September, Sendu dan Senja Terasing

Sore ini semuanya berlalu dengan senja yang terasing. Surabaya sudah kian meyakinkan diri untuk segera bergerak pindah. Menaklukkan kota lain, memberikan kesempatan menikmati hawa yang lebih panas. Tak banyak kata yang terungkap dalam pesan itu. Hanya secarik kertas yang terbuat dari sulaman kesedihan. Semuanya nyata, meneriakkan sendu untuk membakar kalender. Sial, ini bulan September.
Aku masih di sini, di balik meja dengan senja yang terasing.. Semua suara dan permintaan bergema mengusik, terlalu bising. Aku tidak bisa mengalihkannya. Semuanya harus diterima dengan santai, karena pekerjaan ini sudah terlampau menyentuh dalam sendi kehidupanku. Ingin sekali membuangnya, tapi aku tak ingin sedu sedan terjadi.
Baru sepekan September berlalu dengan senja yang terasing. Tapi aku sudah muak dan ingin mengakhirinya. Bulan tanpa pertemuan, namun masih seru hanya dengan suara. Ingin sekali segera mengusir dingin yang membungkus tanganmu dan memberikan hangat dengan genggaman. Duduk di sampingmu, hingga mata indah itu terpejam lelah. Lalu aku menjagamu, tepat di sampingmu sampai terbangun lagi. Menatapmu hingga menemani setiap detik gerak kecilmu.
Tapi aku tak bisa melakukan semua itu di bulan dengan senja yang terasing. Melihatmu mengoceh dan kembali mamanjat loteng kemudian duduk di genteng menikmati petang dengan bulan purna. Saat itu, mungkin aku bertanya, apakah Kau akan memintaku duduk di sampingmu..? Hahahahaa, tak Kau pinta pun, aku akan mengikutimu memanjat semua tembok rumah yang kini Kau kesali itu. Menginjak setiap dera untuk menggapai tempatmu, tepat di sampingmu.
Dan semuanya berlalu di September dengan senja yang terasing. Tetaplah berdiri kuat, sampai Oktober datang dan aku menemuimu. Mengajakmu berlari di tengah hujan. Menertawakan setiap pertanyaan dari sopir taksi. Atau menyusuri debu jalanan yang menyentuh indera. Semakin merindukannya, semakin terasa lama hari-hari yang dilalui. Tapi kini semuanya nyata terlihat, rindu ini tak berkarat. Hingga sampai Kau kembali rehat. Hingga Kau bertanya, ‘kapan Kau mengajakku untuk bermain di hujan lebat..?’. Melakukan hal” gila sampai hebat. Menempel semua kenang dengan lekat, dan menggenggam tanganmu hangat.
Sampai petang tiba, aku masih di sini dengan senja yang terasing. Aku menuliskannya untukmu. Segeralah sadar, banyak hal yang belum Kau lakukan. Itu katamu. Karenanya, hentikan ingus merah itu. Segeralah sadar, habiskan semua makananmu dan vitamin itu. Aku tau derita ini sangat menyebalkan, tapi Kau harus lebih kuat. Ujian ini akan menjadikan September tak lagi menyentuh kesedihan di rumah itu. Segeralah sadar, dan berikan senyum manismu pada semua orang, tapi hatimu jangan. I.M.U.T..

0 komentar:

Posting Komentar