Malam ini seperti menjadi antiklimaks bagiku. Sangat mengesankan walaupun dengan mudahnya menampar sakit dan mengusir kegembiraanku sebelumnya. Menepikan kesenangan yang sebelumnya aku dapatkan. Bahkan senyum yang selalu mengembang di bibirku tersebut tak hanya berlangsung sehari, tapi tiga hari tiga malam. Namun, jatuh berguguran pasrah seketika saat mala mini sudah menunjukkan jam 00.42.
Sore ini aku harus kembali mengendarai motor Beat biru milik Ketua LPM BEM FISIP dengannya di belakangku. Mendera debu yang sesekali menempel di wajah yang tak aku tutupi sepenuhnya dengan kaca helm. Tapi aku rasa, hal kecil seperti ini tak menjadi soal jika melihat apa yang akan aku dapatkan nantinya. Apalagi ini adalah kali ketiga mengendarai motor dengan orientasi sama bersama perempuan alay ini.
Di perjalanan, tawa karena humor yang kami lontarkan menjadi item yang tak terpisahkan. Mulai menertawai diri sendiri hingga menyinggung kondisi busuk bangsa ini dibalut dengan humor. Sesekali kami hanya terdiam karena melihat muka serius nan sok ganas polisi lalu lintas. Kami hanya perlu melewatinya untuk kemudian tertawa lagi dan lagi.
Perjalanan kami akhirnya terhenti di gedung tua di depan stasiun kereta api Malang. Bangunan yang sudah tiga kali aku kunjungi. Seperti biasa, keanggunan yang terpancar dari gedung ini hanya sekilas. Tetapi selalu memancarkan kehangatan yang mempesona saat berada di dalam dan berbicara dengan penghuninya. Gedung ini adalah Kantor Redaksi Harian Malang Post. Satu diantara dua harian terbesar di Malang.
Tujuan kami ke kantor ini adalah menemui Abdul Halim, redaktur Malang Post yang akan kami pinang menjadi pemateri di acara Upgrading LPM. Setelah ngobrol sekitar setengah jam dengan beliau kami seakan memiliki keyakinan untuk tetap pada jalur ini, journalist way. Banyak kisah yang Halim ceritakan. Banyak kasus yang dia paparkan. Setiap detik obrolan kami memburu huruf untuk kami rangkai menjadi kalimat kehidupan seorang journalist. Bahwa journalist tak harus memiliki bakat tertentu. Kau hanya butuh keuletan dan kesungguhan akan motivasimu yang terlanjur membuncah. That’s it..? Yes maybe..
Beberapa manit kemudian kami berdua hanya tertawa kecil dengan semua yang kita obrolin. Tak ada yang lucu, hanya kami merasa mengembangkan senyum menjadi tawa mendengar apa yang kita obrolin tadi. Obrolan yang kami harap mengantarkan motivasi kami tetap terjaga. Obrolan yang memberikan beberapa suntikan trik untuk menjadi dan menjalani proses ke-journalist-an. Obrolan yang semakin memberikan zat adiktif tanpa banyak pikir lagi. Obrolan yang kami harap dapat terulang walaupun tak dengan orang yang sama.
Dalam perjalanan, obrolan tadi kami singgung sebelum akhirnya menepikan motor di parkiran Rumah Makan Nasi Goreng Gandrung. Ini pertama kalinya makan di sini. Ternyata si Iis juga. Jadilah kita dua orang alay yang gak tau apa-apa tentang rumah makan ini. Kami hanya duduk sekenanya tanpa memperhatikan apa-apa. Aku hanya diam dan sesekali melirik Iis yang sedari tadi ketawa tanpa alasan yang jelas. Sampai kami menghabiskan nasi goreng kami, Iis masih berada dalam keadaan tawa yang tak berhenti-henti. Baru aku tau saat dia menceritakan semua kejadian lucu yang dia lihat di rumah makan ini. Hahahahahaa.. Aku pun ikut tertawa mendengarnya di perjalanan. Perempuan satu itu emang selalu dapat melihat celah untuk dijadikan bahan lelucon. Hmmm..
Jam menunjukkan angka 23.28 saat aku menyelesaikan rapat dengan Tim Dragon Ball, tim pengonsep acara Seminar Nasional yang diadakan BEM FISIP UMM akhir Mei nanti. Aku dan Alfian langsung menuju tempat janjian kami bersua dengan salah seorang senior HMI sekaligus kakak kelas saat SMA dulu. Saat ini dia bekerja di Jakarta dan pulang sebulan sekali ke Malang. Kali ini kami ditakdirkan bersua setelah di 6 kali kesempatan sebelumnya kami selalu aku tak bisa.
Namanya Iip. Bekerja di sebuah perusahaan jasa yang mengutamakan kemampuan menulis dan kewartawanan. Aku dan Alfian langsung dengan erat menjabat tangannya saat kami bertatap wajah. Tak disangka dapat bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Walaupun hanya di emperan samping Bank BRI perempatan Galunggung, tapi kami dapat menikmati setiap detik pertemuan ini dengan menyeruput masing” minuman yang kami pesan. Baru di sinilah aku merasakan sekali anti klimaks.
Awalnya setelah menghubungi tiga journalist sebelumnya, pers yang aku pahami adalah pers idealist. Pers yang menjungjung tinggi nilai” objektifitas. Namun, apa yang dia katakan pada kehidupan nyata tak bisa seperti itu. Apalagi jika orientasimu mengarah pada ke kehidupan. Dia tak sendirian. Dia bersama seorang temannya, yang juga berprofesi sama sepertinya. Teman yang juga memiliki kemampuan serta pengalaman kewartawanan yang baik walaupun pemula.
Jam 1 dini hari tepat aku pulang bersama Alfian. Pertandingan La Liga sarat akan makna dan momentum akan dilangsungkan setengah jam. Pertandingan yang mempertemukan Real Madrid dan Barcelona yang biasa disebut el clasico. Di perjalanan, aku sedikit merenung dengan apa yang baru saja aku terima dari pertemua tadi. Banyak hal yang harus aku benahi kembali. Termasuk menata niat dan tujuanku berada di dunia pers. Pertemuan ini kembali membuka ingatanku bahwa tak semua yang kita hadapi di kancah lokal ataupun regional, tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Mungkin ini yang disebut realistis. Membangun kesadaran akan kenyataan yang akan kita hadapi.
Time IV; Antiklimaks yang Menakjubkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar