aku tidak hanya marah, aku juga gusar dan risau. padahal Sancaka Pagi baru berjalan setengah jam dan grup WhatsApp redaksi mulai ramai karena ada ledakan bom bunuh diri di gereja Ngagel Surabaya. biadab, bangsat, jancok, aku tidak berhenti misuh, tapi dalam hati. aku kehabisan kata pisuhan dan rasanya tidak bisa bernafas dengan benar. aku berdiri, pria yang duduk di sampingku melihatku dan tanpa diminta, dia memberiku jalan.
aku memukul-mukul buku yang aku pegang dengan sangat geram. aku berjalan menuju lorong di gerbong tiga. membuka pintu dan bersandar di pintu toilet. grup WA tambah rame, dua ledakan serupa terjadi di dua gereja lainnya. sialan, satunya di dekat tempatku tinggal, GKI jalan Diponegoro. aku menarik nafas dalam, sangat dalam. di kepalaku sedang mendaftar nama" yang harus aku hubungin. Sinal dan Kak Hakim baik" saja. saat mau ngubungin temen" Comanraiden, ternyata di grup mereka rema dewe dan semua aman.
aku masih berdiri di depan toilet saat temenku di redaksi mulai mengupdate jumlah korban meninggal. satu, dua, tiga dan tidak berhenti. yang terluka lebih banyak. aku masih memantau lewat grup WA dan semuanya sedang hectic. pikiranku masih melayang ke lainnya. shit, shit, shit, Ibu. aku langsung menelpon Ibu.
'Assalamu'alaikum. ada apa, Nak..?',
'Ibu di mana..? Bapak dan Zein..?',
'di rumah. Bapakmu lagi nerima telpon. Zein main. kenapa..?',
'alhamdulillah. gapapa, Buk. gapapa',
'Kamu tuh jangan sering" panik. sering mikir ini itu. Kamu tuh mikir kesehatanmu',
aku terdiam, tidak fokus. 'hah. gimana, Bu? oh iya, pasti', aku menjawab sekenanya. 'yaudah Bu. Assalamu'alaikum',
akhirnya aku masuk ke toilet. menaruh 'Aruna dan Lidahnya' yang sedari tadi aku pegang di dekat jendela toilet dan mencuci muka. aku tak berhenti merutuk. sialan, kenapa mereka macem" dengan Surabaya. kenapa memilih Surabaya. kenapa sekarang, berselang tiga hari setelah kejadian di Mako Brimob Jakarta. aku tidak ingin berspekulasi, tapi aku tak berhenti misuh.
aku kembali ke tempat dudukku dengan muka yang masih murung. setidaknya itu yang dikatakan penumpang sebelahku. 'kenapa murung, Mas? maaf jika kami mengganggu', tanyanya. mengganggu, kenapa mengganggu. aku masih belum fokus. oh iya. mungkin yang dimaksud mengganggu karena anaknya dari tadi teriak-teriak. pria ini melakukan perjalanan dengan istri dan satu anaknya. anak dan istrinya ada di 14C dan D. sementara dirinya bersamaku di 14B.
'oh enggak, Mas. gapapa',
'maaf, tapi Mas pucat',
hah, iya kah..? sebelum menjawab, saya kembali menarik nafas dan memutar banyak kata untuk aku keluarkan. 'gapapa, Mas. mungkin karena belum sarapan', aku menjawab ngaco.
'ini, Mas', dia menyodorkan sebungkus Sari Roti.
'oh, makasih Mas. saya baru saja mau makan roti yang saya bawa. ini', saya mengambil roti dari tas. pembicaraan kami berhenti, karena dia harus menenangkan anaknya dan aku kembali melihat hape memantau situasi biadab ini.
aku tak hanya marah, tapi juga geram. beberapa grup WA dan sesekali japri, menginfokan kabar keliru, kabar tak jelas dan berdasarkan katanya katanya. aku geram, ingin misuh pada mereka-mereka yang menambah kepanikan dan menyebarkannya menimbun keresahan.
aku tak hanya marah, tapi juga sedih. aku sedih, dalam arti sebenarnya. sialan, aku sedih. aku sedih, seperti sedang kehilangan.
Aku Marah, Juga Sedih..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar