Aku tidak ingin hal hebat terjadi padaku. Setiap harinya aku sudah mendapat cukup anugerah yang dibutuhkan. Mendengar suara Ibu dari seberang telpon, menggerakkan jemariku di atas kertas, melihat senyum dia disengaja atau tidak, atau berbuat banyak dengan apa yang pernah aku dapat. Meskipun belakangan, aku merasa kebahagiaan menyelinap keluar dari diriku. Entah aku yang bangsat, atau karena lingkunganku yang sudah tidak lagi baik.
Aku harus bertempur dengan semua kebusukan ini sendiri. Aku tidak ingin melibatkan orang lain. Aku tidak ingin orang yang aku sayangi tau. Aku tidak ingin mereka juga harus mengadu kekuatan dengan para bedebah yang sedang berdiri di depanku. Biarkan seperti ini. Semua orang di sekelilingku harus tertawa. Tertawa karenaku akan jauh lebih bagus. Aku tidak ingin membagi luka, yang mungkin hanya bisa dipahami hanya saat merasakannya langsung.
Aku harus terus berjalan diantara setapak lorong yang mereka ludahi. Siapapun boleh merendahkanku, tapi tidak dengan temanku, tidak dengan orang yang aku sayangi. Siapapun Anda. Aku tak akan menjilat untuk membersihkan keringat ini. Biarkan saja begini, biarkan aku usap sendiri. Dalam kesenjangan sinar sore dan petang pun, aku akan tetap melangkahi pandangan para bedebah ini. Bedebah yang tak tau membedakan kebaikan dan keuntungan. Dua hal yang hanya diapahami jika Kau membeli buah segar di pasar tradisional dengan penuh keikhlasan.
Aku sudah muak dengan suara yang akhir" ini seringkali berteriak tepat di telingaku. Mempecundangi kebaikan dengan mempersilahkan keuntungan, yang Kau pun tak tau untuk siapa. Aku tidak ingin lari. Aku hanya butuh menyimpan tenaga untuk melindungi yang lain. Agar tak ada yang menyentuhnya, agar tak ada lagi ada mendung di antara kelopak matanya. Hal yang aku benci dari diriku sendiri. Menangis tanpa air mata. Kebodohan yang hanya Tuhan berikan padaku.
Semua detik yang aku butuhkan mungkin sudah lewat saat aku menulis bingkisan cerita ini. Samar" aku melihat langit tengah kota Surabaya dikepung mendung. Mungkin juga aku sudah melewatkan senyum paling sumringah dia hari ini. Atau mungkin aku sudah melewatkan diskon makan siang di Sutos hari ini. Banyak hal yang mungkin terjadi diantara 'sekarang' dan 'tidak pernah'. Beruntungnya aku pernah merasakannya semua, walaupun bukan hari ini. Memandangi mendung dengan pupil mataku sendiri, menikmati senyum dia yang dikepung wajah sinisnya dan merasakan makan siang yang lebih hangat bersama temanku di Sutos beberapa waktu silam.
Beginilah akhirnya, aku akan menghujat kerikil yang memenuhi perjalananku. Dan aku harus kembali berpura tersenyum dengan kepalan tangan yang aku simpan. Tapi, tak ada yang lebih parah dari filsuf yang terlambat bijak. Sebuah keharusan yang ditakdirkan. Seperti teman yang terlambat peduli. Atau pemimpin yang terlambat cerdas. Atau fajar yang terlambat bersinar saat pagi. Atau ilmu yang terlambat diamalkan. Kau harus tau kapan bersikap, saat waktunya sudah tepat. Seperti aku harus mengakhiri tulisan ini, sebelum terlambat.
Tidak Semua 'Terlambat' Bagus..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar