Selamat Jalan, Pak Kiyai..

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raaji'un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Selamat jalan KH. Makhtum, terimakasih atas semuanya.

'Assalamu'alaikum Tadz. Kiyai Makhtum baru saja wafat di RS Darmo. Belum tau kapan kembali ke pondok dan dikebumikan. Kalau berkenan ke pondok, hubungi saya ya'
'Tadz, kalau sudah gak sibuk, tolong bales'
'Tadz, infonya Kiyai Makhtum Insya Allah nyampe pondok jam 8 malam dan dikebumikan besok pagi. Nungguin anaknya yang di Madinah dan Jogja'
'Tadz, kami sudah dalam perjalanan kembali ke pondok'

Empat pesan datang berangsur dan menyesaki inbox hapeku sejak siang dan sore kemarin. Aku bukan tidak membacanya, tapi aku bingung menjawabnya. Saat membaca, kesedihan langsung membawaku berjalan memutari waktu. Lama dan pelan.
Entah kenapa, aku mengingat hampir semua ekspresi almarhum di pertemuan kita. Almarhum tidak pernah secara langsung mengajar di kelasku, 6 tahun di Al-Amien. Kesempatanku bertemu beliau hanya saat Kuliah Subuh yang pengisi utamanya selalu tiga serangkai anak" Djauhari atau saat acara Kuliah Umum Kemasyarakat, bekal menjelang liburan. Aku tak pernah tau rasanya belajar pada beliau di kelas, dengan jarak yang hanya terpisah meja dan lantai. Tidak pernah. Tapi aku bisa membayangkannya. Sama rasanya saat duduk bersila mendengar suara dari kedua kakaknya, yang lebih dulu tiada. Seolah ada rasa intimidasi keilmuan yang dalam. Ragaku bergetar seolah sedang jatuh cinta. dan aku, tak pernah melewatkan setiap pertemuan dengan ketiganya tanpa pena dan kertas.
Siang itu, untuk sesaat, aku mengalami de javu yang, tidak, aku ingin lama memasuki de javu. Aku tidak konsentrasi dengan yang aku kerjakan di meja redaksi. Beberapa kali atasan memanggil tanpa jawaban, hingga akhirnya berujung instruksi dengan teriakan. Aku tak bisa menahan sedih ini. Meskipun di depan dua perempuan siang itu di ruangan. Aku hanyut dalam sedih. Anehnya, aku merasa sangat kehilangan. Padahal sudah lama aku tidak pernah bertemu almarhum. Terakhir, enam tahun lalu di RSI Sumenep, saat beliau tergolek sakit. Padahal, almarhum bukan pengajar di Tahfidz, lembaga tempatku berada. Apa karena beliau adalah penyandang terakhir dari Djauhari, tepat di belakang namanya. Tidak, aku tidak mengerti. Aku hanya sedih, sangat. dan kehilangan.
Sampai di kamar pun, aku ingin sekali menangis. Aku tak berhenti berdoa, memohon ampunan untuknya padaNya. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Ada sesak yang bergemuruh di dada, ingin aku ungkapkan, tapi tak ada air mata. Sudah aku coba membangun suasana sedih. Surat Yaasin yang aku baca bahkan hanya mengantarkanku pada mata yang sembab tanpa genangan air di pelupuknya. Bagaimana lagi aku mengungkap kesedihan ini. Satu"nya air mata pada almarhum yang aku rasakan, keluar saat tulisan ini dibuat. Saat pagi, saat aku baru memasuki kantor 10 menit, saat almarhum sudah dikebumikan.
Bersama beberapa teman, aku sudah berencana menjenguk beliau ke RS Darmo. Sore atau petang, di sela" kerja. Tapi kabar duka itu benar" menyesalkan. Aku tidak berhenti menyalahkan diri, menunda rencana menjenguk beliau yang sudah 2-3 hari dirawat di Surabaya. Hal paling mengecewakan lainnya adalah aku tidak mengikuti shalat janazah di Al-Amien pagi ini. AKu hanya bisa shalat ghaib di kos, di kamar, dengan kondisi yang sangat sial, kondisi air mata tertahan tanpa tau kenapa.
Kemarin, di kamar, aku mengingat semua yang bisa aku ingat tentang beliau. Anak Djauhari paling cerdas, pintar dan jenius. Kedua kakaknya pun mengakui hal itu. Banyak yang bilang kalau almarhum punya ilmu ladunni, sejak masih nyantri pada Kiyai Imam Zarkasyi di Gontor sampai S2 di Madinah sana. Semasa hidup, mendengar beliau memberi ceramah, sama hanya aku mendengar Yudi Latif bicara. To the point, sangat berbobot, berkelas dan bermanfaat tak hanya secara pengetahuan, tapi menyentuh sisi kehidupan yang harus dijalani sebagai seorang santri. Selama memimpin majalah sekolah dua periode, cita"ku adalah mendapat tulisan beliau di rubrik Kolom, tapi tak pernah berhasil. Sudahlah, aku tak sanggup lagi meneruskan tulisan ini.

0 komentar:

Posting Komentar