Sore ini aku kembali duduk di meja ruang redaksi dengan secangkir kopi yang baru aku buat. Tepat di dekat jendela besar yang mengarahkan sinar matahari langsung padaku dan memberkas di semua sudut ruangan. Padahal, baru kemarin aku berada di jalanan luar sana saat senja hampir tenggelam, dan aku menikmatinya. Sungguh” menikmatinya. Tidak, maksudku, aku benar” menikmatinya hingga tidak ingin melewatkannya.
Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melalui senja di jalanan. Karena biasanya, aku memilih untuk mendekam di kamar dan mendengarkan semua komposisi tanpa teratur, dengan secangkir coklat panas kadang kopi dan kurasan teks di buku” yang menyesaki kasur. Jika tidak, aku berada di ruangan ini, menulis dan meracau semua info, yang katanya didedikasikan untuk publik. Tapi sebulan belakangan, aku berada di dalam gedung yang membuat senja tak terlihat.
Aku sedang tidak membicarakan senja. Bahkan aku sedang ingin membencinya. Aku hanya ingin mengajakmu membicarakan luka. Masa yang membawamu merasakan pedihnya hidup tanpa tau cara menyelesaikannya. Tapi bersama waktu, Kau akan melihat jalan untuk menghadapinya dan kadang melewatinya. Meski tidak semua bisa dengan mudah Kau lintasi, setidaknya akan ada cahaya di ujung persoalanmu untuk Kau tuju saat tetap berdiri dan yakin. Pastinya, Kau pernah mendengar janji Tuhan bahwa Dia tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuan.
Jangan Kau tanya kenapa aku ingin sekali membenci senja. Tak ada alasan khusus. Atau kenangan yang mengharuskanku meluruhkannya bersama petang. Aku hanya tidak ingin melihatnya tanpa alasan. Tapi beberapa hari ini, mataku tak bisa terhindarkan dari foto”mu bersama senja yang menguning. Cahanya berpendar merah dan membuatku terkagum, lagi. Kemudian aku mengantarmu ke tempat asing yang pernah Kau singgahi sekali, saat malam. Aku hanya bertaruh Kau akan menyukainya, meskipun aku tau Kau menyukai senja. Aku berpura duduk di sembarang tempat dan berpura tak menyadari bahwa senja datang tepat ke arah kita. Menembus sela” dedaunan pohon di depan kita dan langsung menerpa wajah kita yang lusuh karena debu jalanan.
Sesaat, semua ingatanku tentang senja berdatangan tanpa pamit. Pantas saja, seketika aku ingin sekali merasakan pahitnya kopi. Selain kehadiranmu, mungkin satu cangkir kopi adalah pereda nyeri dan membuang kenang tentang senja ini. Mendengar suaramu, aku tau tak ada tawa yang benar” Kau suguhkan. Aku hanya mendengar luka yang tersampul rapi oleh kenang masa lalu yang ingin sekali Kau sudahi.
Katanya, kita hidup untuk hari ini. Ya, hari ini saja, bukan untuk masa depan apalagi masa lalu. Kita hidup untuk hari ini, mungkin untuk mempersiapkan masa yang akan datang dengan mempelajari yang sudah pernah berlalu di ribuan detik yang sudah hilang. Masa lalu sudah pergi, tak akan kembali hadir. Tapi ingatlah, tak ada yang benar” bisa melupakan masa lalu. Tak ada yang bisa menghempaskan masa lalu dengan acuh. Karena Kau sudah pernah melewatinya, dan jadi bagian dari diri serta hidupmu. Sudahilah, persiapkan dirimu. Coz what is coming better than what is gone.
Mengajakmu membicarakan luka bukan berarti mengantarmu pada pedih yang akhir” ini tak sengaja kembali datang padamu. Tidak, aku tidak sejahat itu. Justru dengan membicarakannya, dengan intensitas yang tinggi, akan membuatmu lebih kuat dan menganggapnya sebagai masa yang pernah melintas di hidupmu. Kau akan sadari bahwa semua cerita sedih itu hanya fase manusia. Seperti fase ‘alay’ dalam kehidupan manusia.
Sudahlah, mungkin Kau jauh lebih mengerti tentang luka daripada aku. Mungkin juga, Kau lebih hebat menghadapinya. Tau bagaimana cara melewatinya dan lebih siap berdiri hari ini. Saat berbicara denganmu, aku selalu ingin katakan bahwa luka yang tak langsung membunuhmu, akan jauh membuatmu lebih kuat. Kalimat itu pernah datang padaku, dulu. Dan aku pernah merasakannya, saat memilih berdiri dan kembali berjalan. Tapi sepertinya, Kau sudah tau kalimat ini sebelumnya. Selamat sore, perempuan..
0 komentar:
Posting Komentar