Sabtu, 31 Mei '14..
Bagiku, semua hari adalah perjalanan. Perjalanan untuk dikisahkan. Sebagian aku sembunyikan. Tapi tetap menyentuh hikmah untuk aku berikan. Semuanya tersimpan tak rapi di memori hampir terabaikan. Karenanya, aku memilih untuk dituliskan.
Sore ini aku kembali menghirup udara rumah. Rumah dalam arti sebenarnya. Rumah yang di dalamnya berpenghuni keluarga; ayah, ibu dan adik kecilku yang paling bontot serta nenek, perempuan paling dicintai oleh 10 cucunya di rumah ini. Rumah yang hanya sebulan sekali aku singgahi. Rumah yang hampir aku abaikan karena perjalanan pendidikanku. Ya, aku harus meninggalkan rumah sejak usia 12 tahun, sampai sekarang. Tiap tahun, aku hanya berkesempatan pulang dua kali. Itu juga yang membuat perlahan air mataku mengering untuk merindu rumah.
Kali ini aku pulang dengan harapan tinggi; ngopi bareng ayah. Mungkin terdengar biasa dan ah konyol banget. Tapi bagiku inilah momen pria kepala keluarga dan yang mewarisinya bicara. Selama 24 tahun aku hidup, baru sekali aku duduk bersila dan bersama menyruput kopi yang disajikan ibu, dengan ayah di depan lobi rumah. Baru sekali. Itupun tidak disengaja dan berlangsung sebentar. Saat itu aku sesekali mendapat pertanyaan dan pernyataan tentang hidup yang sudah aku lalui.
Tapi sayang sekali, malam ini aku gagal melakukannya. Ayah harus istirahat karena besok dini hari harus bangun berangkat melaut. Jangankan duduk bersama bersila, dari raut wajahnya tampak guratan lelah yang seakan berbicara padaku ‘jangan malam ini, aku belum bisa bicara banyak denganmu’. Aku tertunduk lemas sembari menahan sakit di tangan yang digigit adikku. Sepertinya dia mau mengajak main, tapi entah. Aku memilih mengajaknya membantu Ibu di dapur.
Aku terdiam berdiri termangu membisu di dalam kamar. Aku lihat jendela belum sepenuhnya tertutup. Samar” aku merasakan angin bertiup menerpa wajah kusamku. Perlahan aku duduk di depan meja kamar dengan tumpukan buku di dalamnya. Aku sisihkan satu”. Ternyata koleksi di meja ini sudah mulai disesaki oleh komik adik keduaku. Simpul senyumku mengembang kecil. Bagi Ibu, ini adalah alasan yang tepat untuk marah pada adikku saat koleksi bukunya hanya komik. Tapi bagiku, ini menunjukkan perkembangan karena dia mulai suka membaca.
Suasana malam ini sudah hampir sepi. Padahal jarum jam di tanganku masih menunjukkan angka 8. Bahkan lalu lalang kendaraan di depan rumah hanya menyisakan becak” mengantar barang” pemasok ikan berupa es batu. Beberapa diantaranya menyapa ayah dan dibalasnya sekenanya. Pandanganku kemudian tertuju pada ayah yang beranjak dari depan TV menuju kamar. Langkahnya sedikit lunglai, seperti ada batu gunung yang menahan dirinya berjalan.
Hmmm.. Hai ayah, seandainya Kau mengijinkanku untuk menggantikan posisimu, sungguh aku sangat senang. Aku ingin sekali tau bagaimana memiliki bahumu. Bahu yang menopang ribuan derita tanpa tepi. Bahu yang harus Kau gunakan melihat untaian ujian yang datang setiap hari. Bahu yang Kau bawa pulang tiap senja dari laut yang keji. Bahu yang 25 tahun ini setia menemani Ibu dengan kisah harmonis dan pertengkaran yang menguras emosi.
Tapi Kau selalu bilang, bahwa setiap manusia memiliki jalan dan perjuangan sendiri-sendiri. ini jalanku dan ini jalanmu. Kau harus merasakan sakit sebelum hinggap rasa senang. Kau bilang bahwa aku harus berada di luar sana lebih lama, untuk memaknai perjalanan yang ditempuh. Aku tidak tau kapan aku harus berhenti mendengarkan ocehanmu, karena aku ingin sekali berada di sisimu, di sisi Ibu lebih lama. Berada di samping kalian di setiap detiknya. Sudah 12 tahun aku meninggalkan rumah dan hanya memiliki satu atau dua pekan saja di rumah di setiap tahunnya. Aku sudah tidak sanggup merantau tanpa melihat senyum kalian tersungging.
Sial, malam semakin larut saat aku tau aku hanya memiliki keinginan semu. Semua menyisakan sendu. Bahkan aku tidak sanggup memeluk Ibu. Dia terlihat kerepotan melayani setiap pelanggan yang masih datang ke warungnya. Ingin sekali berada di balik tubuhnya sambil memijat pundaknya. Tapi pasti dia marah karena itu hanya akan mengganggunya. Haahahaaha.. Aku masih ingat saat adikku yang lugu melakukannya setelah melihatmu kelelahan melayani mereka. Kau marah dan membuat Zein ngeloyor menahan sedu tangis berjalan ke arahku. Kemudian setelah sejam berselang, Kau datang dan mengecupnya. Hangat sekali. Taukah Kau Bu, aku iri melihatnya.
Kau selalu berpikir aku sudah besar diperlakukan seperti itu. Tidak layak dan memalukan. Tapi di sudut dada ini, selalu ada alasan untuk meginginkan setiap senti pelukanmu. Saat mataku lelah menatap layar komputer tiap hari. Saat otakku panas dan tak sanggup lagi mengurai semua informasi jasa layanan ini. Setiap pagi, aku hanya bisa memencet nomor hapemu dan mendengar suaramu dari seberang pulau. Setidaknya, suara 7 menit itu yang memberikan luapan rasa senang tanpa harus menyalakan TV melihat stand up comedy.
Awan malam sudah datang tanpa menyisakan cahaya bulan. Dia menyembunyikannya begitu sempurna sampai saat aku matikan lampu kamar, hampir tak ada berkas cahaya yang masuk. Dalam lelapku, dalam diamku, dalam hening ini, aku berharap dan selalu, aku tidak tau kapan hidupku akan berakhir, tapi semoga hidupku penuh manfaat bagi sesama.
Dad, Once More..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar