Sudah lama aku kehilangan hangatnya semua percakapan kita. Beberapa pekan lalu. Tapi rasanya sangat lama. Bahkan aku sudah lupa intonasi bicara dan renyah suaramu. Terhalang oleh banyak kabut; hawa dingin yang menjadikan kita semakin jauh dari rasa takut. Jauh dari rasa cemas kehilangan dan menjadikannya uap air dalam muara ketiadaan.
AKu tau, semua percakapan itu memiliki banyak kebohongan. Rekayasa yang kita susun hanya untuk bertahan lebih lama duduk diam melipat tangan, bersebrangan dan seringkali tak bersebelahan. Lirih lagu yang diam" kita dengar pun hanya mengalun tanpa melodi di pendengaran. Semuanya biasa, kita yang menjadikannya luar biasa. Bukan untuk cangkir kopi dan gelasmu yang isinya beragam, tapi karena ada aku dan kamu, saat itu. Tapi sudah lama sekali tak terjadi, bagiku.
Percakapan itu hanya berhasil saat kita bertemu dalam dunia yang katanya tak berbatas. Menegur keteraturan dengan sapa yang harusnya lebih hangat saat langsung diucapkan. Tidak hangat dan seringkali tak berbekas. Padahal ada banyak frasa yang kita kirim sebagai obrolan. Memang temu menjadikan kita berbeda. Temu yang membuat kita jadi begitu. Menjadikan tatap lebih banyak menyampaikan impuls ke bibir untuk tersenyum. dan harapan bertemu menjadikanku selalu menulis tiga paragraf dalam pekan" dengan anomali cuaca ini.
Selengkapnya...
Percakapan dalam Temu..
Seperti Ini Hujan..
Malam ini hujan turun membasahi bumi. Mungkin itu sebaris kalimat umum yang sering orang" tulis untuk menggambarkan hujan. Malam ini, atau di malam" lainnya. Aku, ingin sekali menulis 'apa kabarmu?' di lembar chat kosong kita. Karena hujan bersahabat tidak dengan semua orang. Tapi kumpulan huruf itu hanya berisi tanya di belakang, tanpa tau angin malam benar" melindungi ragamu dari rinai hujan.
Aku sengaja meneruskan perjalanan saat hujan turun, membasahi bumi. AKu hanya ingin tau seberapa besar cintaku pada gerombolan air ini saat sendiri. Saat tak ada lagi tangan yang bisa aku genggam hangat setelahnya. Di kerumunan ini, di antara aspal yang basah dan tergenang, aku hanya memastikan bahwa ingatan pendek tentang wajahmu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi mungkin tercampur, dengan pertanyaan apakah hujan membasahi lainnya selain bumi.
Sebenarnya tak ada alasan aku membuat tulisan tiga paragraf ini, saat hujan masih membasahi bumi. Aku hanya ingin mengungkap romansa yang baru saja terjadi. Antara aku dan hujan yang akhirnya kembali. Nuansa itu belum kuat lagi, setelah lama aku membenci mendung dan menempatkannya di sana, di tempat yang sepi. Karena aku tau, hujan bersahabat tidak dengan semua orang, seperti Kamu.
Selengkapnya...
Awal Juni..
Pertemuan kita selalu terpisahkan oleh kenangan-kenangan. Oleh kenangan yang baru saja terjadi atau yang lama dan kembali Kau gali. Ingatan sendu yang membuatmu haru. dan ingatan riang seperti saat Kau lari-lari kecil di antara ilalang. Jadi, sudahilah kepura-puraan ini. Tak pernah ada 'kita' dalam pertemuan ini, pertemuan itu dan pertemuan-pertemuan lain yang terencana dan tak terjadi.
Aku sering melihat mata itu. Mata yang tak pernah bulat seperti saat di depan wajah lainnya. Mata tanpa sambungan saraf ke bibir yang membuatmu tersenyum. Aku, aku yang salah. Aku terlalu lama berdiri di sini dan mempertemukan harap. Ternyata ada kisah lain yang Kau buat dan bersembunyi di balik tawamu. Mungkin tidak satu. Kisah-kisahmu itu mengendap di balik tawa yang aku suguhkan saat langkahmu masuk mengerubungi banyak ruang di kepalaku.
Mei sudah habis, sudah lewat. Bulan setelahnya baru dua hari berjalan. Sampai detik ini, aku masih mencuri setiap masa pertemuan denganmu. Sampai waktu itu, aku masih berusaha melihat mata dan senyummu, meskipun dekat. dan saat tulisan ini aku selesaikan, aku merasa bodoh, ternyata aku tidak tau apa" tentangmu.
Selengkapnya...