Setelah air mata ibu April lalu, sebenarnya aku tidak ingin lagi mendengar tangis dari perempuan. Sore itu di kamar, aku bersama Zainal, menemani ibu yang sedang berbaring lelah di kasur. Awalnya, aku mengajak Zainal masuk ke kamar ibu untuk menemani beliau yang sedang beristirahat di kasur, dengan sesekali memijat raganya yang sudah mencapai batas. Dengan semua aktifitasnya seharian saat itu, aku tau beliau butuh ditemani secara fisik dan rohani.
Sore itu, tiba” beliau sesenggukan dan menitikkan air mata. Beliau menangis. Aku tak hanya panik, tapi juga reflek mendekati wajahnya. Tapi tanganku tak cukup berdaya menyentuh pipinya. Sedangkan Zainal hanya gemetaran melihatnya. Zainal menatapku tajam, berusaha memberi kode agar aku menenangkan ibu. Aku ingin sekali, tapi aku tak punya cukup kekuatan untuk menghapus air mata di pipinya. Melihatnya, aku diam duduk bersandar di lemari kamar ibu, lalu bermain mata dengan Zainal, memberi kode untuk meneruskan memijit betis dan pergelangan kaki beliau.
Sore itu, wajah Zainal terlihat keheranan kenapa aku membiarkan tangis ibu berlangsung. Aku juga bingung. Aku hanya tidak ingin menghilangkan momen kesedihan ibu dan menghentikannya tanpa tau alasan ibu menangis. Perlahan, isak tangis ibu berkurang dan mulai bicara. ‘Ibu senang. Ibu terharu. Di luar sana, banyak sekali teman ibu yang curhat bahwa anak” lelakinya tak selalu ada untuknya’, dengan suara paraunya ibu membuka obrolan. Ibu berhenti bicara sejenak. Beliau bernafas, lalu melanjutkan kembali setelah menata suaranya. ‘Tapi melihat kalian berdua berada di sini, pulang untuk ibu, memijit pundak ibu, menemani ibu ngobrol, tak ada lagi yang ibu inginkan, Nak. Ini lebih dari cukup. Ibu bersyukur sekali ada masa” seperti ini’, katanya tanpa melihat kami.
Sore itu, pandangan ibu masih menatap langit” kamar. ‘Nal, ibu tidak tau ke mana takdir akan membawamu nanti. Ibu juga tidak keberatan Kamu berada jauh di negeri orang sekalipun. Tapi, di luar hubungan dengan Tuhan, tak ada rindu yang lebih berat dari seorang ibu pada anaknya’, kata ibu dengan sedikit menunduk berusaha melihat ke arah Zainal. Ada apa ini. Kenapa ibu segetir ini berbicara pada kami.
Sore itu, Zainal menatapku. ‘Bu, dari dulu saya ingin mengatakan ini’, Zainal mulai bicara. ‘Ibu jangan pernah berharap aku seperti Kakak. Berada di posisinya susah ternyata. Aku sudah mencoba untuk dicintai banyak orang dengan berperilaku seperti Kakak, tapi saya gagal. Tapi Bu, jangan pernah ragukan cinta dan kasih saya pada ibu. Saya tidak pernah berusaha untuk itu. Itu sudah menjadi bagian dari diri saya’, bodoh, ucapan Zainal malah membuat isak tangis ibu kembali muncul.
Sore itu, aku beranjak dari tempat dudukku, menjitak kepala Zainal lalu membenamkannya ke kasur. Ibu tertawa dan merangsek duduk. ‘Ibu senang Kamu mengatakan hal itu. Mim, jangan kasar sama adikmu’, ibu memeluk Zainal, lama sekitar 30 detik. Aku hanya berdiri di samping mereka. Ibu membetangkan tangan kirinya, seolah memberi syarat agar aku mendekat untuk dipeluk. Sebenarnya, aku iri, ingin sekali berada di posisi Zainal saat itu. Tapi aku menghindar. ‘Hahahahaa, alergi Kakak ke perempuan emang keterlalun Bu. Dipeluk ibu aja gak mau. Lebay’, aku kembali menjitaknya, tapi telingaku gak berhasil lolos dari cubitan ibu. Lalu kami tertawa bersama. Sesaat, ruangan itu penuh dengan haru yang seru, tanpa ingin berlalu.
Sore itu, yang aku tau, isak tangis perempuan adalah alunan merdu dari beban yang tak bisa lagi ditahan. Beban yang sangat lama menggantung dalam jiwanya. Beban yang ingin sekali keluar untuk dilampiaskan. Beban tak terlihat yang terhalang oleh kepura”an kuatnya menanggung semua sedih. Beban yang tak seharusnya dilihat dan didengarkan oleh seorang pria. Tanpa disangka, beberapa ribu menit yang lalu, aku kembali mendengarnya. Tepat di telingaku, dan sialnya aku juga panik seperti sore itu. Aku hanya berbicara tanpa titik, untuk menghibur. Berharap tawa dan senyum tersungging lagi dari pemilik tangis itu.
Kali ini aku berbicara padamu. Katanya, manusia adalah tuhan bagi dirinya sendiri. Maha kuasa atas dirinya sendiri, termasuk menahan isak tangis, dan memilih untuk menghempaskannya dengan cara lain di waktu yang lain. Tapi mungkin tak semua bisa melakukan hal itu semaunya, kapan saja dan di mana saja. Kau hanya butuh sedikit keyakinan, atau setidaknya sugesti agar dirimu kuat dan menahannya lebih lama. Keluarlah dari kamarmu, bermainlah sejenak dan berteriaklah. Terlalu banyak yang Kau pikirkan hanya akan menambah berat kepalamu. Teriakkan apa saja. Semua kalimat yang menyimpan amarahmu. Semua frasa dalam hidupmu yang tak sempat Kau bicarakan dan terdengar oleh telinga lain. Semua kata tanpa titik yang ingin Kau lupakan dan tak ingin lagi dikenang. Teriakkan, jangan berbisik seperti sedang meeting dan mengumpulkan komplain dari atasanmu.
Malam sudah sangat larut saat aku menulis ini. Jika Kau lihat langit di luar, pasti Kau akan menyadarinya juga. Menyadari betapa mudahnya waktu berlalu, sedangkan matamu susah terpejam. Melirik sana-sini di tengah riuhnya angin malam yang benar” sudah larut. Hanya bising roda di jalanan sesekali terdengar mengganggu. Istirahatlah, segera rebahkan ragamu dan perlahan kedipkan kelopak matamu. Jangan lagi sengaja tersadar, seolah ingin menambahkan gula dalam minumanmu karena tau malam ini akan panjang.
Katanya, manusia adalah bagian dari kehidupan ini. Objek cerita yang sedang dibangun bersama cerita lain yang dibangun manusia lain. Kau bisa jadi apapun, kecuali jadi pengecut. Atau tepi ombak yang tak bisa kembali lagi karena terserap oleh tanah halus di bibir pantai. Atau keledai yang mengulangi kesalahannya berulang kali. Atau babi, yang dengan emosinya, membutakan mata hatinya hingga membentur objek lain dari cerita manusia lainnya. Ingatlah ini, sampai beberapa juta detik ke depan, hanya akan ada satu perang yang akan Kau hadapi; perang melawan diri. Bukan yang lain. Selamat malam, perempuan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar