Sebenarnya semangat menulisku sudah lama hilang sejak aku juga kehilanganmu sebagai inspirasi. Berapa kali pun aku mencoba menulis dan mengisi blog ini, pikiranku hanya membuat iramanya kacau dan membiaskan ritme di dalamnya. Entahlah, aku hanya tak menduga kejadian seperti ini ada. Sebelumnya aku pernah merasakan hal serupa, tapi tak sepanjang ini. Keluar kamar dengan mengembangkan senyum palsu dan berpura tak terjadi apa”. Selalu demikian dan tiap hari aku lakukan. Sial, aku malah menulisnya di sini.
Sebenarnya, dulu jika namamu tertuang di sini, artinya aku sedang tak sanggup lagi menahan obrolan tentangmu di luar sana. Lalu aku merindukanmu dengan caraku. Mendeskripsikan semua lentik lembut tentangmu dan memindahkan teduh matamu dalam prosa. Hahahaa, bagaimana bisa aku selemah itu. Padahal aku sangat tidak ingin berurusan dengan kaummu. Menyebalkan dan hanya menghambat gerak motorikku. Lalu aku hanya bisa terbata” dengan tubuh terbujur kaku.
Sebenarnya malam ini aku ingin segera beranjak dari kursi dan memenuhi panggilan teman yang sedari tadi berdiri di depan kamar, memaksaku kembali menyeruput kopi dengan obrolan panjang. Dia menatap apa yang sedang aku lakukan dengan sinis. Karena teman” lain yang menunggu kedatangan kami berdua sudah tidak sabar tertawa bersama. Kata mereka, akhir” ini aku adalah orang yang paling susah diajak keluar. Menurut mereka, menjelang dan selama Ramadhan, harusnya kerjaanku tidak seberat hari” biasanya. Naïf, aku malah terjebak di sini tak hanya karena meja kantor, tapi deadline tulisan lain yang setiap hari selalu ada.
Angin malam masih mengitari seisi kamarku tanpa malu. Berpura tak melihatku yang sedang duduk membisu. Bahkan senyumku tak mengembang saat temanku berkali-kali mengalihkan perhatianku dengan melucu. Aku hanya ingin menuliskan semua kesah yang tak ingin aku simpan lagi dalam syahdu. Walaupun aku tak lagi merasakan ada ritme yang biasanya dalam tulisan ini. Seperti yang aku katakan, prosa ini tertuang begitu saja, tak memiliki irama, dengan bahasa sederhana, tanpa metafora dan juga tanpa nama.
Angin malam juga tak berhenti berhembus masuk dari celah jendela kamar saat sebuah pesan masuk dari adikku. Dia hanya menjawab pertanyaan tentang kabarnya dan semua orang di rumah. Aku hanya terdiam memandangi hape dan kembali meletakkannya di atas tumpukan buku yang memenuhi kasur. Aku bahkan tak tau harus membalas apa padanya. Aku sedang bosan dan hanya ingin menulis walaupun sudah tau hasilnya akan kacau. Baiknya, aku masih memiliki keinginan untuk kembali mengisi blog ini. Aku ingin sekali tak lagi terlibat pertikaian antara hati dan pikiranku tentangmu. Tepatnya, aku seperti ingin mengumpulkan semua cerita tentangmu dan meletakkannya di suatu tempat. Tak aku buang, tapi aku simpan untuk aku ingat kembali. Meskipun, aku tak berharap mencarinya lagi.
Angin malam ternyata tak datang sendiri. Dia mengajak keresahan bersamanya pergi. Mengepung tiap sudut bawah kamar dan membuat kakiku kedinginan lagi dan lagi. Seolah, dia ingin mengingatkanku pada jawaban ayah saat aku bertanya tentang tingkat kebosanan pada rutinitas. ‘Bosan..? Tidak, ayah tidak takut bosan. Jika Kau merasa bosan, berarti batinmu kurang terhibur’, sambil tersenyum dia meninggalkan tempatku duduk dengan membelakangi. Sial, ayah selalu berhasil menyadarkanku akan sesuatu. Karenanya, aku selalu mencari kepuasan batin dengan tertawa. Sejauh ini, semua temanku gila. Jika tidak, aku yang akan menularkan kegilaan itu.
Sial, angin malam benar” tak berhenti menyesaki kamar ini. Padahal masih banyak kerisauan yang ingin aku tuliskan kali ini. Tentang penegasan bahwa aku akan mengacuhkan sekuat mungkin untuk merindumu. Tentang kotak coklat yang ingin aku benamkan bersama namamu. Tentang skema yang sangat berisiko untuk kembali mengulang luka karena menghampirimu. Hahahahaa.. Jika Tuhan memiliki alasan untuk mempertemukan kita, Tuhan juga akan memisahkan kita saat alasan itu sudah hilang. Akhirnya, aku sadar apa yang sudah aku lihat dan aku lakukan, membuatku menjadi seperti sekarang. Aku tidak bisa melepaskannya dan pulang. Trims..
Selengkapnya...
Dua Lima, Perjalanan yang Dipertaruhkan
Bagiku, perjalanan bukan hanya hitungan langkah dengan alas kaki. Menyebrangi puluhan kilometer untuk memuaskan mata lalu berbangga diri. Bagiku, perjalanan juga berarti hitungan masa untuk menemukan dan menciptakan pribadi. Lalu merenungkan semua yang sudah terlewat dan dihadapi, untuk meneguhkan hati. Karena setiap detik memiliki nilai yang harus dimaknai. Diberi kesempatan untuk kembali berdiri dan dihargai.
Perjalananku sudah memasuki babak baru. Hitungan masa yang aku punya, sudah semakin berkurang tanpa aku mau. Usia yang bertambah diam” membatasi gerak tanpa malu. Tapi selama aku memiliki tempat kembali, aku akan menemukan dan membuka pintu.
Perjalanan kali ini sudah memasuki tahap serius. Aku tidak ingin mengacuhkannya terus. Sudah lama aku menyembunyikan angin malam, berharap menawan sejuknya saat pagi datang. Kali ini, aku ingin mempertaruhkan semua mimpi yang pernah aku punya. Aku ingin memiliki resolusi. Hahahaa, resolusi. Hal yang tak pernah aku kerjakan, malah mendapatkan hal bermanfaat lainnya tanpa aku inginkan. Resolusi juga yang membuatku membuka mata untuk tak kembali tersakiti. Membuka hati untuk kembali dikecewakan. Kemudian memilih menutupnya tanpa memiliki cukup dalih.
Seperti adventure games, perjalananku penuh dengan pilihan. Menjadi baik, atau seketika jahat. Lalu bertaruh dengan pilihan tersebut hingga semua level game berhasil dilewati. Berkali-kali aku pernah melakukannya dulu. Tapi berkali-kali pula usahaku tak pernah berujung dengan ekspektasi yang aku inginkan. Wajar saja, aku percaya bahwa tidak semua usaha manusia bisa berhasil. Mungkin Tuhan memberinya kesempatan lebih baik untuk mencoba. Atau Tuhan sedang mempersiapkan hal lain yang jauh lebih keren dari keinginan semu yang didamba.
Saat itu, di tengah malam dengan awan berarak, seseorang pernah mengingatkanku bahwa niat adalah penentu jalan cerita dalam sebuah perjalanan. Aku percaya. Aku tau dan aku masih memegang teguhnya. Tapi kali ini aku ingin melibatkan beberapa nama dalam perjalananku. Tidak secara fisik, tapi manifestasi dari motivasi. Seperti kataku di awal, aku mempertaruhkan semua mimpiku untuk itu. Untuk nama2 yang aku letakkan di ujung impuls syaraf dalam nadi. Untuk nama2 yang wajahnya aku lihat tiap pagi. Untuk nama2 yang rupa serta senyumnya aku simpan dalam galeri. Untuk nama2 yang tak ingin lagi aku acuhkan, karena dengan mereka sekarang aku ingin berbagi.
Saat itu pula, angin malam datang menggodaku keluar kamar untuk secangkir kopi pahit menemani menceritakan sebagian perjalananku. Meskipun sendiri, menyeruput hitamnya menjadi hal paling nikmat saat malam hampir berlalu. Karenanya, seolah aku berada di rumah, rumah yang sesungguhnya. Karenanya, seolah ada ayah dan Kak Aziz serta Kak Hakim duduk bersila di sebelahku. Lalu disusul tawa Zein yang sedang dikejar Zainal dengan omelan yang terbentur dengan belaan Ibu. Hahahahhaaa.. Jika ada perjalanan yang ingin aku pilih, aku memilih berjalan di samping mereka, selamanya. Tapi Tuhan sudah memberiku pena lain untuk menuliskan perjalananku sendiri. Sekali lagi, aku masih ingat saat ayah berkata padaku ‘Nak, semua orang memiliki perjalanan. Jalani saja kisahmu, dan ayah juga akan mejalani kisah ayah. Beda, tapi semoga tujuan kita sama’.
Hmmm, aku tak tau apa yang pernah membuat keluargaku bangga atas perjalanan dua lima ku. Aku juga tak pernah berharap tau, apa saja yang membuat mereka bangga dengan semua masa yang aku lewati. Tahun ini, aku hanya ingin mempertaruhkan semua mimpiku. Tidak dengan mencampur emosi dan tanpa menepikan ketakutan akan mati.
Selengkapnya...
Perjalananku sudah memasuki babak baru. Hitungan masa yang aku punya, sudah semakin berkurang tanpa aku mau. Usia yang bertambah diam” membatasi gerak tanpa malu. Tapi selama aku memiliki tempat kembali, aku akan menemukan dan membuka pintu.
Perjalanan kali ini sudah memasuki tahap serius. Aku tidak ingin mengacuhkannya terus. Sudah lama aku menyembunyikan angin malam, berharap menawan sejuknya saat pagi datang. Kali ini, aku ingin mempertaruhkan semua mimpi yang pernah aku punya. Aku ingin memiliki resolusi. Hahahaa, resolusi. Hal yang tak pernah aku kerjakan, malah mendapatkan hal bermanfaat lainnya tanpa aku inginkan. Resolusi juga yang membuatku membuka mata untuk tak kembali tersakiti. Membuka hati untuk kembali dikecewakan. Kemudian memilih menutupnya tanpa memiliki cukup dalih.
Seperti adventure games, perjalananku penuh dengan pilihan. Menjadi baik, atau seketika jahat. Lalu bertaruh dengan pilihan tersebut hingga semua level game berhasil dilewati. Berkali-kali aku pernah melakukannya dulu. Tapi berkali-kali pula usahaku tak pernah berujung dengan ekspektasi yang aku inginkan. Wajar saja, aku percaya bahwa tidak semua usaha manusia bisa berhasil. Mungkin Tuhan memberinya kesempatan lebih baik untuk mencoba. Atau Tuhan sedang mempersiapkan hal lain yang jauh lebih keren dari keinginan semu yang didamba.
Saat itu, di tengah malam dengan awan berarak, seseorang pernah mengingatkanku bahwa niat adalah penentu jalan cerita dalam sebuah perjalanan. Aku percaya. Aku tau dan aku masih memegang teguhnya. Tapi kali ini aku ingin melibatkan beberapa nama dalam perjalananku. Tidak secara fisik, tapi manifestasi dari motivasi. Seperti kataku di awal, aku mempertaruhkan semua mimpiku untuk itu. Untuk nama2 yang aku letakkan di ujung impuls syaraf dalam nadi. Untuk nama2 yang wajahnya aku lihat tiap pagi. Untuk nama2 yang rupa serta senyumnya aku simpan dalam galeri. Untuk nama2 yang tak ingin lagi aku acuhkan, karena dengan mereka sekarang aku ingin berbagi.
Saat itu pula, angin malam datang menggodaku keluar kamar untuk secangkir kopi pahit menemani menceritakan sebagian perjalananku. Meskipun sendiri, menyeruput hitamnya menjadi hal paling nikmat saat malam hampir berlalu. Karenanya, seolah aku berada di rumah, rumah yang sesungguhnya. Karenanya, seolah ada ayah dan Kak Aziz serta Kak Hakim duduk bersila di sebelahku. Lalu disusul tawa Zein yang sedang dikejar Zainal dengan omelan yang terbentur dengan belaan Ibu. Hahahahhaaa.. Jika ada perjalanan yang ingin aku pilih, aku memilih berjalan di samping mereka, selamanya. Tapi Tuhan sudah memberiku pena lain untuk menuliskan perjalananku sendiri. Sekali lagi, aku masih ingat saat ayah berkata padaku ‘Nak, semua orang memiliki perjalanan. Jalani saja kisahmu, dan ayah juga akan mejalani kisah ayah. Beda, tapi semoga tujuan kita sama’.
Hmmm, aku tak tau apa yang pernah membuat keluargaku bangga atas perjalanan dua lima ku. Aku juga tak pernah berharap tau, apa saja yang membuat mereka bangga dengan semua masa yang aku lewati. Tahun ini, aku hanya ingin mempertaruhkan semua mimpiku. Tidak dengan mencampur emosi dan tanpa menepikan ketakutan akan mati.
Selengkapnya...
Langganan:
Postingan (Atom)