PPKJ; Hari Kedua Liputan yang Sial (buatKu)..

Tersenyum, tertawa, gembira dan melakukan kekonyolan adalah item yang harusnya ada di sore hari saat liputan hari kedua ini. Karena kegiatan kita hari itu lebih fun dibanding hari pertama lalu. Membingkai kegiatan” mereka (anak” jalan Griya Baca) di alun”; belajar, bermain dan bernyanyi. Namun,… (Kita simpan dulu…)
Sabtu. Hari kedua liputan. Jam 14.00 harusnya team IDE sudah berkumpul di gerbang utama kampus III. Tapi sampai jam 14.30, hanya dua biji hombreng yang nongol dan memilih enjoy di Warung Kopi Ka’ Imoet. Dengan tekad yang gak bulat, aku dan Octo berangkat ke Alun” Kota meninggalkan Landungsari yang saat itu dipenuhi dedaunan jatuh mirip suasana di drama” Korea.
Setengah jam perjalanan kami tempuh lantaran macet yang berlebihan sepanjang Jalan Raya Dinoyo dan Jalan Gajayana. Sempat beberapa kali berhenti karena traffick lamp sedang marah dengan menyalakan merahnya. Dan aku pikir ngebut bukan ide yang bagus.
Sesampainya di Alun” Kota, 3 pesan masuk di inbox hapeQ. Agus yang kelelahan karena aktifitas SINDEN-nya di Batu sedang menuju ke TKP. Begitu juga Cipa yang telah menyelesaikan interview ‘newbies’ di tempat kerjanya serta Isha yang telah menyudahi pekerjaan rumahnya beradu dengan teriknya senja menuju ke lokasi. Sambil menunggu mereka, aku dan Octo berkeliling menyertai tambun yang bertalu meramaikan seputar kolam alun”.
Mereka tiba. Senang rasanya bisa kembali menghirup udara sore Alun” yang biasanya kuhirup bersama seseorang. Beberapa pedagang mulai bersuara menawarkan jualannya pada setiap raga yang lewat di depan, samping kanan maupun kirinya. Teriakan anak kecil karena bahagia bermain bersama keluarganya memenuhi pendengaranku. Sementara Octo dan Agus masih bermain dengan kameranya, aku sempatkan menyapa beberapa burung dara yang biasa temani kebersamaanku bersama seseorang.
Sekawanan penjahat, eh bukan, anak” kecil maksudnya sedang tampak di pinggir alun” depan Kantor Pos Malang, objek kita sore ini. Sekitar 20 anak berrsama pemuda dan pemudi dengan balutan jas almamater biru sedang asyik merangkai batangan kayu yang biasa dipakai sebagai wadah es krim. Terlihat di bagian dadanya terdapat logo UB. Dan kami berhasil membingkis keceriaan itu dengan sempurna. Sempurna karena sore itu begitu sejuk. Sempurna karena kami dapat mewawancarai tiga anak perempuan di antara mereka. Sempurna karena kami dapat menyaksikan mereka menyanyikan beberapa lagu dengan tarian. Sempurna karena kami masih bisa duduk santai menikmati senja berempat karena Octo pulang.
Sore itu menyisakan aku, Agus, Mita dan Isha untuk bercengkrama di sekitar kolam yang dipenuhi pengunjung lainnya. Sore yang dirindukan setiap manusia dengan keindahan asa, rasa dan karsa-nya. Kami sempatkan berfoto-foto. Kami bergantian berpose. Pose-pose yang nyeleneh, sok cool dan tentunya yang paling banyak membuang memory adalah Agus; karena tu makhluk yang paling banyak minta difoto.
Setelah koordianasi sedikit, kami langsung pulang. Kebetulan, tempat parkir Agus dan Cipa berbeda dengan kami (aku dan Isha). Sesampainya di tempat motorku, aku yang saat itu tengah risau (gak mau pake kata ‘galau’), terkejut dengan kenyataan bahwa kunci motorku kagak ada. Seluruh isi tas telah aku keluarkan. Dan tak hanya sekali, empat kali aku melakukan ritual bongkar tas dengan taringku, maaf, tanganku aku lakukan. Hasilnya, nihil. Tiba” seorang perempuan menghampiri tempatku dan beratanya, “Kid, ada pisau..?”, Oh bukan. “Kid, ada apa..? Ada yang ketinggalan..? Atau ada yang hilang..?”, Isha, temenku bertanya. “Iya, kunciku ketinggalan. Hilang lebih tepatnya. Apa kau melihatnya sejak kita di sana tadi..?”, jawabku dengan pertanyaan di ujungnya.
Tanpa pikir panjang, Isha mengajak aku untuk mencari jejak kunci motorku ke pusat alun”. Gila. Mana mungkin ketemu. Tapi kita berangkat. Mencari. Asyiikkk.. Hasilnya, tetap nihil. Dua kali putaran kaita lakukan. Tak ada. Aku kalut, risau (sekali lagi, aku gak mau make kata ‘galau’), terpojok sendirian di kamar seperti semua menghimpitku. Aku membayangkan apa jadinya aku mendorong motor itu dari alun” sampe Landungsari. Aku membayangkan gimana reaksi temenku yang punya mengetahui hal ini. Aku membayangkan rawon yang ada di pinggir jalan gajayana, eh maaf, yang ini gak termasuk.
Tiba” aku berinisiatif untuk mengadukan kehilangan ini pada tukang parkir. Dengan raut wajah menyeramkan ala preman, sang Jukir menjawab “Oo.. Init a Mas..?”, tu orang menjawab dengan kunci motorku di tangannya. Haaaa.. Aseeemmm.. “Makasih banyak Pak”, namun ucapan itu buru” dibalas oleh sang Jukir; “Beliin rokok seikhlasmu Mas”, haha, asem ni orang. Dengan muka bego’ aku yang hanya membawa duit 12.000 pergi ke toko di pojok alun”. Aku bawakan sebungkus rokok Uno Mild yang harganya lebih mahal dari toko” biasanya itu. Bersamaan dengan berlalunya Isha dari Alun”, aku pun melaju dengan kecepatan standart. Dalam perjalanan, aku hanya tersenyum mengingat kesialan PPKJ ternyata masih berlanjut.
Haha.. Begitu banyak yang sudah terjadi sore itu. Aku hanya berpikir, bahwa masih banyak posisi yang lebih bawah dari kita. Masih banyak yang lebih membutuhkan dari kita. Bersyukur harus tetap kita lakukan dengan kondisi apapun itu. Dan mestinya kita harus kembali mengingat bahwa ber-empati kadang menjadi keharusan di saat simpati saja tak cukup.

0 komentar:

Posting Komentar