Hari ini pagi, siang dan soreku menyatu dalam kebisingan. Aku tak bisa menyembunyikan kekesalan yang begitu saja muncul saat aku menemui soreku. Oh, tidak, tapi sore yang menemuiku. Membangunkan tidurku hingga aku merasa pagi dan siang meninggalkan semua keluh kesah yang ingin aku sampaikan.
Aku tidak tau pasti apa yang terjadi pada rindu yang sempat menghantuiku. Seakan musnah tanpa kelakar yang selalu tersembunyi dalam teks keheningan. Seakan hilang tanpa sendu yang selalu membuncah saat pikiranku tak bisa membendung bayangmu hanya dengan berpikir. Seakan senyap tanpa suara yang selalu berbisik lembut di setiap organ dalam tubuhku sampai aku gila. Entah apa yang terjadi. Aku tak bisa menemukan alasan dan jawabannya. Aku hanya bisa merasakan Kau lebih dekat. Sangat dekat. Hingga seakan wajahmu tepat berada di depanku dengan amarah yang membuat cantikmu memuncak.
Kebisingan sore ini semakin menjadi-jadi saat masjid di kompleks tempatku tinggal mengumandangkan adzan pada pukul 16.21. Katanya ada kegiatan pelepasan calon jemaah haji yang dilakukan sedari tadi. Mungkin adzan tersebut untuk menguatkan tekad dan niat mereka sebelum berangkat ke Sukolilo untuk menunggu kloter. Atau jangan” mereka memang baru shalat Ashar. Entahlah, apapun itu semoga kalian diberkahi dan dirahmati Allah. Semoga juga aktifitas hajimu mabrur sepulangnya nanti.
Samar” aku mendengar suara rindumu di sela” kebisingan tadi. Semakin jelas di telingaku saat aku kembali mengingat sebuah kabar dari seorang saudara-yang-aku-pilih semalam. Semacam kabar dan respon baik darimu. Semoga saja begitu. Karena aku tau Kau juga tak bisa menepikan rindu itu. Rindu yang juga mengalir deras dari pandanganmu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mendengar suaramu di tengah kebisingan yang tak sebentar itu. Aku hanya bisa tersenyum dalam kagetku. Apakah itu yang dinamakan rindu suci. Rindu yang tak pernah diungkapkan satu sama lain. Rindu yang memuncak saat keduanya tak saling bertemu, mengirim pesan teks tapi diam” saling mendoakan. Yaahh, akhir” ini aku sering mendengar kalimat itu dari Sudjiwo Tedjo.
Apa Kau melakukan hal yang sama..? Menyelipkan namaku di setiap doamu seperti yang aku lakukan..? Seberkas senyummu selalu hadir saat namamu aku sebut dalam doaku. Menggantikan bayangan senyum wajah lainnya yang aku sebut namanya bergantian.
Sore ini cepat berlalu dan lenyap dalam gelap malam. Aku masih duduk di depan notebook ini menceritakan semua keluh yang tak mungkin aku sampaikan pada lainnya. Tidak juga padamu. Karena sudah lama aku tak mendengar suaramu. Sudah lama sekali Kau sembunyikan dariku. Sudah lama sekali Kau hindarkan suara manjamu itu di telingaku. Sekali lagi, apapun yang terjadi, aku hanya berharap Kau baik” saja menjalani rutinitasmu di sana.
Selengkapnya...
Rindu Dalam Doa
#mancing
Malam ini hanya beberapa bintang yang bisa aku hitung di langit Surabaya. Semua sinarnya tampak memudar dalam barisan cahaya bulan. Angin diam” mengalun lembut diantara dua mataku yang tak bisa terpejam purna. Letihku masih bisa aku tahan di balik gelap kamar tanpa penerangan. Bahkan ragaku masih memaksa untuk kembali membuka beberapa kertas tanpa bahasa. Bahasa kesendirian yang tak mungkin aku ejawantahkan. Bahasa keramaian tanpa objek yang pernah aku tuliskan. Bahasa yang pernah terjerembab dalam kebisuan sedu sedan. Bahasa rindu yang memaksaku untuk menulis teks ini untuk sebuah derita.
Malam ini akan terasa sangat panjang. Bukan karena lelapku tak bisa aku arahkan. Bukan juga karena hawa panas Surabaya yang tak tau malu. Atau bukan karena besok aku akan menjalani psikotest di jalanan. Tapi karena aku bingung mendeskripsikan rindu yang sudah berlangsung lama, rindu yang tak bisa aku sampaikan padamu. Walaupun aku tau Kau juga merasakan hal sama jauh dalam hatimu.
Belakangan ini aku selalu berupaya mengajakmu berkomunikasi. Aku sudah tak tahan untuk menyapamu. Sudah seringkali aku menyakitimu dengan tak merespon semua senyummu saat bertemu denganku. Bahkan mungkin Kau membenci sikapku yang tak membalas pesan” teks yang Kau tujukan padaku. Yang terakhir, aku bahkan sengaja memalingkan wajah saat tawa renyah dan senyum manismu penuh dengan keterkejutan itu Kau arahkan padaku. Tentu aku melakukannya bukan tanpa alasan.
Beberapa waktu belakangan ini Kau begitu sulit dilihat. Aku bahkan tak bisa membaca yang terjadi melalui matamu. Dua pesan teks yang aku kirim berakhir tanpa respon. Sampai saat ini aku masih belum tau alasan Kau melakukannya. Mungkin Kau kembali jengah dengan desas desus di rumah KITA itu. Atau Kau kembali muak ada gosip yang membuatmu malu untuk memijakkan kaki di rumah itu. Tapi yang jelas dan terjadi padaku, keenggananmu membuat malam”ku penuh derita. Entahlah, aku hanya berharap Kau baik” saja menjalani rutinitasmu. Jauh dari demam yang beberapa hari lalu membelenggumu.
Kau tau, kebekuan ini membuatku hampir gila selama sehari lalu. Malam hariku selalu dipenuhi dengan imajinasi tak logis seperti kebanyakan urusan asmara lainnya. Sometimes, aku ingin menjadi sesuatu yang bisa selalu Kau sentuh. Kadang juga aku ingin menjadi udara yang selalu Kau hirup dan Kau butuhkan. Aku tak tau harus menjadi apa diriku agar Kau selalu melihatku. Melihat bagaimana rindu ini menyesakkan dada. Melihat bagaimana keramaian ini begitu sendu tanpa hingar bingar suaramu. Melihat bagaimana aku diam tanpa langkah untuk melihatmu dari kejauhan.
Aku tau Kau juga memiliki semua keresahan yang memuakkan ini. Tapi Kau harus lebih kuat karena aktifitasmu tak mengijinkanmu berada dalam titik jenuh ini. Diamlah di situ, di tempat Kau duduk dan memimpin kumpulan manusia itu. Diamlah dan jangan Kau hiraukan kabut rindu yang sedang melandamu. Lebih banyak yang membutuhkanmu di tempat Kau berdiri saat ini. Bahkan Kau menjadi idola dan harapan baru bagi himpunan itu dengan posisi yang saat ini Kau rengkuh. Diamlah. Jangan mencariku, berjalan ke arahku atau bahkan mengejarku. Suatu saat aku yang akan menemukanmu.
Kau boleh benci pada jarak ini. Pada semua hal yang memisahkan kiloan meter tempat kita berada. Kau juga boleh benci padaku jika suatu saat nanti ada pria lain yang berusaha lebih gigih daripada aku untuk mendapatkanmu. Hmmm.. Kau mesti sadari, bahwa Kau sangat mudah dikagumi seperti kataku. Kau juga mesti akui bahwa Kau sangat mudah untuk dicintai. Alasan lama yang pernah aku katakan, bahwa aku tak ingin memasung keinginan orang lain untuk mendapatkan senyummu. Walaupun aku tau hatimu hanya untuk aku taklukkan.
Kau harus tau bahwa setiap gerak kecilmu mampu meledakkan degup jantung pria di sekitarmu. Kau harus sadari bahwa senyum kecilmu mampu me #mancing semua pasang mata untuk terpana. Setiap detik anggunmu bisa saja membius semua langkah terhenti. Setiap perilaku smart-mu dapat dengan mudah dipahami sebagai pesona bagi yang lain. Tapi Kau harus tau, bahwa jika nantinya bukan tanganku yang Kau genggam, aku tetap tersenyum untuk kebahagiaanmu.
Selengkapnya...
Gute Nacht, Itu Saja
Bagaimana malammu..?
Sampai saat ini aku masih percaya bahwa keluarga adalah segalanya di luar urusan vertical dengan Tuhan. Keluarga tak hanya penting, tapi menjadi alasan untuk semua aktifitasku di semua malam 23 tahun ini. Walaupun, tak semuanya aku lakukan dengan benar. Kadang lalai, kadang terlaksana sesuai harapan.
Bagaimana malammu..?
Malam ini aku masih terbelit rindu pada semua orang yang menjadi keluargaku. Tak hanya kelu, tapi menderu hingga membelenggu. Aku bukan seorang anak, cucu, ponakan, sepupu, adik atau kakak yang cengeng dan selalu home sick. Tapi aku hanya seorang anggota keluarga yang terus menyematkan nama” keluarga di hati. Ya, di hati. Di hati dan tak akan terhapus sampai nanti. Selalu ada nama mereka di setiap doa yang aku panjatkan.
Bagaimana malammu..?
Aku masih heran, kenapa sebagian orang masih menganggap keluarga adalah ayah dan ibu serta sodara kandung saja. Atau lebih luas dikit dengan istri/suami, nenek, paman dan lainnya yang pernah hidup dengannya di rumah. Menurutku, teman juga adalah keluarga. Teman yang membingkai hidup kita saat kita tak di rumah. Teman adalah pegangan saat kita menggenggam rasa senang dan tercederai rasa sedih. Teman adalah pertanyaan saat lingkunganmu menjadi gelap. Teman adalah jawaban saat matahari terlalu terang untuk kita lewati sendiri. Teman adalah tongkat yang menopang semua inspirasi. Lebih dari itu, teman adalah keluarga yang kita pilih.
Bagaimana malammu..?
Kita lahir dari seorang perempuan dengan laki” di sampingnya. Kemudian kita menyebutnya orangtua. Itu adalah takdir Tuhan. Semua sodara ayah dan ibu adalah paman, bibi, pakdhe, budhe dan semacamnya kita menyebutnya. Itu adalah konsekuensi. Anak” dari sodara/i orangtua kita sebut sepupu. Ayah dan ibu dari mereka, kita sebut nenek dan kakek. Sodara kandung yang lebih dulu dan setelah kita lahir, kita sebut sebagai kakak dan adik. Itu semuanya konsekuensi takdir Tuhan. Jika mereka adalah keluarga, kita tak bisa memilih siapa keluarga kita. Ada yang kita suka dan ada yang kita tidak suka. Tapi kita tak bisa membuangnya, karena konsekuensi tadi.
Bagaimana malammu..?
Nah, di sinilah teman hadir untuk pilihan. Seperti yang saya sebutkan di atas, kita memilih teman untuk ikut meramaikan kehidupan kita. Fungsinya hampir mirip dengan keluarga utama kita. Menjadi teman sharing, curhat, berkeluh kesah, berbagi dan lainnya. Saat senang dan sedih, tentu keluarga utama adalah sasaran untuk berbagi. Saat jauh, bisa kita lakukan lewat ponsel dan layanan komunikasi lainnya. Tapi saat kita butuh sosok secara fisik, teman hadir memberikan harapan itu walaupun kadarnya tak sekuat keluarga utama. Karena itu, teman adalah keluarga yang kita pilih. Dan aku selalu rindu barada di tengah kehangatan my family and my chosen family.
Bagaimana malammu..?
Mungkin Kau masih sibuk dengan dunia barumu. Dunia organisasi dengan jabatan sangat urgent di dalamnya. Mungkin juga Kau masih meragu dengan dunia lalumu, dunia dua tahun lalu. Atau mungkin Kau masih mencari alasan untuk tak menyambut pesan” itu. Apapun yang sedang Kau lakukan, semoga harimu menyenangkan. Itu saja.
Selengkapnya...
Canggung
Kamarku masih dalam kegelapan. Cahaya hanya masuk melewati jendela kecil di sudut ruangan tempatku tidur ini. Gorden yang menutupinya masih rapi menahan serbuan cahaya dari luar. Samar” aku mendengar suara adzan berkumandang di langit Surabaya. Sepertinya sudah saatnya Ashar. Padahal baru saja aku selesai meeting dan ingin sekali istirahat, karena tengah malam nanti aku harus kembali duduk di kantor melakoni rutinitas kerja yang belum bisa aku abaikan.
Rutinitas ini juga ternyata yang membuatku harus menahan langkah kakiku untuk pergi ke acara pernikahan seorang teman, sahabat dan sodara kemaren di Malang. Entahlah, aku sangat kecewa tidak bisa menghadiri acara besar itu. Padahal tak hanya menjabat tangannya dengan hangat, tapi kekecewaanku juga pada tak bisa berkumpul dengan sodara” lainnya yang ikut hadir meramaikan. Bayu, maaf.
Sore ini aku masih bergelut dengan huruf” untuk menggambarkan rinduku padamu. Seorang perempuan. Seseorang yang tampak mempesona dan hampir menyita semua kebekuan tengah malamku hampir setahun ini. Sempat aku mendengar suaramu dari kejauhan kemaren. Suara yang tak bisa menuntaskan kerinduan sebenarnya. Tapi bersyukurlah beberapa teks pesan masuk menyesaki inbox hapeku darimu.
Melihatmu benar” tak pernah mudah. Apalagi jika harus menatap wajah dan mata tajam penuh keangkuhan itu. Mata yang penuh amarah dan membuat anggunmu memuncak. Mungkin saat itu semua orang akan terpana melihat betapa sosokmu sangat mudah dikagumi. Kau hanya tak menyadarinya. Walaupun aku yakin merelakan, tapi tak sedikit kecemburuan ini menggugah raga untuk terus menyapamu dengan salam.
Lihat saja nanti, Kau harus melihatnya sendiri. Lihatlah betapa dirimu terlalu takut untuk menyadari bahwa Kau butuh cerita cinta. Lihatlah juga bahwa tangan ini selalu bergetar untuk dapat mengusir dingin yang membungkus tanganmu.
Jangan Kau tanyakan kenapa sapa dan tanganku tak pernah menyentuh aroma indah sosokmu. Taukah betapa canggungnya tingkahku..? Karena saat aku sengaja atau tidak menatapmu, Kau beri aku lagi senyuman mautmu. Aku hanya melihatmu, melihat punggung dan kerudung merahmu dari atas. Kau masih sama cantik seperti dulu ternyata. Masih tetap manis, anggun dan smart. Sekalipun tak pernah Kau sadari bahkan menyangkal setiap tuduhan itu.
Kau hanya cukup terima semua tudingan itu tersemat padamu. Aku juga tak akan memaksa semua rindu ini terbentang hanya untuk mengarahkan semua senyummu padaku. Aku tak peduli pada perasaanmu, karena itu tak akan mengubah canggungku padamu. Maka, aku akhiri saja tulisan ini.
Selengkapnya...
Kabut Rindu Malam Hari..
Sampai saat inipun aku tak tau bagaimana rindu tetap menggila padamu. Bahkan aku sudah tau jawaban dari semua pernyataan yang smepat aku lontarkan padamu. Aku juga tau makna dari setiap pertemuan senyum kita yang beradu saat matamu memaksa mataku menahan cahaya itu. Aku tau ada tembok yang tak bisa Kau lewati untuk tersenyum langsung padaku. Aku tau ada dinding yang begitu tebal yang tak mungkin Kau langkahi. Aku tau ada ruang kosong yang tak ingin Kau tempati sementara ini. Dan tentu aku menghormati itu, karena aku menyukaimu untuk tidak memiliki.
Bagaimana jika semuanya terhenti.
Aku tidak ingin menempatkan tanda tanya di belakang kalimat di atas. Karena aku tidak ingin bertanya dan karena aku tidak ingin ada jawaban darimu. Entah itu menyenangkan ataupun melelahkan, tapi itu hanya akan memperlebar luas rinduku padamu. Kau mungkin tak pernah merasakan rindu segila ini. Rindu bukan pada kekasih hati. Rindu hanya karena senyum yang manis, sikap yang anggun dan tutur yang smart. Itu Kau. Yeah, itu Kau. Bahkan aku tak ingin menjelaskannya padamu.
Kadang aku harus mengusir kabut. Menghantam semua sesal karena kalut. Menenangkan resah yang sudah semakin ribut. Aku hanya bisa sedikit fokus pada dinding yang dipenuhi semut. Saat menemukan setitik gula, mereka berebut. Berpikir hanya bisa diam dan takut. Tak pernah terpikir untuk dihibur sekalipun oleh badut. Itu semua tentang Kamu yang menatapku dengan lembut.
Kau pikir aku benar” sendu. Menahan letih panjang karena syahdu. Itu saat aku menyebut dan mengingat tak sengaja namamu. Nama yang tak pernah henti menghantam biru. Menghitamkan semua gelisah tanpa tersipu. Mungkin dalam hatimu menyimpan haru. Tapi wajah dan senyum itu berhasil menipu. Tapi tidak bagiku. Kau adalah perempuan yang tak mudah berbicara tapi tak lugu. Walau kadang Kau berusaha lucu. Aku memang tak tau semua tentangmu. Tapi aku berusaha memahami setiap senyummu yang palsu. Kamu dan semua tentangmu yang selalu aku rindu.
Bisakah aku mengimbangimu. Bisakah aku menaklukan hidupmu. Sudahilah tinggimu dan sisakan hidupmu denganku.
Selengkapnya...
Sedikit Tentang Maudy dan Selamat Ulang Tahun Buatmu..
Sudah lama sekali aku tak menikmati karya sastra dari seorang teman. Terakhir kali saat masih SMA. Saat itu aku dikelilingi banyak sekali teman yang hobi menulis sastra bahkan berkompetisi. Namun di bangku kuliah, hal itu tak aku dapatkan. Seorang teman yang juga penikmat sastra malah enggan untuk menuliskannya. Seorang teman lagi hanya ingin tulisannya tak dinikmati orang lain karena hanya sebuah prosa pendek yang malu untuk dipublikasikan.
Entah kenapa aku begitu antusias untuk membaca karya sastra seorang teman. Mungkin saja karena usia yang sebaya akhirnya perbincangan tema yang akan aku nikmati lebih mengena. Jadinya, karya sastra yang aku baca tiap minggu adalah milik A.S. Laksana, Ki Slamet, Sudjiwo Tedjo, Mulia serta Goenawan Muhammad tiap bulan. Kadang sesekali baca sastra milik Pram dan Dewi Lestari atau Pak Guru Sumardianta. Walaupun sebenarnya lebih berbobot, tapi sharing bersama mereka jauh lebih minim. Akhirnya kehausan untuk membaca karya sastra milik seorang teman meninggi.
Beberapa kali aku pernah memaksakan menulis pada pacarku dulu yang sekarang sudah jadi mantan. Dia juga penikmat sastra dan hobi menuliskannya. Tapi setelah menjalani hubungan denganku aku tak pernah melihatnya menulis. Kamudian, dua tahun lalu pernah aku bertemu seorang adik kelas perempuan yang juga adik semasa SMA dulu mantanku. Dia penikmat sastra dan juga hobi menuliskannya. Tapi aku hanya membaca tiga tulisannya saja karena akhirnya dia sibuk dengan kegiatan ekstra kampus yang begitu banyak bahkan membuat dia tak jarang keluar kota dan luar negeri.
Kemudian dua bulan lalu ada seorang adik kelas perempuan yang mengungkapkan kekagumannya pada tulisan”ku di blog dan tiba” minta diajarin menulis. Bahkan dia meminta tulisan”ku yang lain yang tak aku sertakan di blog. Akhirnya aku memberikan sebuah syarat jika ingin membaca tulisan”ku lainnya, dia harus mengirimkan tulisan orisinilnya padaku. Walaupun tidak hobi menulis apalagi karya sastra, tetapi dia sanggup membuat dua tulisan dalam dua hari hanya untuk membuatku percaya. Gila. Keinginan dan antusiasnya sangat tinggi. Selain manis, anggun dan smart, tulisan sastranya sangat lumayan bagi seorang pemula. Sehingga aku menyukainya hingga sekarang. Tapi sayang sekarang dia selalu berkutat dengan tugas” kuliahnya yang mendekati UAS sehingga tak ada lagi tulisan yang bisa aku baca darinya. Dan aku harus memakluminya.
Di saat seperti itu, beberapa hari yang lalu aku menemukan teman yang hobi menulis. Dia adik kelas. Seorang perempuan yang sudah menginjak semester akhir kuliah. Dia tidak bisa dibilang penikmat sastra, tapi dia mulai menyukai karya sastra. Sehingga tulisan”nya saat ini terpengaruhi oleh urat sastra. Dan jadilah aku rajin memeriksa blognya setiap saat. Makin hari tulisannya begitu menggugah. Kadang dengan ending yang mengagetkan kadangpula dengan ending yang menggantung membuat rasa penasaranku semakin membuncah untuk segera menikmati tulisan selanjutnya.
Tulisan ini sebenarnya adalah tanggapan dari permintaannya untuk dinilai. Aku tak memiliki kredibilitas untuk menilai tulisannya. Tapi karena memaksa, akhirnya aku menulis ini untuk dia baca. Sebenarnya aku ingin bertemu langsung atau setidaknya mengirimi pesan padanya. Tapi dengan waktu dan ruang yang tak begitu banyak, aku memilih menuliskannya di sini aja. Oke, mulai.
Pertama, mengolah. Aku tak tau di mana Kau mendapatkan inspirasi. Tapi hampir semua penulis menemukan sebuah inspirasi dari pengalaman. Pengalaman yang dimaksud tak hanya penglaman pribadi, tapi juga bisa dari orang lain. Sepertinya Kau memiliki inspirasi tersebut dari keduanya. Namun, Kau butuh cara mengolah yang kreatif agar tulisanmu tak sama persis dengan pengalaman tadi. Kisah based on true story sekalipun tetap memiliki perbedaan dari kisah aslinya dengan proses mengolah yang kreatif tadi. Dan Kau, suka Dancow. Oh, maaf salah. Dan Kau, sudah melakukan yang benar. Pengalaman yang Kau rasakan atau yang Kau dengar dari teman, Kau tulis dengan cara mengolah yang asik untuk dituliskan.
Kedua, karakter. Setiap penulis awalnya meniru gaya idolanya menulis. Kadang walaupun bukan idolanya, tapi karena kekaguman pada sebuah tulisan seseorang akhirnya ide itu muncul untuk dilakukan atau ditiru. Aku dulu juga demikian. Hingga menurut Pak Guru J. Sumardianta dan Hernowo dalam balasan emailnya serta beberapa teman yang membaca tulisan”ku di blog dan artikel, akhirnya tulisanku sudah memiliki karakter. Hal ini yang belum aku lihat pada tulisanmu. Memang membutuhkan moment atau kadang waktu yang tidak sebentar untuk memperoleh karakter itu. Sehingga nantinya gaya dan style tulisanmu sudah terlihat pembaca hanya dari judul. Aku menebak, tulisan ‘JARAK’ adalah adaptasi atau terinspirasi dari ‘SPASI’ yang Kau baca saat aku tunjukkan buku Dee. Itu tak jadi masalah. Karena kadang dari imitasi, kita akan memiliki karakter tulisan itu.
Ketiga, SELAMAT ULANG TAHUN.
Selengkapnya...
Siang Ini..
Pagi ini tak lagi menghangatkan Milo yang aku seduh. Mendekam atap kamarku yang hanya berisi lemari dan kasur. Atau hanya sekedar menyapa hujan di luar jendela. Pagi ini terasa hambar akibat gemuruh emosi semalam. Emosi yang harusnya tak aku terima saat aku lebih tegang menyaksikan Indonesia sama agresifnya menyerang pertahanan Belanda. Emosi yang menhentikan gelak tawaku sesaat dan kembali menghanyutkan diri di depan layar sialan yang membuat mataku kurang tajam dan iritasi.
Komposisi lagu Dark Paradise dari Lana Del Rey masih mengalun lembut mengitari setiap denyut sel di otakku saat tulisan ini diketik. Pagiku tak selalu dihantam dengan kabar baik. Menyergap kesunyian dan hanya menyisakan kepasrahan untuk tetap menjalankan atifitas seadanya. Namun kadang menelan semua senyum dan mengecilkan kicauan burung yang menyeka hening di sela-sela jendela kamarku.
Hawa panas Surabaya sedikit aku rasakan saat jarum kecil jam dinding di kamarku menunjukkan angka 11. Aku tak ingin lekas bergegas mendera kebusukan udara yang aku hirup di luar sana. Aku masih ingin merasakan nikmatnya alunan New Perspective-nya Panic! at The Disco yang meramaikan komposisi setelahnya dari Mika; Relax, Take It Easy. Menyendiri karena malam yang menghimpit kesadaran dan mengunci setiap neuron di satu titik bukan gayaku. Tapi himpitan itu berlanjut dan dengan buas menyempitkan spasi siang serta membuang beberapa helai kerlingan mata yang biasa aku terima.
Bahkan adzan Dhuhur pun serasa enggan masuk dan menjejali kamarku. Sungguh sial. Aku tak bisa lagi menuliskan apa yang ada di kepalaku saat ini. Semuanya terasa remuk hanya karena beberapa pesan panjang semalam yang menyesaki inbox hape dan kepalaku. Itu benar” mengganggu. Semacam shock therapy yang sangat kejam. Membuat aku dan tubuhku linglung untuk sesaat. Membuat 2 mesin pendingin yang menempel di dinding kantor serasa tak bekerja. Keringat, perlahan aku rasakan membasahi kulit kepalaku dengan sedikit hembusan angin.
Entahlah. Aku tak lagi ingin mengingatnya. Rasanya gatal dan merobek kejelian yang aku miliki. Keangkuhanku mengecil sehingga tanganku tak lagi bisa bekerja. Sial. Padahal aku percaya Tuhan meletakkan semua daya otakku di anggota tubuh ini. Saat” seperti ini aku ingin wajahmu hadir menhentikan kerisauan.
Selengkapnya...