Jumat, 4 Juli 2014..
Aku bergegas memasukkan semua barang”ku yang berantakan di meja kantor ke dalam tas. Mematikan semua komputer, AC dan lampu di ruangan New Media, lalu menuruni tangga dan singgah sebentar di dispenser samping ruang siaran untuk minum. Aku kembali menuruni tangga kedua dan check out di absensi kantor.
Langkahku semakin cepat menuju kos, copot sepatu, cuci kaki, taruh tas di kamar kemudian mandi. Aku berhenti sejenak menghela nafas, berpikir apa aku sudah menunaikan shalat Isya’ atau belum. Bagiku, ketenangan malam yang sesungguhnya adalah saat sudah menunaikan ibadah shalat Isya’. Rasanya sangat tentram, sama tentramnya udara pagi yang Kau hirup usai shalat Subuh.
Aku lihat jam dinding sudah menunjukkan pk. 23.30 saat aku siap berangkat menuju Terminal Purabaya. Bersama teman, aku dibonceng menuju terminal terbesar di Jawa Timur tersebut. Banyak kejadian yang tak aku pedulikan di jalan, sesekali kami tertawa kencang melihat pengendara sepeda motor melintas tanpa helm. Suasana Ramadhan memang menakjubkan, Kau akan banyak melihat pemandangan serupa di kota” lainnya. Meski demikian, masih ada kami lihat beberapa polisi di jalan mengatur arus lalu lintas. Padahal sudah larut malam pk. 00.00 WIB..!! Gilak, polisine keren abis.
Butuh waktu 20 menit sampai di terminal yang letaknya berada di perbatasan Surabaya-Sidoarjo ini. Temenku pamit tidak bisa lama karena harus menyiapkan sahur. Kosanku keren, kami sepakat harus sahur bersama. Karena saat buka puasa, kita tidak pernah bisa bersama. Semuanya ada di tempat kerja masing”. Biasanya aku yang masak untuk sahur, tapi kali ini mereka harus masak tanpaku.
Selepas pisah, aku langsung ke tempat pemberhentian bus Eka, bus bisnis jurusan Surabaya-Jogja. 20 menit aku menunggu tak kunjung datang. Kata beberapa orang di sana, Eka lagi laku banyak yang numpak, mending Sugeng Rahayu atau Mira saja, bus ekonomi Surabaya-Jogja. OKe, aku beranjak ke tempat Mira. Tanpa menunggu, aku dapat bus dan tempatnya. Aku memasuki bus dan menempati kursi di bagian tengah sisi dua kursi dekat jendela. Sepuluh menit kemudian, bus berangkat meninggalkan Surabaya.
Setelah beberapa mil jauhnya, kondektur meminta ongkos. Kondekturnya meminta maaf pada semua penumpang, karena tarif perjalanan di Ramadhan naik. Setelah membayarnya, aku mengeluarkan earphone, mematikan signal blackberry, memutar lagu di smartphone warna hitam ini dan memasukkannya dalam saku tas bagian depan. Kemudian aku memilih memejamkan mata dengan mengenakan jaket.
Tapi sial, baru 35 menit, aku sudah kembali bangun dari tidur. Aku teringat kata temanku, naik Sugeng Rahayu atau Mira, sama saja mengantarkan nyawa. Dari cerita temenku juga, bus ini adalah raja jalanan dan tak segan menyalip kendaraan apapun asal cepat sampai. Biasa, kejar setoran. Setor nyawa penumpang. Nah, sialnya, aku udah di dalam bus ini.
Sepanjang perjalanan, aku hanya memegang perut. Aku tidak menyadarinya hingga seorang tua di kursi seberang bertanya ‘Mas, lapar..? Ini ada roti’, katanya mengagetkan. ‘Ah tidak Pak. Kenapa Pak..?’, jawabku sekenanya. ‘Nah itu pegang perut terus dari tadi berangkat’, katanya lagi sambil menyodorkan Sari Roti ke arahku. Aku tidak langsung menerimanya. Mataku melihat ke arah tangan kananku yang ada di perut dan berpikir, ‘sejak kapan ni tangan di sini..?!’.
Otakku kembali berpikir, diselimuti semua pikiran su'udzon. Posisiku di bus menuju Jogja. Banyak yang tidak aku kenal di dalam bus ini. Semuanya mencurigakan. Semuanya terlihat tidak ramah. Gimana kalau ternyata di luar sana ada sayembara untuk menculik anak baik dan imut seperti aku..? Gimana kalau di bus ini ada yang ingin topi Sheila On 7-ku dan mencoba mengambilnya lewat Bapak Tua ini. Sekilas ini adalah pikiran su’udzon, tapi ini sudah jadi pekerjaanku; bermain dengan hal skeptis. Biasa, wartawan kampret sering melakukannya. Tapi tetiba ada malaikat berbisik di telinga kananku, ‘Woi, gak usah lebbay. Ambil aja tuh roti. Alay banget sih pake curiga segala. Tapi iya juga sih, kalo situ kenapa” mah bahaya..’ Sial, bisikannya labil plinplan. Akhirnya aku memilih untuk mengangguk dan menolak dengan senyum lima jari.
Sabtu, 5 Juli 2014..
Aku kembali menghadap depan dan mendengarkan musik yang terputar dari BB dengan seksama. Sesekali, kaki, aku hentakkan mengikuti irama rock yang mengalun di telinga. Sengaja aku putar semua musik keras agar tidak mengantuk lagi. Tapi mungkin karena seharian tadi aku belum makan, buka puasa hanya dengan air, dan memilih nguber bus daripada sahur, aku kembali tertidur karena lelah.
Sesampainya di Madiun, bus berhenti dan semua penumpang riuh turun. Aku lihat jam di tangan, ternyata sudah waktunya sahur, pk. 03.00 WIB. Sopirnya meminta semua penumpang Muslim turun untuk berbuka. ‘Setidaknya beli gorengan atau air mineral Mas. Perjalanan kita masih separuh’, kata kondekturnya padaku. Aku balas dengan senyum, lalu kondektur menawarkan sebatang rokok padaku. ‘Makasih Pak, belum makan, belum bisa rokokan’, tolakku dengan halus.
Aku lihat di seberang bus berhenti, ada warung dengan terop di atasnya dipenuhi orang bus yang aku tumpangi. Aku hanya beli air mineral, aku gak mood makan. 4 menit kemudian, ada bus lain berhenti di belakang bus kami. Mereka turun lebih rame. Ada yang bawa parang dengan mata haus darah. Ada juga yang bawa tombak, seakan siap ditancapkan ke tubuh siapapun kemudian bakar ban bus dan nyate. Ada juga yang ngacung”kan peniti dan tereak ‘Woooohhhhh, huhh haahh haahh’, yang ini kayaknya kanibal. Aku memilih diam dan menyiram diri dengan air mineral yang aku pegang. Kampret, ternyata aku lagi ngayal.
Aku kembali meneguk air mineral sampai habis 1 botol. Biasanya, selapar apapun tubuhku, saat sudah minum, pasti langsung kenyang. Dan itu yang aku harapkan sampai Maghrib nanti. Setidaknya nanti pas ada kebakaran, aku bisa membantu petugas PMK memadamkan api. Sekitar 20 menit kemudian, kondektur bus berteriak memanggil semua penumpangnya untuk masuk dan berangkat. Akupun masuk, duduk dan kembali memejamkan mata. Kepalaku mulai pusing. Mungkin kebanyakan mikir Negara. Ah sudahlah, mungkin ini cara Tuhan agar aku memilih istirahat.
Aku ngubek” tas berharap ada buku atau apapun untuk aku baca. Di sleret depan, hanya ada Al-Quran item yang biasa aku bawa ke mana”. Kalo aku baca Al-Quran di sini, bisa” dikira Ustadz jadi”an nih. Pas banget lagi momennya Ramadhan. Akhirnya aku keluarkan buku catetan dan bolpenku. Aku nulis” gak jelas sampai akhirnya ada beberapa BBM dari teman” di Malang. Lumayan lah ngobrol” via teks sama mereka.
Beberapa waktu kemudian, bus berhenti. Ternyata berhenti di terminal. Entah di mana ini. Kita hanya digiring (bukan Nidji) untuk pindah bus lain. Entah apa alasannya. Saat turun aku tidak peduli untuk menanyakan alasannya, aku fokus membantu bapak” tua tadi untuk angkat tas dan beberapa barangnya yang banyak.
Kasihan sekali Bapak ini, matanya mengisyaratkan lelah yang begitu dalam. Jalannya terhuyung” orang lagi mabok. Ingin sekali aku memapahnya, tapi saat aku tawarin Bapak ini menolak dan mengatakan kalau dirinya masih bisa jalan. Bapak ini juga bilang bahwa kakinya harus terus berjalan, biar tidak manja. Asem, sesaat aku tersindir. Aku sering ndelusel di kasur dan bermalas”an di kamar saat luang. Itu bisa seharian aku lakukan jika libur. Langkah kami memasuki bus dan memilih duduk dengan posisi bersebrangan. Bus yang ini penumpangnya banyak. Aku memilih tempat duduk dekat jendela dan kembali istirahat.
Adzan Subuh berkumandang saat aku terbangun. Aku menatap ke arah jendela dan beberapa kali melihat alamat di toko” yang aku jumpai. Ternyata aku sudah sampai Solo, kota tetangga Jogja. Kota tempat Jokowi mulai terkenal sebelum jadi Gubernur DKI Jakarta. Aku diam dan kembali melihat” sekitar. Aku terus mencari apa yang menarik dari kota ini. Sebenernya aku mau menghentikan bus dengan mengancam sopir dengan senjata tajam. Selain untuk lihat kota Solo, aku turun ingin menunaikan shalat. Tapi setelah aku bongkar tas, ternyata aku gak bawa senjata tajam. Satu”nya benda tajam yang bisa aku gunakan hanya bolpen. Ini mah bukan preman, tapi rentenir.
Sepanjang perjalanan aku berharap ini bus berhenti lama di terminal selanjutnya. Fajar sudah menyingsing dan langit sudah mulai kelihatan terang. Aku lihat jam tangan, ternyata sudah pk. 05.00 WIB. Wah sial, mau abis nih waktu Subuh. Begitu nyampe di terminal selanjutnya, bus berhenti hanya sekitar 20 detik untuk menaikkan beberapa penumpang. Seorang Ibu celingukan nyari tempat duduk lalu memilih duduk di sampingku. Ibu” ini langsung melempar senyum dan melontarkan beberapa pertanyaan wajar seperti dari mana, mau ke mana, dengan siapa, semalam berbuat apa..? Lah, itu kan lagu Kangen Band. Woi woi..
Di tengah obrolan, Ibu ini memberikan namanya padaku, tapi saat tulisan ini dibuat, aku lupa. Ibu ini kaget saat aku bilang asalku dan kenyataan kalo aku kerja. Dikiranya aku orang luar Jawa dan ke Jogja buat kuliah. Udah biasa sih dikira gitu, tapi Ibu ini tiba” menawarkan mampir ke rumahnya. Ujung”nya, dikasi info kalo anaknya perempuan seumuran. Jrengggggg.. Tuhan, kenapa Ibu ini duduk di sampingku..? Aku memilih diam dan kembali melihat jendela. Sekitar 15 menit kemudian, aku lihat Ibu ini tertidur. Yeah, akhirnya aku bebas. Saat aku perhatikan, hampir semua penumpang juga istirahat. Duar, pagi” gini pada tidur nih orang”. Gak produktif banget. 2 menit kemudian, aku juga tidur. Hehehee..
‘Dik, bangun, udah mau sampai’, suara Ibu tadi membangunkanku. ‘Oh iya ta Bu..?’, tanyaku dengan mata yang sedikit terbuka. Tapi emang dari sononya sipit sih. ‘Iya, ini udah di Jogja. Tapi sekitar 15 menit lagi baru nyampe terminal Giwangan’, kata Ibu tadi sambil menggerak”an tangannya. Sepertinya dia juga baru bangun. Di depanku, tangan” pada naik ke atas menggeliat laku biasa orang baru bangun. Oh, ini ceritanya bangun massal.
‘Nah itu Bandara Adi Sucipto Dik, berarti 5 menit lagi nyampe’, suara Ibu ini membuyarkan lamunanku. ‘Oh iya Bu tau’, jawabku. ‘Oo, udah berapa kali ke Jogja..? Pernah ke Jogja naik pesawat..?’, tanyanya lagi. ‘Tiga kali sama sekarang Bu. Gak pernah Bu. Jogja deket Bu, 7-8 jam udah nyampe, lagian kalo ke Jogja cuma buat liburan, jadi gak keburu buat naik pesawat’, jawabku tanpa melihat wajahnya. Duh, ama Ibu” aja malu. ‘Hmm, alasan bagus. Oh iya, tadi Kamu bilang dijemput temen ya..? Kalo gitu, turun depan terminal aja. Biar gak susah temenmu nyari’, sarannya. ‘Oh gitu, tapi gapapa Bu. Sekalian cuci muka di dalam terminal’, aku membalas dengan aggukan.
‘Eh Dik, aku turun di sini. Selamat datang di Jogja ya’, aku lihat beberapa orang juga berdiri untuk siap” turun. Aku lupa nama daerahnya. Tapi kalau denger apa yang dikatakan kondektur sih, ya deket” Giwangan gitu. Aku juga bersiap, aku masukin hape dan topiku ke dalam tas. Aku tampar dan cubit” pipi biar sadar dan gak mabok. Aku juga minta Pak Sopir nonjokin mukaku sekalian. Tapi Pak Sopir gak mau karena alasan sepele; 'aku nyetir Mas'. Yaudah gak jadi.
Sejenak aku berpikir, gilak mau ngomong apa pertama kali ketemu nanti ya. ‘Assalamua’alaikum, berantem yokk’, ‘Hai, saya Satpol PP, ikut saya ke kantor’, atau ‘Woi, malliiinnnggggg..!!’. Entahlah, yang jelas, aku canggung.
Bus sudah memasuki pintu terminal Giwangan. Ada yang turun di pintu masuk, ada yang turun di jelang masuk pintu terminal, ada yang turun di tengah jalan lalu ketabrak becak trus ada juga yang gak turun tapi naik ke atas atap bus. Aku bersama beberapa penumpang tersisa turun di dalam. Begitu turun, sejenak aku hirup udara Jogja. Tidak menyangka, aku kembali ke kota yang sempat bikin sakit hati ini. Kota yang dulu juga mempertemukan dengan temen” LAPMI di seluruh Indonesia. Kota yang dulu menjadi destinasi pendidikanku setelah lepas dari SMA, tapi gagal karena mendapat beasiswa di kota lain. Kota yang sangat ingin aku kunjungi karena hawa komunitas, pendidikan, organisasi dan yang paling istimewa adalah budaya dan seninya. Shit, ini dia Jogja. Terkesan norak, tapi aku punya pembuluh darah yang menyala” saat berada di kota ini. Pembuluh darah ini juga gemeteran sekarang, mungkin karena orang yang akan aku temui.
Aku bergegas ke Musholla terminal. Wudhu’, kemudian shalat. Lalu aku segera ke kamar mandi. Ternyata di sini sama aja ama terminal lain; gak ada yang gratis. Ini mah bukan fasilitas umum namanya. Ibu” penjaga kaget saat aku datangi.
Setelah aku masuk dan titip tas, aku keluarkan hp dari saku dan memencet beberapa nomor. Beberapa detik kemudian, suara perempuan menyambut telponku dengan parau. Aku diam sebentar untuk mendengar suaranya. Suara itu mengucap salam diakhiri berdehem. Aku jawab dalam hati. Suara itu berucap salam lagi, kali ini dengan suara yang ringan, tak seberat tadi. Aku sengaja diam dan aku jawab dalam hati lagi. Akhirnya suara seberang mengucap salam kembali dengan tegas. Aku bersuara membalas salam ketiga ini.
‘Lagi di mana..?’, tanyaku.
‘Kamar Om’, jawabnya.
‘Baru bangun..? Gak shalat Subuh..?’,
‘Sudah kok, tapi aku tidur lagi. Kenapa..?’
‘Masih ngantuk..? Mau istirahat lagi..?’
‘Iya sih tapi enggak deh, mau ngobrol sama Om aja’,
‘Ada rencana keluar..?’,
‘Iya, ambil kamera di temen ntar. Kenapa Om..?’
‘Am Om Am Om aja. Keluarlah, bangun, hirup udara segar. Kalo bisa yang jauh ke Giwangan’,
‘Giwangan itu terminal itu ya..? Ngapain ke sana Om..?’,
‘Ya sapa tau mau ketemu aku. Aku di Giwangan’,
‘Hmm.. Masak..? Becanda kan..?’,
‘Aku di Giwangan. Baru aja nyampe’,
‘Whaaatttt.. Bentar, jangan gerak” dulu..!! Aku jemput. Awas lho gerak selangkah, aku hajar Kamu’,
‘Gak usah dah, ketemu di Malioboro aja’,
‘Enggak.. Dari pertama nginjek Jogja, harus sama aku. Awas lho. Aku mau mandi dulu. Tungguin, jangan ke mana”..!!’,
‘Masya Allah, galak amat. Tapi aku lagi di kamar mandi nih. Masak gak boleh jalan keluar’,
‘Iya deh boleh kalo itu mah. Udah ya aku mandi. Don’t go anywhere..!! Assalamu’alaikum Om..’
‘Wa’alaikumussalam’, hmm, ternyata baru bangun. Tau gini baiknya aku langsung ke Malioboro aja dan menemuinya di sana. Tapi menghindari omelan, menghubunginya emang jadi jalur yang tepat. Aku buang air kecil lalu cuci muka kembali. Melelahkan sekali perjalanan 7-8 jam ini. Tampak dari mukaku saat bercermin, persis seperti vampire kesurupan.
Setelah bayar, aku bergegas menuju pintu masuk terminal. Angka di jam tanganku masih menunjukkan sekitar pukul 7. Aku duduk di pelataran pedestrian terminal. Di sekelilingku duduk lima orang sopir angkot dan becak. Mereka melempar senyum ke arahku dan aku membalas sekenanya. Seseorang diantaranya menyapaku, menanyakan dari mana dan nunggu siapa..? Akhirnya kami sedikit berbincang tentang terminal dan aktivitas yang biasa dilakukan bapak” ini setiap pagi.
Bapak ini bilang kalau dirinya bersama teman”nya sengaja duduk di sebelah sini karena sebentar lagi matahari akan tepat menyinari pedestrian ini dan berjemur. Aku melihat ke atas langit, dan benar saja, sinar matahari pagi sudah mulai mendekati tempat kami duduk. Kurang dari dua menit kemudian, aku dan bapak” ini menengadahkan muka ke atas dan menghirup udara Jogja. Selama sekitar semenit, kami memejamkan mata dan merasakan nikmat sinar ini. Sial, nikmat sekali. Ini nih, nikmat Tuhan mana lagi yang Kamu dustakan..?!
Seseorang diantaranya pergi, disusul seorang lagi. Tapi dua orang baru datang dan duduk bersama kami. Bapak tadi menanyakan padaku kenapa teman yang ditunggu belum datang. Aku hanya menjawab dengan kalimat ketidaktahuan. Kemudian aku mengeluarkan notepad dari dalam tasku. Aku nulis” gak jelas seperti biasa untuk membunuh bosan. Harusnya ditemani rokok dan kopi, tapi bisa ditabok orang sekampung kalau minum kopi pagi Ramadhan gini.
Beberapa sepeda motor dan mobil lalu lalang di depanku. Satu-persatu orang” yang berdiri di depan terminal dibawa kendaraan” tersebut. Tiap lima menit sekali, bus kota dan TransJogja masuk ke terminal. Bapak” tadi bergerak saat bus luar kota datang. Mereka meneriakkan layanan jasa angkutannya. Aku memperhatikan mereka sambil melihat jam tangan.
Sudah dua jam aku duduk di sini. Aku merasakan mentari sudah tidak lagi menghantarkan hangat padaku, tapi panas. Aku menggerak”an hem yang aku kenakan untuk menghasilkan angin. Sesaat nikmat hangat tadi berubah gerah. Mataku kembali menikmati jalan” di sekitarku dari dua arah yang berlawanan. Tetiba, sebuah sepeda motor matic hitam menuju ke arah tempatku duduk dari arah kanan.
‘Doaaarrr..!!’, ucapnya dari balik masker yang dia kenakan. Aku terperanjat dan segera berdiri. Dari isengnya aku sudah tau kalo orang ini adalah maling ayam yang kemarin lolos dari kejaran polisi. Maaf, maksudku ni orang adalah teman yang aku tunggu.
‘Udah dua jam nih’, protesku padanya sembari menunjuk jam tangan, seperti aksi para pelatih sepak bola di pinggir lapangan saat latihan.
Kemudian aku menjulurkan tangan untuk berkenalan secara resmi. ‘Kid’, ucapku. Baru kali ini aku melakukannya pada perempuan. Dia membalas dengan pukulan di tangan dan mengatakan ’Tian’, sambil mengisyaratkan kalau kita segera beranjak dari tempat ini. Aku menyetujuinya. Asap dari knalpot bus yang keluar masuk sudah tidak lagi bersahabat. Asapnya hitam pekat, bisa mati berdiri nih 30 menit ada di sini. Aku langsung kenakan helm yang dia sodorkan padaku. Aku ambil potongan kain Kalimantan di dalam tas untuk aku gunakan sebagai masker. Empat detik kemudian, kami meluncur entah ke mana.
Kami mengarah ke arah busku datang tadi. Di tengah jalan, aku sempat menanyakan ke mana arah tujuan kita padanya. Dia hanya menjawab ‘tidak tau’. Nah, yang punya Jogja siapa coba. Lalu dia menjawab, ‘Terus lurus saja. Gak usah takut kesesat. Kalo kesesat kan kesesat bareng’. Nah jawaban kayak gini yang bikin takut. Jangan” dia mau culik aku. Jangan” perempuan yang duduk di belakangku ini gembong mafia Jogja. Mampus dah gua.
Kami bukan tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Aku seringkali melontarkan pertanyaan yang sama ‘Ke mana kita ini..?’ dan jawabannya selalu sama ‘Terus saja, aku juga gak tau ke mana..’ Akhirnya sepeda motor ini melintas tanpa ada tujuan. Lumayan lah, aku bisa melihat” ruas jalan di Jogja. Entah ini di jalan apa, aku melihat ada pemisahan jalur sepeda motor dengan kendaraan roda empat atau lebih. Meskipun hanya dipisah dengan pembatas jalan coran semen pendek, tapi ini sudah cukup menertibkan lalu lintas. Beda sekali dengan Surabaya.
Karena tak kunjung ada tujuan, aku memberanikan diri untuk usul ‘Gimana kalau kita ke Stasiun Jogja dulu..? Mau nuker tiket. Boleh gak..?’, tanyaku. ‘Boleeeehhh.. OKe kita ke sanaaa’, jawabnya dengan girang. Kayaknya kesurupan nih mafia. Aku hanya fokus melihat kanan dan kiri jalan. Siapa tau ada yang menarik lalu kita berhenti untuk melihat”. Aku mengurangi kecepatan sepeda motor, serasa gak ingin cepet sampe stasiun. Gini aja terus sampe malem. Mesra kagak, mati ketabrak karena pegel mah iya.
Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai di jantung kota Jogja. Jalan yang pernah aku kenal. Cukup familiar, karena dua kali sebelumnya, aku juga berkelana kota kayak gini dengan anak” Comanraiden sampe suntuk. 20 menit itu lama lho, aku harus membuang waktu di jalan tanpa ngobrol dengan ini anak. Tapi yaudahlah, aku juga gak berani ngomong. Setelah belok kanan, kami sampai di Stasiun Gambir, eh Jogja. Kami taruh motor di tempat parkir, kemudian berjalan ke arah dalam Stasiun. Dari tempat parkir sepeda motor ke loket cukup jauh. Di tengah perjalanan, hape Tian bunyi. Mama Tian telpon. Samar” aku mendengar namaku juga disebut. Wah, iya kan bener dugaanku. Ternyata ada yang mau nyulik aku. Oh enggak, ternyata Mama nitip salam padaku.
Kemudian, kami menjalani 21 jam yang sangat sangat sangat seru. Stasiun, Pasar Buku Shopping, Tamansari, Malioboro, Studio XXI, Galeria, Legend, Malioboro lagi Mirota dan membusuk di kamar nonton Argentina vs Belgia sampai sahur di KFC, Tugu Jogja dan berakhir kembali di Stasiun Jogja. 21 jam itu ada di ingatanku. Ada di kepalaku dan kepalanya, belum dan tak ingin terhapus. Cerita itu mengalun merdu tanpa ingin ditulis. Biar kami saja yang tau dan menikmati. Jika Anda kecewa, hubungin nomor telponku lalu mintalah subsidi BBM, oh sori maksudku mintalah ceritakan.
Minggu, 6 Juli 2014..
Jam dinding di stasiun menujukkan angka enam saat aku beranjak dari tempat dudukku di kursi panjang samping pagar. Tempat dudukku tepat di samping nih mafia. Kampret, aku sangat menikmati duduk di sampingnya. Setelah bersalaman, aku meninggalkan tempatnya duduk. Lalu perlahan langkahku memasuki gerbong KA Sancaka Pagi tempat kursi reservasiku berada. Keseruan ini rencananya akan berlanjut di Surabaya setelah lebaran Idul Fitri.
Dalam perjalanan, aku kembali berpikir, apa rencana Tuhan. Kenapa Tuhan menghadirkan teman perempuan dengan pertemuan seperti ini. Aku teringat kata Tian kemudian padaku, Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang karena suatu alasan. Lalu, apapun alasannya, semoga baik dan bermanfaat buat keduanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar