hari-hari menjadi semakin melelahkan. kabar duka tidak hanya datang di chat grup, tapi juga meja makan. menjadi pembicaraan berkali-kali, menjadi sukar ditanggapi, dan sulit dipahami. yang bisa dilakukan hanya mengerti dan bersimpati.
tepat pekan lalu, saya pergi melayat. Bdoer, sahabat saya kehilangan bapaknya. sudah dua tahun ini stroke dan tinggal jauh dari rumah di kampung. mereka sewa rumah di kota, yang dekat dengan rumah sakit. semingu sebelum meninggal, kondisinya memburuk, bersamaan dengan banyaknya kasus positif Covid-19 di lingkungannya. Bdoer kemudian pulang di hari Senin. kedua adiknya datang kemudian; Selasa dan Rabu. lalu bapaknya menghembuskan napas terakhir. dalam kelakarnya, sahabat saya bilang 'Tuhan selalu tahu. Bapak meninggal menunggu kami semua berkumpul'.
Bdoer bilang kalau setahun ini dia sudah ikhlas kalau-kalau bapaknya tiada. tapi saat menghadapi kenyataan ini, dia tau kalau dia belum siap. dia melihat ibunya yang akan hidup sendirian, tanpa pasangan. dan menahan sendiri semua kepedihan.
saat meninggal, hasil tes antigen bapaknya positif. dan hasil tes PCRnya tidak diambil. karena kesedihan sudah tidak bisa dibendung dengan data itu. tapi semua anggota keluarga akhirnya tes PCR agar tenang dan tidak menambah kegusaran. dia meminta semua orang agar tidak melayat. semua. termasuk kami. tapi mana mungkin.
saya sedih bukan hanya karena sangat dekat dengan keluarga ini. tapi karena saat saya dikabari, masih ada ragu untuk melayat. saya merasa malu dengan keraguan itu. akhirnya saya melakukan tes antigen siangnya, dan melayat malam harinya. besok paginya, saya tes antigen lagi untuk jaga-jaga. memang tidak akurat, tapi hanya itu yang sementara ini bisa dilakukan.
saya jadi tau perasaan ibu saya saat ada tetangga dan kerabat di rumah yang meninggal akhir-akhir ini. saya meminta ibu untuk tinggal di rumah, dengan bilang 'tidak usah melayat, Bu. insya Allah semua orang mengerti dengan kondisi ini'. ibu saya mengiyakan. tapi beberapa kali saat menghubungi Zein dan bertanya di mana ibu, dia bilang 'ibu melayat'. tidak sekali, tapi seringkali. nyatanya, kita tidak bisa mengatur kesedihan orang dan bagaimana dia menghadapinya. meski rendah literasi, ibu hidup di lingkungan yang gotong royong dan simpatinya sangat tinggi.
empat hari setelahnya, di Rabu siang bolong, chat grup ramai lagi. Alfian ngabarin kalau bapaknya tiada. padahal sebelumnya, kami sedang berdoa untuk mamanya yang masuk rumah sakit karena Covid. saya segera nelpon Alfian dan mengucapkan bela sungkawa. mungkin tidak pengaruh banyak pada kesedihannya, tapi saya sungguh berduka.
tidak lama, sekitar satu jam. chat grup ramai-ramai bersedih. Mahrus, salah satu di antara kami meninggal. sama seperti lainnya, saya terhenyak. ternyata selama sepekan terakhir, dia sedang sakit dan merahasiakannya. saya tidak berpikir panjang dan langsung menghubungi semua teman yang ada di Surabaya, untuk melayat. tapi kita mulai berdebat. posisinya terlalu jauh dan kondisinya sedang tidak baik.
Mahrus adalah pengasuh pesantrean di Waru Pamekasan, dan saat kami sedang dalam perdebatan, pihak pesantrennya meminta kami untuk mengurungkan niat. untuk keselamatan. akhirnya kami menghela napas dan melakukan yang bisa dilakukan; kami ngadain khotmil Quran online untuknya sepanjang hari itu.
sejak saat itu, setiap malam, saya menerima whatsapp dan telpon dari temen-temen jauh. dua yang paling mengejutkan adalah Kiki dan Sherry. Kiki yang bertugas sebagai dokter di Dr. Soetomo sedang struggling merawat pasien. sementara Sherry, kita menghabiskan puluhan menit waktu untuk bertukar info. lebih tepatnya, menyemangatinya.
suami dan bapak Sherry positif. suaminya demam sudah empat hari, begitu juga bapaknya. malam tadi, dia harus berpisah dengan keduanya, yang akhirnya dipindah ke gedung karantina yang disediakan pemda Balikpapan. mereka harus antre dua hari baru mendapat ruangan. setelah pindah pun, bapaknya langsung dirujuk ke rumah sakit, karena memiliki gejala berat; sesak napas.
'bohong kalau saya tenang. saya berusaha pun, tidak bisa. sebelum nelpon ini, saya baru kelar nangis', katanya. saya merasakan beberapa sengguk dan serak suaranya dari ujung telpon. Sherry menelpon setelah anaknya yang masih bayi lelap. sambil mendengar semua ceritanya, kepala saya berpikir keras untuk menguatkannya. sialan, saya hanya bisa berkata-kata. pandemi menambah jarak yang sudah jauh semakin jauh.
terjaga tengah malam tidak pernah semelelahkan ini. bahkan saat menulis ini, saya masih berusaha menjelaskan pentingnya vaksin pada keluarga yang sudah terlanjur termakan kabar 'katanya'. bener kata Kiki, 'sekarang cuma bisa menjaga diri biar tetep sehat dan tetep waras'.
Cerita-Cerita Duka..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar