Entahlah.. Hingga aku menulis ini, tak ada air mata kesedihan yang aku kucurkan untuk kepergian Abahku yang meninggal dini hari tadi karena kecelakaan sehari sebelumnya (16 Oktober) di Lamongan. Tapi bagiku, tulisan ini begitu emosional. Bukan karena kecelakaan itu juga mengambil nyawa dua menantunya yang berkendara dengannya di mobil Avanza itu, tapi karena Abah adalah manusia yang memberikan aku banyak kesempatan. Kesempatan hidup dalam kubangan sendu. Kesempatan mengenyam pendidikan hingga sejauh ini. Kesempatan belajar untuk ikhlas. Kesempatan mengambil setiap hikmah dari luka. Kesempatan untuk berdamai dengan kerasnya jalan menuju impian. Kesempatan untuk terinspirasi agar selalu menunduk dan down to earth yang hingga hari ini tak bisa aku lakukan secara penuh. Benar Tuhan yang memberikannya, tapi itu semua lewat Kamu Abah. Lewat Kamu.
Kejadian kemarin tiba" juga merenggut nyawamu. Abah, kepergianmu tak hanya menyisakan luka bagi kami. Tapi juga merenggut hampir semua ceria yang ada hari ini. Bahkan, jika dari sana Kau melihat aku tertawa, itu karena aku sedang menghibur adikku yang ditinggal ayah dan ibu untuk menjemputmu di rumah sakit. Ada luka dan sedih yang menganga dari dalam tubuh ini. Aku lunglai Abah. Aku pilu. Aku remuk saat mendengar Kau tak lagi bisa menyambung nyawa menyusul dua menantumu yang meninggal di tempat dan setengah jam setelah dilarikan ke rumah sakit.
Kesedihan ini jelas menyisakan isak tangis yang tak sebentar Abah. Kau semacam salah satu cahaya yang dikirim Tuhan pada keluarga besar ini. Kau memang bukan satu”nya, tapi Kau yang memulainya. Kau sudah menjadi tangan yang selalu terbuka untuk Kami raih. Kau adalah raga yang selalu siap untuk Kami peluk saat Kami risau. Kau adalah langkah yang kami tiru gerakannya. Kau adalah api yang membara dan sangat panas untuk menginspirasi agar Kami selalu berbagi.
Kami tidak pernah tidak mencintaimu. Kami selalu menggapmu lebih dari sekedar kakak sepupu dari orang tua kami. Kami selalu menggapmu sebagai ayah, sodara dan teman untuk bicara. Aku tidak pernah tau seberapa besar porsi sayangmu pada masing” dari Kami. Aku, Kak Aziz, Mb’ Iseh, Kak Hakim atau Kak Reza. Aku tidak pernah tau. Tapi aku selalu tau bahwa Kami sangat mencintaimu. Menyayangimu. Merindukan setiap detik pertemuan dan bercanda bersama. Aku juga tidak tau siapa yang paling Abah sayang diantara Kami, tapi Kami tak peduli hal itu. Setiap kali Abah menemui Kami, yang Kami pedulikan hanya sebuah cara agar bisa duduk denganmu tanpa sungkan.
Abah, kebaikanmu mengajarkan banyak hal hari ini pada Kami. Kebaikanmu mengajarkan Kami cara bersedih yang tepat. Kebaikanmu selama ini mengajarkan Kami agar selalu siap untuk suatu saat berduka. Kebaikanmu mengajarkan Kami untuk selalu kuat dan bersatu padu jika suatu saat ditinggalkan lagi. Semua orang pasti akan menemui ajalnya. Semuanya. Tapi hal itulah yang membuat aku, Kak Aziz, Mb’ Iseh, Kak Hakim dan Kak Reza selalu tau dan sadar bahwa ada tangan dan senyum di keluarga ini saat Kami menemui masalah yang tak bisa dipecahkan sendiri.
Kami berlima sudah cukup tua untuk Kau lepas. Kami ikhlas. Kami, kecuali Kak Aziz, hanya sedih tak bisa bertemu denganmu saat terakhir kali Kau datang ke rumah. Itu adalah penyesalan yang sangat menyedihkan. Kini Kami hanya bisa melihatmu, mengenangmu, merindukanmu lewat gambar dan photo yang tersebar di mana”.
Saat tau Kau sudah tiada, aku ingin sekali meluapkan kesedihan. Tapi saat itu, terlalu banyak orang di rumah. Tetangga dan kerabat jauh berdatangan di rumah. Aku hanya tak ingin terlihat lemah. Sejak dulu, aku tak bisa menangis di depan orang lain. Apalagi jika manusia di depanku itu adalah perempuan. Itu Kau dan ayah yang mengajariku.
Saat menulis ini, aku sedang di kamar Kos, sedang siap” untuk kembali bekerja. Tapi Kau tau Abah, saat menulis satu paragraph di atas, air mataku tak henti mengalir dan membuatku sesenggukan. Berlembar” tisu di samping laptopku penuh basah dengan air yang aku uspa dari mataku.
Abah, entah bagaimana cara menyampaikannya. Kami minta maaf atas setiap detik yang pernah Kau lewatkan dengan amarah pada Kami. Kami hanya kumpulan ponakan yang kadang menyebalkan. Kami minta maaf jika itu pernah terjadi. Apalagi, saat aku kecil dulu, aku sering sekali meyentuh kulit yang mengganti jempolmu yang hilang karena kecelakaan juga. Aku selalu memainkannya karena lucu. Itu saja. Tak ada maksud lain. Karena saat kecil dulu, aku hanya mencari hiburan dari semua orang.
Banyak orang di rumah yang mengatakan Kau meninggal saat sudah menuntaskan semuanya. Semua tanggungan. Semuanya. Walaupun Kau tidak sempat tau bahwa Ce’ Nana dan Ce’ Masadeh saat ini menjadi janda. Tapi percayalah Abah, itu hampir benar bagi Kami. Kami berlima pun juga sudah bersiap bertempur di kehidupan yang nyata. Walaupun aku dan Kak Reza masih terjebak di kehidupan dunia mahasiswa yang belagu, tapi Kami berdua sudah hidup berdampingan dengan realitas yang kejam ini.
Kami berlima akan menjaga rumah yang dihuni keluarga besar di sini. Kami akan menjaga para orangtua yang berada di dalamnya. Kami juga akan mendedikasikan semuanya pada lima plus dua generasi kedua selanjutnya setelah kami di sini. Kami berjanji.
Duka yang Mendalam Hari Ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar