Hai Mi’. Hmmm, rasanya masih belum percaya Kau sudah tiada. Semuanya sudah terasa tenang. Semua sudah dengan lapang dada menerima. Bukan perkara ikhlas, ini hanya soal mengenang. Aku yakin, aku bukanlah yang paling menderita dan sedih dengan kepergianmu. Ada. Ada yang jauh lebih sedih dan terpukul dengan kejadian ini. Tapi Kau tidak boleh mengingkari bahwa aku sangat kehilanganmu. Rumah sudah tidak lagi sama. Pulang, sudah berganti irama. Aku yakin semua juga merasa demikian. Rumah adalah Kamu. Kamu adalah pulang. dan kami terjebak untuk menerjamahkannya setelah Kau tiada. Kami harus menata ulang apa arti pulang. Mendefinisikan lagi, apa arti rumah. Dari sana, aku yakin Kau masih bisa melihat Kami tertawa. Lepas. Tapi semua mengalir tanpa tujuan. Karena sebelumnya, Kamu yang selalu ingin melihat kami tertawa. Sebelumnya, Kamu adalah alasan kami bahagia.
Aku tidak yakin dengan apa yang aku tulis ini. Saat ini aku berada di kamar, mengasingkan diri setelah tau kalau hari ini adalah lewat sebulan Kau tiada. Duduk di depan laptop dan menggerakkan jemari tanpa tau perasaan apa yang hinggap. Sedih tentu saja. Duka yang sangat dalam. Lapang, untuk tidak lagi melihatmu kesakitan. Rindu yang pasti tak hanya aku yang merasa. Semuanya bermula dari saat Kau mulai sakit”an. Saat Kau tak lagi nyaman berjalan seperti biasa. Kau terlihat lemah dan sengat rapuh. Tapi tidak dengan jiwamu. Hatimu yang selalu besar dan kuat, merangkul kami cucu”mu setiap kali pulang dan mengetuk kamarmu. Setelah semua itu, tentu saja yang ada hanya kesedihan melihatmu terbaring dan tak bicara.
Senin malam seperti sekarang, Kau dilarikan ke rumah sakit. Kami senang akhirnya Kau mau diajak dan dirawat di rumah sakit. Tapi Kau sudah tak sadarkan diri sejak di dalam ambulance, jauh sebelum tiba di UGD. Mendengar itu, aku dan Sinal gemetar. Mungkin juga yang lain. Bukan. Bukan sedih, tapi itu bentuk ketakutan. Takut kalau malam itu adalah waktumu. Takut kalau malam itu adalah akhir dari usiamu. Kamu terbaring lemah di sudut ruang itu. Kami bergantian menjaga, keluar masuk ruangan buat memastikan Kau masih membuka mata. Kami menyapamu dengan air mata. Kami ingin sekali Kau bicara. Bergantian, kami yang ada di situ heboh membuatmu tetap terjaga.
Kami yang takut, memaksa semua petugas rumah sakit dan dispendukcapil membantu memuluskan perawatanmu. Kak Reza mengatur pertemuan dengan Kepala Dispendukcapil dan memuluskan administrasi rumah sakit yang kemudian diteruskan oleh Kak Aziz dengan semua peluhnya. Kami sudah bukan lagi Aziz, Azizah, Reza, Hamim, Zainal malam itu. Bukan lagi Yuhai, Yumik, Arifin, Mordifi, Nafsiah saat itu. Kami adalah bajingan yang siap melakukan apa saja demi perawatanmu, agar Kau sehat kembali. Kami panik, kami takut. Kami ingin segera melihatmu kembali tersenyum, dengan sadar. Bahkan di luar sana, ada tangis yang pecah. Zainal memeluk Ibu, karena takut. Dia takut karena belum sempat memelukmu lagi. Dia takut melihatmu begini, tergolek dalam kekosongan.
Pas. Selang 24 jam setelah Kau tiba di rumah sakit dan mendapat kamar, Kau pergi. Kau tinggalkan kami semua. Semua. Di 24 jam itu, kami cucu”mu sudah bukan lagi orang yang punya profesi Bankir, Guru, Dosen, pekerja media dan pramusaji. Kami adalah cucu”mu. Setengah dari cucu”mu, ditambah Zein. Kami kembali mengingat siapa Kamu dan bagaiman Kamu menemani Kami sampai besar. Dalam doa, namamu selalu kami sebut. Dalam doa, namamu mungkin bukan yang pertama disebut, tapi selalu jadi yang terbanyak. Dalam doa, selalu ada tangis yang menyertai. Kami takut, bukan sedih. Kami takut jika nantinya amal kami memberatkan langkahmu ke surga. Kami takut kebadungan, kenakalan, kekurangajaran kami menjadi sandunganmu masuk ke surga. Kami takut. Kami belum sepenuhnya membahagiakanmu, ta’at padamu, mencintaimu seperti Kau mencintai kami. Kami takut belum menjadi shalih dan shalihah untukmu.
Setelah itu, tidak ada tangis yang berhenti pecah Mi’. Bahkan untuk berhari” setelahnya. Bukan tidak ikhlas. Bukan. Ikhlas itu persoalan hati. Tapi air mata ini adalah cara kami meluapkan kehilangan. Malam itu juga, rumah ramai dengan banyak orang, sebelum Kau jenazahmu tiba di rumah. Banyak sekali orang yang ingin mengantar kepergianmu. Tapi semuanya harus menunggu sampai besok pagi. Tiga cucumu lagi yang masih sekolah dan kuliah diminta pulang. Iya Mi’. Lilid, Nurul dan Iin pulang malam itu juga. Entah bagaimana perasaan mereka. Lama tidak melihatmu, lalu mendengar kabar duka ini. Aku hanya tau kepedihan Mbak Siti. Malam itu, aku bergegas masuk ke kamarnya setelah Ibu memintaku menenangkannya. Mbak sendirian, tiduran dengan tatapan kosong. Aku tau tatapan itu. Aku pernah melihat di raut wajah orang lain sebelumnya. Aku mencari tangannya, aku gapai dan menggenggamnya erat. Dia sangat kehilangan, Mi’. Kehilanganmu. Tentu saja, karena dia yang paling dekat denganmu. Sialan, malam itu tidak ada momen yang tidak membuatku menangis.
Subuh setelahnya, aku terbangun juga dengan haru. Nurul dan Iin bergantian merangkul Ibu sambil menangis. Menyesal karena belum berbakti padamu. Dalam suara yang terisak, Nurul bercerita pada Ibu. Dan aku mendengarnya Mi’. Dia bilang kalau sebelum berangkat ke pondok di edisi terakhir, dia pernah menolak permintaanmu dengan suara yang agak tinggi. Dia menyesal Mi’. Menyesal karena belum minta maaf. Dia menangis sejadi”nya. Subuh itu, suara tangis kembali pecah tidak hanya dari Nurul. Tapi juga Iin, cucu yang sangat Kau sayangi sebelum Zein akhirnya lahir. Nurul memaksa Ibu, meminta agar dia diperbolehkan memikul salah satu segi kerandamu menuju tempat peristirahatan terakhirmu.
Sampai pagi menjelang, kami tidak berhenti mengucap banyak ayat di samping jenazahmu, masih dalam haru. Orang yang hadir sangat banyak Mi’. Mereka memenuhi halaman dan tiga rumah tetangga lainnya. Kamu hebat Mi’. Banyak orang yang kehilanganmu. Kebaikanmu selama hidup, membuat semua orang berebut ingin melayani dan mengurus hingga Kau benar” dikebumikan. Aku Mi’. Aku yang mencuci keranda sebelum Kau dimandikan. Aku tidak melewatkan satu senti pun debu menempel. Hmmm, baru kali itu aku sangat antusias melakukan sesuatu. Aku rasa, pagi itu aku menggunakan hati terlalu serius. Aku benar” senang mencuci keranda itu. Aku ingin sekali kendaraan terakhir yang akan Kau naiki ini bersih. Sayangnya, cucumu tidak lengkap pagi itu. Lilid belum datang dan Kak Hakim masih berlayar di laut Pasific. Lilid masih di kereta dari Jogja. Dia bercerita kalau dia langsung menemukan tiket go-show, tinggal satu. Apa itu juga rencanamu Mi’..? Kamu minta pada Tuhan ya, agar dia bisa cepat pulang..? Hmmm, tapi bagaimana dengan Kak Hakim Mi’..? Padahal dia udah bilang ke Kamu kan di awal bulan, kalau dia akan tiba di Indonesia 23 Maret. Dua minggu lagi dari hari itu Mi’, tapi Kau meninggalkannya terlalu cepat. Dia tidak berhenti menelponku sejak saat Kau dilarikan ke rumah sakit.
Hai Mi’, aku atau mungkin juga ini diakui oleh Kak Hakim, Kak Reza, Zainal, Lilid, Nurul dan Iin, akhir” ini kami jauh darimu. Kami jarang bertemu denganmu. Sangat. Tapi jangan Kau ragukan rasa sayang kami padamu. Kamu tidak pernah absen di hati kami. Pergi itu soal sudut pandang Mi’. Nanti kita akan bertemu lagi.
Selengkapnya...
Kepergianmu, Mi'..
Langganan:
Postingan (Atom)