Sabtu, 28 Juni 2014
Pagi ini aku kembali mengerahkan tenaga menuju rumah. Kakiku tergerak ingin sekali pulang sampai” malam tadi aku resah. Memikirkan setiap teks yang masuk ke inbox hapeku dari dia dengan gelisah. Bahkan aku berpikir, apa dia benar” melakukan ini agar aku pulang ke rumah.
Dia yang aku maksud adalah Zainal, adikku, anak kedua dalam keluarga ini. Anak yang selalu menjadi objek untuk disalahkan dengan tingkahnya yang belum baik. Anak yang selalu dianggap sebagai perusuh oleh Ibu karena selalu dibandingkan denganku. Anak yang selalu mengganggapku sebagai kakak sekaligus tembok yang harus dilewati. Anak yang mungkin membenciku karena tak pernah ada waktu bersamanya. Tapi aku selalu tau, dialah adik yang selalu aku rindu untuk diajak bermain.
Dengan hampir dua belas tahun aku tidak di rumah, waktuku bersamanya sangat minim. Aku bahkan tidak bisa mengingat tanggal lahirnya dengan jelas. Walaupun semua tanggal lahir kami tercatat saat kita lahir di lemari ayah di kamarnya. Tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Yang aku ingat, hanya setiap perilaku dan kenakalannya. Nakal yang sampai melibatkan Ibu dan Ayah. Ibu dipanggil Kepala SD berkali”, dan Ayah sampai harus minta maaf pada seorang wali murid lainnya karena membully anaknya hingga menangis trauma sampai berhari”.
Aku mengingat setiap cerita Ibu dengan jelas tentang kenakalannya. Tapi aku juga inget setiap senyum yang Ibu sunggingkan setelah cerita itu berlalu di telinga. Tidak peduli senakal apapun anaknya, dia tetaplah anak yang Ia sayangi. Aku pun juga demikian. Aku tak berhenti mencintainya, dan keluarga ini, keluarga besar ini. Keluarga besar yang penghuninya sedang bertebaran di mana” ini.
Dengan mengantongi salah satu alasan itu, aku pulang. Aku naiki bus ke Perak pk. 7 di depan MaPolsek Wonokromo. Di perjalanan kota, aku gelisah karena duit di dompet ternyata tinggal dua lembar lima puluh ribuan. Biasanya, kondektur complain dan marah saat melihat kita menjulurkan duit dengan nominal segede ini. Padahal ongkosnya hanya lima ribu rupiah saja. Kegelisahanku berlalu seiring bergantian naik pengamen dan menghibur penghuni bus. Karena ini bus biasa tanpa AC, jadinya gampang dimasukin pengamen. Seperti biasa, tidak semua pengamen enak didengerin.hal itu berdampak pada penumpang yang ogah”an memberikan duit buatnya.
Bus sudah memasuki halte Penyebrangan Perak saat aku menghentikan lamunanku. Sial, aku melamun dengan headset di telinga dari handphone-ku. Aku segera melangkahkan kaki keluar dari bus dan menuju loket beli tiket. Saat aku keluarkan dompet, ternyata duitku masih utuh dua lembar 50ribuan tadi. Ah, ternyata aku belum bayar bus tadi. Dan sepertinya kondektur melewatkanku. Senyum sok asik campur bersalah nongol di bibir. Saat aku berada di depan loket, tiba” tiga orang lain yang berjalan di belakangku main serobot dan bayar loket. Aku lupa, ini orang” Madura semua. Orang”ku. Orang” yang gak paham betul dengan budaya antre. Akhirnya aku mengalah dan menunggu sampai tidak ada lagi orang yang berada di belakangku, kemudian aku bayar.
Hmm, akhirnya aku berada di kapal penyebarangan, atau biasa kita sebut dengan kapal fery. Sudah hampir empat kali pulang aku tak menaikinya. Artinya, sudah sekitar empat bulan aku selalu melewati Suramadu sebagai akses pulang dengan sepeda motor bersama sepepuku. Tapi kali ini, aku sendirian dengan aroma khas Madura di kapal.
Aku sempatkan membaca majalah TEMPO yang ada di tas, sebelum kantuk datang menyerang. Akupun memilih memasukkan majalah ini dan tidur di kursi. Sekitar 20 menit kemudian aku terbangun oleh klakson kapal. Entah siapa yang dia klakson. Mungkin ada ikan lewat menghalangi jalannya sehingga dia harus memberikan klakson agar si ikan minggir. Tapi saat aku buka mata, terpampang jelas, penyebarangan Kamal di depanku. Aku sudah tidak sabar turun dan menemui Zainal.
Setelah menghabiskan perjalanan sekitar 1,5 jam, aku sampai di rumah pk. 11.00. Saat aku munculin wajah tanpa suara langkah kaki di depan pintu rumah yang terbuka, seorang perempuan kaget bukan kepalang. “Lho, kemarin bilang ke Ibu gak bakal pulang..? Kok sekarang udah nongol..?”, Ibu ngomel” seperti biasa.
“Assalamu’alaikum warahmatullah. Iya Bu, pikirku sebelum Zainal balik pondok besok, rasanya pengen ngobrol dan denger ceritanya”, jawabku sambil mengambil tangannya untuk aku cium.
“Hah..? Mim, kamu kenapa..? Tumben mau ketemu Zainal..? Adikmu bikin masalah..?”, tanya Ibu dengan mendongakkan kepalaku.
“Hmm, enggak Bu. Cuma pengen ketemu aja, ya mumpung dia libur. Lagipula, besok kan mulai puasa, aku mau memulai Ramadhan dengan sahur pertama di rumah. Baru kali ini bisa kayak gini Bu”, jawabku sekenanya.
“Ooh, bagus. Nal, Kakakmu dateng”, tereak Ibu memanggil Zainal. Aku masih berusaha melepas sepatuku di lobi rumah.
“Kak”, Zainal datang meraih tanganku dan membungkusnya dengan ciuman. Seperti biasa, anak ini selalu bisa menghormati anggota keluarga yang lebih tua. Tapi Zainal selalu belum bisa menghormati semua perjuangan Ibu untuk menyekolahkannya, dengan prestasi. Setidaknya itu yang Ibu selalu keluhkan saat di telpon.
Di belakang Zainal, ada Zein, adik paling bontot di keluarga ini. Dia datang malu” dan menirukan Zainal mengambil tanganku serta menyalaminya. Aku tersenyum dan berbalik arah untuk kembali melepas sepatuku. Tiba” dari belakang, Zein menggelantung dengan tangan melingkar di leher dan pundak.
“Sepertinya, ada maunya tuh Kak. Paling minta dibeliin susu”, ujar Zainal melihat tingkah Zein. “Gak pernah tuh dia gitu ke aku Kak. Dia tau mungkin siapa yang punya duit”, kata Zainal lagi dengan memploroti celana pendek Zein yang dia kenakan.
Aku tertawa melihat mereka. Begitu aku masuk kamar, aku langsung taruh tas di samping pintu kamar dan merebahkan tubuh ke kasur. Semenit kemudian, Ibu berada di depan pintu dan menawariku makan. Aku langsung sigap karena lapar yang aku rasakan sejak semalam masih membekas sampai siang ini.
Seperti biasa, Ibu selalu menyajikan lauk favorit anak sulung dan keponakan”nya yang merantau; Kella Je Assem. Agak sulit menjelaskannya. Makanan yang hanya ditemuin di desa ini. Yes, hanya di desan ini. Aku, Kak Reza, Kak Hakim dan Kak Aziz sangat menyukai makanan ini. Mungkin hanya Mb’ Iseh yang agak menjauhkan diri.
Seperti biasa pula, Zainal selalu mengeluh saat Ibu begitu baik padaku dengan menghidangkan makanan” kesukaan.
“Yah, kalau Kak Hamim dating aja, semua makanan dikeluarin. Yang enak” selalu milik Kak Hamim. Heran, padahal Ibu gak tau Kak kalau Kamu bakal pulang hari ini. Tapi ada cadangannya”, aku dan Ibu tertawa.
“Kamu ini, selalu iri. Kenapa sih Kamu gak iri sama yang baik”nya. Nurul tuh juga sekarang prestasinya banyak. Kenapa gak Kamu iri-in sekalian..?”, kata Ibuku sambil menjewer telinga Zainal.
Cerita Ibu selanjutnya bermuara tentang Nurul, anak ketiga yang saat ini sekolah di sebuah pesantren di Malang. Nurul baru kelas 1 SMP, baru 1 tahun dia di Malang. Tapi dia sudah membawa pulang dan menyesaki lemari kami dengan enam piagam penghargaan dan 3 piala bergengsi di pesantrennya. Baru seminggu lalu sampai di rumah. Salah satunya, piala dan piagam penghargaan untuk santri teladan se asrama.
Sama seperti Zainal, Nurul juga menjadikanku Kakak serta musuh yang harus dia lewati. Dia juga bosan selalu dibanding”kan denganku. Sampai kelas 5 SD, mereka berdua tidak menonjol. Tidak pernah mewakili sekolah untuk mengikuti lomba dan menjuarainya. Aku dulu pernah dan membawa piala untuk Juara Mata Pelajaran se Kecamatan dan se Kabupaten. Hanya saja, Ibu selalu melebihkan” dengan mengulang prestasi biasa itu hingga masuk ke relung mereka berdua hingga membenciku. Sayangnya, perbandingan itu hanya berlaku di rumah, guru” di SD juga selalu melakukan hal yang sama pada mereka berdua saat tau kalau mereka berdua adikku.
Zainal tetap stay cool tanpa peduli mendengar hal itu. Dia masih menjadi ketua geng di kelasnya saat sudah memasuki tahun terakhir di sekolah. Mungkin bagi dia, hal inilah yang tak bisa aku lakukan, makanya dia menjadi semacam penguasa atau preman sekolah. Dan ya, dia berhasil membuat namanya terkenal di sekolah, tapi sebagai perusuh.
Sedangkan Nurul menjalaninya lebih baik. Saat dia sadar bahwa ini tahun terakhirnya di sekolah dan tidak berniat ada tahun lagi untuknya, dia bengkit melawan. Dia mati”an belajar bahasa Inggris. Dia kemudian mengajukan diri untuk mewakili sekolah di Lomba Pidato Bahasa Inggris se Kecamatan. Yeah, dia berhasil. Walaupun juara 3, tapi Ibu bangga menceritakan itu padaku. Ibu juga mengirim foto pada Nurul padaku dengan piala di tangannya. Sial, saat itu aku bener” bahagia.
Nurul tidak berhenti di situ. Suatu saat, dia bercerita pada Ibu bahwa dia menemukan ternyata hampir di semua buku tulis dan buku koleksiku, ada puisi di halaman belakang. Nurul meniru membuatnya, tidak hanya sekali dua kali. Tapi tidak pernah berhasil menurutnya. Akhirnya, Nurul menemukan cara lain, dia membacanya dengan gaya pujangga seperti di film”. Suatu saat, dia memberanikan diri meminta Kepala SD untuk mengikutsertakan dia jadi salah satu wakil di Lomba Baca Puisi se Kecamatan. Aku tertawa terbahak” mendengarnya. Bukan karena lucu, tapi perjuangan ingin menyaingiku dia lakukan dengan seserius seperti itu. Walaupun dia tidak tau secara pasti, apa yang dia lakukan.
Tapi setahun berlalu, dia sudah melakukan apa yang tidak aku lakukan di pesantren lalu, menerima 6 piagam penghargaan dan 3 piala di akhir tahun..!! Gilak..!!
Dari cerita siang itu juga, aku baru tau dari Ibu bahwa saat ini Nurul berusaha menghafal al-Quran seperti yang aku lakukan. Aku tidak tau dia akan melakukannya atau tidak, atau aku ragu. Karena dulu dia pernah mengatakannya padaku, ‘aku gak mau sekolah di tempat Kakak yang ngafalin Qur’an, itu berat’. Tapi jika dia juga melakukannya, aku tidak bisa lagi berkata apa” selain bahwa kebenciannya benar” dalam.
Dalam kemiripan wajah dan nasib, Ibu dan Ayah serta banyak orang lain mengatakan anak ganjil mirip dengan ganjil dan genap dengan genap. Jika diliat dari foto saatkecil yang dipajang di kamar, wajah Nurul memang mirip dengan wajahku saat kecil. Wajah Zein juga mirip dengan Zainal. Tapi aku tidak berharap nasib kita semua sama. Harus beda, setidaknya harus lebih baik dari aku.
Perbincangan siang itu terpotong oleh adzan Dzuhur yang baru saja berkumandang. Aku dan Zainal buru” bergantian ke kamar mandi untuk wudhu’ buat melaksanakan shalat Dzuhur. Setelah itu kami kembali ke kamar yang masih ada Ibu di dalamnya dengan Zein. Perbincangan berlanjut pada penghakiman Zainal. Saat itu Ibu langsung memulainya ‘mumpung ada Kak Hamim, katakana apa yang Kamu inginkan..? Aku gak ngerti Nak, hanya Kamu yang gak punya keinginan di sini. Setidaknya Kamu punya cita”, biar kami juga tau yang akan kami lakukan padamu..’, kata Ibu menunjuk ke Zainal.
‘Jadi, Kamu masih belum tau akan ke mana setelah lulus..?’, ucapku kaget.
‘Bukan begitu Kak, Ibu terlalu membesar”kan. Aku sudah memikirkannya sejak setahun ini. Sejak Kakak selalu memarahiku di facebook. Tapi aku gak yakin, aku gak tau ini akan kalian dengarkan’, Zainal menghentikannya. Dia ambil nafas dan kembali berucap. ‘Aku ingin jadi koki yang gak hanya diam di satu tempat’, Zainal melihat kea rah mataku dan Ibu.
Aku kaget, Ibu juga. Ibu melihat ke arahku dengan menaikkan alis tanda beliau tak mengerti.
‘Maksudku, jadi koki yang bisa keliling. Tidak hanya di satu kota, jika bisa, tidak hanya di satu negara. Gampangnya, aku ingin berlayar seperti Kak Hakim tapi di bagian dapur. Memburu dollar di laut, sepertinya asik’, lanjut Zainal. Kali ini dia bernafas lebih panjang.
Ibu terdiam lebih lama, melirik ke aku berharap aku mengatakan sesuatu.
‘Hmm, itu gila. Tapi, jika itu yang Kamu inginkan, kenapa tidak. Mari buat plan’, sebenarnya aku asal mengatakan ini. Tapi aku beneran juga kaget mendengarnya.
‘Bentar Kak, jangan suruh aku kuliah. Kalaupun harus, aku ingin kuliah yang sebentar, cukup 1 atau 2 tahun’, Zainal memotong.
‘OKe, boleh. Aku akan memikirkannya. Ini pasti seru’, kali ini aku serius mengatakannya. Ini gila, tapi aku benar” sudah tidak sabar mewujudkan keinginan anak ini.
‘Oia Bu. Apa mungkin keinginan Zainal ada hubungannya dengan profesi Ibu. Jujur, saya pun suka sekali masak. Bahkan masak sudah menjadi hobi kedua saya setelah menulis. Di Malang lanjut Surabaya, aku benar” menyukainya’, kataku pada Ibu. Ibu hanya tersenyum kecil. Ibu kemudian melirikku dengan mata tajam seakan ingin mengatakan, ‘Kalian Gila’.
Langit senja sudah hampir muncul saat dering hape Ibu meramaikan ruang dengar kamar ini. Dari Ayah ternyata, senyumku pun mengembang.
‘Oh, udah sampe..? OKe, kebetulan semua anakmu ada di rumah. Ini mereka lagi di kamarnya. Oh, bukan. Nurul belum datang. Iya, mereka siap menjemputmu. Wa’alaikumussalam’, ucap Ibu mengakhiri percakapan di telpon. ‘Senang sekali..?’, tanya Ibu padaku.
‘Tidak ada yang lebih menyenangkan sore ini selain ngambek (menjemput orang datang) ayah dari laut Bu. Ini salah sat tujuanku pulang’, kataku sambil melepaskan kaos.
‘Aku sudah tiap hari sejak libur melakukan ini Kak, tapi aku tidak pernah bosan melakukannya. Kali ini lebih senang lagi karena ada Kakak. Ayoo Kak’, Zainal juga terlihat ganti celana.
Dari dulu, 12 tahun lalu, sejak aku meninggalkan rumah, aku selalu senang saat berkesempatan menjemput Ayah usai melaut. Dulu sekali, Zainal dan Nurul selalu heran kakaknya yang lucu dan imut ini segera pergi ke pantai saat ada kabar Ayah pulang. Entahlah, tidak bisa dideskripsikan dengan jelas. Tapi aku sungguh senang dan bahagia saat puluhan langkahku menuju laut.
‘Kak, aku mulai mengerti kenapa dulu Kamu sangat senang menjemput Ayah. Aku baru memahaminya. Mungkin Nurul juga demikian Kak’, Zainal membuyarkan lamunanku. Aku balas dengan senyum.
‘Oh iya, hmmm.. Kamu ingin seperti Sanji One Piece..?’, tanyaku saat kami keluar rumah dengan bawa bak buat ikan hasil melaut Ayah.
‘Iya Kak’,
‘Kamu mulai merokok..?’, aku meliriknya tajam.
‘Iya Kak’, aku kaget dengan jawabannya. Sial. Reflek bak yang aku bawa aku lempar ke kapalanya.
‘Duhh, sakit Kak. Lagian, aku niru Kakak’, aku terperangah mendengarnya. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Zainal, akhir tahun lalu, saat pernah mampir ke kosku di Surabaya, pernah melihat aku merokok.
‘Jika itu tidak baik, jangan ditiru’, ujarku.
‘Iya Kak’, jawabannya mengesalkan.
Setibanya di pantai, kami samar” melihat pejala, sebutan untuk perahu nelayan di sini, yang dipakai Ayah muncul. Jauh. Kami masih ngobrol mengisi kesempatan itu.
‘Apalagi yang belum saya ketahui Nal..?’, tanyaku padanya.
‘Hmm, saya sedang semangat menjalani sisa liburan ini Kak. Itu aja yang harus Kakak tau’, jawabnya.
‘Kenapa..?’,
‘Baru sekarang Kakak pulang ke rumah karena ada saya. Saya jadi tujuan Kakak pulang, seneng banget. Tapi lebih seneng lagi kalo saya nyampe duluan di pejala Ayah. Haahahahaa, ayoo Kak’, katanya sambil berlari melewati riak ombak. Aku tersenyum lebar. Sial, aku gak menyangka hal” kecil seperti ini membuat dia senang. Aku menghela nafas beberapa detik sambil melihat Ayah melambaikan tangan ke arah kami. Aku pun menyusul Zainal.
‘Assalamu’alaikum Pak’, salamku pada Ayah di tengah laut sambil menjulurkan tanganku meminta tangannya.
‘Wa’alaikumussalam. Kenapa pulang Mim..?’, tanya Ayah dengan memberikan tangannya ke arahku.
‘Gapapa Pak, biar rame aja sahur pertama’, jawabku asal. Aku dan Zainal langsung naik ke atas pejala, memindahkan ikan” tangkapan Ayah ke bak yang kami bawa. Sementara itu Ayah menurunkan jangkar dan mengikat pejala dengan tali tampar.
Dari kejauhan, di pantai, aku melihat Zein sedang guling” nangis dengan Ibu berdiri di sampingnya. Aku melirik Zainal, dia menaikkan bahu dan mengatakan ‘Biasa Kak, Zein pengen ikut, Cuma pasti Ibu gak bolehin. Makanya nangis, tapi kadang bakat Kakak di teater nular kayaknya ke Zein. Tuh, dia dramatis gitu sampe guling” ke pasir’, kata Zainal panjang. Aku mengangguk mendengarnya.
Sumpah sore ini aku sangat senang. Baru segini aja yang ada di rumah, tapi itu sudah cukup memberikan sumbangan lekuk senyum di bibir. Zainal tak berhenti melihat ke arahku yang senyum” sendiri dari pantai sampai rumah. Aku merasakan sore ini nyaris sempurna. Semilir angin dan senja yang perlahan berpendar menggodaku untuk lebih lama berada di luar rumah dengan mata terpejam.
Petang kemudian menjemput sore. Hingga akhirnya semuanya berlalu dalam larut malam. Ibu dan Ayah tak berhenti saling sindir tentang program TV yang akan disetel. Zainal memilih bela Ayah, Zein lebih banyak gigit Zainal karena bela Ayah. Aku, aku tertawa dengan canda Ayah yang lucu banget. Kadang aku berpikir, apa selera humorku turunan dari Ayah ya..? Tapi dulu gak ada tuh stand up comedy. Haahahaa..
Kemudian Ibu banyak cerita tentang masa kecilku. Ini adalah momen cerita keluarga yang selalu aku tunggu saat malam. Ibu menceritakan kisah” masa kecil kami atau masa” kecil Ibu dan saudara”nya. Saat cerita itu mengalir ke kisah kecil Zainal, Ibu agak kecewa. Menurutnya tak ada yang bisa diceritakan dengan baik, karena mengecewakan. Aku tertawa, Zainal tertawa, Zein masih sibuk mukul”in Zainal karena bersandar di paha Ibu. Ayah kemudian buka suara, ‘Ini semua gara” Nurul. Nurul terus yang disanjung. Ntar Bapak beliin Kamu piala dan print-kan piagam deh buat ngalahin Nurul’, canda Ayah ke Zainal dengan lirikan tajam pada Ibu. Kontan Ibu, aku dan Zainal ketawa ngakak.
Ibu tidak mau kalah, beliau langsung nyambar ‘Iya bagus, print yang banyak. Ntar setelah diprint buat bungkus gado-gado Ibu aja’, ibu menimpali disambut senyum Ayah.
Malam itu juga, Ibu mengatakan sebuah nasihat berharga buat Zainal. Sambil memegang tanganku, Ibu berkata padanya ‘Nak, jangan sampai takut berbuat baik. Berbuat baik tidak ada ruginya. Jika Kamu merasa rugi, berarti itu bukan kebaikan’, Ibu semakin kencang memegang tanganku. Aku melihat Ibu, entah apa maksudnya meremas tanganku untuk mengucapkan nasihat ini pada Zainal.
‘Bukan sekarang balasannya, tapi pasti ada manfaatnya. Bisa jadi, apa yang Kakakmu rasakan sekarang adalah buah kebaikan semua orang rumah. Semua kebaikan berdampak runtut’, Ibu merenggangkan remasan tangannya. Sial, ini nasihat nusuk banget. AKu baru mendengar Ibu menasihati dan muka Zainal menyimak begini. Biasanya dia enggan menyimak pesan selain dariku, karena aku memberikan nasihat dengan dahi mengkerut. Tapi baguslah, dia mendengarkan dengan baik.
Malam itu akhirnya harus berakhir. Aku tenang melewataknnya. Banyak hal yang bisa aku simak dari percakapan tadi. Aku pun sangat senang dengan semua kemauan yang ditunjukkan adikku. Aku harap itu tidak menguap. Karena jika itu hasrat, aku akan selalu berada di sampingnya. Satu lagi yang aku dapatkan dari rumah hari ini, bahwa setiap tindakan terinspirasi, termasuk tindakan yang tidak baik. Entah baik atau tidak, sampai tulisan ini aku buat, aku tidak lagi merokok.
Time; Generasi, Mewarisi dan Inspirasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar