Izinkan Aku, Hujan..

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang aku rindukan.
Pagi ini Surabaya lebih gelap dari biasanya. Mendung samar” mengitari langit Surabaya dan sekitarnya. Awan berwarna abu” itu tampak sedang gelisah membuat keputusan. Dilema; menghentikan kemarau berkepanjangan, atau hanya memberi harapan. Aku memandangi dengan dahi mengernyit dan tangan terkepal di depan wajah. Dari meja redaksi yang aku tempati, tampak jelas ini bukan kabut seperti yang diceritakan BMKG beberapa hari sebelumnya, yang juga terjadi di langit Bandung.
Jauh sebelum pagi ini, BMKG memberi banyak prediksi, hal yang hanya bisa dilakukan manusia atas kehendak Tuhan. Kemarau tahun ini lebih panjang dan musim penghujan akan datang terlambat. Kekeringan akan usai di akhir Oktober dan hujan turun membasahi negara kagetan ini di awal November. Aku menunggu dan tak berhenti berdoa. Di luar hubungan horizontal dengan manusia, hujan adalah hal pertama yang aku rindukan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena semua orang butuh hujan. Bukan hanya untuk mengakhiri kekeringan, tapi juga menyudahi derita korban bencana asap di sana, di Sumatera dan Kalimantan.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang tak akan aku lewatkan.
Sampai dua hari yang lalu pun, pagi di Surabaya tetap begitu. Sejuk dan agak gelap. Kemudian datang siang, mengandaskan harap dalam sekejap. Panas, bahkan suhunya pernah mencapai 41 derajat celcius. Semua mengeluh, jalanan penuh karena kota ini tak pernah menawarkan jeda secara utuh. Bahkan di luar sana, warga masih diributkan soal persiapan Pilwali 9 Desember nanti dan animo unjuk rasa yang berangsur naik tiap harinya. Aku hanya mendengar, sesekali menauliskannya untuk disebar sebagai berita.
Beberapa teman bertanya, kenapa Surabaya sepanas ini. Sebagian lainnya hanya berujar mengeluh lewat layanan pesan singkat ke hapeku. Aku tak langsung menjawab, sebagian aku biarkan begitu. Keluhan hanya keluhan, ketidakpuasan pada yang didapat. Beda cerita jika keluhan ditujukan pada apa yang orang lain dapat. Aku hanya menjawab datar, sesekali sok menenangkan bahwa cuaca ini adalah pertanda hujan akan segera tiba. Di luar hubungan vertikal dengan Tuhan, hujan adalah hal pertama yang aku butuhkan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena kata banyak orang, di Surabaya, hanya hujan yang memicu senyum dan tawa asliku. Aku juga tidak terlalu mengerti apa yang mereka maksud.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, fenomena alam yang sangat aku cintai.
Pagi di Surabaya hari ini beda. Karena semalam hujan turun untuk pertama kalinya nyaris merata di Surabaya. Gerimis, sebagian daerah malah deras sampai bau tanah tercium jelas. Aku tak berhenti tersenyum merasakannya. Mencium aroma khas tanah yang diguyur hujan. Ingin sekali beranjak dari meja redaksi malam itu. Sayangnya, di Surabaya selatan, di tempatku berada, hujan masih tertahan. Banyak yang mengeluhkannya. Bahkan tak sedikit warga yang sengaja pergi ke tempat yang hujannya deras mengguyur.
Pagi ini keluhan datang tak hanya soal hujan. Inbox hapeku penuh dengan pesan singat dan chat dari teman” di Malang. Mereka bertanya tentang keberadaanku selanjutnya setelah mengakhiri studi S1 di Malang. ‘Masihkah Malang menjadi kota yang kerap akan Kau singgahi..?’ ‘Masihkah Kau akan sering menemui kami di sini..?’ ‘Masihkah kita akan berbagi gagasan, gelas, tawa dan semua keributan bersama..?’. Kalian lebbay. Aku tinggal di Malang tak hanya satu atau dua hari. Aku merepotkan kalian tak hanya satu atau dua kali. Aku duduk dan bersila tak hanya di satu atau dua tempat di sana. Bahkan, di 2,5 tahun aku berdomisili di Surabaya pun, kalian dan Malang masih jadi penyebab tawaku muncul.
Justru, aku yang mulai khawatir. Aku takut. Aku cemas tak bisa sesering dulu menginjakkan kaki di sana. Khawatir tak banyak rintik hujan yang aku lalui bersama kalian di sana. Meskipun sakit kadang datang sebagai konsekuensi. Siapa peduli. Tapi pagi ini, aku ingin mengembalikan inspirasiku yang sudah lama mengering karena kemarau. Aku merindukan hujan. Aku menginginkannya. Aku membutuhkannya, sama seperti aku membutuhkan canda kalian untuk tertawa. Izinkan aku sejenak lebih lama berada di kota ini untuk menanti, hmmm, tidak, izinkan aku menikmati hujan pertamaku di sini. Izinkan aku datang pada kalian dengan senyum asliku setelah melalui hujan pertamaku di sini. Lalu, aku akan menceritakannya pada kalian. Seperti yang aku katakan di meja makan malam itu, ‘izinkan aku bermanfaat bagi kalian’.

0 komentar:

Posting Komentar