Cerita Malam Itu..

Tidak banyak keramaian yang bisa dihindari. Malam itu, aku berjuang untuk satu keinginan dan melawan ketakutakanku sendiri. Aku harus bertemu teman” masa kecilku dan mengacuhkan keramaian di tempat pertemuannya. Aku tidak tau kalau café Sofyan ini akan serame ini saat malam. Dipenuhi banyak anak” SMP SMA dan beberapa pemuda/i jauh dari sini. Aku bahkan tak bisa berkutik duduk di sudut café, yang ditinggal Sofyan karena harus melayani pelanggan, menunggu kedatangan teman lainnya, bodoh karena datang pertama, sesuai jam yang dijanjikan.

Aku bukan ingin segera tau rasa kopi hitam racikan Sofyan, tapi aku tidak sabar bertemu mereka. Para bajingan yang akhirnya kembali ke Sepulu setelah enam, tidak, tapi tujuh tahun merantau. Tapi bagi mereka, aku lebih keparat dari sekedar mencuri uang rakyat. Aku meninggalkan Sepulu setelah SD, beberapa kali pulang tapi bukan untuk mereka. Lebaran dan liburan singkat lainnya adalah alasan yang bagiku masuk akal untuk hanya menyapa hai pada mereka. Karenanya, malam ini setelah mendapat kepastian beberapa diantara mereka berada di sini, tak ada alasan yang bisa menahan menghadiri pertemuan ini.

‘Jadi, ceritakan. Kenapa lama sekali..?’, suara seorang perempuan datang tepat dari belakangku. Aku mengernyitkan dahi, menunggu benar tidaknya suara itu ditujukan padaku. Satu”nya perempuan yang bersedia hadir malam ini adalah Silvi, teman perempuan pertamaku. Silvi makhluk lain jenis pertama yang tidak bisa aku hindari. Ketakutanku pada perempuan tidak berlaku padanya. Aku bahkan bisa makan dengan satu kaki diangkat di depannya.

‘Aku nanya. Kenapa lama sekali..? Kamu paling susah ditemuin lho’, aku menoleh ke kanan tempatku duduk, tempat suara itu berasal dua detik kemudian.
‘Hai Sil. Maksudnya lama sekali..? Susah ketemu itu cuma sama Kamu. Kamu malah gak bisa dihubungin sejak dua tahun lalu. Hayo lohh’, ternyata benar Silvi. Aku hampir tidak bisa mengenalinya dengan jilbab dan lipstick itu.
‘Mana ada..?! Tiap pulang, aku ke rumah anak” lain, termasuk rumahmu. Ibumu cerita, bilang kalau seringkali yang nelpon duluan itu Ibumu, bukan Kamu. Kamu tuh ya, segitunya kerja’,
‘Bukannya Kamu mau nikah ya..? Kok masih nyerocos gini aja sih kalo ngomong..? Kalem, yang manis jadi perempuan’,
‘Ya justru karena mau nikah, gak usah jaim. Gak usah sok cool, dingin kayak Kamu. Suka diem, menyendiri di kamar. Ini ngapain sih baca buku..? Ih, kita kan mau rame” bareng. Ngapain sih bawa buku, bawa tas lagi. Pasti Kamu bawa bolpen ya..?’, tangan Silvi gak berhenti merogoh tas kecil yang aku bawa.
‘Ini buat baca, buat nunggu, aku yakin kalian pada telat datang. Eh, nyari apa sih..?’,
‘Meriksa aja. Biasanya ada puisimu di tiap buku yang Kamu bawa. Tumben yang ini gak ada. Biasanya di kertas, ada di selipin gitu’,
‘Ada di halaman dua sebelum belakang’,
‘Oh iya, ini dia. Hmmm. Sialan. Ini buat siapa..? Ngaku. Ini tanggalnya 2 Januari. Hayo ini buat siapa..? Kamu tuh ya, punya pacar gak cerita. Siapa perempuan gak beruntung ini..? Cerita. Ayo cerita, anak” belum datang. Ceritaaa’,
‘Gak punya pacar’,
‘Trus ini buat siapa..?’,
‘Hmmm gak tau sih. Kalau pacar sih bukan. Soalnya dia gak mau disebut pacar, gak mau pacaran juga. Gebetan juga enggak. Aku juga gak tau dia mau aku gebet apa enggak. Parahnya, mungkin dia gak tau lagi aku deketin. Ya aku juga sih yang keliru ya. Aku gak pernah bilang apa”. Takut. Tau sendiri kan kalo aku ketemu sama perempuan kayak apa. Apalagi kalau aku suka sama tu perempuan. Bisa grogi gila. Kenapa liatnya gitu..?’,
‘Gapapa’,
‘Eh, kenapa..?’
‘Gapapa. Aku seneng lho liat Kamu banyak omong tentang perempuan. Kamu itu, hmmm, lagi jatuh cinta ya..?’, suara Silvi lirih sambil ngacak” rambutku.
‘Apaan sih..?’,
‘Udah lama lho aku gak ketemu Kamu yang kayak gini. Cerita panjaaanggg. Dua tahun lalu, terakhir kita ketemu, Kamu banyak nanya dan aku yang cerita tentang tunanganku. Gantian dong sekarang’,
‘Ah, apaan sih. Enggak ah’,
‘Apanya yang gak..? Trus, apa namanya kalo bukan jatuh cinta..? Seorang Hamim, ngomongin sesuatu panjang lebar, berarti dia sedang antusias banget. Kamu tu ya, Kamu pikir aku gak tau apa” tentang Kamu. Ayok cerita’,
‘Hahahaa, apaan..? Kamu tau aku lagi pakai celana dalam warna apa?’, Silvi menarik sarung yang aku kenakan ke belakang dan membuka kaosku ke atas. ‘Bentar ya’,
“Sil, eh, parah. Ngaco nih. Banyak orang’,
‘Jadi kalau gak banyak orang saya boleh liat celana dalammu..?’,
‘Ya gak jugaa’, aku tarik jilbabnya sampai melorot. ‘Kenapa senyum”..?’
by the way, Kamu enggak kangen aku..? Dua tahun lho kita gak ketemu. Dua tahun itu lama’,
‘Enggak, Kamu yang ngilang ke Pasuruan. Aku mah di sini” aja. Lebaran juga pasti pulang. Kamu mungkin yang kangen aku’,
‘Iya. ternyata aku kangen banget sama Kamu. Kamu tuh asli, nyebelin banget. Kangen sama mukamu yang sinis itu, datar kayak nampan’,
‘Ternyata..? Kok pake ternyata. Jadi tadinya gak kangen..? Trus barusan ketemu jadi kangen..? Aneh’,
‘Iya, bisa lah kayak gitu. Jangan bilang kalau sekarang Kamu gak kangen..?’
‘Enggak tuh’, rambutku tambah diacak gak karuan.
‘Yaudah aku pulang’,
‘Pulang aja’, Silvi beranjak dari meja. ‘Eh Sil, becanda. Sil’, Silvi berjalan ke arah Sofyan dan memesan minuman.
‘Takut aku pergi ya..?;
‘Enggak. Gak enak aja ama yang lain. Soalnya aku menjanjikan Kamu juga bisa datang’,
‘Kamu tuh kapan gak jahat coba’, Silvi mencubit perut bagian kiriku.
‘Kangennya udah ilang. Kan udah ketemu. Tadi sih pas tau kalo bakal dateng, ya senang gitu. Kangen sama kalian. Sama Kamu juga, ngilang dua tahun dan gak ada nomor hape yang bisa dihubungin’,
‘Nah, sekarang ceritakan perempuan itu. Bentar, biar aku tebak. Hmmm, manis anggun dan smart. Berarti, hmmm, dia pake rok?’
‘Enggak. Eh, bentar manis anggun dan smart itu maksudnya apa..?’
‘Itu kan kriteriamu’,
‘Tau dari mana..?’,
‘Ada deehhh. Hmmm, kalau gitu dia pake jilbab..?’
‘Iya’,
‘Dia pake celana..? Dia tomboy..?’,
‘Pake sarung, gak tomboy’,
‘Serius. Dia pake celana..?’
‘Iya’,
‘Hmmm, temen kantor..?’,
‘Iya. Mau terusan nebak atau aku cerita aja..?’,
‘Cerita apaan..? Mau dong’, tiba” Sofyan, Ook, Lauhim, Hilmi duduk di seberang meja. ‘Gimana kabarmu, Mim..?’,
‘Heii, Alhamdulillah baik. Kalian gimana..?’, aku menggenggam tangan mereka satu per satu, lama, hangat dan penuh kerinduan.

Malam itu, aku tak hanya mengacuhkan keramaian yang biasanya aku hindari. Aku bahkan tak bisa berhenti tertawa dan sesekali cerita panjang tentang kehidupanku di Malang dan Surabaya. Kami gantian bercerita tantang kehidupan yang saat ini dijalani, rencana” masa depan dan bujukan pada mereka yang masih di luar Sepulu untuk pulang, untuk membangun Sepulu. Malam itu, tak ada pendengar yang baik. Kami nyeletuk setiap cerita, menyanggah setiap pernyataan dan menertawakan semua kisah masa kecil kami. Malam penuh nostalgia, aku gila jika mengatakan tidak merindukan moment ini. Malam itu, rasanya aku ingin menjejakkan kaki di tempat tak ada lagi pijakan setelahnya. Malam itu juga menghadirkan ketakutan, takut pertemuan ini tak terulang lagi.

Malam, 30 Januari 2016

0 komentar:

Posting Komentar