(Ingin) Hilang..
Sebenarnya, dulu jika namamu tertuang di sini, artinya aku sedang tak sanggup lagi menahan obrolan tentangmu di luar sana. Lalu aku merindukanmu dengan caraku. Mendeskripsikan semua lentik lembut tentangmu dan memindahkan teduh matamu dalam prosa. Hahahaa, bagaimana bisa aku selemah itu. Padahal aku sangat tidak ingin berurusan dengan kaummu. Menyebalkan dan hanya menghambat gerak motorikku. Lalu aku hanya bisa terbata” dengan tubuh terbujur kaku.
Sebenarnya malam ini aku ingin segera beranjak dari kursi dan memenuhi panggilan teman yang sedari tadi berdiri di depan kamar, memaksaku kembali menyeruput kopi dengan obrolan panjang. Dia menatap apa yang sedang aku lakukan dengan sinis. Karena teman” lain yang menunggu kedatangan kami berdua sudah tidak sabar tertawa bersama. Kata mereka, akhir” ini aku adalah orang yang paling susah diajak keluar. Menurut mereka, menjelang dan selama Ramadhan, harusnya kerjaanku tidak seberat hari” biasanya. Naïf, aku malah terjebak di sini tak hanya karena meja kantor, tapi deadline tulisan lain yang setiap hari selalu ada.
Angin malam masih mengitari seisi kamarku tanpa malu. Berpura tak melihatku yang sedang duduk membisu. Bahkan senyumku tak mengembang saat temanku berkali-kali mengalihkan perhatianku dengan melucu. Aku hanya ingin menuliskan semua kesah yang tak ingin aku simpan lagi dalam syahdu. Walaupun aku tak lagi merasakan ada ritme yang biasanya dalam tulisan ini. Seperti yang aku katakan, prosa ini tertuang begitu saja, tak memiliki irama, dengan bahasa sederhana, tanpa metafora dan juga tanpa nama.
Angin malam juga tak berhenti berhembus masuk dari celah jendela kamar saat sebuah pesan masuk dari adikku. Dia hanya menjawab pertanyaan tentang kabarnya dan semua orang di rumah. Aku hanya terdiam memandangi hape dan kembali meletakkannya di atas tumpukan buku yang memenuhi kasur. Aku bahkan tak tau harus membalas apa padanya. Aku sedang bosan dan hanya ingin menulis walaupun sudah tau hasilnya akan kacau. Baiknya, aku masih memiliki keinginan untuk kembali mengisi blog ini. Aku ingin sekali tak lagi terlibat pertikaian antara hati dan pikiranku tentangmu. Tepatnya, aku seperti ingin mengumpulkan semua cerita tentangmu dan meletakkannya di suatu tempat. Tak aku buang, tapi aku simpan untuk aku ingat kembali. Meskipun, aku tak berharap mencarinya lagi.
Angin malam ternyata tak datang sendiri. Dia mengajak keresahan bersamanya pergi. Mengepung tiap sudut bawah kamar dan membuat kakiku kedinginan lagi dan lagi. Seolah, dia ingin mengingatkanku pada jawaban ayah saat aku bertanya tentang tingkat kebosanan pada rutinitas. ‘Bosan..? Tidak, ayah tidak takut bosan. Jika Kau merasa bosan, berarti batinmu kurang terhibur’, sambil tersenyum dia meninggalkan tempatku duduk dengan membelakangi. Sial, ayah selalu berhasil menyadarkanku akan sesuatu. Karenanya, aku selalu mencari kepuasan batin dengan tertawa. Sejauh ini, semua temanku gila. Jika tidak, aku yang akan menularkan kegilaan itu.
Sial, angin malam benar” tak berhenti menyesaki kamar ini. Padahal masih banyak kerisauan yang ingin aku tuliskan kali ini. Tentang penegasan bahwa aku akan mengacuhkan sekuat mungkin untuk merindumu. Tentang kotak coklat yang ingin aku benamkan bersama namamu. Tentang skema yang sangat berisiko untuk kembali mengulang luka karena menghampirimu. Hahahahaa.. Jika Tuhan memiliki alasan untuk mempertemukan kita, Tuhan juga akan memisahkan kita saat alasan itu sudah hilang. Akhirnya, aku sadar apa yang sudah aku lihat dan aku lakukan, membuatku menjadi seperti sekarang. Aku tidak bisa melepaskannya dan pulang. Trims..
Selengkapnya...
Dua Lima, Perjalanan yang Dipertaruhkan
Perjalananku sudah memasuki babak baru. Hitungan masa yang aku punya, sudah semakin berkurang tanpa aku mau. Usia yang bertambah diam” membatasi gerak tanpa malu. Tapi selama aku memiliki tempat kembali, aku akan menemukan dan membuka pintu.
Perjalanan kali ini sudah memasuki tahap serius. Aku tidak ingin mengacuhkannya terus. Sudah lama aku menyembunyikan angin malam, berharap menawan sejuknya saat pagi datang. Kali ini, aku ingin mempertaruhkan semua mimpi yang pernah aku punya. Aku ingin memiliki resolusi. Hahahaa, resolusi. Hal yang tak pernah aku kerjakan, malah mendapatkan hal bermanfaat lainnya tanpa aku inginkan. Resolusi juga yang membuatku membuka mata untuk tak kembali tersakiti. Membuka hati untuk kembali dikecewakan. Kemudian memilih menutupnya tanpa memiliki cukup dalih.
Seperti adventure games, perjalananku penuh dengan pilihan. Menjadi baik, atau seketika jahat. Lalu bertaruh dengan pilihan tersebut hingga semua level game berhasil dilewati. Berkali-kali aku pernah melakukannya dulu. Tapi berkali-kali pula usahaku tak pernah berujung dengan ekspektasi yang aku inginkan. Wajar saja, aku percaya bahwa tidak semua usaha manusia bisa berhasil. Mungkin Tuhan memberinya kesempatan lebih baik untuk mencoba. Atau Tuhan sedang mempersiapkan hal lain yang jauh lebih keren dari keinginan semu yang didamba.
Saat itu, di tengah malam dengan awan berarak, seseorang pernah mengingatkanku bahwa niat adalah penentu jalan cerita dalam sebuah perjalanan. Aku percaya. Aku tau dan aku masih memegang teguhnya. Tapi kali ini aku ingin melibatkan beberapa nama dalam perjalananku. Tidak secara fisik, tapi manifestasi dari motivasi. Seperti kataku di awal, aku mempertaruhkan semua mimpiku untuk itu. Untuk nama2 yang aku letakkan di ujung impuls syaraf dalam nadi. Untuk nama2 yang wajahnya aku lihat tiap pagi. Untuk nama2 yang rupa serta senyumnya aku simpan dalam galeri. Untuk nama2 yang tak ingin lagi aku acuhkan, karena dengan mereka sekarang aku ingin berbagi.
Saat itu pula, angin malam datang menggodaku keluar kamar untuk secangkir kopi pahit menemani menceritakan sebagian perjalananku. Meskipun sendiri, menyeruput hitamnya menjadi hal paling nikmat saat malam hampir berlalu. Karenanya, seolah aku berada di rumah, rumah yang sesungguhnya. Karenanya, seolah ada ayah dan Kak Aziz serta Kak Hakim duduk bersila di sebelahku. Lalu disusul tawa Zein yang sedang dikejar Zainal dengan omelan yang terbentur dengan belaan Ibu. Hahahahhaaa.. Jika ada perjalanan yang ingin aku pilih, aku memilih berjalan di samping mereka, selamanya. Tapi Tuhan sudah memberiku pena lain untuk menuliskan perjalananku sendiri. Sekali lagi, aku masih ingat saat ayah berkata padaku ‘Nak, semua orang memiliki perjalanan. Jalani saja kisahmu, dan ayah juga akan mejalani kisah ayah. Beda, tapi semoga tujuan kita sama’.
Hmmm, aku tak tau apa yang pernah membuat keluargaku bangga atas perjalanan dua lima ku. Aku juga tak pernah berharap tau, apa saja yang membuat mereka bangga dengan semua masa yang aku lewati. Tahun ini, aku hanya ingin mempertaruhkan semua mimpiku. Tidak dengan mencampur emosi dan tanpa menepikan ketakutan akan mati.
Selengkapnya...
Menjadi Sendiri yang Kau Rindukan..
Tidak ada yang benar” diciptakan sendirian di kehidupan yang semakin busuk ini. Menjadi sendiri adalah pilihan semu untuk menepikan kehadiran sunyi. Terpaksa sendiri bisa jadi konsekuensi keinginan menyiksa yang tak selalu berarti. Pada akhirnya, kita salah kaprah memaknai 'jauh dari hingar bingar' menjadi kesendirian yang lebih sakit dari mati. Padahal, selalu ada alasan untuk mengembangkan senyum bersama kebodohan. Menertawakannya lebih keras di jalanan dengan teman. Menduakan kesombongan untuk menghilangkan beban. Lalu kembali bergerak untuk tau Kau masih hidup dengan kesialan.
Sore ini, di kamar ini, aku masih percaya bahwa bertambahnya usia bukanlah hal yang harus ditakutkan. Aku sudah melakukan semua keinginan yang aku manjakan selama hampir dua tahun belakangan. Aku tak perlu lagi sembunyi dari perasaan” yang membekukan. Hal” yang tak ingin aku simpan sendiri tapi akhirnya ketahuan. Hal” cengeng yang aku tepikan tanpa harus tau kapan akan muncul kemudian. Hal” yang aku rindukan saat menata senja bersamamu atau menginjak sepatu yang tak bisa Kau bersihkan. Hal” gila yang aku lakukan bersama teman” kampret di kota sebelah seminggu lalu.
Sore ini, seminggu lalu, aku masih ingat duduk di mobil penuh isak tangis yang tertahan. Sopir-nya sesekali sok asyik bertanya padaku tentang lagu apa yang harus dia nyalakan. Mengalihkan penglihatanku yang tertuju pada mata-nya yang sembab karena air yang berjatuhan. Mencoba mengganggu pendengaranku dari sengguk tangisan. Pria di sampingnya sama saja. Banyak tisu yang dia habiskan hanya untuk menyeka air mata. Sesekali dia alihkan pandangan ke luar, meskipun dia tau itu tak ada hasilnya. Si kampret di belakang juga sama saja. Tereak” rame agar kami yang di mobil tak melihat matanya yang merah bukan karena debu jalanan kota.
Entah kenapa mobil ini begitu hening sejak meninggalkan bandara Abdurahman Shaleh Malang. Padahal lagu” terputar tak hanya dengan irama sedih, tapi juga riang. Perjalanan ke kota begitu cepat untuk pulang. Padahal seisi mobil; Acung, Shandy, Dimas, Nawaf dan Ajis tak memiliki masalah dengan polisi yang mengharuskan kami berperang. Kami hanya baru saja mengantarkan seseorang. Teman paling kampret yang sudah menyelesaikan studinya dan berencana kembali ke rumahnya di Lampung, hari itu saat siang.
Nama si kampret ini adalah Soemarno, oh sori, namanya Fadhil. Udah ganti ternyata. Bagaimana kabar Ente..? Semoga selalu ada waktu untuk menghubungi teman”mu yang menemanimu selama 5 tahun ini. Ente bukan sahabat terbaik mungkin bagi meraka, tapi tetap saja Ente meninggalkan banyak jejak tawa bersama yang tak terlupakan dengan mereka. Bagiku pun, Ente hanya seorang teman yang usianya sama, tapi sok”an muda dengan panggil ‘Abang’ karena beda angkatan kuliah. Tapi tetap saja kita memiliki banyak pertemuan yang selalu diakhiri dengan genggaman tangan.
Sudah seringkali aku mengantarkan teman meninggalkan Malang untuk kembali ke habitat asalnya. Mereka yang meninggalkan seringkali adalah teman perjuangan yang tak hanya bercakap sekali dua kali. Tapi teman yang aku anggap saudara. Seseorang pernah dengan lantang berkata kita berteman lebih dari sekedar saudara. Aku sih mengiyakan, karena bagiku teman adalah keluarga yang kita pilih. Sama sepertimu, atau Acung, Shandy, Nawaf, Dimas dan Ajis mengganggapmu. Mengantarkan teman”ku ke stasiun atau bandara selalu berakhir dengan senyum dan pelukan yang menenangkan. Tapi mengantarmu kemarin, sial, begitu emosi dan sentimentil.
Bagaimana Kau menjawab pertanyaan Shandy di mobil seminggu lalu. Dia bertanya ‘Siapa yang bakal ganggu rumahku lagi, Mas Kid..?’. Kau kira gampang menjawab pertanyaan sepele ini..? Bahkan aku pun hanya tersenyum ke arahnya lalu pura” ngobrol dengan Acung. Tapi aku pun diam saat Acung bertanya ‘Lagu apa yang pas buat kita saat ini, Mas Kid..?’. Kampret kan Dhil..?!
Dimas hanya terdiam di tempat duduknya, tepat di tengah antara aku dan Nawaf. Tapi Ajis, dia berkata padaku ‘Mas Kid, ayok nyanyi. Ayok dong’, saat lagu Ebiet G Ade terputar. Hahahahaa.. Kau kira gampang menanggapi semua obrolan itu Dhil..? Bahkan tulisan ini saja baru tercipta seminggu setelahnya. Dan aku harus menghabiskan dua cangkir kopi dalam 35 menit saat tulisan ini diketik.
Aku masih ingat, aku orang terakhir yang Kau peluk saat langkah kakimu akan memasuki ruang tunggu Abdurahman Shaleh. Kau berbisik ke telingaku, ‘Jaga mereka, Mas Kid’ dan langsung membalikkan badan tanpa melihatku lagi. Kami pun langsung melakukan hal yang sama. Kami langsung memalingkan muka dan tubuh menuju parkiran. Acung merangkulku hingga sampai di pintu mobil sambil ngobrol dengan terbata”. Aku lihat matanya berkaca”, dan berpura melihat ke langit saat aku berusaha melihatnya. Hahahahaa.. Benar” manusia kampret yang bikin Acung sampe kayak gini. Padahal malam sebelumnya, Acung adalah orang paling riang di antara kita saat dia memetik gitar untuk kita, untukku, untukmu dengan memainkan nada” Sheila On 7. Rumah Shandy malam itu benar” riang tanpa sedih seperti siang itu. Shandy bahkan menuntaskan tiga ronde yang Kau pilihkan untuk kami, karena biasanya dia enggan.
Mungkin daritadi Kau kesal karena hanya cerita mereka yang aku tulis. Ke mana kesedihanku dan Nawaf..? Dulu, ayahku pernah bilang padaku bahwa pria bukan robot yang tak memiliki hati atau tembok yang tak bisa mendengar. Pria tetaplah manusia yang memiliki jiwa dan di dalamnya ada nurani. Tapi saat sedih, Kau tak harus menangis menitikkan air mata. Mungkin Nawaf sama saja. Kami bukan tak sedih, tapi kami memilih tempat untuk mengungkapkannya.
Seperti kataku di awal, tak ada yang benar” diciptakan sendirian. Kami pun di sini juga memahami itu. Rumah Shandy tetap ramai meskipun tanpa gelak tawamu. Permainan gitar Acung tetap menawan meski tanpa hadirmu. Riang senyum Ajis akan tetap merekah meski bukan karena candamu. Sayup mata Dimas akan tetap menyala meski tak melihatmu. Nawaf dan aku akan tetap menjalani rutinitas biasa meski saat kami menghubungi tak bisa langsung Kau penuhi. Kami di sini masih akan tetap sama. Hanya saja, sekarang akan agak berbeda sedikit ditambah jarak di antara kita. Tapi di jaman yang semakin kampret ini, Kau masih bisa mendengarkan suara kami dengan sangat mudah lewat semua aplikasi di iPhone-mu.
Kita tidak bisa memilih takdir kita. Tapi kita tetap melakukan kewajiban kita, besar atau kecil. Hanya jalan yang bisa Kau pilih, tidak disertai hasil. Hanya kekuatan yang bisa Kau pilih, tanpa jumlahnya. Jika Kau memilih menjadi singa, jadilah. Tapi Kau tidak bisa meminta seberapa kekuatannya. Meski begitu, singa tetaplah singa. Kau tak perlu menjelaskan seberapa tangguh dan buas seekor singa.
Semua yang ada di Malang sekarang adalah masa lalumu. Masa” kita menendang kebekuan komunikasi karena perselisihan. Masa” kaget dengan pisuhan karena tiba” ditunjuk untuk berbicara di depan teman” lainnya. Masa” menunggu dengan memaki karena jemputan untuk hang out tak kunjung datang. Masa” menguasai jalanan karena mobilmu harus masuk bengkel di saat tidak tepat. Masa” jongkok karena kekalahan main ceki dengan angka ratusan. Masa” jackpot saat oleng saja tak cukup menahan kuat aroma rum. Masa" menghabiskan menuntaskan perlawanan dingin malam dengan panasnya secangkir kopi dan hangat kebersamaan. Semua adalah masa lalu, ya, masa lalumu. Dan tidak ada yang mampu memaniskan masa lalu, kalau bukan kematian yang semakin dekat. Lalu, bermanfaatlah di sana. Seperti Kau bermanfaat bagi kami di sini.
Selengkapnya...
Siang Ini..
Siang seringkali membuat jenuh. Meskipun aku di dalam kamar kecil ini, ragaku kadang berpeluh. Memantau dan membaca semua informasi yang dua jam jumlahnya bisa lebih dari sepuluh. Bukan karena lelah membaca, tapi ada kekhawatiran polemik yang muncul setelahnya hingga membuat otak kumuh. Bahkan tak jarang membuat indera terlihat lusuh dan mengalihkan fokus melihatmu dengan utuh.
Siang ini kembali nafasku terengah” beranjak dari kasur. Aku kembali melihatmu di sana. Di dunia lain yang Kau sebut mimpi. Dunia yang tak bisa aku sentuh hanya dengan mangandalkan fisik. Butuh kehangatan jiwa dan naluri untuk menjumpaimu di sana. Tapi tadi, hal itu terjadi lagi. Kenapa Kau selalu muncul jika ingin mengabaikan..? Aku cukup tau diri saat Kau memberikan tanda untuk menjauh. Menjauh dari manusia sok keren yang siang ini duduk di depan netbooknya dengan secangkir kopi dan alpokat+susu di samping. Bahkan hanya menyapamu saja aku tak sanggup. Mungkin juga khawatir. Lalu takut membuat harimu tidak menyenangkan dengan kehadiran manusia tak layak ini.
Siang ini mungkin saja adalah kausalitas dari hari kemarin. Saat aku melihat kembali senyummu, dengan renyah meski tidak mengembang. Ada gurat luka di sana, tapi aku tau Kau mencoba menyembunyikannya. Kau tau, hanya dengan melihat senyum kecil itu saja, aku tak berhenti mendekap senang seharian. Bahkan aku lupa semua kejadian menyusahkan kemarin siang. Memori otakku terus menumbuhkan visual senyummu. Entah bagaimana cara kerjanya, sepertinya aku harus tau mekanismenya.
Siang ini aku berpikir bahwa semuanya sudah semakin runyam. Aku pun tak berani melakukan apa”. Karena mungkin terlalu lancang mencampuri semua kisah hidupmu. Meskipun, sampai detik ini, Kau mempengaruhi semua panca indera dan aktifitasku. Jangan tanya kenapa. Aku juga tidak tau, suer.
Siang ini jadi bukti bahwa mencintai tidak selalu menyenangkan. Bisa jadi menyedihkan. Memiliki rasa sendiri, tanpa tau bagaimana mengartikan. Aku yang sudah lama memendam, bahkan sulit untuk sekedar mendeskripsikan. Naïf, mungkin tepat diucapkan. Aku tidak ingin belajar melupakan. Biarlah begini, menyiksa tapi nyaman. Bahwa ada seseorang yang hanya dengan mengingat namamu saja, sudah sangat menenangkan. Jangankan perlahan masuk ke duniamu, melihat senyummu saja, sudah sangat menyenangkan. Seperti dalam wujudmu, ada Tuhan. Hemmm, kasian. Buahahahaa.. Beginilah polemik yang lebih dahsyat dari KPK-Polri dan KONI-KOI yang terlibat perseteruan.
Siang ini hampir berujung pada satu pertanyaan tanpa henti. Tapi aku enggan bertanya karena itu hanya kumpulan kata tak pasti. Aku payah dalam hal beginian, implementasi soal hati. Kepalaku suka nyaring, mana hal yang harus diingat dan mana yang tidak. Nama dan wajahmu juga tidak pernah di kepala, tapi keduanya tersimpan rapi di dada sebelah kiri. Kadang marah mengetahui bahwa semakin sedikit katarsis untuk bercerita tentangmu yang aku miliki. Hanya untuk menulis namamu saja, aku harus mengambil pena dengan banyak konsekoensi. Bukan tidak ingin dunia tau, tapi aku benci terlihat menyedihkan seperti ini. Ironisnya, tulisan ini ada di blog; dan semua orang bisa baca dan mengomentari.
Siang ini rasanya ada yang menepuk pundakku dan berkata; Well, who cares.. After all coffee is one true love..
Selengkapnya...
Di Manapun Kau..
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Petang tak selalu menakutkan seperti kata orang. Menenggelamkan cahaya dengan membenamkan terang. Menghadirkan gelap dan mengusik senja tanpa bilang. Lalu memberikan malam dan menghiasinya dengan bintang. Bukankah semua itu rutinitas hidup yang kadang terlewatkan..? Hadapi saja, karena Tuhan tidak akan mengubah praksis ini sampai takdir mengizinkan kiamat tiba. Sama seperti kisah ini, tidak akan berubah, sampai aku membawanya padaNya.
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Lalu aku menyapamu, selamat petang, Kaa.. Tetaplah semangat seperti biasa. Meskipun aku tidak tau apa kabarmu saat senja. Meskipun aku tidak diizinkan lagi untuk menerima balasan pesan yang aku tujukan padamu di sana. Meskipun sampai saat ini aku tidak tau apa yang membuat semua ini terjadi. Aku bisa saja menemukanmu. Mudah saja bagiku. Tapi aku tak yakin Kau akan suka caraku. Duniamu bukan dunia jurnalis. Duniamu memiliki prosedur yang harus aku patuhi. Dan duniamu tak bisa lagi aku masuki tanpa seizinmu. Meskipun di sini, aku mengharap Kau membukanya kembali.
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Tak usah pedulikan malam gelap tanpa sorotan cahaya alam. Manusia menciptakan lampu” kota agar menerangi langkah dan penglihatanmu. Selalu tersenyum dan tertawalah Kaa.. Mungkin aku tidak mendengar renyah senyum dan riang tawamu lagi. Tapi dengan membayangkannya saja, ada ribuan impuls dari syaraf otak menjalar ke setiap sudut yang aku pandangi. Mungkin saja tidak hanya padaku terjadi. Semua orang yang menyukaimu juga pasti mengalaminya. Terkagum-kagum oleh seorang dewi yang menjuluki dirinya sebagai bidadari. Dewi hanyalah bualan manusia untuk menemani cerita anak”. Tapi aku melihatnya kemarin, 21 jam dan tiga hari.
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Tentu saja boleh kan bertanya ‘apa kabar, Kaa..?’ Resikonya sama, tidak dijawab atau terlewat diacuhkan. Tapi dah aku mah apa atuh. Mungkin ada suara yang mengharuskanmu untuk melakukan itu. Tak apa. Sama seperti gelap malam. Semuanya hanya soal pilihan. Kau ingin mendekap gelap malam sendirian, keluar dari kamar dan menemani cahaya lampu kota dengan teman”mu atau menghadap ke langit di atas genteng rumah. Semua pilihan, dan setiap pilihan memiliki resiko. Dan di sini, aku memilih sakit merindukanmu. Aku memilih gila memikirkanmu. Sudah berlangsung lama, sejak aku tau apa nama rasa ini.
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Ceritakan hari”mu Kaa.. Adakah kesulitan yang memintamu untuk mengendurkan langkahmu..? Tapi aku ragukan itu. Tidak ada perihal yang menghalangi niatmu. Niat seorang perempuan kuat sepertimu. Niat tulus untuk sisi yang Kau pilih. Niat pemilik senyum yang dirindukan, mungkin tak hanya olehku. Adakah rinai hujan yang mengganggu jalanmu..? Jika iya, aku meminta Tuhan agar hujan itu teralihkan padaku saja. Beda denganmu, aku sangat mencintai hujan. Mungkin Kau juga, tapi Kau lebih membutuhkan jalanan kering saat Kau berangkat kerja. Atau adakah rasa sakit yang kembali mendera..? Semoga tidak. Siang malam aku berdoa agar Kau jauh darinya, pasti Tuhan mendengarnya.
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Hujan sudah menjemput malamku. Kita hidup di negeri yang sama, tapi mungkin malammu memiliki cuaca lebih baik. Semoga saja begitu. Semoga setiap harimu penuh gairah dan semangat yang tergandakan. Seperti hembus angin saat hujan semakin deras. Menerpa setiap senti wajahku dari balik jendela kamar dengan keras. Tapi tak sampai menghentikan jemariku menulis lirik ini padamu dengan bebas. Semuanya masih sama, sebotol kopi Nescafe Smoovlatte di samping kiri netbook dan bolpen di atas note di kanan.
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Komposisi Selamat Datang dari album baru Sheila On 7 masih mengalun penuh suka di hape. Aku menikmatinya, hingga aku tak sadar hanya komposisi itu yang terputar sejak petang tadi. Liriknya asik, sedikit berisik, tak membuat bayangmu terusik, hingga nanti menemaniku mengakhiri tulisan ini dengan titik.
Ini lagumu yang aku tuliskan untuk temani di manapun Kau..
Mungkin saat ini tawamu sedang mengembang bersama hati yang lain. Atau senyummu tersungging bersama rindu yang lain. Atau langkahmu tergerak bersama kaki yang lain. Atau mata indahmu berbalas pandang bersama kedip yang lain. Atau harimu teralihkan oleh raga yang lain. Apapun itu, tetaplah penuhi hari”mu dengan semangat yang riuh. Jangan mengeluh, jadilah tangguh seperti yang Kau impikan. Tuhan tak akan meninggalkanmu, atas yakinmu sejauh ini. Walaupun berpeluh, walaupun terlihat lusuh. Di manapun Kau berada, berbahagialah. Itu doa semua orang yang menyayangimu. Aku..? Tidak, aku mencintaimu..
Selengkapnya...
Maaf..
Hujan tidak berhenti turun sejak siang tadi. Bahkan tambah deras saat sore menjemput petang. Semua jendela yang aku pandangi, berbisik mengembun dan menghalangi pandangan. Guyurannya mereda saat aku kembali ke kamar. Ruangan tempatku membenci waktu. Membenci keadaan. Membenci malam” yang tak lagi sama.
Aku benci melewati malam seperti ini; bising di telinga, sepi dalam hati. Gemuruh namamu selalu berpacu tanpa suara. Aku tak bisa menghentikannya. Aku tak kuasa. Atau mungkin, aku tak ingin. Kondisi seperti ini membuatku semakin gila. Setiap hari, bahkan setiap detik. Sampai saat ini pun, aku masih berhutang maaf padamu. Jika pertemuan tak bisa mewakili, izinkan kata menghampiri.
Gerimis masih menyeka malam, menutupi jarak mata pada bulan yang temaram. Jika Kau sibak, mungkin ada beberapa bintang yang bertahan. Tapi tak akan purna, karena mendung juga tak kalah kuat menebal. Kau hanya harus yakin, mereka ada untuk Kau lihat. Semakin dekat. Semakin lekat, suatu saat tanpa hujan yang turun lebat.
Apa yang salah dari percakapan terakhir..? Mungkin kalimatnya terlau satir. Atau terungkap penuh dengan rasa getir. Tak akan aku bertanya pada langit yang akhir” ini mengantarkan banjir. Bahkan kamar ini terasa menghakimi semua kesalahan yang belum aku ketahui, meskipun seribu kali aku berpikir.
Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Sampai saat ini. Sampai detik ini. Sampai aku tak lagi bisa menuliskan sandi”. Aku hanya tidak ingin menyimpulkannya sendiri. Kemudian berjalan dalam kesalahan opini. Sudah berkali” aku berdiri. Lalu aku melihat ke arahmu kembali. Semua aku lakukan berulang kali. Dan tak ada jawaban yang aku temui.
Hai Kaa, apapun kesalahanku, aku mohon maaf. Kemudian hari”ku hanya merindukanmu. Dipertemukan atau tidak, itu urusan Tuhan-mu. Jika Kau menolak sapaan, mohon jangan Kau larang aku menemuimu dalam doa. Aku hanya ingin harimu bahagia, dan baik seperti biasa, seperti sedia kala. Seperti doaku yang aku panjatkan pada mereka, korban bencana alam Banjarnegara.
Hai Kaa, baik” ya di sana..
Selengkapnya...
Hadiah Terbaik..
Bagaimana membahasakan sore yang seru, di tengah badai haru, di dalam kubangan sendu, di dalam milyaran titik rindu. Bagaimana..? Bisakah Kau menjawab..? Aku tidak bisa menjawabnya. Aku butuh pertolongan untuk menjawab. Tapi mungkin tak akan Kau dengar pertanyaan ini.
Pagi ini aku terbangun dengan dua orang teman yang menyesaki kamar. Adam dan Mukrom datang sejak sore kemarin untuk melakukan survey di kota ini. Biasa, sampingan pengalaman untuk uang saku. Dulu aku juga sering terlibat, tapi sayang, hanya berlangsung singkat. Kedua kunyuk ini diberi waktu sampai Minggu, lalu mereka menggunakan kesempatan waktu yang dimiliki untuk menemuiku. Katanya sih kangen ngobrol. Ancrit.
Aku bergegas pulang usai meeting di kantor. Setelah ganti baju, aku menemui mereka di Circle K Indragiri. Mulai detik aku duduk di kursi meja mereka, obrolan kami tak terhenti oleh dingin Surabaya yang mulai berani merasuk. Kampret, ternyata sudah lama begini aku tak bersua dan ngobrol dengan dua orang ini.
Saling menyalahkan kemudian terjadi. Mereka menyalahkanku karena aku gak pernah ke Malang menemui mereka. Istilah sibuk, kerja mulu, serius mulu, menjadi andalan mereka untuk menyudutkanku. Aku membalasnya, kalian kampret, babi, kutu koreng, engsel pintu, ganjelan meja, tutup botol dan semua sumpah serapah nongol. Gak nyambung sih, tapi kami tertawa bersama. Sial, ini yang aku rindukan. Menyeka keruwetan di kantor dan membuka senyum yang hampir tiap hari tertahan.
Sore itu memunculkan semua kegilaan. Tertawa tanpa peduli bising jalan Indragiri dengan ratusan kendaraan yang melintas. Canda terbungkus rapi dalam kerinduan. Satu per satu dari kami menjadi objek untuk dihina, dimaki dan diolah menjadi bahan tertawa. Aku begitu menikmati kegilaan yang aku rindukan ini.
Tak ada yang menghentikan pecahnya tawa kami sore itu. Semua persoalan mulai kericuhan kasus korupsi yang baru” ini menjerat mantan Bupati Bangkalan hingga persolan negara, benua, planet, luar angkasa, semua kami bincangkan dan diubah menjadi canda. Salah seorang kemudian memperkenalkan film yang belum lama ini dia tonton dengan sangat antusias. Kebetulan kami bertiga sangat gila film. Bahkan satu diantaranya sudah pernah berguru secara langsung pada Riri Riza dan Mira Lesmana sepanjang November lalu di Makassar. Asem..!!
Sejenak, kami terlihat sangat dominan di tempat ini. Dari kejauhan, penghuni meja” lain menyaksikan kami dengan wajah kesal. Tapi ada juga meja lain yang dihuni empat perempuan dengan pakaian putih abu” melempar senyum ke arah kami. Wah, alay. Bahaya kalau mereka menghampiri meja kami. Akhirnya kami membelakangi mereka, dan kembali memenuhi ruang dengar CK dengan tawa. Tapi tiba” tawa kami terhenti.
Petang sudah menjemput sore dengan paksa saat tawa kami terhenti. Seseorang diantara kami dengan sengaja membahas persoalan asmara. Sepertinya, pembahasan satu ini sanggat berat sehingga kami menyembunyikan sementara tawa kami. Sial. Aku berusaha dikit demi sedikit mengalihkan pembahasan yang mulai ngaco ini. Untungnya, aku kompak dengan Adam, terus”an membahas persoalan asmara Mukrom yang tidak jelas bahkan abstrak. Persoalan asmaranya sama halnya dengan sosok Santa Clause yang fiktif.
Adzan Maghrib kemudian berkumandang keras seolah mengingatkan kami untuk segera beranjak dari meja ini. Aku kemudian teringat sabda Muhammad SAW suatu ketika, ‘banyak tertawa mematikan hati’. Dalam hati, terpikir apa yang membuatku sore ini sangat senang ya..? Buahahahaha.. Kemudian aku diam. Mereka lalu berterimakasih padaku.
‘Kalian gapapa..?’, tanyaku pada mereka.
‘Makasih Kid. Bukan karena becandamu yang selalu segar. Tapi terimakasih Kid waktunya’,
‘Buahahaa, Ente lebay. Yaudah kita lanjutkan di kosku’,
‘Kami serius Kid. Hadiah terbaik yang bisa Kamu berikan pada seseorang adalah waktu. Karena Kamu memberikan sesuatu yang tidak dapat diambil kembali. Dan bersyukur sekali pemberian itu datang darimu’,
Sekilas mendengarnya aku menjadi bertanya”. Apa sangat berharganya waktu bajingan kecil ini sampai kalian sangat berterimakasih..? Entahlah, dalam kasus ini, sebenarnya aku yang merasa sangat diuntungkan. Karena kalian datang tepat waktu saat aku sedang mumet. Makasih Bro. Tidak salah jika kita selalu pegang prinsip, ‘karena kita berteman lebih dari saudara’.
Selengkapnya...