Malam ini, aku berada dalam pengasingan. Di satu sudut ruang kepalamu yang tak bisa aku terka, tak bisa aku baca. Aku tidak memilihnya, aku berada di sini untuk suatu alasan yang belum aku temukan. Mungkin aku bersembunyi, sengaja. Mungkin juga aku tersembunyi, di sini, di satu sudut ruang kepalamu.
Aku melihatmu berkali", dari dalam sini, di satu sudut ruang kepalamu. Seringkali saat Kau terpejam, beberapa kali saat Kau membuka mata tak sengaja. Apa Kau merasakannya? atau hawa kehadiranku terlalu tipis untuk Kau rasakan? Aku pernah berteriak, memanggil namamu, tepat di telinga kananmu. Saat tau tak terdengar, aku pergi mengelilingi kepalamu. Aku tiba di ujung telingamu yang lain, aku teriakkan namamu lagi. Tapi sepertinya aku memang begini, berada dalam pengasingan.
Aku masih di sini, terjaga, mendengar dongeng yang mampir di pendengaranmu. Sesaat kemudian, matamu mengecil, menutup, lalu terpejam. Sedang aku, tergerak mendekat, berlari ke arah suara yang belum berhenti bercerita dongeng padamu. Mungkin untuk mengantarkanmu tidur, atau Kau tak sengaja tidur mendengar cerita dongeng itu. Beruntung sekali pemilik suara itu, mengantarkanmu tidur, lalu melihat senyum aslimu sesaat setelah matamu terpejam. Aku berusaha keluar, tapi semua organmu tak bekerja. Ternyata aku benar" berada dalam pengasingan.
Aku sudah bertanya padamu, saat Kau tidur tadi, tentang keberadaanku. Apa benar aku berada dalam pengasingan, di satu sudut ruang kepalamu? Mungkin Kau mengigau, atau Kau benar" mendengar suaraku lalu menjawab? 'Semalam saja', katamu lirih masih dengan mata terpejam. Tidak, bahkan aku tidak ingin berada di sini lama. Dalam pengasingan, entah terjebak atau tidak, tapi aku tidak ingin melewatkan malam tanpa merasakan indramu. Aku ingin keluar dari sini. AKu akan memaksa keluar dari sini jika benar aku berada dalam pengasingan. Untuk melihatmu, untuk menatapmu, untuk menuntaskan rindu.
Malam ini, aku berada dalam pengasingan, di satu sudut ruang kepalamu. Untuk apa aku di sini? Benarkah aku berada dalam pengasingan, atau Kau sengaja menempatkanku di sini?
Selengkapnya...
Pengasingan..
Hari Kesembilan..
Sudah delapan hari Surabaya diguyur hujan dengan rutin. Setiap hari hujan dan setiap hari deras. Delapan hari itu, Surabaya jadi adem setelah sebelumnya didera panas yang sangat tanpa setetespun hujan. Dua hari pertama dari delapan hari itu, hujan turun saat pagi. Setelah Subuh sampai mengantarku berangkat kerja. Aku tak bisa menolak rezeki ini. Hujan"an berangkat ke kantor. Enam hari berikutnya, hujan turun deras saat petang. Hampir rata di Surabaya, sebagian datang lebih awal hingga petang membenamkan senja, peristiwa yang sudah lama tidak aku dan Kamu lakukan bersama.
Pagi ini adalah hari kesembilan, mungkin seperti hari sebelumnya, Surabaya diguyur hujan saat petang nanti. Meski begitu, Surabaya pagi ini adem sejak Subuh. Mendung agak lama mendiami langit Surabaya. Sampai aku menulis ini pk. 09.30 WIB, mendung masih nampak dan memberikan senyum sumringah di beberapa bibir yang aku temui saat berangkat kerja tadi. Termasuk Rahman, seorang teman yang datang berkunjung dari Banjarmasin sejak Sabtu kemarin. Seharian kemarin, dia heran, cuaca Surabaya tak seperti yang dia kira. Adem dan nyaman seperti saat dirinya tinggal 5 tahun di Jogja dulu.
Pagi hari kesembilan ini, aku kerja lebih pagi. Aku melakukannya karena mendapat teror dari Zaki, seorang teman yang akan melangsungkan resepsi pernikahan petang nanti, waktu yang biasanya hujan sejak enam hari lalu. 'Mim, datang. Beberapa kali ngopi gak bisa, resepsiku harus bisa. Kalo gak, awas'. Teks ini datang bersama sebuah foto undangan pernikahan, dua pekan lalu, sepekan sebelum teror Sarinah terjadi. Mungkin maksud dia agar aku bisa izin lebih awal pada kantor. Aku tak membalasnya, karena undangan ini sudah Ia sampaikan dua bulan lalu, saat aku bersama dia dan teman" lainnya ngopi di kawasan Bendul Merisi. Kami semua mengiyakan, setelah kaget dua detik. Rahman, juga datang jauh dari Banjar karena resepsi ini. Zaki dan Rahman adalah sepasang kekasih. Sori, maksudku, mereka berdua adalah Comanisty yang melanjutkan pendidikan di Jogja. Hanya mereka berdua. Jadi, seolah tidak mungkin Rahman tidak datang ke acara ini.
Seharian kemarin, di hari kedelapan, aku, Izzin dan Lukman kebagian ber-kelanakota menemani Rahman keliling Surabaya. Hampir di semua lokasi yang kita datangi, aku hanya menguap dan mencari tempat duduk untuk bersender dan tidur. Sesekali pesan kopi jika ada atau buka handphone jika sempat. Izzin dan Lukman lebih lama berada di Surabaya, jadi mereka lebih paham tentang tempat asik di Surabaya, yang membuat Rahman rileks, dan membuatku nyaman tidur.
Pagi ini, di hari kesembilan, aku mulai bosan dengan teks yang datang padaku, mengajak, bertanya dan memaksaku cabut dari kota ini. Hampir semuanya mengajak liburan di kotanya dan dua teks diantaranya memintaku untuk pindah kerja. Gresik, Malang, Kediri, Semarang, Bandung, Cianjur dan Jakarta. Hmmm, aku masih ingin menemanimu ke Jogja. Harus tembus. Rencana ini sempat pupus karena Laras akan melakukan umroh di waktu yang sama. Setelah tau travel Laras mengundurkan jadwal, di kepalaku masih ada Jogja sebagai destinasi pertama liburan di kota lain, bersamamu. Setelah itu, aku harus menemui teror lainnya di Malang, sodara" yang sudah lama tak aku jumpai.
Pagi ini, di hari kesembilan, aku suntuk, dipenuhi kantuk dan membusuk. Butuh liburan, butuh hiburan. Bisa saja aku mendapatkannya petang nanti bersama Comanisty lainnya. Tapi aku selalu mendapatkannya saat hujan datang delapan hari ini, dan saat bersamamu.
Selengkapnya...
(Masih) Untuk Kalian Bertiga..
Hari ini, aku akan kedatangan tamu istimewa; Zainal, adikku. Aku sudah mempersiapkan semuanya sejak lama, sejak niat bertandangnya hinggap di pendengaranku, hari pertama 2016. Zainal tidak mengatakan langsung padaku. Dia katakan pada Ibu, Ibu menelponku, aku sms Zainal dan Zainal mengkonfirmasi. Birokrasinya mbulet (kayak panggilan siapa gitu). Muter gitu terus sampe Surabaya turun salju.
November lalu, Zainal pernah kirim pesan teks padaku, membalas pesan dariku sebelumnya. Aku tanyakan kabarnya, Zainal membalas dengan panjang. Saat membacanya, aku tertampar. Dia mengeluhkan ketiadaanku selama ini. Tak ada pernah ada waktu untuknya, memenuhi keinginannya, tapi tak pernah menanggapi kebutuhannya. Kebutuhan akan perhatian yang hilang dari sosok seorang kakak. Hemm, aku memang sadar aku bukan kakak yang baik. Buat ketiga adikku, sejak mereka kecil. Bagi Zainal, bagi Nurul dan sekarang Zein. Ketakutanku pun sudah terbukti; aku tidak ada saat mereka berkembang. Aku tidak pernah ada saat Zainal ingin mengobrolkan sesuatu, hal yang ingin dia pilih. AKu tidak di sana saat Nurul menyapu bersih penghargaan di pesantrennya. Bahkan Zein, aku tidak banyak tau apa saja yang sudah dia lakukan di sekolah.
Saat lebaran Idul Fitri tahun lalu, Zainal tiba" duduk di sampingku, di teras, saat tangan kananku pegang cangkir kopi. Zainal mengatakan sesuatu, tanpa aku minta dia cerita. Apa yang dia katakan saat itu, adalah alasan aku masih di sini, di tempat busuk ini. Aku menghapus beberapa rencana, tidak aku ganti sampai sekarang.
'Kak, mungkin saya akan tinggal di Surabaya, satu atau dua tahun, sebelum mengelilingi dunia nanti', katanya tiba".
'Hah..? Kapan..?', tanyaku dengan wajah menahan panas kopi.
'Mungkin awal, atau pertengahan 2016 nanti',
'Oo, bagus. Sama temenmu..?',
'Enggak. Harapannya sih, saya tinggal bareng Kakak', aku mengernyitkan dahi mendengar jawabannya. AKu melihat ke arahnya. Samar" aku melihat sepasang mata mengawasi kami, di balik tembok, di antara lorong yang memisahkan dapur dan ruang utama; Ibu. Ibu lalu menundukkan kepala dengan pelan. Seolah ingin aku mengiyakan keinginan adikku.
Bodoh. Segitunya. Padahal aku masih bersama kalian. Aku masih bisa kalian jangkau. Tidak, kalian masih dalam jangkauanku. Aku bisa dengan mudah datang dan hadir saat kalian perlukan. Mungkin Ibu tidak setuju dengan persepsiku ini. Dua pekan lalu, dua hari setelah detik pertama 2016, Ibu menelpon. Menanyakan kabar, lalu memberi tau bahwa Ibu sedang di Malang, di pesantren Nurul, mengantarkannya balik setelah liburan sekolah. Ibu bilang, selama di rumah, Nurul selalu bertanya tentangku, kapan aku pulang. Nurul bahkan menerka" kalimat apa yang akan dia lontarkan saat bertemu denganku nanti. Ibu bercerita tidak lugas, bahasanya tak lancar. Sesekali Ibu hentikan pembicaraannya. Diam lalu menghela nafas. 'Kamu tidak hanya punya Ayah dan Ibu. Kamu juga punya Zainal, Nurul dan Zein. Sesekali temui mereka, Ibu dan Ayah di sini baik" saja', pungkas Ibu di ujung pembicaraan sore itu.
Hari ini, aku akan menemui mereka. Tepatnya, aku kedatangan satu diantara ketiganya. Seperti yang aku bilang, aku sudah siapkan semuanya. Tidak hanya untuk mendengar, tapi juga menunjukkan, bahwa semua yang aku lakukan di sini, masih untuk kalian bertiga.
Selengkapnya...