Hari ini, aku akan kedatangan tamu istimewa; Zainal, adikku. Aku sudah mempersiapkan semuanya sejak lama, sejak niat bertandangnya hinggap di pendengaranku, hari pertama 2016. Zainal tidak mengatakan langsung padaku. Dia katakan pada Ibu, Ibu menelponku, aku sms Zainal dan Zainal mengkonfirmasi. Birokrasinya mbulet (kayak panggilan siapa gitu). Muter gitu terus sampe Surabaya turun salju.
November lalu, Zainal pernah kirim pesan teks padaku, membalas pesan dariku sebelumnya. Aku tanyakan kabarnya, Zainal membalas dengan panjang. Saat membacanya, aku tertampar. Dia mengeluhkan ketiadaanku selama ini. Tak ada pernah ada waktu untuknya, memenuhi keinginannya, tapi tak pernah menanggapi kebutuhannya. Kebutuhan akan perhatian yang hilang dari sosok seorang kakak. Hemm, aku memang sadar aku bukan kakak yang baik. Buat ketiga adikku, sejak mereka kecil. Bagi Zainal, bagi Nurul dan sekarang Zein. Ketakutanku pun sudah terbukti; aku tidak ada saat mereka berkembang. Aku tidak pernah ada saat Zainal ingin mengobrolkan sesuatu, hal yang ingin dia pilih. AKu tidak di sana saat Nurul menyapu bersih penghargaan di pesantrennya. Bahkan Zein, aku tidak banyak tau apa saja yang sudah dia lakukan di sekolah.
Saat lebaran Idul Fitri tahun lalu, Zainal tiba" duduk di sampingku, di teras, saat tangan kananku pegang cangkir kopi. Zainal mengatakan sesuatu, tanpa aku minta dia cerita. Apa yang dia katakan saat itu, adalah alasan aku masih di sini, di tempat busuk ini. Aku menghapus beberapa rencana, tidak aku ganti sampai sekarang.
'Kak, mungkin saya akan tinggal di Surabaya, satu atau dua tahun, sebelum mengelilingi dunia nanti', katanya tiba".
'Hah..? Kapan..?', tanyaku dengan wajah menahan panas kopi.
'Mungkin awal, atau pertengahan 2016 nanti',
'Oo, bagus. Sama temenmu..?',
'Enggak. Harapannya sih, saya tinggal bareng Kakak', aku mengernyitkan dahi mendengar jawabannya. AKu melihat ke arahnya. Samar" aku melihat sepasang mata mengawasi kami, di balik tembok, di antara lorong yang memisahkan dapur dan ruang utama; Ibu. Ibu lalu menundukkan kepala dengan pelan. Seolah ingin aku mengiyakan keinginan adikku.
Bodoh. Segitunya. Padahal aku masih bersama kalian. Aku masih bisa kalian jangkau. Tidak, kalian masih dalam jangkauanku. Aku bisa dengan mudah datang dan hadir saat kalian perlukan. Mungkin Ibu tidak setuju dengan persepsiku ini. Dua pekan lalu, dua hari setelah detik pertama 2016, Ibu menelpon. Menanyakan kabar, lalu memberi tau bahwa Ibu sedang di Malang, di pesantren Nurul, mengantarkannya balik setelah liburan sekolah. Ibu bilang, selama di rumah, Nurul selalu bertanya tentangku, kapan aku pulang. Nurul bahkan menerka" kalimat apa yang akan dia lontarkan saat bertemu denganku nanti. Ibu bercerita tidak lugas, bahasanya tak lancar. Sesekali Ibu hentikan pembicaraannya. Diam lalu menghela nafas. 'Kamu tidak hanya punya Ayah dan Ibu. Kamu juga punya Zainal, Nurul dan Zein. Sesekali temui mereka, Ibu dan Ayah di sini baik" saja', pungkas Ibu di ujung pembicaraan sore itu.
Hari ini, aku akan menemui mereka. Tepatnya, aku kedatangan satu diantara ketiganya. Seperti yang aku bilang, aku sudah siapkan semuanya. Tidak hanya untuk mendengar, tapi juga menunjukkan, bahwa semua yang aku lakukan di sini, masih untuk kalian bertiga.
(Masih) Untuk Kalian Bertiga..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar