berbicara pelan. Menceritakan setiap detil kisah yang mengganggunya akhir” ini. Mencurahkan setiap kesah bersama suara bising sendok dan garpu. Aku mendengarkannya tanpa suara menyela. Sudah lama aku ingin menemuinya. Aku tau dia sedang tidak baik” saja. Bersama bising malam, aku menyimak setiap kata dan kalimat yang terlontar.
Sembari mendengarnya, aku bertanya pada diriku sendiri. Apa dunia benar” memiliki mata..? Sehingga bisa melihat hati yang tertawa. Atau dunia hanya memiliki telinga..? Dan hanya mendengar bisik senyum tanpa tau rupa. Senyum dan tawa bisa dibuat begitu saja. Tapi butuh alasan yang kuat agar bahagia itu bermakna. Lalu apa bedanya dengan mereka para drakula. Berpura berjuang di samping lalu menghisap tiap menit kehidupan manusia.
Entahlah, mungkin aku sedang mengigau. Kondisi ini benar” membuatku kacau. Temanku lalu mengingatkanku agar terlebih dulu berbenah diri. Bagaimana mungkin mendengarkan cerita lain saat Kau kebingungan. Bagaimana mungkin menyimak kisah lain saat Kau sedang terbelenggu bersama persepsi yang meragukan. Lalu temanku mengambilkanku sebuah pandangan, agar percaya bahwa yang aku hadapi adalah tembok besar yang bersarang di diriku sendiri. Bukan pada orang lain, tempat lain, atau pada semua tulisan oleh jemariku.
Aku tersenyum kecil mendengar ocehannya. Mungkin dia benar. Apa yang sedang aku hadapi, bagaimana melewatinya, hanya aku yang tau. Lalu aku membalasnya bahwa apa yang sedang kita hadapi tidak lebih dari racun dalam pikiran. Kita terpenjara dalam pikiran kita sendiri. William Addis, Shakespeare, Soekarno bahkan Buya Hamka adalah sederet nama yang harusnya jadi contoh. Terpenjara secara fisik, tapi merdeka dalam berpikir, hingga menghasilkan masterpiece. Lalu aku..? atau temanku..? Mungkin kita yang kedua, bebas secera fisik, tapi seringkali memenjara pikiran sendiri. Berkata ‘tidak bisa’, ‘tidak akan’ atau kalimat” penyangkalan lainnya. Padahal, Kau bisa menemukan mutiara dari dalam dasar laut yang mematikan.
Aku terdiam dalam hening. Kemudian aku kembali mengalihkan pandangku pada temanku. Dia duduk di sampingku dengan obrolan yang tak lagi sama. Kali ini dia banyak becerita tentang prinsip hidup yang harusnya dipegang setiap manusia. Aku mengangguk tanda setuju. Kemudian dia mengaitkannya dengan cerita” kami yang sebenarnya bisa kita hadapi dengan santai. Tanpa irama menjemukan, tanpa gurat amarah yang memuakkan dan tanpa pikiran yang tercipta sendiri atas dasar kebingungan.
Aku melihat jam tangan. Ternyata sudah malam sekali dan baru sadar bahwa Sabtu sialanku ini aku habiskan bersama orang ini. Kemudian aku beranjak dari tempat duduk dan menggiring langkah ke arah keheningan. Kebingungan ternyata masih menghantuiku. Dia mengikuti setiap langkah yang aku buat. Sebelum pergi, temanku membacakanku sebuah kalimat dari novel Paulo Coelho, bahwa ada dua kekeliruan yang fatal dalam hidup; yaitu bertindak terlalu dini dan membiarkan kesempatan terlepas begitu saja. Lalu aku berkata padanya, ‘Ini soal waktu. Aku dan Kamu pasti menemukan jawaban bersamaan dengan waktu yang memberikan jeda. Terimalah, rasakan, kemudian Kau akan sadari kapan Kau harus bergerak dan kapan Kau harus menunggu untuk melakukan gerak selanjutnya’.
Temanku mengangguk, dan dia berkata ‘Ya, ini soal waktu’, sambil terseyum.
Selengkapnya...