'aku sudah menerima suratmu. harusnya Kau tak perlu sampai ke sini', aku membuka percakapan yang sepertinya tak akan terjadi sore ini, di sini, di tempat biasa kita bertemu. di meja yang sama. meja yang seringkali diam saat kita bicara, tertawa, dan berpegangan tangan. meja tempatku diam" menyembunyikan korek apimu dan membuatmu kebingungan menyalakan rokok. aku tertawa terkekeh saat Kau masuk ke dapur kedai ini sembunyi-sembunyi menyalakan kompor. aku tambah terbahak saat petugasnya datang memergokimu di daun pintu. Kau tau itu ulahku setelahnya dan Kau akan menjitakku setelahnya. aku tau. tapi aku tak tau apa yang sedang terjadi sekarang ini. seperti cuaca belakangan, yang tak bisa kita prediksi karena anomali. seperti aku juga tidak tau kenapa aku tidak segera mengakhiri paragraf pembuka ini.
aku sudah lama kehilangan jejak kisah kita. lama. sepekan setelah aku cerita bahwa aku melihat orang itu di rumahku, Kau tak bicara banyak. Kau tak pernah lagi melintasi kotamu untuk menuju kotaku. begitu juga aku. diam di kota masing-masing untuk meyakinkan diri kalau kisah ini tak akan berakhir begini.
sekarang, sudah empat bulan berselang. Kau kirimkan surat, membalas pos yang pernah aku kirim sebelumnya. memutuskan apa yang terbaik bagi kita. egoku tidak bisa menerima. hatiku selalu ingin menolak kenyataan yang bersembunyi di balik senyum orang itu. aku tak ingin mempersembahkan luka di hari-hari bahagianya. sudah cukup aku datang dengan simpati, aku tak ingin ada caci maki.
sore yang canggung. Kau masih diam, sunyi seperti suasana belakang kedai ini. tak ada apapun di atas meja. hanya tanganku yang terlipat dan tangan kirimu yang memegang sebatang rokok serta tangan kanan yang menggoyang-goyangkan gelas kopi. sedangkan matamu, berputar memandangi dinding belakangku. bola matamu terus mengitari wajahku, tapi tak pernah sejajar mataku. Kau menghindari pandanganku, seperti biasa saat Kau sedang canggung.
'iya, sudah jelas. tapi aku ingin melihatmu untuk terakhir kalinya sebagai ... hmm, sebagai ... aku tak tau kita akan seperti ini. Kau taulah kita sebagai siapa', suaramu terdengar pelan dan lirih. lalu menghilang bersamaan dedaunan di belakangmu yang turun karena angin.
aku pegangi tangan kanannya dan berkata 'pekan depan kita akan bertemu lagi. persiapkan dirimu', sialan. sekarang aku menangis. perlahan air mataku yang sedari tadi menggenangi pelupuk mata, sekarang turun jauh ke pipi hingga berhenti di dagu.
'loh, kalian di sini. sudah saling kenal ya rupanya..?!', aku kaget lalu menoleh. ibuku berdiri di samping meja kita bersama seorang pria yang akan dia nikahi, ayahmu.
interpretasi lagu Mimpi, Isyana Sarasvati.
permintaan dari Silviani Sari, dibayar pake segelas kopi.
Janji yang Pudar..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar