Malam masih menyisakan panas yang sedari siang mendera Surabaya dan semua penghuninya. Dua AC ruangan tempatku berada saat ini hanya memberi sedikit angin untuk mengusirnya. Tidak terusik, hanya membisik seperdelapan detik. Bahkan membuka jendela ternyata bukan ide yang baik. Itu hanya membiarkan hawa panas di luar merajalela masuk perlahan.
Malam ini diperparah dengan sakit yang menyerang tubuh sejak Sabtu saat di Malang. Tubuh panas, meriang, hidung pilek, sedikit tersumbat dan bersin” sampai hembusan nafaspun terasa panas. Pertanda apa ini Tuhan..? Terakhir kali begini adalah saat aku menyakiti hati perempuan dengan mengatakan aku masih belum bisa wisuda karena malas mengrusnya; ibuku. Setelah itu aku terbaring sakit di kamar dan tidak bisa melanjutkan aktivitas biasa juga kerja.
Dua hari lalu, Jumat (16/5) adalah hari ulang lahirku ke-24. Seperti biasa, aku sudah biasa tidak merayakannya. Bagiku ini hanya seremonial untuk mengakhiri kontrak dengan Tuhan di kehidupan ini secara perlahan. Tahun demi tahun, berkurang dan terus tergerus. Entah disertai sakit ataupun cara” meninggal lainnya. Karena saat usia semakin bertambah, ironisnya masa beribadah di dunia semakin berkurang.
Selain keluarga, aku hanya beruntung memiliki teman. Merekalah yang kemudian mengurangi beban sisa kontrak ini dengan senyum, emosi dan air mata. Merekalah yang membuat simpul senyum itu, menyulut emosi dan memainkannya serta menyeka air mata yang secara alami dimiliki manusia. Manusia biasa. Seperti aku.
Ya, aku manusia biasa yang memiliki semua rasa alamiah seperti digariskan Tuhan, putus asa misalnya. Aku sudah putus asa untuk kembali menarik dan menyatukan benang akademisku. Semakin aku kumpulkan, semakin terasa jika hal itu hanya dipaksakan. Tentu saja hasilnya tidak bagus. Sudah berkali” aku melakukannya di sini, di kota ini. Tapi aku tak kunjung mendapatkan sentuhan seperti di Malang dulu.
Aku sudah kehabisan ide. Akalku mandeg tiba” tanpa lagi menggenggam berkas stimulus yang biasa sampai ke otak. Aku merasa bodoh di sini. Bahkan aku merasa kalah. Kalah jika disandingkan dengan teman” sejawat di sini. Entahlah, aku hanya merasa jemu dengan semua kesemuan ini. Malah aku berani mengatakan bahwa minat bacaku berkurang. Meskipun aku masih melakukan rutinitas biasa belanja majalah tiap minggu dan buku setiap bulan, tetap saja minatku tak segede dulu. Sial.
Lebih sialnya, malam ini aku menyadari satu hal. Masih dengan tangan dan jemari bau minyak kayu putih habis aku oleskan ke beberapa bagian tubuh, aku menyadari satu hal ini. Aku sadar bahwa aku tidak memiliki resolusi yang jelas di usiaku tahun ini. Gilak kan..?! Shit banget Men. Padahal banyak yang harus aku lakuin di tahun yang sudah berlangsung 5 bulan ini. Tapi aku belum melakukan apa”, tidak untuk harapan bahkan tidak untuk sebuah keinginan.
Aku hanya berpikir hal ini kau rasakan karena efek dari sakit saja. Semoga hari” selanjutnya aku sudah memikirkan, menggenggam dan memiliki resolusi” tersebut. Aku sudah tidak kuat lagi terus membayangkan mata mereka. Mereka yang kecewa denganku karena terlalu besar memberikan nilai padaku. Padahal mereka adalah alasan terbesarku untuk meninggalkan asmara walaupun mestinya bisa berjalan beriringan.
Malam ini, di ruangan ini aku hanya mampu mengingat satu pesan ayahku dulu. Mungkin karena kemampuan tubuhku yang tidak mengimbangi jadinya aku hanya mengingat satu. Satu yang dulu aku anggap masterpiece dari ayahku. Tapi belakangan aku melihat pesan ini terkenal di mana”. Ternyata itu sebuah quote yang entah siapa pencetusnya. Ayahku mengatakannya saat ditelpon “Nak, badai yang tak langsung membuatmu mati, akan membuatmu lebih kuat dari sebelumnya”.
Terimakasih Ayah. Mungkin Kau tidak memberikan selamat. Seperti biasanya, tidak ada tradisi itu di keluarga untuk anggota yang ulang lahir. Tapi Kau sudah memberiku nasihat yang terus membekas dan aku ingat malam ini. Jangan khawatir Ayah, aku memiliki teman” di kehidupan ini. Mereka kemudian aku anggap sebagai keluarga yang aku pilih. Satu terbaik diantaranya memberiku thermal mug (aku juga bingung apa namanya) kemarin. Melihatnya, jadi rindu duduk bersila di depan rumah ‘ngopi’ bersamamu.
Terimakasih, Masih 24..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar