Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki keinginan yang sungguh.
Aku menyebutnya dengan niat. Keinginan dengan kesungguhan yang kuat. Keinginan yang tak akan goyah hanya dengan godaan sesaat. Mungkin ini juga yang membuatku belum berhasil pulang. Aku tak memilikinya. Aku masih terjebak di persimpangan. Di sini, di tempatku duduk sekarang, saat aku pejamkan mata, aku melihat banyak jalan di depanku. Aku melihatnya seolah aku berdiri untuk memilihnya. Satu diantaranya. Ingin sekali menuntaskan semuanya, tapi tak mungkin secara bersamaan. Dan juga, tak mungkin cukup dengan tenaga pas"an. Sore ini juga, aku ingat apa yang selalu Ibu katakan padaku, 'Hadapi, Nak. Jangan Kau hindari. Jalani, jangan Kau lewati'.
Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki waktu yang cukup.
Kadang aku menyebutnya dengan apologi. Karena bisa saja kita luangkan waktu untuk pulang. Menepikan semua rutinitas tanpa ragu dan menemui yang Kau rindukan, di sana. Tapi kadang hal ini benar adanya. Kau butuh waktu kosong dalam praksis kegiatanmu. Hingga akhirnya Kau memilih, atau tepatnya menunggu semua rutinitasmu berakhir, lalu punya waktu untuk pulang. Seringkali aku berada dalam pusaran ini. Memilih dan menunggu pekan berakhir, baru bisa bertemu orang" yang aku pilih untuk mengadu temu.
Selalu ada alasan untuk pulang, jika Kau memiliki kesempatan yang tak bisa datang kedua kalinya.
Poin ini aku sebut sebagai keberuntungan. Seperti yang aku miliki pekan lalu. Pekan dengan semua kehebohan karena hajat yang mungkin, tak datang kedua kalinya. Karena kesempatan ini juga, aku pulang dan bertemu semua raga yang sudah lama aku rindukan. Hanya saja, ada konsekuensi yang harus dibayar. Waktu bertemunya, mungkin hanya sebentar. Beberapa puluh jam, atau hanya beberapa puluh menit. Tapi waktu yang sedikit itu, akan terasa sangat berharga. Seperti tidur nyenyak hanya dengan 14 menit di siang hari.
Malam itu, aku menemukan ibuku di tengah riuh gedung tempat Kakakku menikah. Aku menyebutnya dengan dilema. Aku berada di tempat yang tidak aku sukai, sekaligus situasi yang sangat membahagiakan. Jika ada yang sangat aku hindari di dunia ini, hal itu adalah; keramaian dan berurusan dengan perempuan. Tapi tidak untuk malam ini. Mungkin hanya untuk malam ini. Aku tak peduli keramaian ini dan semua perempuan yang nampak di pandanganku. Aku menyusuri sesaknya tempat karena dipenuhi orang" ini untuk bertemu ibu. Aku mendatangi beliau dan memindahkan semua kue serta minuman yang memenuhi kursi di sebelah beliau. Ibu kaget saat aku ambil tangannya, menciumnya dan memandangi semua kerut di wajahnya. Beliau masih cantik seperti biasa, dalam kesederhanaannya. Alhamdulillah.
'Nak, di nikahan Kakakmu, Kamu pake sepatu kets dan jeans..?! Ayo dong Mim', Ibu mulai ngomel. Seperti biasa, aku adalah sasaran omelan beliau dengan tingkah yang masih semau gue.
'Bu, ayolah. Jangan paksa saya', aku rangkulkan tangan ke belakang kursi tempat Ibu duduk. Ibu tau aku pasti keluarkan alasan yang tak bisa dimengerti olehnya. Ibu hanya tersenyum ke arahku. Ibu selalu tau, karena hal lain yang aku hindari adalah, memakai pantofel. Aku tidak memiliki pengalaman buruk dengan pantofel, aku hanya tidak suka dan merasa tidak nyaman dengan pantofel, kemeja, jas, sisiran dan semua hal yang rapi. Karenanya, malam itu, aku hanya kenakan batik sekenanya dan jeans, tentu dengan Converse kesayangan.
Tapi kadang, pulang tidak dimulai dengan sebuah alasan. Aku menyebutnya dengan intuisi.
Alasan Pulang..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar