Bingkisan Tuhan III


Dua hari kemaren harusnya menjadi hari yang menyenangkan. Hari dengan ketenangan. Masih dalam suasana tahun baru masehi dan kebetulan dua hari kemaren adalah akhir pekan. Tenang dan senang harusna aku rasakan disana dengan santai seperti di pantai dan enjoy serta rileks. Tapi tidak. Aku merasakan tegang dan gelisah, resah dan galau, tertekan, sakit serta lelah dan capek.
Ini bukan yang orang-orang harapkan. Bukan yang di inginkan semua orang di bumi ini. Tak ada yang mengharapkan semua hal di atas. Di tahun baru yang sudah memasuki hari keempat ini, semua mengharapkan sesuatu yang baru dan berbeda serta lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Termasuk aku. Aku yang sekarang dengan terpaksa menyandang status mahasiswa juga tidak ingin ketinggalan merasakan nikmatnya dunia untuk kumaksimalkan dan aku akhiri di akhirat dengan nyaman sebagai bekal nantinya. Bahagia, adalah tujuan semua insane di dunia ini. Dan tentunya, tidak mudah mendapatkannya. Banyak jalan terjal, berliku bahkan harus berjibaku dengan iblis dan kadang merelakan sebuah kepentingan untuk pengorbanan.
Satu yang pasti, semua itu kita lalui dengan cinta.
Semuanya diawali dengan takdirku sebagai orang miskin. Ya. Kadang aku berpikir miskin ini sebuah perlawanan. Namun di lain cerita aku merasa miskin ini adalah konsekuensi dari Tuhan yang entah atas perbuatanku yang mana. Tapi bukan hidup namanya jika tidak ada hitam di atas putih dan sedih di samping senang. Walaupun begitu, aku bersyukur telah, sedang dan akan merasakan semuanya.
Hari sabtu aku merasakan ketegangan yang tidak biasanya. Aku ujian salah satu mata kuliah. Oral Exam. Di sinilah dimulai keteganganku. Dengan materi yang belum aku pelajari di hari sebelumnya, aku mengambil resiko untuk masuk ruangan memenuhi panggilan dosen bersama empat teman lainnya. Menghadapi dosen dengan pengetahuan seuprit bukanlah rencana yang cantik. Aku tegang dan gelisah. Deg-degan mendapat giliran mengambil soal yang sudah disiapkan untuk dicaplok tangan-tangan yang akan menjawab pertanyaan tersebut. Dan dasar sial, aku tidak bisa menjawab satu dari dua pertanyaan yang diajukan dosen padaku. Padahal mata kuliah ini begitu penting bagiku. Sebuah mata kuliah pengantar yang akan mengantarkan aku pada cita-cita dan obsesiku nantinya. Tapi aku mengecewakan pengejaran itu. But it’s oke.
Keresahan itu belum habis. Pulang dari kampus, aku harus mengantarkan tugas (sebelum) akhirku di mata kuliah lain ke tempat tinggal dosenku di Jalan Galunggung. Alamat yang belum pernah aku dengar. Mungkin tanpa sadar pernah aku jamah, tapi saat itu aku tidak butuh untuk mengingat-ingat lagi di mana aku pernah mendengar alamat itu. Atau kalau tidak, aku harus merelakan satu mata kuliahku tanpa nilai. Waw..aku yakin tidak ada yang mengaharapkan itu terjadi pada dirinya.
Siang itu juga, aku berangkat dengan sala seorang abangku yang sebelumnya telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengantarkan aku ke alamat tersebut walaupun sebenarnya abangku juga tidak tau di mana tempat itu. Bertanya pada orang dan nyasar adalah harga yang harus aku bayar sebelum bertemu dengan dosenku. Perjuangan yang lumayan ringan jika dibandingkan dengan perjuangan Ikal yang berjuang mencari Arai, seorang manusia hebat yang di sekujur tubuhnya dipenuhi dengan semangat yang luar biasa, selama tiga tahun. Dan aku hanya butuh tiga puluh menit. Hehehe..
Usai perjuangan itu, aku menerima panggilan dari orang-orang yang paling aku cintai sepanjang perjalanan hidupku ini, my family. Ya nich, Ibuku nelpon. Wanita yang sangat aku cintai ini menelpon yang diawali wanita yang begitu mensupport aku, mB’Q.
“Assalamualaikum Mim, apa kabar..?”, mB’ yang selalu menyemangati aku mengawali perbincangan ini.
“Waalaikumussalam..baek aja mB’. Ada apa nich..? Oh ya mB’, lusa aku ujian lho. Doanya donk..!”, harapku.
“Pasti, tapi usahamu juga mesti di utamakan. Kamu pulang kapan..? Banyak yang nyari nich. Temen-temenmu juga dah da yang libur tuch. Tapi nggak usah mikirin di sini dulu. Pikirin UASmu, jangan pacaran terus..!?”.
“Apa”an sich mB’. Siapa tuch yang ngomong..?”.
“Just guess, cZ You so look like that. But now, I know You be there..”.
“Whatever. Maybe Yes. Hehehe..mang siapa ja temen-temenQ yang dah libur mB’..?”.
“Tuch kan benar. Bilangin Bibi ntar. Ada Bedur, Sofyan, Hilmi, Silvi, Hom dan yang laen. Anak” PS3 juga ada kemaren nyariin kamu. Yang buat Bibi kesel, da anak-anak SMP ikutan nyariin kamu”.
“Anak” SMP..? Ngapaen mB’..? Jangan bilang siswi”nya,,?”
“Emang iya. Nyariin Kak Hamim katanya. Hahaha..pasaranmu anak kecil ya Mim..!?”
“Hahaha..biasalah. Segmentasiku kan kemana-mana. Beneran lho mB’ jangan becanda donk..”
“Ya..nggak percaya. Teman”nya Erna juga ada yang nyari tuch. Kamu tuch emang. Kalo nggak percaya, ni ngobrol ma ibumu..”
“Ya dech, kasiin..”
“Apa Mim..?”, suara itu sepertinya sedang sebel, mirip dengan suara yang sering aku dengar akhir” ini.
“Assalamualaikum Bu..Nggak papa. Cuma kangen aja ma Ibu. Ibu apa kabar..?”
“Waalaikum salam. Baek” aja. Kamu gimana..?”
“Alhamdulillah baek. Ibu sekarang aku..”
“Kuliahmu gimana..? Jangan pacaran terus..”.
“Ah, Ibu ada” ja nich. Gosip dari mana lagi tuch..?”
“Nggak usah ngelak. Ibu tau. Gpp, asal sewajarnya. Ibu yakin kamu tau apa yang mesti kamu lakukan. Kamu sudah besar Mim. Jangan neko-neko. Seimbangkan dengan kuliahmu juga. Ibu belum tau tuch cerita-ceritamu yang suka nulis. Sekarang dibuktikan. Ibu pengen liat..”, waw, Ibuku mulai lebay nich. Benar” keren yang Ibu ucapkan. Bijak banget. Dapet dari mana ya kata” itu..?
“Ya Bu. Aku nggak tau Ibu tau dari mana, tapi jangan dimarahin ya. Katanya Ibu sakit ya kemaren..?”.
“Ya. Seminggu kemaren..”
“Lama banget Bu..?”
“Ne Ibu baru bisa jualan lagi. Oh Ya Mim, Ayahmu mau ke tempat kak Go-mu di luar kota..”
“Ngapaen Bu..? Kak Go mau nikah di sana..?”
“Nikah..?! Ya, ayahmu mau kerja di sana. Biayamu itu gede. Nggak cukup kalau masih melaut di sini dengan hasil pas-pasan. Sebenarnya Ibu nggak mau ngomongin ini ke kamu. Tapi harus di omongin. Ibu harap kamu nggak usah ngelarang ayahmu lagi. Kali ini alasannya sudah mantap. Jangan dilarang..!”
“Hah..Ibu beneran..? Tapi.. Di rumah nggak ada cowoknya donk..? Tapi..”
“Ini nich yang Ibu khawatirkan. Kamu nggak usah mikirin itu. Kali ini kamu ikhlasin ayahmu. Atau kamu mau Ibu nggak bisa ngirimin bayaran buat SPPmu lagi..? Ayahmu di sini susah mikirin kirimanmu tiap bulan. Kamu nyantae ajalah. Ibu tau yang kamu khawatirkan. Masalah kerjaan rumah, kita punya tetangga kok. Ada juga Mak jhosop yang nolongin kita. Pastinya, kamu dan kakak”mu nggak selamanya di luar kan..? Kalo libur, pasti pulang kan..? Nyantae ja ya..”.
“Hmm..kali ini aku ikut aja dech kalo emang kayak gitu alesannya..”
“Ywdah, Ibu lagi banyak kerjaan nich. Adikmu juga kemaren minta kiriman duit mendadak. Kamu ujian yang bener, deket ma anak orang juga hati”. Jangan sampe kelewatan. Sewajarnya aja. Oia, kalo lagi keluar berdua, ngabisin berapa duit..?”
“Sewajarnya aja kok Bu. Ibu apa”an sich..? Paling makan bareng..”
“Kamu kan suka ngemil, ke sana ke sini coklat bawaannya. Ywdah dech, Ibu tau kok kamu udah gede. Pikirin sendiri menjalani hidup. Pastinya jangan lupa hafalannya..”
“Ya Bu, makasih. Ywdah dech..”
“Masih mau ngobrol ma mB’mu..?”
“Nggak. Udahan aja dech. Oia Bu, temen”Q da yang maen ke rumah..?”
“Ya..makanya, Ibu heran ke kamu. Yang laen pada libur, kamu kok masih lama..? Trus, ada anak” SMP tuch yang nyari sama temen”nya Erna juga. Tapi nggak usah di bahas. Kamu kan suka ge-er..”
“Ibu apa”an sich. Lagian aku nggak tertarik..”
“Jadi bener, kamu udah punya pacar di sana..?”
“Tuch kan..siapa sekarang yang bahas..?”
“Ywdah Nak. Kamu sering berdoa juga ya buat kami di sini. Kesibukan boleh saja. Tapi jangan lupa shalatnya sama hafalannya. Assalamualaikum..”
“Ya Bu. Waalaikumussalam..”

Ibuku tau..? Dari mana..? Tapi yang lebih mengkhawatirkan, kabar ayah. Aku nggak habis pikir, tapi itu sudah kewajiban beliau. Aku yakin, bagaimanapun ayah adalah kepala keluarga. Beliau yang mencari nafkah. Buat makan dan sekolah anak”nya. Cukup mengejutkan, bahkan bagiku ini sebuah kabar yang harus aku terima dengan berat. Tapi nggak papa lah. Walaupun aku berat, tapi aku percaya sama keinginan ayah. Dulu juga ayah sempat berencana ke luar negeri. Tapi aku nggak mau dan aku tidak mengijinkan. Aku cukup punya banyak alesan untuk itu. Tapi kali ini, aku harus menuruti apa yang diyakini keluargaku.
Mendengar itu juga membuat aku tertekan. Aku harus pinter” mencari cara agar aku bisa mandiri di sini. Nggak melulu minta duit dan melongo nunggu kiriman duit dari rumah dengan tanggal yang nggak pasti. Setidaknya tekanan itu tak membuat aku terbebani. Karena aku tau skenario yang akan aku hadapi nantinya. Selama itu masih kehendak Tuhan.
Sakit juga aku rasakan ketika aku salah tempo makan. Lapar yang aku rasakan sangat menyiksaku. Dengan makan, akan membuat lapar itu hilang pikirku. Tapi shit..yang terjadi malah sebaliknya. Oh God, I know You are the director. Sakit yang sangat aku rasakan sesaat setelah makan bakso dengan porsi sekebon. Perutku seperti dikocok, ditonjok atau bahkan seperti ada yang sengaja ingin tumbuh keluar menekan. Sakit banget.
Lelah dan capek pun tak terhindarkan di dua hari itu. Hari-hari disaat orang-orang harusnya lebih santai dan enjoy menjalaninya, aku merasakan lelah yang sangat pada dua hari itu di penghujung hari. Dan kontan, waktu tidur, aku sangat ikhlas menjalaninya. Maksudnya pulas. Dan aku rasakan sampai terdengar adzan subuh, tanda aku harus bangun menunaikan sebuah kewajiban atas konsekuensi keyakinanku.
Dan disinilah kenikmatan aku menjalaninya. Di saat aku harus kesel dan sebel dengan dua hari itu, aku malah senang dengan kepenatan itu. Adalah dia yang mengembalikan senyum tersungging di bibirku. Menyebarkan damai dengan senyumnya. Menaburkan tentram di hati. Melenyapkan tegang dan gelisah yang kuhadapi saat ujian. Menyingkirkan resah dan galau saat ayahku harus memutuskan jauh dariku secara fisik. Menekan tekanan yang kuhadapi dan membalikkan beban menjadi peluang ke depan. Mengobati sakit yang terlanjur aku telan. Menarik lelah dan capek yang hinggap di pundakku.
Aku tidak tau siapa Bingkisan Tuhan yang diberikan-Nya padaku. Tapi aku harap dia-lah Bingkisan Tuhan itu. Dia yang telah membuat hari”ku lebih berenergi menghadapi hidup yang busuk ini.
Terimakasih Rumput Liar.

0 komentar:

Posting Komentar